Tata Niaga Hortikultura Penelaahan Secara Mikro 1

pada komoditas kentang yakni pada rantai grosir ke pasar modern sebesar Rp. 2.850,00. Dalam nilai relatif harga konsumen, marjin pemasaran membentuk nilai yang diterima petani menjadi berbeda, hal ini disebabkan oleh : 1 Petani sayuran memilki posisi tawar yang relatif rendah dalam memasarkan hasil panennya. Kondisi demikian dapat terjadi akibat ketidak mampuan petani sayuran untuk menahan penjualannyadengan tujuan mendapatkan harga jual yang cukup tinggi. Ketidak mampuan petani tersebut dapat didorong oleh faktor komoditas sayuran umunya relatif lebih cepat busuk sedangkan di tingkat petani penerapan teknologi penyimpanan sayuran yang dapat memperlambat proses pembusukan masih sangat terbatas 2 Adanya kekuatan monopsonioligopsoni dalam pemasaran sayuran sehingga petani sayuran dihadapkan pada keterbatasa alternatif pemasaran. Tata niaga komoditas hortikultura khususnya sayuran untuk Supermarket, petani memiliki halangan. Petani Karo sudah ada yang mencoba memasuki pasar swalayan, namun karena rantai tata niaga yang terlalu panjang dan sarana penyimpanan serta pelayanan logistik yang kurang baik berakibat pada kurang terpenuhinya jumlah pasokan sesuai kebutuhan pasar swalayan. Hal ini membuat pola kemitraan antara petani dengan pasar swalayan masih sulit terlaksana. Namun demikian, ada beberapa petani yang berhasil menembus pasar tersebut meskipun hubungan dengan pasar swalayan masih tergantung pada produksi sesuai musim tanam, sehingga pola pemasaran ke swalayan tidak kontinu. Agar petani dapat memperoleh keuntungan yang lebih tinggi maka perlu dilakukan perbaikan signifikan terhadap rantai-rantai penawaran domestik. Peningkatan nilai tambah seyogyanya sudah dapat dilakukan di tingkat petani kelompok tani, dengan peningkatan proses pasca panen, maka diharapkan juga dapat menjadi pertimbangan terbukanya akses ke pasar-pasar swalayan. Meskipun elemen tata niaga selain petani memperoleh marjin yang lebih banyak, tetapi terdapat perspektif lainnya yaitu resiko yang harus ditanggung oleh setiap elemen dalam tata naga. Sifat produk hortikultura yang mudah sekali rusak dan tidak tahan lama, mengakibatkan resiko kerusakan harus ditanggung oleh petani, pengumpul, bandar, pengecer dan bahkan konsumen. Petani memiliki posisi yang rendah dalam penentuan harga. Produk yang dihasilkan petani harus dipanen sesuai waktu dan dijual segera untuk menghindari terjadinya kerusakan. Oleh karena itu, petani akan menjual berapapun harga yang ditetapkan oleh pengumpul bandar, meskipun harga yang ditetapkan tersebut rendah, bahkan terkadang mengakibatkan kerugian pada pihak petani. Petani memiliki posisi lemah dalam sistem agrbisnis. Ke hulu ke penyedia saprodi mereka lemah karena pengadaan sarana produksi pertanian dikuasai pihak lain yang belum tentu kondusif terhadap kebutuhan para petani. Ke hilir ke industri pengolahan dan pemasaran mereka juga lemah karena jalur pemasaran hasil dikuasai oleh pihak lain. Pada prinsipnya hanya petanilah yang harus dapat memperbaiki posisinya dalam pasar. Jika petani tidak dapat melakukannya sendiri dapat dilakukan secara kelompok sehingga diharapkan mampu menciptakan posisi tawar yang lebih baik. Petani juga membutuhkan pihak luar untuk meningkatkan posisi tawarnya atau dengan kata lain pola kemitraan masih dibutuhkan untuk mencapai dua tujuan pemberdayaan di atas. Kemitraan itu seharusnya ada pada tataran independen, yang berarti bahwa setiap pihak yang bermitra itu berada pada posisi yang sederajat, kemandirian serta saling menghormati keberadaan dan kebutuhan mitranya. Dalam posisi ini tidak ada pihak yang dominan. Dengan pola hubungan seperti ini, maka kemitraan itu akan menghasilkan sinergi. Jadi secara konseptual sungguh tidak mungkin tercipta pola hubungan yang interdependen jika salah satu pihak tampil dengan dominasinya sendiri-sendiri. Ketiadaan fasilitas sarana prasarana penyimpanan seperti cold storage, chiller mengakibatkan juga sayuran menjadi cepat rusak dan harus segera dijual. Penanganan pasca panen dengan tepat dan benar sangat dibutuhkan agar produk sayuran menjadi lebih tahan lama. Pengumpul merupakan elemen tata niaga dengan resiko terendah, karena hanya mengumpulkan produk dari petani di suatu tempat. Pengemasan dilakukan oleh pengumpul. Selang waktu yang dibutuhkan dari pengumpulan tidak melebihi waktu sehari, sehingga resikonya tidak terlalu besar. Bandar memiliki resiko yang lebih tinggi daripada pengumpul. Resiko bandar antara lain adalah resiko selama transportasi. Bandar menanggung biaya transaksi seperti biaya transportasi dan pungutan- pungutan di jalan dan di pasar. Resiko lainnya yakni resiko kerusakan selama di perjalanan. Hal tersebut dipengaruhi oleh penanganan pasca panen dan teknik penyimpanan di dalam truk yang tidak tepat. Pedagang juga memiliki resiko. Sebagai rantai tata niaga di tingkat akhir sebelum sampai ke konsumen, bila penanganan sebelumnya kurang benar maka produk yang diterima merupakan produk dengan kualitas yang kurang baik. Hal ini berakibat pada resiko kerusakan yang lebih banyak. Dari setiap marjin yang dibentuk, share petani besarnya kontribusi harga yang diterima terlihat seperti pada Tabel 46. Tabel 46 Share Petani No Komoditas Pemasaran Share Petani 1 Jeruk Konsumen Pasar Tradisional 30,43 Konsumen Pasar Modern 23,33 2 Kubis Konsumen Pasar Tradisional 61,57 Konsumen Pasar Modern 50,72 3 Kentang Konsumen Pasar Tradisional 52,32 Konsumen Pasar Modern 36,92 4 Wortel Konsumen Pasar Tradisional 36,17 Konsumen Pasar Modern 34,00 Jika dilihat pada Tabel 46 maka bagian yang diterima petani dalam pembentukan harga cukup besar. Dalam pemasaran hortikultura jeruk, kubis, kentang dan wortel, transmisi harga dari tingkat konsumen kepada petani pada umumnya berbeda menurut komoditas dan dalam kajian ini berkisar antara 23,33 sampai 61,57. Variasi transmisi harga tersebut secara umum dipengaruhi oleh dua faktor yaitu : 1 Adanya kekuatan monopsonioligopsoni pada pedagang sehingga mereka memiliki kekuatan untuk mengendalikan harga beli dari petani atau harga di tingkat produsen. Adanya kekuatan monopsoni pada pedagang menyebabkan kenaikan harga yang terjadi di tingkat konsumen tidak selalu diteruskan kepada petani secara sempurna.