38
3.6.10 Pembuatan Kurva Baku Ibuprofen
Sebanyak 20 mg ibuprofen ditimbang seksama, dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL dan dilarutkan dalam 15 mL metanol.
Kemudian ditambah dengan PBS pH 6,4 untuk memperoleh konsentrasi 200 µgmL. Dari larutan stok tersebut diambil 10 mL
dan dipindahkan ke dalam labu takar 100 mL, lalu dilarutkan dengan pelarut yang sama untuk memperoleh konsentrasi 20
µgmL. Dari larutan intermediet tersebut, diambil 1,0; 2,0; 3,0; 4,0; 5,0; 6,0; 7,0; 8,0; dan 9,0 mL, dipindahkan ke dalam labu takar 10
mL dan dilarutkan dengan pelarut yang sama untuk memperoleh konsentrasi 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16, 18 µgmL. Panjang
gelombang maksimal ditentukan dari larutan intermediet konsentrasi
20 µgmL
yang dibaca
menggunakan spektrofotometer UV pada rentang 200-400 nm. Kemudian seluruh
larutan seri dianalisis pada panjang gelombang maksimal Garg
et al.
2014. 3.6.11
Uji Keseragaman Kandungan Obat dalam
Matrix
Sebanyak 3
hydrocolloid matrix
diameter 1 cm dari masing-masing formula dilarutkan dalam 15 mL metanol dan 35
mL PBS pH 6,4, kemudian diukur serapannya pada panjang gelombang maksimal menggunakan spektorfotometer UV. Blanko
yang digunakan sebagai pembanding adalah metanol Shirsand
et al.
, 2012. 3.6.12
Uji Pelepasan Obat secara In Vitro
Uji pelepasan
ibuprofen dari
sediaan dilakukan
menggunakan sel difusi tipe vertikal pada suhu 36,5 ± 1
o
C. Sebanyak 15 mL PBS pH 6,4 dimasukan pada sel difusi sebagai
kompartemen aseptor. Membrane
Millipore
0,45 mm sebelumnya direndam dalam larutan aseptor yang sudah dibuat selama 1 jam,
kemudian matriks dipasang pada sel difusi. Pada menit ke 15, 30, 45, 60, 90, 120, 180, 240, 300, dan 360 kompartemen aseptor
39 disampling dan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer
pada panjang gelombang maksimal. Penentuan kadar dengan plot kurva baku ibuprofen. Perhitungan nilai
dissolution efficiency
dengan persamaan DEt, yang merupakan
dissolution efficiency
pada waktu 360 menit Pudyastuti, Nugroho, Martono, 2014.
3.6.13 Uji Iritasi Kulit
Punggung tiga ekor kelinci dicukur 24 jam sebelum pengujian. Dalam satu punggung diaplikasikan 1 kontrol positif etil
asetat, 1 kontrol kassa steril dan 3 basis
hydrocolloid matrix
yang ditutup plester hypavix selama 4 jam. Pengamatan dilakukan pada
jam ke-1, 24, 48 dan 72 jam terhadap eritema dan udema yang terjadi pada kulit yang terpapar sampel. Shirsand
et al.
2012.
3.6.14 Uji stabilitas
Semua
hydrocolloid matrix
diletakkan dalam paparan 2 suhu yang berbeda yaitu 37°C dan 45°C.
Hydrocolloid matrix
diobservasi dalam suhu tersebut selama 4 minggu. Dilakukan analisis fisik dan analisis kandungan obat pada
patch
di setiap akhir minggu. Dilakukan replikasi sebanyak 3 kali dan diambil
rata-rata dari setiap replikasi yang dilakukan Amjad
et al.
, 2011. 3.6.15
Uji Aktivitas Sediaan
Hydrocolloid matrix
Ibuprofen
Enam ekor tikus putih jantan umur 2-3 bulan dengan berat 150-180 gram dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok
perlakuan terdiri dari 3 ekor tikus diabetes dengan kadar gula darah 250 mgdL dan kelompok kontrol terdiri dari 3 ekor tikus tidak
diabetes. Tikus diabetes diperoleh dengan menginjeksi aloksan monohidrat 5 secara
intraperitoneal
dengan dosis 150 mgkgBB. Setiap tikus dianestesi dengan injeksi ketamin 10 pada dosis 80
mgkgBB secara
intramuscular.
Pada tiap tikus diberikan 5 luka eksisi menggunakan
biopsy punch
berdiameter 5 mm. Luka dibuat pada punggung tikus yang sudah dicukur 48 jam sebelumnya.
Kelima luka eksisi pada 1 ekor tikus diberi perlakuan berbeda, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40 yaitu: kontrol tanpa perlakuan, basis
hydrocolloid matrix
HPMC, basis
hydrocolloid matrix
PVP,
hydrocolloid matrix
HPMC piroksikam,
dan
hydrocolloid matrix
PVP piroksikam.
Penggantian sediaan dilakukan setiap 24 jam sampai luka menutup. Setelah luka sembuh, tikus dieuthanasia dengan injeksi ketamin
dengan dosis 100 mgkgBB. Kulit punggung diambil dengan
ukuran 2x2 cm dan disimpan dalam pot berisi formalin 10. Gambar 3. Pola Perlakuan Luka pada Punggung 2 Kelompok
Tikus
Tabel 3. Keterangan Pola Luka pada Punggung 2 Kelompok Tikus
Keterangan Tikus 1
Tikus 2 Tikus 3
a
Kontrol HM PVP Ibu
HM HPMC Ibu
b Basis HM HPMC
Kontrol HM PVP Ibu
c Basis HM PVP
Basis HM HPMC Kontrol
d HM HPMC Ibu
Basis HM PVP Basis HM HPMC
e
HM PVP Ibu
HM HPMC Ibu Basis HM PVP
3.6.16 Uji histopatologi – pengecatan Hematoxylin-Eosin HE
Sampel berupa jaringan kulit dari perlakuan diambil, kemudian dilakukan pengecatan dengan hematoxylin-eosin, lalu
dilihat dibawah
mikroskop untuk
melihat perubahan
histopatologisnya. a.
Trimming.
Pemotongan tipis jaringan dengan pisau skalpel.
c b
a d
e
41 b.
Dehidrasi. Dehidrasi dilakukan untuk mengeluarkan air yang terkandung dalam jaringan dengan menggunakan reagen
pembersih, lalu dilakukan impregnasi penetrasi parafin ke dalam jaringan.
c.
Embedding
dan
cutting.
Jaringan yang sudah di dehidrasi diletakkan di atas sebuah balok kayu
embedding
sebagai alas pemotongan jaringan dengan pisau mikrotom
cutting
. d.
Staining.
Rangkaian pewarnaannya adalah sebagai berikut: Xylol I 5 menit; Xylol II 5 menit; Xylol III 5 menit;
alkohol absolut I 5 menit; alkohol absolut II 5 menit; akuades 1 menit;Harris Hematoxylin 20 menit; akuades 1
menit;
acid
alkohol 2-3 celupan; akuades 1 menit; akuades 15 menit; Eosin 2 menit; alkohol 96 I 3 menit; alkohol
96 II 3 menit; alkohol absolut III 3 menit; alkohol absolut IV 3 menit; Xylol IV 5 menit; Xylol V 5 menit.
e.
Mounting.
Menutup kaca objek dengan kaca penutup f.
Pembacaan slide dengan mikroskop. Pengamatan histopatologi dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya Olympus
tipe BH-2, Olympus Corp., Jepang.
3.7 Tata Cara Analisis Hasil
a. Persentase
moisture content
dihitung dengan rumus:
Moisture content
= b.
Persentase
moisture content
dihitung dengan rumus:
Moisture absorption
= c.
Pengukuran kecepatan penyembuhan luka pada tikus dihitung dengan persamaan: