Pembahasan Pemerolehan bahasa pertama pertama anak usia 0 s.d 3 tahun dalam bahasa sehari-hari (tinjauan psikolinguistik).

Data 27 merupakan percakapan dari seorang anak berusia 2,7 tahun. Penggunaan diksi yang diperoleh anak pada data percakapan ini adalah anak mengakatan kata amela ejaan sebenarnya kata kamera. Kata kamera menunjukan bahwa anak sudah mampu menguasai diksi makna kata khusus. Sama seperti data 27 Menurut Akhadiah 1988:88 yang termasuk kata khusus adalah nama diri, nama geografi, dan kata-kata indriaindera yang sering digunakan untuk menggambarkan tanggapan panca indra akan rangsangan dari luar. Kata indera dibagi menjadi kata untuk indera penglihatan, peraba, pendengaran, penglihatan serta penciuman.

4.3. Pembahasan

Pada bagian ini peneliti akan memaparkan terkait hasil penelitian secara keseluruhan yang akan diambil dari proses analisis data untuk menjelaskan topik utama tentang pemerolehan bahasa pertama pada anak usia 0 s.d 3 tahun dalam bahasa sehari-hari. Dalam proses analisis data yang digunakan oleh peneliti adalah tuturan lisan dan percakapan dengan subjek penelitian. Pada penelitian ini terdapat banyak aspek-aspek yang mengulas tentang pemerolehan bahasa anak, seperti aspek fonologi, morfologi, sintaksis, dan diksi. Adapun aspek utama dalam penelitian ini yaitu tahap-tahap perkembangan bahasa pada anak menurut teori Aitchison dalam Harras dan Andika 2009: 50-56. Menurut Aitchison, perkembangan bahasa dibagi kedalam beberapa kelompok yaitu usia 0,3 mulai dapat meraban, usia 0,9 mulai terdengar pola intonasinya, usia 1,0 dapat membuat kalimat satu kata, usia 1,3 haus akan kata-kata, usia 1,8 menguasai kalimat dua kata, usia 2,0 dapat membuat kalimat empat kata, dapat membuat kalimat negatif, menguasai infleksi, pelafalan vokal telah sempurna, usia 3,6 pelafalan konsonan mulai sempurna, usia 4,0 penguasaan kalimat secara tepat, tetapi masih terbatas, usia 5,0 konstruksi morfologis telah sempurna, usia 10,0 matang berbicara. Namun peneliti menggunakan teori tersebut dimulai dari pemerolehan meraban hingga pelafalan konsonan mulai sempurna atau usia 0-3 tahun. Penelitian yang digunakan untuk meneliti perkembangan bahasa anak tentunya tidak terlepas dari pandangan, hipotesis, atau teori psikologi yang dianut. Dalam hal ini sejarah telah mencatat adanya tiga pandangan atau teori dalam perkembangan bahasa anak yaitu pandangan 1 pandangan nativisme 2 pandangan behaviorisme, 3 pandangan kognitivisme. Dalam penelitian ini peneliti mengkaji bahwa data yang dianalisis sesuai dengan hipotesis-hipotesis yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Seperti yang diungkapkan oleh Chomsky. Menurut Chomsky anak dilahirkan dengan dibekali “alat pemerolehan bahasa” Language Acquistion Device LAD. Alat ini merupakan pemberian biologis yang sudah diprogramkan untuk merinci butir-butir yang mungkin dari suatu bahasa. LAD dianggap sebagai bagian fisiologis dari otak yang khusus untuk memproses bahasa, tidak punya kaitan dengan kemampuan kognitif lainnya. Bukti yang mendukung dengan teori ini adalah anak sering mengakatakan hal-hal garamatikal misalnya pada data 7 ketika anak mengakatakan kata bobo.. bobo dan pada data 9 ketika anak mengatakan iniiii... maaa. Hipotesis mengenai LAD itu sebagai alat untuk memperoleh bahasa oleh anak-anak semakin memperkuat fakta-fakta yang telah diamati oleh para ahli dalam bidang pemerolehan bahasa yang mendukung hipotesis tersebut. Misalnya, satu fakta yang jelas mendukung LAD ialah keadaan masukan, yaitu ucapan- ucapan yang didengar oleh anak di lingkungannya. Ucapan-ucapan tersebut penuh dengan pembukaan kata yang salah, kesalahan gramatikal, dan lain-lain. Namun, anak-anak memperoleh juga bahasa pertamanya. Bahasa yang diperoleh anak- anak dalam keadaan yang beragam walau bagaimanapun bentuknya. Anak-anak tidak mungkin mendapatkan aspek-aspek bahasa seperti fonologi, morfologi, sintaksis, dan diksi jika tidak dianugerahkan dengan suatu mekanisme nurani yang khusus untuk berbahasa. Perkembangan ujaran yang penliti dapatkan dari hasil observasi anak usia 0-1 tahun adalah Banyak bunyi yang dikeluarkan oleh anak tetapi tidak semuanya mempunyai wujud di dunia sekelilingnya. Mula-mula ujaran yang mucul yaitu bunyi vokal. Anak sering mengelurakan bunyi vokal seperti a,i,u,e dan o. Ketika masuki usia 1-2 tahun bunyi konsonan sudah mulai membetuk dalam ujran anak misalnya anak mengakatan kata mama dan papa. Anak usia 1-2 tahun merupakan usia yang paling menonjol dalam pemerolehan bahasanya. Usia 2-3 tahun merupakan masa anak yang mampu mengujarkan apa yang dilihatnya atau diucapkannya. Pelafalan konsonan dan vokal sudah sempurna, walaupun peneliti kerap kali menjumpai bahwa anak masih belum sempurna dalam mengujrakan kata yang diucapkannya. Mislanya saja kata kereta diucapakan keeta. Perkembangan sosial dan komunikasi yang dipeoleh pada observasi adalah usia 0-1 tahun komunikasi anak hanya sebatas memberikan senyuman dan tatapan mata dari anak yang merupakan bentuk interaksinya kepada lingkungan disekitarnya. Adapaun reaksi anak usia ini adalah menyerukan bunyi cooing dalam interaksinya. Peneliti berasumsi bahwa anak memberikan respon kepada lingkungan yang dilihatnya. Pada usia1-2 tahun perkembangan sosial dan komunikasinya mulai beragam, peneliti melihat bahwa anak lebih tertatik dalam hal yang menjurus ke arah permainan. Sesuai dengan kajian teori, dalam hal ini anak mulai masuk kedalam tahap pola gilir interaksi sosial, artinya anak sudah mengerti kapan ia harus bereaksi dalam berinteraksi. Misalnya saja dalam permainan “Ci Luk Ba”. Pada permainan ini anak mengerti kapan harus memberi respon terhadap objek yang dilihatnya. Pada usia 2-3 tahun interaksi sosial anak sudah masuk ke fase pertanyaan. Peneliti meninjau anak yang usia 2-3 tahun lebih aktif dalam berkomunikasi dalam lingkungannya. Anak akan bertanya apa yang dilihatnya, menyentuh apa yang menurut mereka menarik. Pada penelitian ini peneliti mengamati proses perkembangan akuisisi bahasa pada anak. Pada tahap awal tidak ada kontrol terhadap pola tingkah lakunya termasuk tingkah laku berbahasa. Vokal anak dan otot-otot bicaranya bergerak refleks. Ketika usia anak menginjak 0-3 bulan otaknya berkembang dan mengatur mekanisme syaraf sehingga dengan demikian gerakan refleks tadi sudah dapat dikontrol. Refleks itu berhubungan dengan gerakan lidah, atau mulut. Misalnya anak akan mengedipkan mata kalau cahaya berubah-ubah atau bibirnya akan bergerak-gerak apabila sesuatu yang disentuhkan pada bibirnya. Hal tersebut awalnya bukan untuk berkomunikasi, melainkan si anak sedang mengalami proses perkembangan fisik yang akan menunjang perkembangan akuisisi bahasa di tahap selanjutnya. Ketika peneliti melakukan observasi terhadap subjek penelitian hal pertama yang dilakukan oleh peneliti adalah melakukan pengamatan, berinteraksi langsung dengan subjek dan menjadi pihak ketiga subjek peneliti sedang berintekasi dengan mitra tuturnya. Secara keseluruhan, penelitian ini merupakan bentuk proses tahap pemerolehan bahasa anak terutama usia 0-3 tahun. Pada penelitian ini peneliti mengelompokan hasil pengambilan ke dalam beberapa kategori yaitu 1 Usia 0-1 tahun, 2 Usia 1-2 tahun, dan 3 Usia 2-3 tahun. Peneliti menemukan beberapa tahapan pemerolehan bahasa dalam kategori usia anak sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Aitchison. Tahapan tersebut terdiri dari 7 tahap perkembangan bahasa anak. Pada usia 0-1 tahun tahap kemampuan bahasa anak yang ditemukan oleh peneliti yang sesuai dengan pendapat Aitchison adalah tahap meraban. Pada tahap meraban tersebut yang sesuai dengan pendapat Aitchison adalah anak mulai menangis, batuk, sendawa, tertawa, mengigau, dan mendengkur. Secara keseluruhan meraban merupakan bunyi konsonan akan muncul pada waktu anak itu mendekur dan ketika anak mendekati enam bulan, ia masuk pada tahap meraban. Secara impresif anak menghasilkan vokal dan konsonan secara serentak. Pada usia 1-2 tahun kemampuan bahasa anak yang berkembang adalah terdengarnya pola intonasi, tuturan satu kata, tuturan dua kata, dan infleksi kata. Pola intonasi merupakan tiruan suara anak yang diperoleh dari apa yang didengarnya. Pada usia 1-2 tahun kemampuan bahasa anak yang berkembang adalah terdengarnya pola intonasi, tuturan satu kata, tuturan dua kata, dan infleksi kata. Pola intonasi merupakan tiruan suara anak yang diperoleh dari apa yang didengarnya. Contohnya adalah 5 Anak : “babababa... papaaa” Mitra Tutur : cilukba? Anak : “ihhi eeuuhh maaaa” Mitra Tutur : adek ini ngoceh apa? Pada data 5 ini merupakan proses pola intonasi suara yang hampir mirip dengan bunyi vokal a, u dan sedikit terdengar kata konsonan h. Mitra tutur memancing dengan suaranya. Hasilnya anak akan merespon suara tersebut dan meniru apa yang dikatakan oleh mitra tuturnya. Selanjutnya adalah proses tahap perkembangan bahasa tahap tuturan satu kata. Jumlah kata yang diperoleh bervariasi tergantung masing-masing anak. Biasanya variasi berupa kata mama, papa, meong. Ketika berkomunikasi, anak hanya menggunakan tuturan satu kata dalam nejawab pertanyaan dari mitra tuturnya. Ini sesuai dengan pendapat Aitchison, dalam penelitian, peneliti berasumsi bahwa ketika anak berusia 1-2 tahun anak akan menjawab pertanyaan dengan satu kata, dan menggunakan kata yang sama dalam setiap jawabannya. Misalnya seperti data dibawah ini. 7Ibu : Ci Luk Baa Anak : hahaaauuuu..eeehh.. Ibu : Dede jangan keluar Anak : baba... baba Ibu : sini dede bobo ya? Anak : bobo... Ibu : bobo ma mama ya? Anak : gaa... Ibu : kok engga de? Anak : bobo... bobo.. Setelah anak melewati proses tuturan satu kata, satu bulan berikutnya anak mulai memperoleh tuturan dua kata yang sesuai dengan pendapat Aitchison. tuturan dua kata yang dimaksud adalah yaitu mengucapkan kata-kata yang mengandung arti paling penting. Tuturan yang awalnya Ani susu berubah menjadi Ani mau minum susu. Misalnya seperti data berikut. 11 Ibu : bilang sama papa pinjam.. Anak : ijemmm... ijemmm Ibu : icel mau minta? Anak : itahhh.. itahhh Ibu : icel udah makan? Anak : utahh mam.. Data diatas merupakan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Pada kedua data tersebut jelas bahwa data 11 pengucapan anak sudah menggunakan dua kata ketika anak berusia 2 tahun. Dapat dilihat ketika anak mengucapkan kata “ijemm.. ijemm..” dan “udah mam”. Berikutnya adalah pemerolehan bahasa infleksi kata. Dalam bahasa Indonesia, kata yang biasanya muncul ialah afiks, misalnya anak sebelumnya hanya mengatakan Kakak mukul adik menjadi Kakak memukul adik atau Adik dipukul kakak. Dalam tahap ini pun anak mulai memperoleh kata majemuk, seperti orang tua, namun pemerolehan tersebut tidaklah signifikan karena kemampuan setiap anak bervariasi. Menurut Aitchison dalam Harras dan Andika 2009: 50-56 secara gradual, kata-kata yang dianggap remeh atau tidak penting mulai digunakan. Infleksi kata juga mulai digunakan. Kata-kata yang dianggap remeh dan infleksi itu mulai merayap diantara kata benda dan kata kerja yang digunakan oleh anak. Dalam penelitian ini peneliti menemukan beberapa infleksi anak yaitu ketika anak mengucapkan kata mulu. Kata mulu oleh anak diucapkan berulang-ulang disetipa perkataan yang diucapkannya. Anak sudah terbiasa dalam menjawab pertanyaan- pertanyaan yang diajukan kepadanya dan menjawab dengan baik. Anak sudah memahami makna kata yang didengar atau yang diucapkannya. Pengucapan kata konsonan masih sulit, terutama pada huruf konsonan r dalam kata marah dikatakan menjadi malah. Pada usia 2-3 tahun kemampuan berbahasa anak mulai meningkat. Dalam tahap perkembangan bahasa pendapat Aitchison, usia 2-3 tahun merupakan tahap kalimat tanya dan ingkar. Pada saat penelitian, peneliti menemukan beberapa data mengenai kalimat tanya dan ingkar misalnya ketika anak berkomunikasi menggunakan kalimat tanya seperti yang dijelaskan pada data 29 misalnya, anak berkata “ni apa?”, “alon itu ya?”. Ucapan anak tersebut merupakan bentuk dari tahap kalimat tanya dan ingkar. Secara keseluruhan pada penelitian ini, proses pemerolehan bahasa anak sangat sesuai dengan teori dari Aitchison. Proses perkembangan bahasa harus dilakukan secara bertahap. Dalam hal ini, peneliti menggunakan tahap perkembangan bahasa dari mulai meraban hingga kalimat tanya ingkar yang dibatasi dengan subjek penelitian usia 0-3 tahun Adapun aspek-aspek yang mendukung dan berkaitan dnegan pemerolehan bahasa yakni aspek kebahasaan yang meliputi pemerolehan fonologi, morfologi, sintaksis, dan juga diksi. Hasil dari aspek kebahasaan tersebut jelas telah dianalisa dalam sub bab analisa data yang menyatakan bahwa pemerolehan bahasa juga mengkur kemampuan anak dalam pemerolehan kebahasaannya. Hal terpenting ketika anak mulai berbahasa adalah ketika anak melewati proses fonologi. Pada saat dilahirkan, anak hanya memiliki sekitar 20 dari otak dewasanya. Pada umur 6 minggu, anak mulai mengeluarkan bunyi-bunyi yang mirip dengan bunyi konsonan atau vokal. Bunyi –bunyi ini belum dapat dipastikan bentuknya karena memang belum terdengar dengan jelas. Proses mengeluarkan bunyi-bunyi seperti ini dinamakan cooing, yang telah diterjemahkan menjadi dekutan Dardjowidjojo 2000: 63. Anak mendekutkan bunyi-bunyi yang beragam dan belum jelas identitasnya. Setelah melewati pemerolehan fonologi, anak mulai memasuki pemerolehan lainnya, seperti pemerolehan morfologi. Dalam prosesnya, anak lebih banyak memperoleh bentuk morfem, baik morfem bebas dalam bentuk kata, maupun dalam bentuk morfem terkait. Namun pemerolehan tersebut sering berupa morfem bebas berupa bentuk dasar. Morfem adalah satuan bahasa terkecil yang mengandung makna. Ketika melakukan penelitian, peneliti hanya menemukan sebagian kecil ketika anak memperoleh bentuk prefiks, infiks dan sufiks dalam setiap pengucapan katanya karena secara teori yang ada bentuk-bentuk imbuhan tersebut akan lancar digunakan oleh anak ketika usia sudah menginjak empat tahun. Selanjutnya adalah aspek mengenai sintaksis. Sintaksis pada anak adalah anak memulai berbahasa dengan mengucapkan satu kata. Dalam bidang sintaksis, anak memulai berbahasa dengan mengucapkan satu kata atau bagian kata. Kata ini, bagi anak sebenarnya adalah kalimat penuh, tetapi karena ia belum dapat mengatakan lebih dari satu kata, dia hanya mengambil satu kata dari seluruh kalimat itu disebut Ujaran Satu Kata USK. Setelah melewati fase Ujaran Satu Kata, anak melanjutkan ke tahap dua kata atau Ujaran Dua Kata UDK. Dalam bentuk sintaksisnya, USK sangat sederhana karena memang hanya terdiri dari satu kata saja, bahkan untuk bahasa seperti bahasa indonesia hanya sebagian saja dri kata yang diucapkan. Namun dalam segi semantik, USK adalah kompleks karena satu kata ini bisa memiliki lebih dari satu makna. Aspek diksi juga sangat penting dalam proses perkembangan bahasa anak. pemerolehan diksi merupakan kemampuan membedakan secara tepat nuansa- nuansa makna sesuai dengan gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa diksi merupakan pilihan kata yang digunakan oleh penulis, sebagai ungkapan akan daya cipta atau penyampaian makna agar lebih mudah diterima pembaca. Jenis diksi sangat beragam, tiap jenis diksi berperan untuk menyampaikan idea atau gagasan seseorang. Pemilihan diksi yang tepat akan mempermudah penyampaian ide atau gagasan itu sendiri Keraf 1984 : 22-23. Jika ditinaju dari pemerelohan bahasa anak, diksi ini akan menentukan cara komunikasi anak untuk kedepannya. Misalnya anak harus mengetahui kata-kata apa saja yang harus diucapkan ketika berkomunikasi dengan mitra tuturnya. Selain itu, diksi juga penentu anak dalam berkomunikasi yang baik dan benar. Hambatan hambatan yang dijumpai oleh peneliti adalah keterbatasannya waktu dalam penelitian. Peneliti tidak bisa melakukan observasi secara berkala dalam kurun waktu yang berdekatan. Peneliti hanya bisa melakukan observasi 2 hari dalam setiap minggunya. Selain itu, peneliti juga terhambat oleh faktor psikologis anak yang sewaktu-waktu bisa berubah. Faktor inilah yang menyebabkan data yang didapatkan kurang maksimal namun cukup untuk dianalisa dalam penelitian ini. Subjek penelitian diambil dari beberapa anak yang tinggal di yayasan panti asuhan. 151

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan