UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ginjal. Menurut Ashley, C. Dan Currie, A. 2009, dosis pemberian sukralfat pada pasien gangguan ginjal tidak melebihi 4 g per hari.
Pemberian Transamin tidak tepat dosis terkait dengan frekuensi pemberian. Menurut Ashley, C. Dan Currie, A. 2009, pasien gangguan ginjal
dengan LFG 20-50 mlmnt diberikan 10 mgkg IV setiap 12 jam, LFG 10-20 mlmnt diberikan 10 mgkg IV setiap 12-24 jam dan LFG di bawah 10 mlmnt
diberikan 5 mgkg IV setiap 12-24 jam, sedangkan pada penelitian ini semua pasien yang menerima Transamin diberikan dengan frekuensi 3x1 ampul, dimana
tiap ampul memiliki kekuatan 250 mg5 ml sehingga dosis pemberian Transamin pada beberapa pasien melebihi dosis terapi. Pemberian akarbose dikatakan tidak
tepat dosis karena penggunaannya pada pasien yang kontraindikasi secara patologis. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa akarbose kontraindikasi
dengan pasien yang memiliki LFG 30 mlmnt atau SCr 2 mgdl. Pasien yang berpotensi tidak tepat dosis berada di bawah dosis terapi
terdapat 7 jenis obat, dapat dilihat pada tabel 4.8. Penggunaan obat yang kurang dari dosis terapi tidak akan menghasilkan efek terapetik yang diinginkan bahkan
sama saja dengan tidak menggunakan obat tersebut. Suatu obat akan menghasilkan efek terapetik jika kadar obat di dalam darah atau bioavailabilitas
obat mencapai kadar terapi yang dibutuhkan untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Oleh karena itu, penggunaan obat dengan dosis terapi yang sesuai
sangat penting untuk menghasilkan efek terapetik yang menandakan bahwa terapi yang diberikan berhasil.
4.1.3.3 DRPs Indikasi Tanpa Obat
Berdasarkan tabel 4.5 dapat diketahui bahwa terdapat 11 pasien 25,0 dengan 11 kasus 3,2 yang mengalami kejadian DRPs indikasi tanpa obat pada
pasien rawat inap PGK dengan penyakit penyerta di Rumkital Dr. Mintohardjo. Kejadian DRPs indikasi tanpa obat dapat dilihat pada tabel berikut:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.9
Data Distribusi Pasien DRPs Indikasi Tanpa Obat
Nomor Penilaian DRPs Indikasi Tanpa Obat
Pasien Jenis Obat
Keterangan
1 Obat antihipertensi;
Obat antihiperurisemia TD 16080 mmHg. OAH yang diterima: valsartan,
amlodipin. Asam urat 9,0 mgdL.
2 Obat antihipertensi
TD 15090 mmHg. OAH yang diterima: valsartan, furosemida, bisoprolol, spironolakton.
7 Obat antihipertensi
TD 17070 mmHg. OAH yang diterima: valsartan, furosemida, amlodipin.
8 Obat antihipertensi;
Obat antihiperlipidemia TD 15080 mmHg. OAH yang diterima:
furosemida, valsartan, amlodipin, bisoprolol, spironolakton.
Total kolesterol 223 mgdL; LDL kolesterol 158 mgdL; HDL kolesterol 38 mgdL.
9 Obat antihipertensi
TD 15080 mmHg. OAH yang diterima: valsartan, amlodipin, furosemida.
15 Obat antihiperlipidemia Total kolesterol 224 mgdL; LDL kolesterol 169
mgdL; HDL kolesterol 35 mgdL. 18
Obat antihiperurisemia, Nutrisi K
+
Asam urat 7,4 mgdL K
+
2,8 mmolL 24
Obat antihipertensi TD 16090 mmHg. OAH yang diterima: valsartan,
nifedipin, furosemida, bisoprolol. 27
Obat antidiabetes GD 199 mgdL.
30 Obat antihipertensi
TD 15080 mmHg. OAH yang diterima: valsartan, furosemida, amlodipin, bisoprolol,
spironolakton. 43
Obat antihipertensi TD 16090 mmHg. OAH yang diterima: valsartan,
nifedipin, furosemida, bisoprolol. Keterangan: TD = tekanan darah; OAH = obat antihipertensi.
Indikasi tanpa obat merupakan pemberian terapi tambahan pada pasien atas dasar diagnosa yang ditegakkan, sesuai dengan diagnosa yang tercantum di
rekam medis. Penilaian analisa DRPs indikasi tanpa obat pada pasien PGK didasarkan dari kondisi pasien, tekanan darah, kadar gula darah, dan hasil
laboratorium elektrolit darah pasien. Pasien dikatakan butuh tambahan obat jika tekanan darah pasien belum mencapai 14090 mmHg atau 13080 mmHg pada
pasien dengan proteinuriaalbuminuria, kadar gula darah sewaktu pasien masih 200 mgdl atau gula darah puasa GDP pasien 126 mgdl, fungsi ginjal
ataupun hati mengalami gangguan sehingga dibutuhkan penyesuaian terhadap kondisi patologis, terdapat kondisi klinis pasien yang belum diberi terapi obat,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pasien mengalami gangguan medis baru yang memerlukan terapi obat tambahan yang dapat dilihat dari keluhan, diagnosa, dan hasil laboratorium pasien.
Hasil analisa data deskriptif pada tabel 4.9 menunjukkan sebanyak 11 pasien yang mengalami DRPs indikasi tanpa obat. Terdapat beberapa jenis obat
yang dibutuhkan pada pasien PGK yang mengalami DRPs indikasi tanpa obat, diantaranya obat antihipertensi, obat antihiperurisemia, obat antihiperlipidemia,
obat antidiabetes dan nutrisi. Berdasarkan hasil laboratorium masing-masing dari pasien nomor 1, 2, 7,
8, 9, 24, 30, dan 43 diketahui bahwa tekanan darah pasien belum mencapai target yaitu 14090 mmHg KDIGO, 2012. Penggunaan obat antihipertensi yang telah
digunakan pasien, jika belum mencapai TD yang diharapkan maka dilakukan: peningkatan dosis untuk OAH, jika masih belum tercapai maka diberikan
tambahan obat antihipertensi lain Dipiro, J. T., et al., 2008. Selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4. Hipertensi merupakan salah satu dari faktor inisiasi pada
PGK. Munculnya faktor inisiasi menyebabkan hilangnya massa nefron sehingga terjadi penurunan fungsi ginjal. Sebagai kompensasi hal tersebut, terjadi hipertrofi
nefron yang menyebabkan terjadinya hipertensi glomerulus yang dimediasi oleh angiotensin II AT II. AT II merupakan vasokonstriktor poten yang
mempengaruhi arteriol efferen sehingga dapat meningkatkan tekanan darah kapiler glomerulus. Oleh karena itu, untuk mencegah dan memperlambat
kerusakan ginjal diperlukan pengontrolan terhadap tekanan darah pasien, dimana tekanan darah yang diharapkan pada pasien PGK adalah 14090 mmHg.
Peningkatan kadar asam urat pada pasien yang melebihi kadar normal terjadi pada pasien nomor 2 dan 18 sehingga diperlukan terapi obat tambahan
untuk mengatasi hiperurisemia yang dialami pasien PGK. Peningkatan kadar asam urat dalam serum dapat membentuk kristal-kristal asam urat di ginjal dan dapat
mengendap di dalam insterstitium medular ginjal, tubulus atau sistem pengumpul yang akhirnya akan memperburuk keadaaan ginjal. Terapi obat untuk mengatasi
hiperurisemia adalah golongan urikosurik dan penghambat xantin oksidase. Obat- obat golongan urikosurik seperti probenesid dan sulfinperazon memiliki
mekanisme kerja meningkatkan klirens ginjal untuk asam urat dengan cara mengurangi reabsorpsi dari asam urat pada tubulus proksimal, sedangkan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
golongan penghambat xantin oksidase bekerja dengan cara menghambat perubahan hipoxantin menjadi xantin dan xantin menjadi asam urat. Satu-satunya
golongan penghambat xantin oksidase yang digunakan adalah allopurinol Katzung, 2010. Dilihat dari mekanisme kerja obat, allopurinol merupakan terapi
obat untuk hiperurisemia yang sesuai atau cukup aman pada pasien PGK karena obat-obat golongan urikosurik probenesid dan sulfinperazon bekerja dengan
meningkatkan klirens asam urat di ginjal, hal ini akan memperberat kerja ginjal pada pasien PGK. Namun, penggunaan allopurinol harus mempertimbangkan
fungsi ginjal sehingga tetap dibutuhkan penyesuaian dosis pada pasien PGK. Hasil analisa data deskriptif pada tabel 4.9 menunjukkan pasien nomor 8
dan 15 mengalami peningkatan kadar trigliserida, total kolesterol dan LDL kolesterol serta penurunan kadar HDL kolesterol yang tidak masuk dalam rentang
normal. Kadar lipid yang tidak normal berperan dalam terjadinya penyakit aterosklerosis mikro dan makrovaskular. Pasien yang awalnya dengan fungsi
ginjal yang normal dengan hiperlipidemia umumnya tidak berkembang menjadi insufisiensi ginjal, karena glomerulus yang normal memiliki mekanisme untuk
mencegah penumpukan lipoprotein. Namun, gangguan ginjal yang telah ada sebelumnya menimbulkan gangguan fungsi mesangial yang merupakan suatu
keadaan yang menyebabkan terjadinya penumpukan lipoprotein di glomerulus ginjal. Data eksperimental menunjukkan bahwa dislipidemia berperan pada
kerusakan glomerulus dan interstitial parenkim ginjal. Sel-sel glomerulus mesangial dan sel otot polos pembuluh darah memiliki kesamaan yaitu bahwa
akumulasi lipid di dalam sel mesangial, analog dengan proses aterosklerotik pada sel otot polos, dapat menyebabkan glomerulosklerosis. LDL menyebabkan
monosit berikatan dengan sel endotel dan ikatan ini merupakan faktor penting pada proses inflamasi glomerular sehingga terapi obat untuk mengatasi gangguan
dislipidemia pada pasien PGK sangat diperlukan untuk mencegah memburuknya kondisi kerusakan ginjal yang berpotensi terjadinya penyakit kardiovaskular.
Terapi obat untuk mengatasi dislipidemia pada pasien PGK, KDOQI 2012 menyatakan golongan statin, jika pasien tidak toleransi dengan golongan statin
maka digunakan golongan fibrat. Penggunaan golongan obat tersebut tetap mempertimbangkan fungsi ginjal pada pasien PGK.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pasien nomor 27 mengalami peningkatan kadar gula darah sewaktu dan didiagnosa mengalami nefropati diabetikum tetapi selama dirawat pasien tidak
menerima obat antidiabetes, sedangkan dari hasil tes kadar gula darah menunjukkan kadar gula darah sewaktu pasien meningkat hingga 199 mgdL pada
hari terakhir dirawat sehingga dibutuhkan obat antidiabetes untuk menurunkan kadar gula darah pasien. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya peningkatan
keparahan fungsi ginjal pada pasien PGK. Jenis obat antidiabetes yang dapat diberikan kepada pasien, selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4.
4.1.3.4 DRPs Obat Tanpa Indikasi