Tabel 3. Batas maksimum L. monocytogenes pada beberapa pangan di Indonesia Jenis makanan
Batas maksimum L. monocytogenes
Produk-produk susu dan analognya
susu pasteurisasi plain atau berperisa negatif25 mL
susu fermentasi yogurt plain atau berperisa negatif25 mL
krim pasteurisasi negatif25 g
keju semua jenis negatif25 g
es krim negatif25 g
Lemak, minyak dan emulsi minyak
mentega negatif25 g
Daging dan produk daging
sosis masak tidak dikalengkan, siap konsumsi negatif25 g
Makanan untuk keperluan gizi khusus
pangan diet untuk pelangsing dan penurun berat badan negatif25 g
minuman khusus ibu hamil dan atau ibu menyusui berbentuk bubuk
negatif25 g minuman khusus ibu hamil dan atau ibu menyusui berbentuk cair
pasteurisasi negatif25 mL
Sumber: Badan POM 2009 Tabel 4. Kriteria mikrobiologi L. monocytogenes pada pangan siap saji
Kategori pangan Rencana
sampling Batas
maksimum N
C m
Pangan siap saji yang tidak mendukung pertumbuhan
L. monocytogenes
Pangan siap saji di akhir proses pembuatan atau pelabuhan produk impor sampai ke tempat
penjualan 5
100 cfug
Pangan siap saji yang mendukung pertumbuhan
L. monocytogenes
Pangan siap saji di akhir proses pembuatan atau pelabuhan produk impor sampai ke tempat
penjualan 5
negatif25 g 0.04 cfug
Sumber : CAC 2007
Uni Eropa mengatur keberadaan L. monocytogenes pada pangan siap saji untuk bayi dan pangan siap saji untuk tujuan medis khusus; pangan siap saji yang
mendukung pertumbuhan L. monocytogenes selain yang diperuntukkan untuk bayi dan tujuan medis khusus; dan pangan siap saji yang tidak mendukung
pertumbuhan L. monocytogenes selain yang diperuntukkan untuk bayi dan tujuan medis khusus. Detail peraturan yang diterapkan oleh EC 2005 dalam mengatur
keberadaan L. monocytogenes dalam pangan dapat dilihat pada Tabel 5.
Kebijakan di Kanada terhadap kontaminasi listeria pada pangan mengacu pada CAC 2007. Tindakan yang diambil apabila L. monocytogenes terdeteksi
pada pangan tergantung pada risiko pangan dan pada target konsumen Tabel 6.
Tingkatan risiko kesehatan yang digunakan ada tiga tingkatan, yaitu risiko Kesehatan 1: Risiko kesehatan diidentifikasi merupakan situasi di mana ada
kemungkinan bahwa konsumsi atau paparan pangan akan menyebabkan gangguan kesehatan yang serius atau mengancam jiwa, atau di mana kemungkinan
terjadinya kejadian luar biasa tinggi. Risiko Kesehatan 2: Risiko kesehatan diidentifikasi merupakan situasi di mana ada kemungkinan konsumsipaparan
pangan akan menyebabkan gangguan kesehatan sementara dan tidak mengancam jiwa. Risiko Kesehatan 3: Ini merupakan situasi di mana ada bahaya kesehatan
telah diidentifikasi dan konsumsipaparan pangan tidak mungkin mengakibatkan terjadinya gangguan kesehatan. Situasi yang diidentifikasi mungkin merupakan
indikasi dari gangguan dalam Good Manufacturing Practices misalnya sanitasi, kualitas dan lain-lain atau beberapa faktor lain yang relevan misalnya makanan
yang mengandung bahan atau bahan tambahan pangan yang tidak diizinkan, pelanggaran yang berhubungan dengan pelabelan dan lain-lain yang tidak
menimbulkan risiko kesehatan Kendall 2009.
Tabel 5. Batas maksimum L. monocytogenes pada pangan di Uni Eropa Kategori pangan
Rencana sampling
Batas maksimum
Posisi produk N
C m
M Pangan siap saji untuk bayi dan
pangan siap saji untuk tujuan medis khusus
10 negatif25 g
Produk di pasar sepanjang umur
simpan
Pangan siap saji yang mendukung pertumbuhan L. monocytogenes
selain yang diperuntukan untuk bayi dan tujuan medis khusus
5 100 cfug
Sebelum produk meninggalkan
tempat produksi
5 negatif25 g
Produk di pasar sepanjang umur
simpan
Pangan siap saji yang tidak mendukung pertumbuhan
L. monocytogenes selain yang diperuntukan untuk bayi dan tujuan
medis khusus 5
100 cfug Produk di pasar
sepanjang umur simpan
Sumber : EC 2005 Tabel 6. Metode sampling dan kriteria L. monocytogenes pada pangan siap saji
Kategori Sampling, analisis dan
tipe analisis Risiko
kesehatan dan Prioritas
pengawasan Batas
maksimal pengambilan
tindakan 1.
Pangan siap saji yang mendukung
pertumbuhan L. monocytogenes
contoh : keju lunak, daging
5 unit sampel masing- masing minimal 100
gmL Unit analisis 5 x 25g
Tipe analisis hanya pengayaan
Risiko kesehatan 1
Prioritas pengawasan
tinggi Terdeteksi
pada 125 g
Tabel 6. Metode sampling dan kriteria L. monocytogenes pada pangan siap saji lanjutan Kategori
Sampling, analisis dan tipe analisis
Risiko kesehatan dan
Prioritas pengawasan
Batas maksimal
pengambilan tindakan
2. Pangan siap saji yang
mendukung pertumbuhan
L. monocytogenes contoh : keju lunak,
daging 5 unit sampel masing-
masing minimal 100 gmL
Unit analisis 5 x 25g Tipe analisis hanya
pengayaan Risiko
kesehatan 1 Prioritas
pengawasan tinggi
Terdeteksi pada 125 g
2a. Pangan siap saji yang berpotensi mendukung
pertumbuhan L. monocytogenes
tetapi pertumbuhannya tidak melebihi 100
cfug. 5 unit sampel masing-
masing minimal 100 gmL
Unit analisis 5 x 10g Tipe analisis hanya
plating Risiko
kesehatan 2 Prioritas
pengawasan sedang sampai
rendah 100 cfug
2b. Pangan siap saji yang pertumbuhan
L. monocytogenes tidak melebihi 0.5
cfug. 5 unit sampel masing-
masing minimal 100 gmL
Unit analisis 5 x 10g Tipe analisis hanya
plating Risiko
kesehatan 2 Prioritas
pengawasan rendah
100 cfug
Sumber : Kendall 2009
Salmonella spp.
Salmonella spp. adalah bakteri Gram negatif, fakultatif anaerob,bersifat motil dengan flagella peritrikus kecuali S. pullorum dan S. Enteritidis. Suhu
optimum untuk pertumbuhan Salmonella spp. adalah 35 – 37ºC. Salmonella spp.
bersifat katalase positif, oksidase-negatif. Salmonella dapat memecah berbagai jenis
karbohidrat menjadi
asam dan
gas, memproduksi
H
2
S dan
mendekarboksilasi lisin dan ortinin. Salmonellosis merupakan penyakit yang disebabkan Salmonella spp.
Salmonellosis merupakan salah satu penyakit akibat pangan yang paling umum dan terdistribusi secara luas. Diperkirakan terjadi puluhan juta kasus pada
manusia di seluruh dunia pada setiap tahunnya dan menyebabkan lebih dari seratus ribu kematian. Spesies Salmonella spp. memiliki lebih dari 2 500 strain
yang berbeda disebut serotipe atau serovars yang telah berhasil diidentifikasi sampai saat ini. Salmonella spp. merupakan bakteri kuat yang dapat bertahan
beberapa minggu di lingkungan yang kering dan beberapa bulan di dalam air WHO 2013.
Gejala klinis salmonellosis ditandai dengan demam akut, sakit perut, diare, mual dan kadang-kadang muntah. Timbulnya gejala penyakit biasanya terjadi 6-
72 jam setelah mengonsumsi pangan yang mengandung Salmonella spp. dan penyakit berlangsung selama 2-7 hari. Gejala salmonellosis relatif ringan dan
dalam banyak kasus pasien akan sembuh tanpa pengobatan khusus. Namun, dalam
beberapa kasus, terutama pada pasien anak –anak dan pasien usia lanjut, penyakit
dapat sangat parah dan menyebabkan kematian WHO 2013. Kasus kejadian luar biasa keracunan pangan di Indonesia yang diperkirakan
akibat Salmonella spp. sebanyak tiga kasus pada tahun 2011 BPOM 2012. Kasus kejadian luar biasa keracunan pangan akibat Salmonella spp. di Amerika
Serikat selama tiga tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Kasus kejadian luar biasa keracunan pangan Salmonella
spp.
Tahun Tempat
Jumlah kasus kematian Pembawa
2014 California, USA
17 0 Keju kacang mede
2013 Multiple states, USA
634 0 Ayam
2013 Multiple states, USA
16 1 Pasta wijen
2013 Multiple states, USA
84 18 Mentimun
2013 Multiple states, USA
134 0 Ayam
2013 Multiple states, USA
22 0 Daging cincang
2013 Multiple states, USA
42 0 Selai kacang
2012 Multiple states, USA
127 0 Mangga
2012 Multiple states, USA
261 3 Melon
Sumber : diolah dari CDC
Kebijakan batas maksimum Salmonella spp. pada pangan di Indonesia diatur dengan Surat Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia Nomor HK.00.06.1.52.4011 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan. Pada Surat Keputusan
tersebut diatur bahwa Salmonella spp. tidak boleh ada pada produk pangan negatif25 mL atau negatif25 g Tabel 8.
Tabel 8. Batas maksimum Salmonella
spp.
pada beberapa pangan di Indonesia Jenis makanan
Batas maksimum Salmonella
spp.
Produk-produk susu dan analognya negatif 25 mL atau g
Lemak, minyak dan emulsi minyak negatif25 g
Es untuk dimakan edible ice
negatif25 g
Buah dan Sayur negatif25 g
Kembang gulapermen dan cokelat negatif25 g
Serealia dan produk serealia
negatif25 g
Produk Bakeri negatif25 g
Daging dan produk daging
negatif25 g
Ikan dan produk perikanan negatif25 g
Telur dan produk-produk telur negatif25 g
Garam, rempah, sup, saus, salad, produk protein
negatif25 g
Makanan untuk keperluan gizi khusus negatif25 mL atau g
Minuman, tidak termasuk produk susu negatif 25 mL atau g
kecuali : minuman berkarbonat air soda, limun dll
negatif100 mL minuman isotonik
negatif100 mL minuman teh dalam kemasan
negatif100 mL minuman kopi dalam kemasan
negatif100 mL
Makanan ringan siap santap
negatif25mL atau g Sumber: diolah dari Badan POM 2009
Vibrio spp.
Vibrio spp. adalah bakteri fakultatif anaerob, Gram negatif, katalase positif, oksidase-negatif. Natrium klorida merangsang pertumbuhan semua jenis Vibrio
spp. dan merupakan persyaratan obligat untuk sebagian jenis Vibrio spp. Vibrio spp. umumnya peka terhadap asam walau pertumbuhan V. parahaemolyticus
teramati pada pH 4.5 – 5.0.
Vibrio spp. diasosiasikan dengan beberapa kejadian luar biasa keracunan. Kasus kejadian luar biasa keracunan pangan di Indonesia yang diperkirakan akibat
Vibrio spp. sebanyak satu kasus pada tahun 2011 BPOM 2012. Kasus kejadian luar biasa keracunan pangan akibat Vibrio spp. di Amerika Serikat selama tiga
tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Kasus kejadian luar biasa keracunan pangan Vibrio
spp.
Tahun Tempat
Jumlah kasus kematian Pembawa
2013 Newyork, USA
104 0 Kerang
2012 Multiple states, USA
8 0 Kerang
2011 Multiple states, USA
84 18 Tiram
Sumber : diolah dari CDC
Kebijakan batas maksimum Vibrio spp. pada pangan di Indonesia diatur dengan Surat Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor HK.00.06.1.52.4011 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan. Pada Surat Keputusan tersebut
diatur bahwa batas maksimum Vibrio spp. pada produk-produk ikan dan perikanan adalah negatif25 g serta pada produk minuman tidak berkarbonat
berperisa negatifmL Tabel 10.
Tabel 10. Batas maksimum Vibrio
spp.
pada beberapa pangan di Indonesia Jenis makanan
Batas maksimum Vibrio spp.
Ikan dan produk perikanan
ikan, filet ikan dan produk perikanan meliputi moluska, krustase dan ekinodermata yang dibekukan
negatif25 g ikan, filet ikan dan hasil perikanan termasuk moluska, krustase
dan ekinodermata berlapis tepung yang dibekukan negatif25 g
hancuran dan sari ikan termasuk moluska, krustase dan ekinodermata yang dibekukan
negatif25 g ikan dan produk perikanan termasuk moluska, krustasea dan
ekinodermata yang dikukus atau rebus dan atau goreng negatif25 g
ikan olahan yang diasap dengan atau tanpa garam negatif25 g
ikan olahan yang dikeringkan dengan atau tanpa garam negatif25 g
ikan olahan yang difermentasi dengan atau tanpa garam negatif25 g
Minuman, tidak termasuk produk susu
minuman tidak berkarbonat berperisa negatifmL
Sumber: Badan POM 2009
Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus memiliki ukuran kecil diameter 0.5 µm dan panjang 1.5 µm, Gram positif, berbentuk kokus, non motil dan tidak membentuk spora.
S. aureus fakultatif anaerob, katalase positif. pH pertumbuhan adalah pH 4.0 sampai pH 9.8-10.0 dengan pH pertumbuhan optimal pada pH 6-7. Tumbuh baik
pada konsentrasi NaCl 5-7 .
S. aureus merupakan salah satu bakteri patogen penyebab penyakit akibat pangan. Habitat S. aureus adalah kulit dan alat pernafasan dan umumnya
ditemukan pada 20-50 manusia sehat. S. aureus diasosiasikan dengan beberapa kejadian luar biasa keracunan. Kasus kejadian luar biasa keracunan pangan di
Indonesia yang diperkirakan akibat S. aureus sebanyak dua puluh kasus pada tahun 2011 BPOM 2012.
Kebijakan batas maksimum S. aureus pada pangan di Indonesia diatur dengan Surat Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor HK.00.06.1.52.4011 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan. Pada Surat Keputusan tersebut
diatur bahwa batas maksimum S. aureus pada produk-produk pangan mulai dari negatifg atau negatifmL sampai dengan 1.0 x 10
2
cfug tergantung pada jenis pangannya Tabel 11.
Tabel 11. Batas maksimum S. aureus pada beberapa pangan di Indonesia Jenis makanan
Batas maksimum S. aureus
Produk-produk susu dan analognya
1.0 x 10
2
cfu mL atau g
Lemak, minyak dan emulsi minyak 1.0 x 10
2
cfu ml atau g
Buah dan Sayur 1.0 x 10
2
cfu g kecuali:
buah dalam kaleng negatifg
lempok dan analognya yang berbasis buah 1.0 x 10
2
cfu g sayuran dalam kaleng
negatifg
Kembang gulapermen dan cokelat 1.0 x 10
2
cfu g
Serealia dan produk serealia
tepung pisang negatif g
susu sereal bubuk negatifg
bihun, spagetti, mi kering, sohun, mi instan, makaroni, pasta kering produk akhir
1 x 10
3
cfu g mi basah, pasta mentah
1.0 x 10
3
cfu g dodol, wingko, yangko berbasis tepung beras ketan dan
wajik 1.0 x 10
1
cfu g sari kedelai
1.0 x 10
2
cfu g
Produk Bakeri 1.0 x 10
2
cfu g
Daging dan produk daging 1.0 x 10
2
cfu g
Ikan dan produk perikanan
1.0 x 10
2
cfu g
Tabel 11. Batas maksimum S. aureus pada beberapa pangan di Indonesia lanjutan Jenis makanan
Batas maksimum S. aureus
Telur dan produk-produk telur negatifg
kecuali: telur asin
negatif25 g
Garam, rempah, sup, saus, salad, produk protein 1.0 x 10
2
cfu g kecuali:
produk oles untuk salad misalnya salad makaroni, salad kentang dan sandwich, tidak mencakup produk oles berbasis
coklat dan kacang 5.0 x 10
2
cfug
Makanan untuk keperluan gizi khusus
1.0 x 10
2
cfu g
Minuman, tidak termasuk produk susu negatifmL
kecuali: minuman tidak berkarbonat berperisa
0 cfumL kopi campur
1.0 x 10
2
cfu25g anggur, anggur buah
negatifmL
Makanan ringan siap santap
makanan ringan ekstrudat 1.0 x 10
2
cfu g pangan olahan lainnya
negatifg atau mL Sumber: Badan POM 2009
Escherichia coli
Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang, tidak membentuk spora, bersifat motil dan memiliki flagella. E. coli secara normal
ditemukan di usus besarkecil anak-anak dan dewasa yang sehat dan jumlahnya dapat mencapai 10
9
cfug. Bakteri ini dikenal sebagai mikroba indikator kontaminasi fekal. E. coli terbagi menjadi kelompok patogenik dan non
patogenik. E. coli patogenik penyebab diare terbagi menjadi empat kelompok : 1. EPEC Enteropatogenik Escherichia coli
2. ETEC Enterotoksigenik Escherichia coli 3. EIEC Enteroinvasif Escherichia coli
4. VTEC Verotoksin Escherichia coli
Penyebab yang diakibatkan oleh grup EPEC adalah diare berair yang disertai dengan muntah dan demam. Diare ini sering bersifat sembuh sendiri,
tetapi dapat menyebabkan enteritis kronis berkepanjangan yang mengganggu pertumbuhan. EPEC umumnya dikaitkan dengan bayi dan anak-anak dibawah
3 tahun.
Grup EIEC menyebabkan diare yang secara klinis menyerupai diare basiler, yang disebabkan oleh Shigella. Awalnya diare bersifat akut dan berair disertai
demam dan kejang perut, berlanjut sampai fase kolon usus besar dengan tinja berdarah dan mukoid. EIEC menyerang mukosa kolon dan berkembangbiak di
dalam sel, menyebar ke sel-sel yang berdekatan setelah sel-sel yang terinfeksi mengalami lisis.
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh infeksi ETEC merupakan diare berair dengan dengan kejang perut, demam, malaise dan muntah. Infeksi ETEC berat
mengakibatkan gejala klinis yang menyerupai diare yang disebabkan oleh Vibrio
cholerae. ETEC merupakan penyebab utama pada bayi di negara berkembang dan juga diare pada bayi di negara berkembang dan juga diare pada orang yang
melakukan perjalanan dari daerah dengan standar hiegene lebih baik ke daerah dengan standar hiegene lebih buruk.
VTEC menyebabkan hemoragik colitis HC dan sindroma hemolitik uremik HUS. Gejala HC dimulai dengan sakit perut dan diare berair, diikuti
dengan diare berdarah umumnya tanpa demam. Diare baik berdarah atau tidak, diikuti oleh munculnya HUS. HUS terjadi pada semua kelompok umur tetapi
paling umum pada anak-anak.
E. coli diasosiasikan dengan beberapa kejadian luar biasa keracunan. Kasus kejadian luar biasa keracunan pangan di Indonesia yang diperkirakan akibat
E. coli sebanyak tiga kasus pada tahun 2011 BPOM 2012. Kasus kejadian luar biasa keracunan pangan akibat E. coli di Amerika Serikat selama tiga tahun
terakhir dapat dilihat pada Tabel 12.
Kebijakan batas maksimum E.coli pada pangan di Indonesia diatur dengan Surat Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor HK.00.06.1.52.4011 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan. Pada Surat Keputusan tersebut diatur bahwa
batas maksimum E. coli pada produk-produk pangan adalah 3 MPNmL atau g sampai dengan 10 MPNg Tabel 13.
Tabel 12. Kasus kejadian luar biasa keracunan pangan E. coli Tahun
Tempat Jumlah kasus
kematian Pembawa
2014 Multiple states, USA
19 0 Raw clover sprout E O121
2014 Multiple states, USA
12 0 Groundbeef STEC 0157:H7
2013 Multiple states, USA
33 1 Salad siap santap STEC O157:H7
2013 Multiple states, USA
35 0 Pangan beku E O121
2012 Multiple states, USA
33 0 Bayam organik dan spring mix
STEC O157:H7 2012
Multiple states, USA 18 1
Sumber tidak teridentifikasi O145 2012
Multiple states, USA 29 0
Raw clover sprout O36 Sumber : diolah dari CDC
Tabel 13. Batas maksimum E. coli pada pangan di Indonesia Jenis makanan
Batas maksimum E. coli
Produk-produk susu dan analognya
keju semua jenis 10 MPNg
Lemak, minyak dan emulsi minyak 3 MPNg
Buah dan Sayur 3 MPNg
Kembang gulapermen dan cokelat
3 APMg
Serealia dan produk serealia 3 MPNg atau mL
kecuali: tepung tapioka, tepung hunkwee, tepung kacang hijau, tepung
singkong, tepung sagu, tepung garut, tepung jagung, tepung gandum, tepung beras, tepung siap pakai untuk kue, tepung
aren 10 MPNg
tepung pisang 10 MPNg
Tabel 13. Batas maksimum E. coli pada pangan di Indonesia lanjutan Jenis makanan
Batas maksimum E. coli
bihun, spagetti, mi kering, sohun, mi instan, makaroni, pasta kering produk akhir
10 MPNg mi basah, pasta mentah
10 MPNg tauco
negatifg
Produk Bakeri
roti dan produk bakeri tawar dan premiks termasuk tepung panir
10 MPNg produk bakeri istimewa manis, asin, gurih
3 MPNg
Daging dan produk daging 3MPNg
Ikan dan produk perikanan 3MPNg
Garam, rempah, sup, saus, salad, produk protein
3MPNg
Makanan untuk keperluan gizi khusus negatifg
Minuman, tidak termasuk produk susu 3 MPNmL
Makanan ringan siap santap
makanan ringan ekstrudat 3 MPNg
kacang garing, kacang sukro, kacang bawang, kacang telor, kacang bali, kacang goyang
3 MPNmL Sumber: diolah dari Badan POM 2009
Kajian Risiko
Analisis risiko adalah suatu proses yang sistematis dan transparan dengan mengumpulkan, menganalisis dan mengevaluasi informasi ilmiah maupun non-
ilmiah yang relevan tentang bahaya pada pangan, sebagai landasan pengambilan keputusan untuk memilih opsi terbaik berdasarkan berbagai alternatif yang
diidentifikasi untuk menangani risiko tersebut. Analisis risiko terdiri dari tiga komponen yaitu kajian risiko, manajemen risiko dan komunikasi risiko Gambar
1 FAOWHO 2011.
Kajian risiko adalah suatu proses penentuan tingkat risiko yang berlandaskan data-data ilmiah. Proses ini terdiri empat tahap : identifikasi bahaya,
karakterisasi bahaya, kajian paparan dan karakterisasi risiko Badan POM 2004; FAOWHO 2011.
Kajian Risiko
Manajemen Risiko
Komunikasi Risiko
Gambar 1. Komponen analisis risiko
Manajemen risiko secara prinsip adalah suatu proses yang terpisah dari kajian risiko yang meliputi pembuatan dan penerapan kebijakan dengan
mempertimbangkan masukan dari pihak-pihak terkait mengenai kajian risiko dan faktor lain yang relevan untuk melindungi kesehatan konsumen dan
mempromosikan perdagangan yang ‘fair’, dan jika diperlukan memilih opsi pencegahan dan pengendalian yang sesuai untuk menanggulangi risiko Badan
POM 2004; FAOWHO 2011.
Komunikasi risiko adalah pertukaran informasi dan opini secara interaktif dalam pelaksanaan proses analisis risiko mengenai risiko, faktor yang berkaitan
dengan risiko, dan persepsi risiko, antara pengkaji risiko, manajer risiko dan pihak terkait lainnya, seperti pihak pemerintah, konsumen, industri dan akademisi.
Informasi yang diberikan termasuk penjelasan tentang temuan-temuan dalam kajian risiko dan landasan keputusan manajemen risiko Badan POM 2004;
FAOWHO 2011.
Kajian risiko merupakan langkah pertama dari proses analisis risiko. Tahapan pertama dari kajian risiko adalah identifikasi bahaya. Pada tahap pertama
ini dilakukan identifikasi terhadap bahan biologi, kimia atau fisik yang terdapat dalam pangan yang mempunyai pengaruh buruk terhadap kesehatan. Tahapan
kedua adalah karakterisasi bahaya. Karakterisasi bahaya adalah melakukan evaluasi pengaruh bahaya yang mungkin terdapat dalam pangan terhadap
kesehatan; dan kajian dosis-respon. Tahapan ketiga adalah kajian paparan. Kajian paparan adalah melakukan evaluasi kemungkinan terjadinya paparan dan tingkat
paparan. Tahapan yang keempat adalah karakterisasi risiko. Karakterisasi risiko adalah integrasi kajian paparan dan karakterisasi bahaya dan perkiraan risiko
terhadap kesehatan untuk populasi tertentu, termasuk keragaman variability dan ketidakpastian uncertainty Badan POM 2004; FAOWHO 2011.
Kajian Risiko Mikrobiologi
Kajian risiko adalah suatu proses yang sistematis untuk mengidentifikasi konsekuensi yang merugikan dan probabilitas yang terkait yang timbul dari
konsumsi makanan yang mungkin terkontaminasi dengan mikroba patogen danatau toksin mikroba Gambar 2 Lammerding et al. 2000.
Identifikasi bahaya merupakan tahapan pertama pada kajian risiko mikrobiologi. Pada tahap ini dilakukan proses identifikasi bahaya dari suatu
mikroba. Proses identifikasi yang dilakukan dengan cara melakukan pencarian informasi tentang bahaya mikroba tersebut dari sumber-sumber data yang relevan,
seperti literatur ilmiah, dari database seperti di industri makanan, instansi pemerintah, dan organisasi internasional CAC 1999; FAOWHO 2004; Jouve
2002; Todd 2008 atau dengan pengujian sampel dari lapang.
Karakterisasi bahaya memberikan gambaran kualitatif atau kuantitatif dari tingkat keparahan dan efek samping yang mungkin terjadi karena mengonsumsi
pangan yang mengandung mikroba. Model dosis respon digunakan untuk memperkirakan terjadinya penyakit Buchanan 2000; CAC 1999; FAOWHO
2004; Jouve 2002; Todd 2008, Mataragas 2010. Model dosis respon yang umum digunakan dalam kajian risiko mikrobiologi dapat dilihat pada Tabel 14.
Gambar 2. Langkah kajian risiko mikrobiologi Lammerding et al. 2000
Tabel 14. Model dosis respon yang umum digunakan dalam kajian risiko mikrobiologi Model dosis
repon Dosis yang
digunakan Peluang
Exponential Dosis rata-
rata λ P = 1 – exp- λp Beta-poison
Dosis rata- rata λ P = 1- 1 + λβ
- α
Beta-binomial Dosis aktual D
P = 1- {Γ D + β x Γ α + β Γα +D + β x
Γβ} Weibull-Gamma Dosis aktual D
P = 1 – 1 + D
b
β
–α
Keterangan : P=peluang sakit, ,=parameter model, Γ=fungsi gamma, λ=jumlah rata-
rata mikroba yang tertelan , D=jumlah aktual mikroba yang tertelan Sumber : Vose 2000
Kajian paparan dilakukan untuk menentukan jumlah mikroba yang tertelan dalam satu porsi pangan. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan pada saat
kajian paparan meliputi frekuensi kontaminasi pangan oleh mikroba dan jumlah mikroba tersebut dalam pangan. Faktor-faktor tersebut dipengaruhi oleh
karakteristik mikroba, kontaminasi awal bahan baku termasuk pertimbangan perbedaan regional dan musiman produksi, tingkat sanitasi dan proses kontrol,
metode pengolahan, pengemasan, distribusi dan penyimpanan makanan CAC 1999; FAOWHO 2004; Jouve 2002; Todd 2008.
Karakterisasi risiko merupakan integrasi dari identifikasi bahaya, karakterisasi bahaya dan kajian paparan. Hasil dari karakterisasi risiko ini harus
meliputi dua komponen yaitu perkiraan dari risiko yang obyektif, realistis, kredibel dan ilmiah serta deskripsi yang menjelaskan tingkat kepercayaan kajian
risiko yang dilakukan Jouve 2002
Deskripsi masalah keamanan pangan
Identifikasi bahaya Bahaya yang ada di pangan dan pengaruhnya
terhadap kesehatan
Kajian paparan Evaluasi tingkat
paparan Karakterisasi bahaya
Pengaruh buruk terhadap kesehatan
Kajian dosis-respon
Karakterisasi risiko integrasi kajian paparan dan karakterisasi bahaya
Estimasi risiko Kemungkinan dan tingkat
keparahan penyakit yang ditimbulkan
3 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen ITP-Fateta IPBSEAFAST Bogor untuk menguji cemaran bakteri patogen pada PJAS,
dimulai sejak bulan Januari hingga September 2014.
Bahan dan Peralatan Penelitian
Penelitian dikerjakan dengan bahan utamanya adalah sampel PJAS yang diambil dari delapan SD di kota Bogor. Sampel PJAS yang dianalisis terdiri dari
PJAS berbasis daging, PJAS berbasis ikan, PJAS berbasis susu dan PJAS berbasis buah dan sayur. Bahan untuk menganalisis bakteri patogen pada pangan antara
lain: Chromocult
®
Listeria selective agar acc to Ottaviani and Agosti ALOA, Buffered peptone water, Singlepath L’Mono, Brain Hearth-Broth, Lactose Broth
LB, Rappaport-vassiliadis RV Tetrathionate Broth TTB, Hektoen enteric agar HE, Xylose lysine deoxycholate agar XLD dan Bismuth sulfite agar
BSA, Triple sugar iron medium TSI, Lysine iron agar LIA, Alkaline Peptone Water APW, TCBS, Baird Parker Agar BPA, Lauryl Tryptose Broth LTB,
EC broth dan Eosin methylene blue EMB.
Alat-alat yang digunakan antara lain adalah inkubator, laminar flow cabinet blender, autoklaf dan timbangan analitik. Selain itu juga digunakan berbagai jenis
alat-alat gelas cawan petri, mikro pipet, labu ukur dan lainnya.
Metodologi
Penelitian dilakukan dalam lima tahap. Kelima tahapan ini meliputi persiapan, identifikasi bahaya, identifikasi sumber cemaran, karakterisasi bahaya.
Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Diagram alir prosedur percobaan
Karakterisasi bahaya Studi literatur untuk menentukan model dosis
respon yang akan digunakan menghitung risiko bakteri patogen pada PJAS
Persiapan Penentuan lokasi tempat pengambilan
sampel PJAS
Pengujian PJAS Identifikasi bahaya
Identifikasi sumber cemaran
Identifikasi titik kendali kritis pada PJAS
Penetapan titik kendali kritis pada PJAS dengan bantuan pohon keputusan
Pengujian lingkungan dan penjual penjamah PJAS
Persiapan
Sampel PJAS diambil dari delapan SD dari enam Kecamatan di Bogor. Jumlah SD tempat pengambilan sampel setiap kecamatan ditentukan secara
proposional berdasarkan data referensi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2012. Tempat pengambilan sampel ditentukan dengan cara melakukan dengan
sistem undi.
Pengamatan terhadap tempat pengambilan sampel dilakukan dengan cara melakukan pengamatan terhadap lingkungan pengambilan sampel. Pengamatan
tersebut meliputi letak sekolah, kondisi kebersihan, jumlah sekolah dalam satu lokasi, jenis dan jumlah pedagang PJAS.
Identifikasi bahaya bakteri patogen pada PJAS
Pengujian PJAS dilakukan terhadap sampel PJAS yang meliputi PJAS berbasis daging burger, nugget, sosis, PJAS berbasis ikan siomay, otak-otak,
pempek, baso ikan, PJAS berbasis susu susu pasteurisasi dan PJAS berbasis buah dan sayur buah potong, es kelapa muda. Pengambilan sampel dari setiap
pedagang PJAS di setiap SD dilakukan sebanyak dua kali ulangan
Metode analisis yang dilakukan terhadap sampel PJAS yang diambil adalah:
a. L. monocytogenes BAM 2011
Deteksi menggunakan metode BAM 2011. Sebanyak 25 g sampel PJAS ditambahkan ke dalam 225 mL Listeria Enrichment Broth selanjutnya
diinkubasi selama 4 jam pada suhu 30ºC. Setelah 4 jam ditambahkan selective agent. Media tersebut kemudian diinkubasi selama 24 jam dan 48 jam pada
suhu 37ºC. Satu ose larutan diambil dari larutan yang telah diinkubasi selama 48 jam tersebut kemudian digoreskan ke media ALOA. Media ALOA tersebut
kemudian diinkubasi selama selama 24 - 48 jam pada suhu 37ºC. Semua koloni yang berwarna biru-hijau dengan opaque halo dihitung sebagai koloni
yang diduga L. monocytogenes. 1
– 3 koloni + 250 µL brain heart broth didiamkan selama 1 jam pada suhu 37 ºC, diambil 150 µ L, diteteskan ke
lingkaran pada singlepath L’mono strip diamati setelah 30 menit. Dua buah
garis merah menunjukkan sampel positif mengandung L. Monocytogenes. L. monocytogenes ISO 11290-2004
Metode enumerasi. Sebanyak 25 g sampel PJAS ditambahkan ke dalam 225 mL Buffered peptone water. Selanjutnya 0.1 mL larutan disebarkan ke media
Listeria selective agar acc to Ottaviani and Agosti ALOA. Media tersebut kemudian diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 37ºC. Selanjutnya
dilakukan konfirmasi terhadap koloni yang tumbuh. Semua koloni yang berwarna biru-hijau dengan opaque halo dihitung sebagai koloni yang diduga
L. monocytogenes. Konfirmasi dilakukan dengan cara 1
– 3 koloni + 250 µL brain heart broth didiamkan selama 1 jam pada suhu 37 ºC, diambil 150 µ L,
diteteskan ke lingkaran pada singlepath L’mono strip diamati setelah 30
menit. Dua buah garis merah menunjukkan sampel positif mengandung L. monocytogenes.
b. Salmonella spp. SNI 01-2332.2-2006
Sebanyak 25 g sampel PJAS ditambahkan ke dalam 225 mL Lactose Broth selanjutnya diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35 ± 2ºC. Setelah 24 jam
pindahkan 0.1 mL larutan sampel ke dalam 10 mL Rappaport-vassiliadis RV diinkubasi selama 24 jam pada suhu 42 ± 0.2ºC dan 1 mL larutan
sampel ke dalam 10 mL Tetrathionate Broth TTB diinkubasi selama 24 jam pada suhu 43 ± 0.2ºC. Selanjutnya satu ose larutan digoreskan ke media HE,
XLD dan BSA kemudian dinkubasi selama 24 jam pada suhu 35 ± 2ºC. Setelah diinkubasi selama 24 jam selanjutnya koloni khas Salmonella spp.
diambil. Koloni Salmonella spp. yang khas adalah sebagai berikut : -
HE agar, kolini hijau kebiruan sampai biru dengan atau tanpa inti hitam. Umumnya kultur Salmonella spp. membentuk koloni besar, inti hitam
mengkilat atau hampir seluruh koloni terlihat berwana hitam. -
XLD agar, koloni merah jambu pink dengan atau tanpa inti hitam. Umumnya kultur Salmonella spp. membentuk koloni besar, inti hitam
mengkilat atau hampir seluruh koloni terlihat berwana hitam. -
BSA, koloni coklat, abu-abu atau hitam, kadang-kadang metalik. Biasanya media sekitar koloni pada awalnya berwarna coklat, kemudian berubah
menjadi hitam halo effect dengan makin lamanya waktu inkubasi. Koloni khas Salmonella spp. tersebut kemudian digoreskan pada permukaan
agar miring TSI dan LIA serta ditusukkan pada media tersebut. TSI dan LIA dinkubasi selama 24 jam pada suhu 35 ± 2ºC dengan membiarkan tutup
sedikit kendur untuk mencegah terbentuk H
2
S berlebih. Pada TSI, kultur Salmonella spp. yang khas memberikan reaksi alkalin merah pada goresan
agar miring dan asam kuning pada tusukan agar tegak. Pada LIA, kultur Salmonella spp. yang khas memberian reaksi alkalin ungu pada keseluruhan
tabung
c. Vibrio spp. BAM 2004
Sebanyak 25 g sampel PJAS ditambahkan ke dalam 225 mL Alkaline Peptone Water selanjutnya diinkubasi selama 24 jam pada suhu diinkubasi selama 24
jam pada suhu 35 ± 2ºC. Setelah 24 jam satu ose larutan digoreskan ke media TCBS kemudian diinkubasi selama selama 24 jam pada suhu 35 ± 2ºC. Koloni
V. parahaemolyticus pada TCBS berbentuk bundar, diameter 2 -3mm, berwarna hijau atau hijau kebiruan sedangkan koloni V. cholerae besar,
permukaan halus agak datar, bagian tengah buram dan bagian pinggir terang, dan berwarna kuning.
d. S. aureus SNI 2332.9:2011
Sebanyak 25 g sampel PJAS ditambahkan ke dalam 225 mL KH
2
PO
4.
selanjutnya disiapkan pengenceran 10
2
dengan cara 1 mL larutan tersebut ditambahkan ke dalam 9 mL KH
2
PO
4.
, dilakukan sampai pengenceran 10
3
. Satu mL dari tiap pengenceran dipindahkan ke dalam tiga cawan yang berisi
media Baird Parker Agar, Egg yolk dan Tellurit masing-masing 0.4, 0.3 dan 0.3 mL. Inokulum diratakan dengan menggunakan batang gelas bengkok.
Cawan dinkubasi selama 48 jam pada suhu diinkubasi pada suhu 35 ± 1ºC. Koloni S. aureus mempunyai ciri-ciri koloni bundar, licinhalus, cembung
diameter 2-3 mm, warna abu-abu hingga hitam, disekeliling tepi koloni bening terbentuk halo. Selanjutnya dilakukan konfirmasi dengan cara inokulasi
terduga S. aureus ke dalam 2 mL BHI broth dan inkubasi 18-24 jam pada suhu 35 ± 2ºC. Sebanyak 0.2
– 0.3 mL inokulum tersebut dipindahkan ke dalam tabung steril dan ditambahkan 0.5 mL koagulase plasma kemudian diaduk.
Inkubasi dilakukan pada suhu 35 ± 2ºC. Pengamatan dilakukan tiap jam untuk
4 jam pertama dan dilanjutkan hingga 24 jam untuk melihat terbentuknya koagulan. Koagulan yang terbentuk secara padatsolid dan tidak jatuh apabila
tabung dibalik dinyatakan positif S. aureus.
e. E. coli SNI 01.2332.1-2006
Sebanyak 25 g sampel PJAS ditambahkan ke dalam 225 mL KH
2
PO
4.
selanjutnya disiapkan pengenceran 10
2
dengan cara 1 mL larutan tersebut ditambahkan ke dalam 9 mL KH
2
PO
4.
, dilakukan sampai pengenceran 10
4
. Satu mL larutan dari tiap pengenceran dipindahkan ke dalam 3 seri tabung
Lauryl Tryptose Broth LTB yang berisi tabung durham. Tabung-tabung tersebut diinkubasi selama 48 jam pada suhu diinkubasi pada suhu 35º±1ºC.
Tabung positif ditandai dengan kekeruhan dan gas dalam tabung durham. Uji pendugaan E. coli dilakukan dengan menginokulasi tabung LTB positif ke
tabung-tabung EC yang berisi tabung durham. EC Broth diinkubasi dalam waterbath selama selama 48 jam pada suhu diinkubasi pada suhu 48±2ºC.
Tabung positif ditandai dengan kekeruhan dan gas dalam tabung durham. Uji penegasan E. coli dilakukan mengambil larutan dari tabung EC positif
kemudian digoreskan pada EMB agar. Koloni terduga E. coli memberikan ciri yang khas yaitu hitam pada bagian tengah dengan atau tanpa hijau metalik.
Identifikasi sumber cemaran bakteri patogen pada PJAS
Pengujian sumber cemaran dilakukan terhadap lingkungan dan penjualpenjamah PJAS yang sampel PJAS-nya mengandung bakteri patogen.
Pengujian sumber cemaran dilakukan sesuai dengan jenis cemaran : a.
Produk mentahsebelum pemasakan Metode pengujian terhadap PJAS mentahsebelum pemasakan sama dengan
metode pengujian yang dilakukan untuk menganalisis sampel PJAS matang. b.
Udara Fardiaz dan Jenie 1989 Cawan berisi media ALOA, HE, XLD, BSA, TCBS, BPA dan EMBA
disesuaikan dengan bakteri yang ditelusuri diletakkan selama 30 menit di lingkungan tempat pedagang PJAS berjualan dengan kondisi tutup cawan
terbuka. Cawan diinkubasi selama 24 – 48 jam pada suhu 35-37ºC.
Selanjutnya dilakukan pengamatan dan membandingkan dengan kontrol positif terhadap koloni yang tumbuh.
c.
Peralatan Carpentier dan Barre 2012
Metode pengujian terhadap peralatan dilakukan dengan teknik swab. Setelah alat swab menyapu seluruh permukaan peralatan selanjutnya alat swab
tersebut dimasukkan ke dalam 10 mL KH
2
PO
4.
Tahap selanjutnya 0.1 mL larutan ditambahkan pada cawan yang berisi media ALOA, HE, XLD, BSA,
TCBS, BPA dan EMBA disesuaikan dengan bakteri yang ditelusuri. Cawan diinkubasi selama 24
– 48 jam pada suhu 35-37ºC. Selanjutnya dilakukan pengamatan dan membandingkan dengan kontrol positif terhadap koloni yang
tumbuh. d.
Tangan pedagang PJAS Fardiaz dan Jenie 1989 Pengujian cemaran pada tangan pedagang PJAS dilakukan dengan cara tiga
jari pedagang PJAS ditempelkan pada cawan berisi media ALOA, HE, XLD, BSA, TCBS, BPA dan EMBA disesuaikan dengan bakteri yang ditelusuri
selama dua detik. Cawan diinkubasi selama 24 – 48 jam pada suhu 35-37ºC.
Selanjutnya dilakukan pengamatan dan membandingkan dengan kontrol positif terhadap koloni yang tumbuh.
Identifikasi titik kendali kritis pada PJAS
Identifikasi titik kendali kritis CCP pada PJAS pada penelitian ini dilakukan hanya terhadap tahapan proses yang dilakukan pada lokasi penjualan,
dan hanya bahaya mikrobiologis yang di analisis menjadi penyebab CCP atau bukan CCP, sementara terhadap bahaya fisik dan kimia hanya dilakukan
inventarisir kemungkinan bahaya signifikan yang terjadi. Penentuan titik kendali kritis dilakukan dengan bantuan pohon keputusan penetapan titik kendali kritis
pengolahan CCP. Pohon keputusan penetapan CCP dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Pohon keputusan untuk penetapan CCP Schothorst 2004
Ya Tidak
Bukan CCP
Ya Bukan CCP
Tidak CCP
Q1: apakah pada bahan baku terdapat bahaya?
Q2: apakah pengolahan dapat mengurangi jumlah bahaya?
Tidak Bukan CCP
Ya CCP
Q3: apakah formulasikomposisi atau struktur produk penting untuk mencegah pertambahan jumlah bahaya?
Tidak Ya
Tidak Ya
Bukan CCP Tidak
Q4: apakah pada tahap ini terjadi pertambahan jumlah bahaya?
Q5: apakah tahapan selanjutnya dapat mengurangi jumlah bahaya?
Q6:apakah tahapan proses ini dapat mengurangi jumlah bahaya?
Ya CCP
Karakterisasi bahaya
Pengkajian karakterisasi bahaya bakteri patogen dilakukan dengan melakukan studi literatur untuk memperoleh model dosis respon yang dapat
digunakan untuk memperkirakan risiko terjadinya penyakit akibat mengonsumsi PJAS. Model dosis respon yang dikaji disesuaikan dengan jenis bakteri patogen
yang ditemukan pada PJAS. Secara umum model dosis respon yang umum digunakan dalam kajian risiko mikrobiologi, yaitu model eksponensial, beta
posion, beta-binomial dan weibull-gamma Vose 2008.
1. Model eksponensial
Model dosis respon ini merupakan model dosis respon yang sederhana dengan paramater tunggal FAOWHO 2004. Probabilitas sakit digambarkan
mengikuti persamaan berikut: Pi = 1- e
-rN
Dimana Pi adalah peluang sakit untuk seseorang yang terpapar suatu dosis, r adalah peluang satu sel menyebabkan sakit dan N adalah jumlah
mikroba yang tertelan FAOWHO 2004.
2. Model Beta poisson
Model dosis respon kedua adalah beta poisson pada model ini probabilitas sakit digambarkan mengikuti persamaan berikut:
Pi = 1- 1 + Nβ
- α
Dimana Pi adalah peluang sakit untuk seseorang yang terpapar suatu dosis, , dalah parameter model, dan N adalah jumlah mikroba yang tertelan
FAOWHO 2004.
3. Model Beta-binomial
Model dosis respon ketiga adalah model Beta-binomial. Probabilitas sakit pada model binomial mengikuti persamaan berikut :
Pi = 1- {Γ N + β x Γ α + β Γα +N + β x Γβ}
Dimana Pi adalah peluang sakit untuk seseorang yang terpapar suatu dosis, , dalah parameter model, Γ adalah fungsi gamma dan N adalah jumlah
mikroba yang tertelan Vose 2008.
4. Model Weibull-Gamma WG
Model dosis-respon keempat adalah model Weibull-Gamma WG pada model ini probabilitas sakit digambarkan mengikuti persamaan berikut:
Pi = 1- [1 + N
b
]
-
Dimana Pi adalah peluang sakit untuk seseorang yang terpapar suatu dosis, , dan b adalah parameter model, dan N adalah jumlah mikroba yang
tertelan Farber et al 1996.
Pengolahan data untuk menghitung peluang sakit per sajian dilakukan dengan menggunakan software RISK, dengan cara sebagai berikut:
1. Penentuan distribusi yang tepat untuk data jumlah bakteri patogen per gram
PJAS diperoleh dari hasil analisis cemaran bakteri patogen pada PJAS. Penentuan distribusi dilakukan menggunakan fitting distribution yang terdapat
di software RISK. Jenis distribusi yang diperoleh selanjutnya digunakan pada langkah 2.
2. Penentuan nilai rata-rata dari data jumlah bakteri patogen per gram PJAS.
Nilai rata-rata diperoleh dengan menggunakan jenis distribusi pada langkah 1. Selanjutnya ditentukan batas bawah dari data yaitu 0. Batas bawah 0 dipilih
karena jumlah cemaran bakteri patogen pada sampel tidak mungkin berjumlah minus. Pada langkah ini diperoleh rata-rata jumlah cemaran bakteri patogen
per gram sampel PJAS cfug.
3. Simulasi Monte-Carlo 10.000 iteration. Simulasi Monte-Carlo dilakukan
terhadap nilai rata-rata cemaran bakteri patogen per gram PJAS sehingga diperoleh nilai rata-rata cemaran bakteri patogen per PJAS yang telah
disimulasikan.
4. Penentuan nilai rata-rata berat PJAS per sajian yang telah disimulasikan. Nilai
ini diperoleh dengan melakukan langkah 1-3 dengan menggunakan data berat PJAS per sajian g.
5. Penentuan dosis bakteri patogen per sajian PJAS. Dosis bakteri patogen per
sajian PJAS diperoleh dengan cara mengalikan antara jumlah bakteri patogen per satu gram PJAS cfug dengan berat PJAS per sajian g.
6. Simulasi Monte-Carlo 10.000 iteration. Simulasi Monte-Carlo dilakukan
terhadap nilai dosis bakteri patogen per gram PJAS sehingga diperoleh nilai dosis bakteri patogen per PJAS yang telah disimulasikan.
7. Peluang sakit akibat bakteri patogen per sajian PJAS diperoleh dengan cara
memasukkan nilai dosis bakteri patogen per sajian PJAS ke dalam model dosis respon yang telah dipilih berdasarkan studi literatur.
8. Simulasi Monte-Carlo 10.000 iteration. Simulasi Monte-Carlo dilakukan
terhadap peluang sakit bakteri patogen per sajian PJAS sehingga diperoleh peluang sakit bakteri patogen per PJAS yang telah disimulasikan.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengambilan Contoh
Sampel PJAS diambil dari delapan SD di enam Kecamatan kota Bogor. Jumlah SD setiap kecamatan ditentukan secara proposional. Berdasarkan data
referensi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2011 diperoleh data jumlah SD di kota Bogor adalah sebanyak 239 dengan rincian jumlah SD di setiap
kecamatan sebagai berikut: Kecamatan Bogor Utara sebanyak 43, kecamatan Bogor Selatan sebanyak 26, kecamatan Bogor Timur sebanyak 39, kecamatan
Bogor Barat sebanyak 44, kecamatan Bogor Tengah sebanyak 55 dan kecamatan Tanah Sareal sebanyak 32. Selanjutnya dilakukan penentuan SD tempat
pengambilan sampel PJAS di setiap kecamatan Tabel 15. Survei dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai kondisi SD tempat pengambilan sampel PJAS.
Informasi mengenai kondisi SD tempat pengambilan sampai dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 15. Jumlah SD dan hasil survei SD tempat pengambilan sampel PJAS
No Kecamatan
Jumlah SD
Jumlah SD Tempat
Pengambilan Sampel
Total SD di
satu lokasi
Nama SD tempat
pengambilan Sampel
Jumlah Pedagang
Jumlah Sampel
1 Bogor
Selatan 43
1 1
SD A 4
5 2
Bogor Timur 26
1 5
SD B 3
4 3
Bogor Utara 39
1 2
SD C 2
3 4
Bogor Tengah
44 2
2 SD D
6 12
5 SD E
2 4
5 Bogor Barat
55 2
2 SD F
1 1
2 SD G
1 2
6 Tanah Sareal
32 1
1 SD H
3 4
Total 239
8 20
22 35
Tabel 16. Kondisi SD tempat pengambilan sampel PJAS No
Kecamatan Kode SD
Lokasi Lokasi
Penjual PJAS
1 Bogor
Selatan SD A
Pinggir jalan utama dengan kondisi jalan yang ramai dan
lebar dapat dilalui oleh empat buah mobil
Trotoar di depan SD A
2 Bogor
Timur SD B
Pinggir jalan utama, dengan kondisi jalan yang ramai dan
cukup dilewati oleh empat mobil
Trotoar di depan SD B
3 Bogor
Utara SD C
Pinggir jalan, dengan kondisi jalan yang tidak terlalu ramai
dan hanya cukup dilewati oleh satu mobil
Trotoar di depan SD C
Tabel 16. Kondisi SD tempat pengambilan sampel PJAS lanjutan No
Kecamatan Kode SD
Lokasi Lokasi
Penjual PJAS
4 Bogor
Tengah SD D
Pinggir jalan, dengan kondisi jalan yang ramai dan cukup
dilewati oleh satu mobil Di depan SD
D
SD E Pinggir jalan utama, dengan
kondisi jalan utama yang sangat ramai dan cukup
dilewati oleh empat mobil Trotoar di
depan SD E
5 Bogor
Barat SD F
Pinggir jalan utama, dengan kondisi jalan yang ramai dan
cukup dilewati oleh dua mobil
Lahan kosong
disamping SD F
SD G Pinggir jalan, dengan kondisi
jalan yang ramai dan cukup dilewati oleh dua mobil
Di depan SD G
6 Tanah
Sareal SD H
Pinggir jalan, dengan kondisi jalan yang ramai dan cukup
dilewati oleh dua mobil Di depan SD
H
Secara umum kondisi SD tempat pengambilan sampel yang terpilih melalui proses pengundian terletak di pinggir jalan. Semua pedagang PJAS
berjualan dipinggir jalan di depan SD, hanya satu SD yang pedagang PJAS berjualan di samping sekolah.
Sekolah dasar A, B dan E merupakan sekolah dasar yang terletak di pinggir jalan dengan kondisi jalan yang dapat dilalui oleh empat mobil. Kondisi di
SD E lebih kotor oleh debu dibanding SD A dan B. Kondisi yang khas di SD E adalah letaknya yang berdekatan dengan pasar dan berada di depan pusat
perbelanjaan besar serta berada di pinggir jalan utama yang ramai dilalui kendaran bermotor. Trotoar tempat pedagang PJAS ramai dilalui oleh orang
lewat, baik yang berjalan kaki maupun menanti angkutan umum.
Sekolah dasar F, G dan H merupakan sekolah dasar yang terletak di pinggir jalan dengan kondisi jalan yang dapat dilalui oleh dua mobil. Pedagang
PJAS di SD G dan H berjualan di depan sekolah sementara pedagang di SD F berjualan di lahan kosong di samping sekolah.
Sekolah dasar C dan D merupakan sekolah dasar yang terletak di pinggir jalan yang hanya cukup dilewati satu mobil. Sekolah dasar memiliki kondisi yang
khas di SD D adalah kondisi jalan yang hanya dapat dilewati satu mobil, tetapi cukup banyak mobil dan motor yang melalui jalan tersebut. Di depan SD tersebut
banyak orang tua yang menunggu anaknya bersekolah ditambah dengan banyaknya orang-orang yang hilir mudik membuat kondisi di depan SD tersebut
kotor oleh debu. Sementara di SD C kondisi jalan relatif lebih sepi dan jarang orang yang hilir mudik.
Kondisi lingkungan SD diperkirakan akan mempengaruhi kualitas PJAS yang dijual. Berdasarkan hasil penelitian Nurjannah 2006 rumah makan dengan
kondisi terbuka dan berada di pinggir jalan memiliki tingkat cemaran mikroba tertinggi dibanding rumah makan lainnya.
Identifikasi Bahaya dan Sumber Cemaran Bakteri Patogen pada PJAS
Hasil analisis terhadap 35 sampel PJAS yang diperoleh dari 22 pedagang PJAS menunjukan bahwa tidak ada PJAS yang tercemar oleh mikroba
L. monocytogenes, Salmonella spp. dan Vibrio spp. Sampel PJAS yang tercemar oleh S. aureus dan E. coli yaitu dua sampel mengandung S. aureus dan sembilan
sampel mengandung terduga E. coli melebihi batas maksimun yang ditetapkan oleh Badan POM 2009.
Cemaran L. monocytogenes
Listeria monocytogenes tidak ditemukan pada 35 sampel PJAS yang telah diambil. Hasil yang serupa juga ditunjukkan pada penelitian lain yang telah
dilakukan di Indonesia. L. monocytogenes tidak ditemukan pada 30 sampel susu impor 16 susu UHT dan 14 susu sterilisasi yang masuk ke Indonesia Ekandari
2009, 32 sampel susu pasteurisasi di pasar swalayan di Bogor Sanjaya 2009, 30 sampel daging sapi di Surabaya Tandisole 2011 dan 36 sampel karkas daging
ayam di Malang Primajati 2011. Sedangkan hasil yang berbeda ditunjukkan pada beberapa penelitian yang telah dilakukan di Indonesia dimana
L. monocytogenes ditemukan pada sampel tauge, kol, wortel dan kacang panjang di daerah Bogor Susilawati 2002. Listeria tetapi tidak terkonfirmasi sebagai
L. monocytogenes terdapat pada satu dari 14 sampel pangan beku yang diperoleh dari satu pabrik Cessarani 2010. Enam dari 30 sampel keju impor yang masuk
ke Indonesia mengandung Listeria. Dari enam sampel positif mengandung Listeria tersebut empat sampel terkonfirmasi sebagai L. monocytogenes Iswan
2009. Hasil yang berbeda juga diperlihatkan oleh penelitian yang dilakukan Kovacevic 2012 di Vancouher, British Columbia dari 40 sampel pangan siap saji
berbasis daging dan 40 sampel pangan siap saji berbasis ikan yang diuji terdapat 2 sampel pangan siap saji berbasis ikan yang positif terkontaminasi
L. monocytogenes. Kondisi PJAS di kota Bogor relatif aman terhadap cemaran L. monocytogenes.
Listeria monocytogenes tidak ditemukan pada sampel PJAS diduga disebabkan karena pada bahan baku tidak terdapat L. monocytogenes, pada tahap
pembuatan mendapat perlakuan panas pengukusanpenggorengan yang dapat mengakibatkan L. monocytogenes mati dan pada semua peralatan dan pekerja
tidak terdapat L. monocytogenes sehingga tidak terjadi kontaminasi silang. Proses pasteurisasi dilakukan pada PJAS berbasis susu juga dapat menyebabkan
kematian L. monocytogenes. Nilai D L. monocytogenes adalah D
66
18 detik Shi et al. 2014. Proses pemanasan pada suhu 66ºC selama 18 detik dapat membunuh 90
populasi L. monocytogenes. Proses pengolahan telah dilakukan dengan baik oleh pedagang PJAS sehingga apabila sebelumnya bahan baku mengandung
L. monocytogenes maka cemaran tersebut dapat dihilangkan selama proses pengolahan. Setelah proses pengolahan masih mungkin terjadi kontaminasi silang
yang berasal dari peralatan, pengolah pangan maupun tempat pengolahan Ivanek 2004.
Listeria monocytogenes tidak ditemukan pada PJAS berbasis sayur dan buah hal ini diduga disebabkan karena memang bahan baku tidak tercemar
L. monocytogenes sehingga tidak ditemukan L. monocytogenes pada produk. Hasil penelitian Oliveira et al. 2010 menunjukkan dari 162 sampel buah dan sayuran
hijau dengan proses penangan minimal yang diambil dari pasar di Sao Paulo, Brasil ditemukan hanya dua sampel yang positif mengandung L. monocytogenes.
Cemaran Salmonella spp.
Salmonella spp. tidak ditemukan pada 35 sampel PJAS yang telah diambil. Hasil yang berbeda ditunjukan oleh hasil pengujian Badan POM yang dilakukan
pada tahun 2011 menunjukkan dari 4.808 sampel PJAS terdapat 13 0.27 sampel yang tercemar Salmonella spp.
Pada produk PJAS berbasis ikan, daging dan susu tidak ditemukannnya cemaran Salmonella spp. diduga karena pada bahan baku tidak terdapat
Salmonella spp.,
pada tahap
pembuatan mendapat
perlakuan panas
pengukusanpenggorengan yang dapat mengakibatkan Salmonella spp. mati dan pada semua peralatan dan pekerja tidak terdapat Salmonella spp. sehingga tidak
terjadi kontaminasi silang. Proses pemasakan pengukusanpenggorengan pasteurisasi pada pembuatan PJAS berbasis ikan, PJAS berbasis daging dan
PJAS berbasis susu dapat menghilangkan Salmonella spp. Salmonella spp. memiliki nilai D sebesar D
70
15 detik Silva 2012. Salmonella spp. tidak ditemukan pada PJAS berbasis sayur dan buah karena diduga bahan baku telah
ditangani sesuai good agricultural practice.
Cemaran Vibrio spp.
Vibrio spp. tidak ditemukan pada 35 sampel PJAS yang telah diambil. Beberapa penelitian yang telah dilakukan di Indonesia memperlihatkan hasil
bahwa V. parahaemolyticus tidak ditemukan pada 20 sampel udang beku di rumah makan di Pangandaran Widowati 2008, V. cholerae ditemukan pada 10 dari 12
sampel es batu pengawet ikan yang diambil dari pasar di Denpasar Ananta et al. 2013. Vibrio spp. tidak ditemukan pada sampel PJAS yang diambil pada
penelitian ini diduga karena pada bahan baku tidak terdapat Vibrio spp., pada tahap pembuatan mendapat perlakuan panas pengukusanpenggorengan yang
dapat mengakibatkan Vibrio spp. mati dan pada semua peralatan dan pekerja tidak terdapat Vibrio spp. sehingga tidak terjadi kontaminasi silang. Proses pemasakan
pengukusanpenggorenganpasteurisasi pada pembuatan PJAS berbasis ikan, PJAS berbasis daging dan PJAS berbasis susu dapat menghilangkan Vibrio spp.
Vibrio spp. memiliki nilai D sebesar D
71
18 detik. Cemaran S. aureus
Hasil analisis terhadap 35 sampel PJAS yang diperoleh dari 22 pedagang PJAS menunjukan bahwa terdapat sampel PJAS yang tercemar oleh S. aureus
sebanyak dua sampel melebihi batas maksimun yang ditetapkan oleh Badan POM 2012 yaitu batas maksimum S. aureus 1.0 x 10
2
kolonig Tabel 17. Berdasarkan hasil analisis terhadap sampel PJAS selanjutnya dilakukan penelusuran sumber
cemaran S. aureus pada sampel PJAS dengan cemaran S. aureus melebihi batas maksimum. Hasil penelusuran sumber cemaran S. aureus pada sampel PJAS yang
tercemar menunjukkan tangan pedagang, lingkungan tempat berjualan PJAS dan peralatan pisau mengandung cemaran S. aureus Tabel 18.
Berdasarkan data Tabel 17 terlihat bahwa S. aureus mencemari PJAS berbasis ikan. Hasil penelusuran PJAS berbasis ikan tercemar oleh S. aureus
terlihat bahwa sumber cemaran S. aureus berasal dari tangan pedagang, lingkungan, pisau serta dari produk mentahnya.
Tabel 17. PJAS yang tercemar S. aureus berdasar jenis pangan Jenis
Pangan Jumlah
Sampel Jumlah
Sampel Tercemar cfug
Keterangan Sampel Mengandung Cemaran
Melebihi Batas PJAS berbasis ikan
19 2
8.9 x 10
2
, 2.2 x 10
3
Otak-otak D, Siomai D PJAS berbasis daging
4 -
PJAS berbasis sayur dan buah
10 -
PJAS berbasis susu 2
- Tabel 18. Hasil penelusuran sumber cemaran S. aureus pada PJAS
No Nama
Tangan Pedagang
+ dan - Lingkungan
1000 cm
2
selama 30 menit
Pisau cfu
Produk mentah Sebelum pemasakan
cfug 1
Otak-otak D
1
+ 53
7.0 x 10
2
2.9 x 10
5
2 Siomai D
1
+ 53
7.0 x 10
2
1.2 x 10
4
Hasil penelusuran sumber cemaran S. aureus pada PJAS berbasis ikan menunjukkan tangan pedagang mengandung cemaran S. aureus. Hasil ini
diperkuat dengan penelitian Kadariya et al. 2014 yang menunjukkan hasil investigasi pada banyak kasus kejadian luar biasa keracunan pangan akibat
S. aureus berhasil ditelusuri bahwa penjamah pangan merupakan sumber kontaminasi. Strain S. aureus pada penjamah pangan cocok dengan strain
S. aureus pada pangan. Habitat S. aureus adalah kulit dan alat pernafasan dan umumnya ditemukan pada 20-50 manusia sehat. Kontaminasi S. aureus pada
pangan biasanya terjadi setelah pangan tersebut matang.
Pada penelitian yang dilakukan, tangan pedagang yang dianalisis hanya tangan pedagang yang sampel PJAS-nya melebihi batas yang ditetapkan dan
hasilnya tangan pedagang tersebut tercemar S. aureus kedua sampel tersebut berasal dari pedagang yang sama. Pada hasil penelitian yang dilakukan Tan et al.
2013 yang melakukan analisis terhadap 85 tangan penjamah pangan dari 38 sekolah dasar di Selangor dengan hasil 61 71.76 tangan penjamah pangan
mengandung cemaran S. aureus. Serta hasil penelitian yang dilakukan Ifeadike et al. 2012 yang melakukan analisis terhadap kuku tangan 168 penjamah pangan di
ibu kota Nigeria dengan hasil 7.1 kuku penjamah tangan mengandung cemaran S. aureus.
Hasil penelusuran sumber cemaran S. aureus pada PJAS berbasis ikan menunjukkan pisau yang digunakan dan produk mentah tercemar S. aureus.
S. aureus dapat bertahan pada tangan dan peralatan dapur Teixeira 2007. Saat pembuatan produk apabila pengolah pangan dan peralatan yang digunakan telah
tercemar oleh S. aureus maka akan menyebabkan produk mentah PJAS tercemar. Proses pemasakan perebusan pengukusan penggorengan sebenarnya dapat
membunuh S. aureus karena ketahanan panas S. aureus adalah D
65.5
12-120 detik Forsythe 2002, tetapi PJAS berbasis ikan dapat tercemar S. aureus setelah
pemasakan. Kontaminasi kembali terhadap produk yang telah matang dapat berasal dari pengolah pangan, peralatan maupun lingkungan.
Hasil penelusuran sumber cemaran S. aureus pada PJAS berbasis ikan menunjukkan area tempat PJAS berjual tercemar S. aureus. Kondisi lingkungan
tempat PJAS tersebut dijual terletak dipinggir jalan, dengan kondisi jalan yang ramai dan cukup dilewati oleh satu mobil. Banyaknya orang tua yang menunggu
di luar sekolah serta banyaknya manusia dan kendaraan yang lalu lalang. Kondisi jalan yang hanya cukup dilewati satu mobil mengakibatkan jarak antara kendaraan
dengan PJAS yang disajikan sangat dekat.
Pada penelitian ini dilakukan penetapan titik kendali kritis CCP dari bahan baku dan tahap proses PJAS berbasis ikan. Penetapan titik kendali kritis
pada penelitian ini dibatasi hanya pada tahap yang terjadi di area penjualan PJAS dan hanya bahaya mikrobiologis yang di analisis menjadi penyebab CCP atau
bukan CCP, sementara terhadap bahaya fisik dan kimia hanya dilakukan inventarisir kemungkinan bahaya signifikan yang terjadi. Pada Tabel 19 disajikan
checklist penetapan CCP PJAS berbasis ikan di area penjualan sedangkan pada Tabel 20 disajikan penetapan CCP PJAS berbasis ikan di area penjualan.
Tabel 19. Checklist penetapan CCP PJAS berbasis ikan siomai dan otak-otak di area penjualan
Tahap proses
Q1 Q2
Q3 Q4
Q5 Q6
Y T
Y T
Y T
Y T
Y T
Y T
Bukan CCP
Bukan CCP
CCP CCP
Bukan CCP
Bukan CCP
CCP CCP
Bukan CCP
Produk mentah
V X
V X
Pengukusan X
V V
X Pemotongan
V X
X V
Pengemasan V
X X
V
Keterangan : Q1:apakah pada bahan baku terdapat bahaya? Q2: apakah pengolahan dapat mengurangi jumlah bahaya? Q3:apakah formulasikomposisi atau struktur produk penting untuk mencegah pertambahan jumlah
bahaya? Q4:Apakah pada tahap ini terjadi pertambahan jumlah bahaya? Q5: apakah tahapan selanjutnya dapat mengurangi jumlah bahaya? Q6:apakah tahapan proses ini dapat mengurangi jumlah bahaya?
Tabel 20. Penetapan CCP PJAS berbasis ikan siomai dan otak-otak di area penjualan
Tahap proses bahan baku
Bahaya mikrobiologis
Sumber bahaya mikrobiologis
CCP Keterangan
Produk mentah
Teridentifikasi S. aureus
Kemungkinan Pengolah
pangan Lingkungan
Peralatan Bukan
Pada produk mentah PJAS berbasis ikan teridentifikasi cemaran S. aureus. Sumber
kontaminasi dapat berasal dari pengolah pangan, lingkungan maupun peralatan yang
dipergunakan dalam proses pembuatan. Proses ini bukan merupakan CCP karena setelah proses
ini ada proses pengukusan yang dapat mengendalikan jumlah S.aureus.
Pemasakan Pengukusan
Produk mentah
teridentifikasi S. aureus
Produk mentah
Ya Proses pengukusan harus dilakukan dengan
baik untuk mengendalikan S. aureus. Proses ini merupakan CCP karena merupakan tahapan
khusus yang dirancang untuk bisa menurunkan bahaya sampai tingkat yang dapat diterima.
Pemotongan Kemungkinan
kontaminasi S. aureus
Tangan pedagang
Lingkungan Pisau
Ya Pada saat pemotongan dapat terjadi kontaminasi
silang dari tangan pedagang, pisau maupun lingkungan. Proses ini merupakan CCP karena
setelah proses ini tidak ada tahapan yang dapat mengendalikan jumlah S. aureus.
Pengemasan Kemungkinan
kontaminasi S. aureus
Tangan pedagang
Lingkungan Ya
Pada saat pengemasan dapat terjadi kontaminasi silang dari tangan pedagang dan
lingkungan. Proses ini merupakan CCP karena setelah proses ini tidak ada tahapan yang dapat
mengendalikan jumlah S. aureus.
Hasil analisis menunjukkan bahwa produk mentah tercemar dengan S. aureus. Produk mentah bukan merupakan CCP karena terdapat proses yang
dapat menghilangkan bahaya yaitu pengukusan. Sementara bahaya fisik yang mungkin terjadi adalah duri ikan serta kerikil yang berasal dari tepung yang
pengayakannya tidak sempurna. Bahaya kimia yang mungkin ada adalah Bahan Tambahan Pangan BTP yang melebihi batas. Ada kemungkinan pada PJAS
berbasis ikan ini ditambahkan pengawet maupun perisa yang jumlahnya melebihi dari batas yang ditetapkan. Bahaya ini dapat menjadi signifikan sehingga pada
pembuatan produk olahan ikan harus terkontrol dengan baik.
Tahap proses pertama adalah pengukusan. Proses ini merupakan CCP karena merupakan tahap yang dirancang khusus untuk dapat menurunkan bahaya
mikrobiologi sampai tingkat yang dapat diterima. Sementara bahaya fisik yang mungkin terjadi adalah serpihan kayu wadah kukusan dan serpihan logam
peralatan kukus. Bahaya kimia yang mungkin ada adalah kontaminasi logam dari peralatan kukusan yang digunakan, namun bahaya ini tidak signifikan.
Tahap proses kedua adalah pemotongan. Hasil analisis menunjukkan bahwa pisau yang digunakan untuk memotong tercemar S. aureus. Selain pisau,
sumber cemaran S. aureus pada tahap ini adalah tangan pedagang dan lingkungan karena hasil analisis terhadap tangan pedagang dan lingkungan keduanya tercemar
S. aureus. Proses ini merupakan CCP karena setelah proses pemotongan tidak ada tahap yang dapat menghilangkan bahaya S. aureus.
Tahap proses ketiga adalah pengemasan. Sumber cemaran S. aureus pada tahap ini adalah tangan pedagang dan lingkungan karena hasil analisis terhadap
tangan pedagang dan lingkungan keduanya tercemar S. aureus. Proses ini merupakan CCP karena setelah proses pengemasan tidak ada tahap yang dapat
menghilangkan bahaya S. aureus. Cemaran terduga
E. coli