A Study of Carbon Emission from the Digging and Burning of Topogen Peat Soil in Humbang Hasundutan Regency North Sumatra Province

(1)

KAJIAN EMISI KARBON DARI GALIAN DAN

PEMBAKARAN GAMBUT TOPOGEN

DI KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN, PROVINSI

SUMATERA UTARA

RIO STEPANUS TARIGAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Emisi Karbon dari Galian dan Pembakaran Gambut Topogen di Kabupaten Humbang Hasunduntan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan di cantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2011

Rio Stepanus Tarigan NRP E451080111


(4)

(5)

RIO STEPANUS TARIGAN. A Study of Carbon Emission from the Digging and Burning of Topogen Peat Soil in Humbang Hasundutan Regency North Sumatra Province. Under direction of LAILAN SYAUFINA and ISTOMO.

This research aimed to get carbon emission and to count the carbon potential on and under the surface of topogen peat soil area in Humbang Hasundutan, North Sumatera. The research was conducted in two stages: (1) to count the carbon potential (above ground and below ground), which involved the counting of weight volume (bulk density), C content, peat soil thickness and the size of peat soil area, and (2) to count the carbon emission. The below ground biomass was covering 1,43 until 3,71 tons/ha. The biggest carbon reserve was in non-vegetation soil which reached 0,.400 tons, while the smallest carbon reserve was in vegetation soil which reached 0,333 tons. The average of below ground carbon reserve in peat soil areas in Humbang Hasundutan regency was 0,180 tons. The CO2 emission in peat soil areas in Humbang Hasundutan regency could be predicted that 7,9 tons would be emitted out of 2,07 ha of peat soil areas in Humbang Hasundutan regency for 5 years, with a burning efficiency of 25%. Keywords: carbon emission, carbon potential, burning efficiency


(6)

(7)

RIO STEPANUS TARIGAN. Kajian Emisi Karbon Dari Galian Dan Pembakaran Gambut Topogen di Kabupaten Humbang Hasunduntan Provinsi Sumatera Utara. Dibimbing oleh LAILAN SYAUFINA dan ISTOMO.

Lahan gambut sangat berperan sebagai penyangga (buffer) lingkungan serta memiliki cadangan karbon yang besar. Cadangan karbon yang besar pada lahan gambut menyebabkan tingginya jumlah karbon yang dilepaskan ke atmosfer ketika lahan gambut mengalami pembakaran secara berulang yang pada akhirnya dapat memicu pemanasan global. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung potensi karbon yang terdapat di atas dan bawah permukaan lahan gambut topogen di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara dan memperoleh emisi karbon pada lahan gambut di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga bulan April tahun 2011 pada lahan yang terletak di Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi Sumatera Utara. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Tanah Departemen Ilmu Tanah Sumberdaya Lingkungan IPB dan analisis bahan bakar dilakukan di Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan IPB.

Potensi karbon yang terdapat di atas permukaan diperoleh dari perhitungan total berat kering dari semua tumbuhan hidup termasuk herba dan rumput-rumputan. Simpanan karbon bawah permukaan diperoleh dari perhitungan Bulk density, ketebalan gambut, kandungan C-organik, dan luas tanah gambut. Sedangkan jumlah emisi CO2 diperoleh dari pengukuran emisi karena terbakarnya jaringan tanaman di atas permukaan tanah, emisi karena kebakaran gambut, emisi dari dekomposisi gambut, sequestrasi atau penambatan karbon oleh tanaman, dan perbedaan atau lamanya waktu yang diperhitungkan.

Pada areal penelitian ditemukan beberapa vegetasi yang tumbuh berupa semak dengan tinggi rata-rata satu meter tumbuh jarang dan tersebar bercampur dengan tumbuhan herba paku-pakuan dan rumput. Terdapat delapan jenis tumbuhan yang tumbuh dominan pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan yang dibagi menjadi empat kelompok yaitu semak (tumbuhan kecil berkayu), herba, rumput, dan paku-pakuan. Jenis semak yang paling banyak dijumpai adalah Vaccinium varingifolium, Daphniphyllum glaucescens, dan Leptospermum flavescens. Ketiga jenis tersebut mempunyai perakaran besar dan rapat yang selama ini dimanfaatkan oleh masyarakat di Lintongnihuta. Biomasa tumbuhan bawah yang terdapat pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan berkisar antara 1,43 – 3,71 ton ha-1 dengan rata-rata sebesar 2,24 ton ha-1. Estimasi C tumbuhan bawah yang terdapat pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan berkisar antara 0,6 – 1,70 ton ha-1 dengan rata-rata sebesar 1,03 ton ha-1. hasil dari potensi biomasa bawah permukaan pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan. Simpanan karbon terbesar terdapat pada jenis tanah tidak bervegetasi sebesar 0,400 ton. Sedangkan simpanan karbon terkecil terdapat pada jenis tanah bervegetasi sebesar 0,333 ton. Total


(8)

dapat diinterpretasi bahwa 7,9 ton akan teremisi dari 2,07 ha selama 5 tahun dan emisi per tahun sebesar 1,58 ton dengan efisiensi pembakaran sebesar 25%. Di daerah tropis, tanah gambut dapat melepaskan sekitar 26,9 juta ton C dengan emisi karbon (C yang hilang) sebesar 0,185 ton/ha per tahun. Sedangkan di daerah sub tropis tanah gambut dapat melepaskan sekitar 30,9 juta ton C dengan emisi karbon (C yang hilang) sebesar 1,897 ton/ha per tahun. Kata Kunci : Emisi Kabon, Potensi Karbon, Biomasa, Gambut.


(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(10)

(11)

KAJIAN EMISI KARBON DARI GALIAN

DAN PEMBAKARAN GAMBUT TOPOGEN

DI KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN, PROVINSI

SUMATERA UTARA

RIO STEPANUS TARIGAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(12)

(13)

Topogen di Kabupaten Humbang Hasunduntan Provinsi Sumatera Utara

Nama : Rio Stepanus Tarigan NRP : E451080111

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc Dr. Ir. Istomo, MS

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Silvikultur Tropika

Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R., MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr


(14)

(15)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat kasih dan rahmat-Nya yang selalu menyertai penulis sehingga dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Silvikultur Tropika, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pemilihan judul tesis “Kajian Emisi Karbon Dari Galian Dan Pembakaran Gambut Topogen di Kabupaten Humbang Hasunduntan Provinsi Sumatera Utara” berangkat dari beralih fungsinya penatagunaan lahan gambut topogen yang merupakan salah satu ekosistem yang jarang ditemukan di tempat lain. Dan dampak negatif akibat pembakaran dan galian gambut di Kabupaten Humbang Hasunduntan.

Melalui tesis ini, penulis mencoba memberi beberapa masukan kepada warga di sekitar lokasi penelitian dalam pengambilan akar pohon dan penambangan gambut pada lapisan terbatas, sehingga perbaikan lahan gambut dapat dilakukan dengan penambahan unsur-unsur mineral untuk meningkatkan kesuburan tanah. Tanah-tanah bekas galian dapat dijadikan tanah pertanian yang lebih produktif terutama untuk tanaman holtikultural. Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini memberi manfaat bagi kita semua.

Bogor, Agustus 2011


(16)

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang sangat berperan dalam penyelesaian tesis ini. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan beliau-beliau mustahil tesis ini akan selesai. Oleh karena itu dengan tulus ikhlas penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan, pengarahan dan dukungan kepada penulis, khususnya kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr, selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

2. Bapak Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R,. MS, selaku Ketua Mayor Silvikultur Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

3. Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc, selaku Pembimbing Pertama dengan segala kesabaran, perhatian dan kemurahan hatinya untuk membimbing penulis dalam penyusunan tesis ini.

4. Bapak Dr. Ir. Istomo, MS, selaku Pembimbing Kedua atas segala kesabaran dan kemurahan hatinya dalam memberikan tambahan ilmu yang sangat membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.

5. Bapak Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc, selaku Dosen Penguji atas segala masukannya yang sangat membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.

6. Bapak/Ibu Dosen dan seluruh Civitas Akademika Mayor Silvikultur Tropika yang selalu memberikan pelayanan ilmu pengetahuan kepada penulis.

7. Kedua orangtuaku Bukti Agustinus Tarigan, SPd dan Dra. Dahlia Purba atas dukungan semangat dan doanya.

8. Adik-adikku Joppie Immanuel Tarigan, SE dan Astri Novita Bernadeta Tarigan, SE serta seluruh keluarga atas dukungan semangat dan doanya.

9. Kantor Pertambangan dan Energi Kab. Humbang Hasunduntan, terutama Pak Munte,dan staf-staf lainnya atas bantuan dan kerjasamanya selama pelaksanaan penelitian di lapangan.

10. Bang Paul Simamora dan Kak Astri serta Masyrakat desa Nagasaribu 1 kecamatan Lintongnihuta atas bantuan dan kerjasamanya selama pelaksanaan penelitian di lapangan.


(17)

11. Rekan-rekan mahasiswa Mayor Silvikultur Tropika dan Ilmu Pengelolaan Hutan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, khususnya angkatan 2008 dan 2009 yang selalu memberikan semangat dan juga atas kebersamaannya selama melaksanakan tugas belajar.

12. Teman-teman, adik-adik dan khususnya penghuni di Wisma Kartika atas semangat dan dukungannya.


(18)

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 23 Januari 1981 dari pasangan Bukti Agustinus Tarigan, SPd dan Dra. Dahlia Purba. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

Untuk jenjang pendidikan SD, SLTP dan SMU, penulis menyelesaikan di Medan. Setelah tamat dari sekolah menengah umum, penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Sumatera Utara, Jurusan Kehutanan. Pada saat kuliah, penulis memilih Program Studi Budidaya Hutan untuk ditekuni dan selesai pada tahun 2005. Pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan ke Program Magister Sains (M.Si) di Mayor Silvikultur Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.


(19)

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

1.5. Kerangka Pemikiran ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Efisensi Pembakaran ... 7

2.2. Hasil Pembakaran... 8

2.3. Karbon ... 11

2.3.1. Karbon Tanah ... 12

2.3.2. Siklus Karbon ... 13

2.4. Emisi Gas Rumah Kaca Pada Lahan Gambut ... 16

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 19

3.1. Luas dan Lokasi Penelitian ... 19

3.2. Aksesibilitas ... 19

3.3. Kondisi Fisik Wilayah ... 20

3.4. Kondisi Biotik Wilayah ... 22

IV. METODE PENELITIAN ... 25

4.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 25


(20)

4.5. Pengukuran Luas Lahan ... 26

4.6. Pembuatan Petak Contoh ... 26

4.7. Penentuan Karbon Tersimpan Dalam Gambut ... 27

4.7.1. Berat Volume... 27

4.7.2. Kandungan Karbon Gambut ... 27

4.7.3. Kematangan Gambut ... 28

4.7.4. Penentuan Ketebalan Gambut ... 29

4.8. Analisis Data ... 30

4.8.1. Perhitungan Pendugaan Simpanan Karbon Atas Permukaan ... 30

4.8.2. Perhitungan Pendugaan Simpanan Karbon Bawah Permukaan... 30

4.8.3. Perhitungan Jumlah Emisi CO2 ... 31

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

5.1. Hasil ... 33

5.1.1. Biomasa Atas Permukaan ... 33

5.1.2. Biomasa dan Cadangan Karbon Bawah Permukaan ... 37

5.1.2.1. Berat Volume Contoh ... 37

5.1.2.2. Kandungan Karbon Gambut Contoh ... 37

5.1.2.3. Kematangan Gambut Contoh ... 38

5.1.2.4. Ketebalan Gambut ... 38

5.1.2.5. Luas Tanah Gambut Contoh ... 39


(21)

5.1.4. Perhitungan Jumlah Emisi CO2... 41

5.2. Pembahasan ... 42

5.2.1. Biomasa Atas Permukaan ... 42

5.2.2. Biomasa dan Cadangan Karbon Bawah Permukaan ... 42

5.2.2.1. Berat Volume Contoh ... 42

5.2.2.2. Kandungan Karbon Gambut Contoh ... 43

5.2.2.3. Kematangan Gambut Contoh ... 43

5.2.2.4. Ketebalan Gambut ... 43

5.2.2.5. Pengukuran Tinggi Muka Air Saluran ... 44

5.2.2.6. Perhitungan Pendugaan Simpanan Karbon Bawah Permukaan ... 45

5.2.3. Jumlah Emisi CO2 ... 45

VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 47

6.1. Kesimpulan ... 47

6.2. Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 49


(22)

Halaman 1.   Estimasi Kehilangan C Pada Lahan Gambut ... 17 2.   Sepuluh Negara Penghasil Emisi Terbesar Dunia ... 18 3.   Daftar Jenis Tumbuhan ... 33 4.   Potensi Biomasa Tumbuhan Bawah ... 36 5.   Berat Volume (Bulk density) ... 37 6.   Hasil Penilaian Sifat Kimia Tanah Gambut ... 38 7.  Luas Tanah Gambut ... 39 8.   Potensi Biomasa Bawah Permukaan ... 40 9. Perhitungan Jumlah Emisi CO2 ... 41


(23)

Halaman 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran ... 5 2. Siklus Karbon ... 15 3. Peta Lokasi Penelitian Bedasarkan Tata Guna Lahan ... 21 4. Desain Petak Penelitian ... 26 5. Kondisi Penutupan Vegetasi ... 34 6. Jenis Tumbuhan Yang Dijumpai ... 35


(24)

Halaman 1. Matriks Metode Penelitian ... 57 2. Tingkat Kematangan Gambut ... 58 3. Ketebalan Gambut ... 60 4. Perhitungan Emisi CO2 ... 62


(25)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan gambut merupakan salah satu tipe hutan yang mempunyai peran

penting sebagai penyangga (buffer) lingkungan. Hal ini berhubungan dengan

fungsi gambut dalam gatra hidrologis, biogeokimia dan ekologis. Gambut secara hidrologis dapat menyimpan air dimana gambut yang masih mentah (fibrik) dapat menyimpan air sangat besar antara 500% - 1000% bobot. Gambut rawa alami selain sebagai daerah tampung air juga penyeimbang sistem tata air wilayah (control water system). Gambut merupakan kawasan penyerap dan penyimpan air (aquifer) selama musim hujan, tetapi pada saat curah hujan sedikit secara perlahan melepaskan air simpanannya (Noor. 2001).

Indonesia merupakan negara yang mempunyai potensi gambut terbesar keempat di dunia setelah Kanada, Uni Soviet, dan Amerika Serikat dengan luasan sekitar 17 juta hektar atau sekitar 10% luas daratan Indonesia. Luas lahan gambut di Indonesia menempati separuh luas gambut tropik. Di kawasan Asia, negara yang mempunyai gambut terluas setelah Indonesia (70%) adalah Malaysia dengan luas 2,36 juta ha disusul Brunei Darussalam dengan luas 1,65 juta ha. Lahan gambut di Indonesia terutama menyebar di tiga pulau besar yaitu Kalimantan, Sumatera dan Papua (Notohadiprawiro. 1997). Kabupaten Humbang Hasundutan adalah kabupaten baru yang terletak di Provinsi Sumatera Utara hasil pemekaran dari kabupaten induk Tapanuli Utara pada tahun 2003 berdasarkan Undang undang Nomor 9 tahun 2003. Luas lahan gambut di Kabupaten Humbang Hasundutan diperkirakan seluas 2.358 ha (Istomo. 2006). Tipe lahan gambut di Kabupaten Humbang Hasundutan termasuk tipe gambut topogen yang jarang terdapat di Pulau Sumatera termasuk Indonesia. Meskipun Indonesia mempunyai lahan gambut tropika terbesar di dunia (seluas kurang lebih 17 juta ha), namun umumnya lahan gambut tersebut berupa gambut ombrogen yang berada di dataran rendah dan pada awalnya didominasi oleh hutan lebat. Lahan gambut yang terdapat di Kabupaten Humbang Hasundutan sebagian besar berada


(26)

di luar kawasan hutan dan tumbuhan yang mendomisasi di lahan gambut tersebut berupa semak belukar (herba, paku-pakuan dan rumput).

Kejadian kebakaran hutan/lahan meningkat dalam sepuluh tahun terakhir ini, sebagian besar terjadi pada lahan/hutan gambut. Kebakaran lahan gambut ini tidak lepas dari sifat gambut itu sendiri yang rawan terbakar sehingga menuntut pengelolaan dan perlindungan secara khusus. Kebakaran di lahan gambut berlangsung lambat dan lama serta sangat sukar dikendalikan karena api menjalar di bawah permukaan gambut.

Penelitian Wetlands International (2006) dalam Peace (2007),

menunjukkan dampak yang dahsyat atas perusakan lahan gambut terhadap perubahan iklim. Setiap tahun 2.000 juta ton CO2 terlepas dari hutan, 600 juta ton diantaranya disebabkan oleh dekomposisi dari lahan gambut kering (sebuah proses yang akan terus berlanjut sampai seluruh gambut habis) dan 1.400 juta ton dihasilkan dari kebakaran tahunan. Selanjutnya sebuah studi yang dilakukan Page (2002) menunjukkan bahwa kebakaran lahan gambut di Indonesia pada tahun 1997 telah menyebabkan kehilangan karbon antara 810 sampai 2.470 juta ton. Nilai tersebut didukung oleh fakta antara lain bahwa

pada tahun tersebut telah tercatat peningkatan paling tinggi emisi CO2 di

atmosfer (Peace. 2007).

Kandungan karbon pada suatu vegetasi diduga berkorelasi positif dan signifikan dengan besarnya biomassa suatu tegakan, namun saat ini belum banyak penelitian mengenai kandungan karbon di bawah permukaan gambut. Mengingat begitu pentingnya peran hutan terhadap penurunan emisi gas rumah kaca dan kurangnya penelitian mengenai karbon di bawah permukaan gambut maka diperlukan suatu kajian tentang emisi karbon dari kebakaran bawah permukaan lahan gambut.

1.2 Perumusan Masalah

Indonesia merupakan negara yang mempunyai potensi gambut terbesar keempat di dunia setelah Kanada, Uni Soviet, dan Amerika Serikat dengan luasan sekitar 17 juta hektar atau sekitar 10% luas daratan Indonesia. Lahan gambut di


(27)

 

Indonesia terutama menyebar di tiga pulau besar yaitu Kalimantan, Sumatera dan Papua (Notohadiprawiro. 1997). Seperti halnya di Pulau Sumatera tepatnya Sumatera Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luasan gambut yang cukup besar sekitar 2.358 ha. Tipe lahan gambut di Kabupaten Humbang Hasundutan termasuk tipe gambut topogen yang jarang terdapat di Pulau Sumatera termasuk Indonesia. Gambut dikenal kaya akan bahan organik dan mempunyai cadangan karbon yang besar. Adanya aktivitas penggalian tanah untuk diambil akar dan dilakukan pembakaran pada lahan gambut tersebut dapat merusak dan mengganggu kestabilan areal gambut. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengestimasi potensi biomassa dan emisi karbon pada lahan gambut di Kabupaten Humbang Hasundutan yang mengalami pembakaran dan galian.

Dari uraian tersebut di atas dapat dikemukakan beberapa permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah :

1. Berapa potensi biomassa lahan gambut topogen di Kabupaten Humbang

Hasundutan yang telah mengalami pembakaran dan galian?

2. Berapa karbon yang diemisikan (C emisi) pada lahan gambut topogen di

Kabupaten Humbang Hasundutan yang telah mengalami pembakaran dan galian?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menghitung potensi karbon yang terdapat di atas dan bawah permukaan

lahan gambut topogen di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.

2. Memperoleh emisi karbon pada lahan gambut di Kabupaten Humbang

Hasundutan, Sumatera Utara.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam menghitung potensi dan emisi karbon yang terdapat di atas dan bawah permukaan lahan gambut topogen sebagai masukan untuk pengelolaan hutan yang baik.


(28)

1.5 Kerangka Pemikiran

Penyusunan model kajian emisi karbon di atas dan bawah permukaan lahan gambut bekas terbakar dengan kerangka pemikiran seperti yang disajikan pada Gambar 1.


(29)

 

Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Lahan Gambut

Terjadi pembakaran dan galian

Peningkatan emisi gas rumah kaca

Kehilangan Cadangan karbon

Pengukuran Emisi karbon

Pengelolaan yang tepat Kerusakan lahan gambut

Aspek Lingkungan Lahan Gambut

Tata air/hidrologi

Cadangan karbon (C) tinggi

sebagai penambat dan penyimpan karbon 

sumber emisi gas rumah kaca 

aspek hidrologi dan subsiden  sumber potensi lahan


(30)

(31)

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Efisiensi Pembakaran

Efisiensi pembakaran menunjukkan sampai sejauh mana suatu bahan dapat terbakar dalam satuan persen. Bila pembakaran tidak sempurna, sebagian dari hasil pembakaran akan tetap mengendap sebagai tetesan cairan yang sangat kecil (Pyne et al. 1996 dalam Syaufina. 2008). Dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi pembakaran maka pelaksanaan pembakaran terkendali dapat berlangsung dengan baik karena dampak kebakaran dapat diminimalkan (DeBano et al. 1998 dalam Syaufina. 2008). Terdapat beberapa faktor penting yang berpengaruh pada efisiensi pembakaran sebagai berikut :

1. Kadar Air bahan bakar

Kandungan air bahan bakar meningkatkan jumlah panas yang diperlukan untuk menaikkan suhu pada suatu titik dimana gas-gas yang mudah terbakar dihasilkan. Air tersebut akan menyerap sebagian panas yang tersedia untuk pirolisis dan melarutkan gas-gas yang dihasilkan. Oleh karena itu, kadar air bahan bakar meningkatkan waktu penyalaan dan

menurunkan laju pembakaran (Countryman 1976b dalam DeBano et al.

1998). Pada dasarnya, bahan bakar kering akan terbakar sempurna dan cepat, sementara bahan bakar basah mungkin lambat terbakar dengan suhu yang rendah. Pengaruh kadar air dalam bahan bakar pada emisi total pada pembakaran bisa berasal dari pembakaran sempurna (bersih) bahan kering

dengan tingkat emisi yang rendah sampai proses smoldering yang lebih

lama daripada bahan bakar basah yang bersamaan dengan tingkat emisi yang lebih tinggi, tetapi juga bahan yang tidak terbakar dengan sempurna juga mengarah pada tingkat emisi yang rendah.

2. Suplai Oksigen

Faktor utama yang mempengaruhi efisiensi proses pembakaran adalah suplai udara. Apabila pergerakan udara ke dalam dan di sekitar pembakaran flaming tidak cukup memadai untuk pencampuran O2 dengan


(32)

gas-gas yang mudah terbakar yang dilepaskan dengan pirolisis kurang baik maka oksidasi menjadi tidak sempurna dan efisiensi pembakaran akan menurun. Gejala ini menghasilkan produk emisi CO yang lebih besar. 3. Laju dan arah penjalaran api

Efisensi pembakaran juga dipengaruhi oleh laju dan arah penjalaran api. Umumnya, semakin cepat nyala api menembus tumpukan bahan bakar, semakin rendah efisiensi pembakaran. Pembakaran permukaan dapat bergerak lebih cepat searah angin menembus permukaan bahan bakar yang banyak akan menghasilkan zona smoldering yang besar di belakang zona zona utama pembakaran. Sebaliknya, pembakaran terbalik biasanya bergerak lambat ke arah angin, menghasilkan pembakaran bahan bakar yang sempurna.

4. Tipe, susunan, dan muatan bahan bakar

Tipe, susunan, dan muatan bahan bakar merupakan faktor-faktor lain yang mempengaruhi efisiensi pembakaran. Kebakaran yang terjadi pada bahan bakar yang ringan seperti rerumputan dan serasah segar akan lebih mudah menyala dan terbakar dengan sempurna daripada bahan bakar yang berat seperti kayu. Kunci utamanya adalah ukuran bahan

bakar. Menurut (Pyne et al. 1996 dalam Syaufina. 2008), efisiensi

pembakaran dalam kebakaran hutan tidak akan pernah mencapai 100% tetapi berkisar antara 50% sampai 95%. Pengukuran efisiensi pembakaran didasarkan pada rasio karbon aktual yang terkandung dalam emisi karbon dioksida terhadap nilai teori karbon yang mungkin dilepaskan dalam bentuk karbon dioksida. Umumnya, efisiensi pembakaran terendah terjadi

pada pembakaran smoldering dan tertinggi terjadi pada pembakaran

dengan rongga udara yang baik dan pembakaran flaming.

2.2Hasil Pembakaran

Proses pembakaran menghasilkan produk utama berupa emisi asap yang secara langsung atau tidak dapat berdampak pada lingkungan, baik lokal, nasional, maupun global. Asap dapat menurunkan kualitas udara, memperburuk jarak pandang, dan menimbulkan masalah kabut asap (Pyne et al. 1996 dalam Syaufina.


(33)

 

2008). Menurut Levine (1994) dalam Syaufina (2008), sebagai produk

pembakaran, asap dapat mengandung campuran gas dan partikel yang kompleks, bergantung pada tipe bahan bakar, kandungan kimia bahan bakar, dan perilaku

api. Proses pembakaran yang sempurna menghasilkan karbondioksida (CO2) dan

uap air (H2O). Akan tetapi, proses pembakaran pada kebakaran hutan dan lahan tidak pernah terjadi pembakaran sempurna.

Menurut Brown dan Davis (1973) dan Fuller (1991) dalam Syaufina

(2008), klasifikasi bahan bakar berdasarkan lokasinya di dalam hutan terdiri dari :

1. Bahan Bakar Bawah (Ground Fuels)

Merupakan bahan bakar serasah (di bawah permukaan tanah), duff atau humus, bagian-bagian kayu dan akar pohon, bahan organik yang membusuk atau mati, gambut dan batu bara. Kebakaran dapat berjalan terus dan berawal dari kebakaran permukaan.

2. Bahan Bakar Permukaan (Surface Fuels)

Merupakan bahan bakar yang berada di lantai hutan, antaralain berupa bahan bakar mati, serasah, log-log sisa tebangan, tunggak pohon, kulit kayu, cabang kecil dan tumbuhan bawah yang berada di lantai hutan. 3. Bahan Bakar Atas (Aerial Fuels)

Disebut juga crown fuels atau bahan bakar tajuk, yaitu bahan bakar

yang berada diantara tajuk tumbuhan bawah sampai tajuk tumbuhan tingkat tinggi. Contohnya antara lain cabang-cabang pohon, daun pohon dan semak pohon mati yang masih berdiri. Pohon atau semak belukar lebih tinggi dari 1 - 2 meter di atas tanah.

Menurut Brown dan Davis (1973) dalam Saharjo (2003), terdapat tiga

kebakaran hutan berdasarkan atas tipe bahan bakarnya, yaitu:

1. Kebakaran Bawah (Ground Fire)

Tipe kebakaran bawah ini biasanya mengkonsumsi bahan bakar berupa material organik yang terdapat di bawah permukaan tanah/lantai hutan. Yang paling mudah dan klasik adalah pada hutan gambut. Kebakaran


(34)

hutan ini dipengaruhi oleh kecepatan angin. Tanda areal itu terbakar adalah adanya asap putih yang keluar dari bawah permukaan tanah. Kebakaran dengan tipe ini pada kebakaran tahun 1997/1998 yang terjadi di lahan gambut yang terdapat di Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat dan beberapa daerah lainnya. Karena berada di bawah permukaan tanah, maka banyak pohon mati karena akarnya hangus terbakar. Kebakaran ini biasanya berkombinasi dengan kebakaran permukaan.

2. Kebakaran Permukaan (Surface Fire)

Kebakaran permukaan mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat di lantai hutan, baik berupa serasah, jatuhan ranting, dolok-dolok bergelimpangan di lantai hutan, tumbuhan bawah, dan sebagainya yang berada di bawah tajuk pohon dan di atas permukaan tanah. Tipe kebakaran ini merupakan tipe kebakaran yang paling sering terjadi dalam tegakan, hutan sekunder dan hutan alam, terkecuali di daerah rawa gambut dimana yang dominan adalah kebakaran bawah. Kebakaran permukaan biasanya merupakan langkah awal menuju kebakaran tajuk, dengan cara terbakarnya tanaman pemanjat yang menghubungkan sampai ke tajuk pohon atau akibat api loncat yang mencapai tajuk pohon.

3. Kebakaran Tajuk (Crown Fire)

Kebakaran tajuk biasanya bergerak dari satu tajuk ke tajuk pohon lainnya dengan cara mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat di tajuk pohon tersebut baik berupa daun, cangkang biji, ranting bagian atas pohon, dan sebagainya. Kebakaran tajuk ini biasanya bermula dari adanya api loncat yang berasal dari tajuk tumbuhan bawah/semak yang terbakar atau karena adanya tumbuhan epifit/liana sepanjang batang pohon yang terbakar, kulit pohon yang berminyak, atau karena pemanasan dari permukaan. Kadangkala bara api yang berasal dari tajuk pohon akan jatuh menimpa lantai hutan, sehingga menimbulkan


(35)

 

kebakaran permukaan. Kebakaran ini sangat sulit untuk ditanggulangi karena menjalar sangat cepat.

2.3 Karbon

Umumnya karbon menyusun 45-50% bahan kering dari tanaman. Sejak kandungan karbondioksida meningkat secara global di atmosfer dan dianggap sebagai masalah lingkungan, berbagai ekolog tertarik untuk menghitung jumlah karbon yang tersimpan di hutan. Hutan gambut merupakan salah satu hutan yang memiliki potensi dalam penyimpanan karbon. Karbon dapat tersimpan dalam material yang sudah mati sebagai serasah, batang pohon yang jatuh kepermukaan tanah, dan sebagai material sukar lapuk di dalam tanah (Whitmore. 1985).

Karbon juga merupakan komponen penting penyusun biomasa tanaman melalui proses fotosintesis. Adanya peningkatan kandungan karbondioksida di atmosfer secara global telah menyebabkan timbulnya masalah bagi lingkungan. Hal ini mempengaruhi kebijakan negara-negara di dunia untuk

mempertahankan keberadaan hutan yang dianggap sebagai buffer terhadap

kandungan karbon. Karbondioksida merupakan penyerap inframerah yang kuat dan sifat ini membantu mencegah radiasi inframerah meninggalkan bumi.

Dengan demikian CO2 memainkan peranan penting dalam mengatur suhu

permukaan bumi. Efek "rumah kaca" ini dipengaruhi oleh proporsi

karbondioksida dalam atmosfer bumi (Salim. 2005)

Semua tipe hutan mempunyai kemampuan untuk mengabsorpsi karbon. Adapun lokasi utama cadangan karbon terbesar adalah di hutan tropika. baik di permukaan tanah maupun di bawah permukaan tanah. Hutan tropika merupakan tipe hutan yang mengandung biomassa dalam jumlah yang besar sehingga memiliki cadangan simpanan karbon yang sangat penting. Pada umumnya potensi pertumbuhan di hutan tropis lebih tinggi dan lebih cepat dibandingkan dengan tipe hutan lain, sehingga dapat mempercepat akumulasi karbon di dalam tanaman. Vegetasi hutan mempunyai kemampuan untuk


(36)

karbon selama 40 tahun melalui pertambahan bersih dari biomassa karbon dan inventarisasi tegakan dan penyerapan melalui tegakan hutan (Whitmore. 1985). Pada ekosistem daratan karbon tersimpan dalam tiga komponen pokok (Hairiah dan Rahayu 2007) yaitu:

a. Biomasa yaitu masa dari bagian vegetasi yang masih hidup yaitu tajuk pohon, tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman semusim.

b. Nekromasa yaitu massa dari bagian pohon yang telah mati baik yang

masih tegak di lahan atau telah tumbang tergeletak di permukaan tanah, tonggak atau ranting dan daun-daun gugur (serasah) yang belum terlapuk.

c. Bahan organik tanah yaitu sisa makhluk hidup (tanaman. hewan dan

manusia) yang telah mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya dan telah menjadi bagian dari tanah. Ukuran partikel biasanya lebih kecil dari 2 mm.

2.3.1 Karbon Tanah

Kandungan karbon tanah secara umum akan menurun sejalan dengan kedalaman tanah. Kecenderungan ini disebabkan oleh masukan bahan organik yang terutama disimpan di permukaan tanah atau topsoil. Hendri (2001) melaporkan bahwa kandungan karbon tanah di KPH Cepu pada kedalaman 60 cm lebih rendah bila dibandingkan dengan kandungan karbon pada kedalaman 20 cm.

Van Noordwijk et al. (1997) melaporkan kecenderungan yang sama yakni

kandungan karbon tanah bagian atas (topsoil) lebih tinggi dibandingkan bagian bawah (subsoil) di daerah dataran rendah Sumatera. Adapun variabel-variabel yang berpengaruh pada kandungan karbon tanah antara lain : kedalaman tanah, kerapatan massa tanah (bulk density) dan konsentrasi karbon organik (Eggleston et al. 2006).

Jumlah CO2 di atmosfer tetap sangat stabil pada tingkat sekitar 280

µmol/mol selama ribuan tahun belakangan ini, dan cukup stabil antara 200 dan 300 µmol/mol selama 150.000 tahun sebelum itu. Sejak sekitar tahun 1850,


(37)

 

µmol/mol pada tahun 1990. CO2 meningkat sekitar 1,4 µmol/mol/tahun selama

15 tahun terakhir tetapi pada tahun 1988 peningkatannya lebih dari 2

µmol/mol, sebuah lompat terbesar dan lebih dari 0.5% dari kandungan CO2

saat ini. Alasan utama peningkatan sejak tahun 1850 ini ialah pembakaran bahan bakar fosil, tetapi pembukaan lahan khususnya pembakaran hutan tropika juga ikut berperan (Salisbury. 1995).

Peningkatan CO2 di atmosfer di seluruh dunia mendapat perhatian

karena CO2 dan beberapa gas lainnya yang disebut gas rumah kaca seperti

metan, menyerap lebih banyak energi cahaya pada panjang gelombang panjang daripada panjang gelombang pendek. Panjang gelombang pendek terdapat dominan pada cahaya matahari dan menembus atmosfer, memanaskan bumi dan apa saja yang ada di atas bumi. Bumi kemudian memancarkan panjang gelombang yang lebih panjang (karena bumi jauh lebih dingin daripada matahari) yang diserap oleh gas rumah kaca, yang selanjutnya memancarkan sebagian energi (pada panjang gelombang panjang) kembali ke bumi, sehingga lebih memanaskan bumi lagi (Salisbury. 1995).

2.3.2 Siklus Karbon

Karbon yang berada di atmosfer bumi bagian terbesarnya adalah gas

karbon dioksida (CO2). Meskipun jumlah gas ini merupakan bagian yang

sangat kecil dari seluruh gas yang ada di atmosfer (hanya sekitar 0.04% dalam basis molar, meskipun sedang mengalami kenaikan), namun memiliki peran yang penting dalam menyokong kehidupan. Gas-gas lain yang mengandung karbon di atmosfer adalah metan dan kloroflorokarbon atau CFC (CFC ini merupakan gas artifisial atau buatan). Gas-gas tersebut adalah gas rumah kaca yang konsentrasinya di atmosfer telah bertambah dalam dekade terakhir ini dan berperan dalam pemanasan global.

Siklus karbon di dalam biosfer meliputi dua bagian siklus penting, di darat dan di laut. Keduanya dihubungkan oleh atmosfer yang berfungsi sebagai fase antara. Hutan mempunyai peranan penting sebagai salah satu reservoir karbon di darat . hutan tropis dengan luasan sekitar 17,6 x 106 km2 mengandung karbon


(38)

sebesar 428 Pg (1Pg = Petagram = 1 milyar ton) yang disimpan dalam vegetasi dan tanah. Di kawasan tropis Asia, dapat diperkirakan bahwa penanaman hutan, agroforestry, regenerasi dan kegiatan-kegiatan menghindari deforestasi mempunyai potensi menyerap karbon yang bervariasi dari 0,50;2,03;3,8 – 7,7 dan 3,3 – 5,8 Pg antara 1995 sampai 2050 (Brown el al. 1996).

Tempat penyimpanan karbon adalah biomasa (meliputi batang, daun, ranting, bunga, buah dan akar), bahan organik mati (nekromas) dan tanah. Atmosfer berperan sebagai media perantara dalam siklus karbon. Aliran C biotik antara atmosfer dan hutan adalah fiksasi netto C melalui proses fotosintesis dan respirasi. Fotosintesis disebut juga asimilasi zat karbon, dimana zat-zat CO2 di

udara dan di air diubah menjadi molekul C6H12O6 dengan bantuan cahaya

matahari dan klorofil. Fotosintesis didefinisikan sebagai proses pembentukan gula dari dua bahan baku sederhana yaitu karbondioksida dan air dengan bantuanklorofil dan cahaya matahari sebagai sumber energy (Gardner et al. 1991 dalam Hariyadi. 2005). Secara umum produksi berbagai macam gula pada proses fotosintesis diwakili oleh persamaan sebagai berikut :

6CO2 + 12H2O C6H12O6 + 6H2O + O2 cahaya dengan pigmen

Proses fotosintesis di atas hanya menggunakan sebagian kecil radiasi matahari yang diterima oleh tumbuhan tingkat tinggi, karena sebagian besar radiasi tersebut segera ditransformasi ke dalam bentuk panas (Packham dan Harding. 1982). Karbohidrat stabil yang pertama diproduksi dalam proses fotosintesis adalah glukosa yang biasanya dikonversi ke dalam bentuk pati sebagai produk yang disimpan sementara.

Siklus karbon di daratan dapat dikontrol oleh proses fotosintesis, respirasi dan dekomposisi. Siklus karbon tersebut berbeda-beda tergantung tipe ekosistem serta faktor lingkungan seperti suhu, curah hujan, radiasi matahari dan kecepatan angin (Forseth dan Norman. 1993).

Siklus karbon mempunyai empat reservoir karbon utama yang dihubungkan oleh jalur pertukaran. Reservoir-reservoir tersebut adalah atmosfer,


(39)

 

biosfer terestial (biasanya termasuk pula freshwater system dan material

non-hayati organik seperti karbon tanah (soil carbon), lautan (termasuk karbon

anorganik terlarut dan biota laut hayati dan non-hayati), dan sedimen (termasuk bahan bakar fosil). Pertukaran karbon antar reservoir, terjadi karena proses-proses kimia, fisika, geologi, dan biologi yang bermacam-macam. Secara umum, siklus karbon disampaikan dalam Gambar 2 .

Gambar 2. Siklus Karbon (IPCC. 2001)

Gambar di atas merupakan siklus karbon yang terjadi pada 3 lapisan yaitu atmosfer, biosfer, dan laut. Jumlah karbon di atmosfer diperkirakan sebesar 750 GtC, di biosfer diperkirakan sebesar 1900 GtC, dan jumlah karbon yang terkandung di lautan diperkirakan sebesar 38000 GtC. Jumlah karbon di laut diperkirakan 50 kali lebih besar dibandingkan jumlah karbon yang ada di atmosfer. Pertukaran karbon di laut dan atmosfer terjadi dalam skala waktu beberapa ratus tahun.


(40)

2.4 Emisi Gas Rumah Kaca Pada Lahan Gambut

Pemanfaatan lahan gambut tropis, khususnya di Indonesia sangat dipengaruhi oleh meningkatnya kebutuhan penduduk akan lahan, pangan, kayu bakar dan bahan bangunan. Pemanfaatan tersebut sangat terkait dengan kebijakan pemerintah dalam kegiatan konversi hutan, industry perkayuan, transmigrasi dan pemukiman penduduk serta perluasan lahan pertanian. Praktek yang biasanya dilakukan adalah dengan melakukan deforestrasi yang diikuti dengan pembangunan kanal atau saluran drainase untuk mengeringkan air yang tertahan di lahan gambut (Murdiyarso et al. 2004).

Lahan gambut berpotensi nyata dalam menghasilkan gas rumah kaca seperti CO2 dan CH4 (Aerts dan Caluwe. 1999). Apabila gambut terbakar atau mengalami kerusakan karena dikelola tanpa memperhatikan sifat gambut,

maka bahan gambut akan mengeluarkan gas terutama CO2, N2O, dan CH4

(Sabiham. 2006), yang akan diemisikan ke udara yang dikenal sebagai gas rumah kaca.

Kehilangan C-organik melalui oksidasi menghasilkan CO2.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kehilangan C-organik antara lain temperatur, O2,

pH, dan Eh gambut. Temperatur gambut merupakan pengendali utama terhadap laju dekomposisi gambut, dan peranannya akan sangat dominan bila berinteraksi dengan O2 (Chapman et al. 1996) suhu dan kelembaban baik udara maupun tanah gambut di kawasan tropik sangat dipengaruhi oleh jenis dan kerapatan vegetasi yang menutupinya. Suhu udara hutan gambut alami di Sumatra berkisar 22 0C – 34,5 0C. Pada keadaan tertutup hutan, suhu gambut berkisar 27,5 0C – 29,0 0C dan jika keadaan terbuka berkisar 40,0 0C – 42,5 0C. Suhu yang tinggi pada keadaan terbuaka akan merangsang aktifitas mikroorganisme sehingga perombakan gambut lebih cepat (Noor. 2001).

Kelembaban relatif hutan gambut cukup tinggi pada musim hujan, yakni berkisar 90% - 96%. Pada musim kemarau, kelembaban menurun

menjadi 80% (Rieley et al. 1996). Reklamasi atau pembukaan lahan gambut


(41)

 

meningkat dan kelembaban yang menurun merupakan dampak dari perubahan komposisi vegetasi alami karena pembukaan lahan (Noor. 2001).

Di daerah tropis, tanah gambut hutan dapat melepaskan sekitar 26,9 juta ton CH4 dan tanah gambut budidaya sebesar 30,9 juta ton CH4 sementara pada tanah alluvial sebesar 5,0 juta ton CH4 (Barlett dan Harris. 1993). Kuantitas C yang hilang dari lahan-lahan gambut di dunia akibat konversi lahan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Estimasi kehilangan C pada lahan gambut Penggunaan lahan Luas lahan sebelumnya (juta ha) Luas lahan yang hilang (juta ha) Akumulasi C yang hilang akibat emisi (juta ton C)

C hilang/tahun

(juta ton C) Pertanian/Kehut

anan Subtropis

399 20 4140 – 5600 63 – 85

Pertanian/Kehut an Tropis

44 1,76 – 3,8 746 53 – 114

Bahan bakar 5 590 – 780 32 – 39

Hortikultura 5 >100 33

Total 5476 – 7126 181 – 271

Sumber : Maltby dan Immirzi (1993)

Kebakaran hutan dan gangguan lahan lainnya telah menempatkan Indonesia dalam urutan ketiga negara penghasil emisi CO2 terbesar di dunia. Indonesia berada di bawah Amerika Serikat dan China, dengan jumlah emisi

yang dihasilkan mencapai 2 miliar ton CO2 per tahunnya atau menyumbang

10% dari emisi CO2 di dunia (Hooijer et al. 2006)

Kebakaran hutan pada lahan gambut yang terjadi di Indonesia tahun 1997 – 1998 di estimasi sekitar 10 juta hektar lahan yang rusak atau terbakar, dengan kerugian untuk Indonesia terhitung 3 milyar dolar Amerika. Kejadian


(42)

ini sekaligus melepaskan emisi gas rumah kaca sebanyak 0,81 – 2,57 Gigaton karbon ke atmosfer (setara dengan 13 – 40% total emisi karbon dunia yang dihasilkan dari bahan bakar fosil per tahunnya) yang berarti menambah kontribusi terhadap perubahan iklim dan pemanasan global (WWF Indonesia). Penghasil emisi karbon terbesar dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Sepuluh negara pengahasil emisi terbesar dunia

No Negara Emisi Karbon (ton) Persentase (%) 1 Amerika Serikat 1.614 21,2 2 China 1.405 18,5 3 Rusia 468 6,2 4 Jepang 348 4,6 5 India 312 4,1 6 Jerman 230 3 7 Kanada 161 2,1 8 Inggris 159 2,1 9 Korsel 139 1,8 10 Italy 132 1,7

Negara lain 2627 34 Sumber : Earth Institut tahun 2005 dalam Fatimah (2009)


(43)

 

BAB III

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1 Luas dan Lokasi

Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2ol'-2o28' Lintang Utara dan

98o10'-98o58' Bujur Timur berada di barat daya Danau Toba. Batas wilayah

Humbang Hasundutan, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Samosir, sebelah timur dengan Kabupaten Tapanuli Utara, sebelah selatan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah dan sebelah barat dengan Kabupaten Pakpak Barat. Kabupaten Humbang terdiri dari 10 Kecamatan dengan 117 desa dan satu kelurahan. Kecamatan yang paling luas adalah Kecamatan Parlilitan seluas 598,70

m2 atau 26 % dari luas kabupaten dan kecamatan yang paling kecil adalah

Kecamatan Bhakti Raja sekitar 50,36 km2 (atau 2 % dari luas kabupaten). 3.2 Aksesibilitas

Aksesibilitas wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan termasuk lancar. Mengingat Kabupaten Humbang Hasundutan berada di tengah-tengah wilayah Provinsi Sumatera Utara bagian barat, maka wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan dibelah oleh jalan provinsi yang menghubungkan wilayah bagian selatan (Kabupaten Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah) ke arah utara (Kabupaten Samosir dan Dairi) dan wilayah bagian timur (Kabupaten Tapanuli Utara) ke barat (Kabupaten Pakpak Barat), jalur-jalur perjalanan tersebut bertemu di perempatan jalan di ibu kota kabupaten (Dolok Sanggul). Aksesibilitas Ibu Kota Kabupaten (Dolok Sanggul) dari Ibu Kota Provinsi (Medan) dapat ditempuh dari dua arah, yaitu arah utara melalui Kabanjahe (sebelah utara Danau Toba) selama kurang lebih 6 jam (dengan jalan bergunung-gunung) atau dari arah selatan melalui Tebing Tinggi dan Balige (sebelah selatan Danau Toba) selama kurang lebih 8 jam dengan kondisi jalan relatif datar.


(44)

3.3Kondisi Fisik Wilayah

Wilayah kabupaten Humbang Hasundutan sebagian besar berada pada wilayah pegunungan dengan ketinggian 330-2.075 m dari permukaan laut, sebagian besar wilayah berupa pegunungan terjal/kemiringan tinggi (69 %), 20 % areal berada di wilayah yang landai dan hanya 11 % areal berada pada wilayah

yang datar (Humbang Hasundutan dalam Angka. 2004).

Seperti halnya di wilayah pulau Sumatera pada umumnya jenis tanah sebagian besar dataran pulau Sumatera terdiri dari tanah Podsolik Merah Kuning yang terbentuk dari berbagai bahan induk. Tanah-tanah di daerah pegunungan (seperti halnya di Kabupaten Humbang Hasundutan) mempunyai penyebaran yang sangat rumit, tetapi umumnya masih terdiri dari berbagai bentuk tanah Podsolik Merah Kuning yang berasosiasi dengan Latosol dan Litosol. Daerah berbatu kapur ditutupi oleh tanah Podsolik Coklat dan tanah Renzina. Tanah Andosol dan tanah Podsolik Coklat Kelabu dijumpai di atas batuan vulkanik.

Iklim di Sumatera ditandai dengan curah hujan yang banyak dan penyebarannya cukup merata sepanjang tahun dan tidak jelas batas antara musim hujan dan musim kering seperti di Jawa atau di daerah Indonesia bagian timur. Curah hujan di Sumatera sangat bervariasi menurut letak topografi yang berbeda. Besarnya berkisar lebih 6000 mm/tahun di sebelah barat Bukit Barisan, sampai kurang dari 1500 mm/tahun di beberapa daerah seperti daerah sebelah timur Aceh. Dari 594 stasiun pencatat curah hujan di Sumatera, 70 % diantaranya mencatat curah hujan lebih dari 2500 mm. Di sebagian besar pulau Sumatera bulan-bulan kering biasanya terjadi bersamaan dengan angin timur laut yang terjadi antara bulan Desember dan Maret. Musim hujan utama biasanya terjadi selama periode peralihan sebelum angin timur taut dan sesudah angin barat daya yaitu pada akhir bulan Mei sampai September. Musim hujan yang kurang lebat (pada bulan April) terjadi sebelum musim angin barat daya. Bagian selatan Sumatera mempunyai pola curah hujan yang serupa dengan pola hujan di Jawa yaitu dengan satu musim kering yang nyata, di sekitar bulan Juli.


(45)

 

Berdasarkan Oldeman et al. (1979) berdasarkan jumlah bulan-bulan basah dan bulan-bulan kering wilayah Pulau Sumatera dibagi kedalam 5 zone iklim dari Zone A - Zone E. Wilayah studi Kabupaten Humbang dan sekitarnya berada pada Zone A di bagian barat-utara dan B di bagian timur-selatan :

1. Zone A: daerah dengan bulan-bulan basah selama sembilan bulan

berturut-turut dan dua bulan atau kurang dari dua bulan berberturut-turut-berturut-turut masa kering.

2. Zone B: daerah dengan bulan-bulan basah selama tujuh sampai sembilan

bulan berturut-turut per tahun, dan bulan kering selama tiga bulan berturut- turut atau kurang.

Gambar 3. Peta lokasi penelitian berdasarkan tata guna lahan kabupaten Humbang Hasundutan (Istomo. 2006)

Mengingat letak geografi Kabupaten Humbang Hasundutan sebagian besar terletak di wilayah pegunungan (yang merupakan bagian dari pegunungan Bukit Barisan) sehingga wilayah ini memang penting bagi penyangga tata air baik untuk Kabupaten Humbang Hasundutan sendiri maupun wilayah di bawahnya. Walaupun wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan yang berada di pegunungan


(46)

dan sebagian berbentuk plato (dataran luas di pegunungan) dan sebagian berbentuk perbukitan dan di beberapa tempat terdapat cekungan-cekungan yang membentuk danau-danau dan lahan gambut. Wilayah yang berupa cekungan baik berupa danau, persawahan dan lahan gambut berfungsi sebagai penyimpan air. Oleh karena itu wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan menjadi sebagian hulu-hulu sungai besar.

3.4 Kondisi Biotik Wilayah

Sebagian besar penutupan vegetasi berupa kawasan hutan (68 %) baik berupa hutan produksi dan hutan lindung, belum termasuk hutan rakyat. Jenis

utama pohon baik secara alam maupun hasil penanaman adalah jenis Pinus

merkusii. Jenis ini memang jenis asli Sumatera dan kadang-kadang dijumpai pada ketinggian 1000-1600 m dpl. Batang pohon ini di habitat alamnya dapat mencapai diameter satu meter, lebih besar dari pohon-pohon hasil penanaman. Di sekitar Danau Toba pohon ini ditanam pada tahun 1927 (Alphen de Veer. 1953). Sedangkan jenis pohon yang sekarang banyak ditanam baik kawasan hutan produksi maupun hutan rakyat melalui sistem PIR adalah jenis Eucalyptus alba.

Jenis pohon berumur pendek ini ditanam untuk keperluan industri pulp dan kertas PT. TPL. Jenis tumbuhan semak yang telah lama dipelajari oleh Janzen (1973) di daerah pegunungan Sumatera dalam kaitannya dengan kabakaran hutan adalah jenis Vaccinium dan Hypericum. Jenis semak Vaccinium merupakan jenis yang dominan pula di lahan gambut Kabupaten Humbang Hasundutan. Setelah kebakaran tunas-tunas dari kedua jenis tersebut terus tumbuh pada pangkal batang tumbuhan yang berada di atas permukaan tanah. Secara rata-rata tunas-tunas ini tumbuh kurang dari 50 cm selama tiga tahun. Tiga tahun setelah kebakaran batang kayu tidak menunjukkan membusuk. Hal ini disebabkan karena suhu yang rendah, sedikitnya pengurai dan tingginya kelembaban tanah yang tidak pernah manjadi cukup panas untuk mendukung kehidupan mikroorganisme pengurai.

Pada sub-sektor kehutanan, berdasarkan fungsi kawasan hutan, kawasan hutan di Kabupaten Humbang Hasundutan pada tahun 2004 tercatat seluas 159.392 ha (atau mencapai 68 % dari luas Kabupaten Humbang Hasundutan),


(47)

 

yang terdiri dari hutan produksi seluas 84.540 ha dan hutan lindung seluas 74.852 ha. Berdasarkan penyebarannya kawasan hutan tersebut terdapat di sembilan kecamatan dari sepuluh kecamatan yang ada di Kabupaten Humbang Hasundutan. Kecamatan yang tidak mempunyai hutan adalah Kecamatan Tarabintang. Kecamatan yang mempunyai kawasan hutan terluas adalah Kecamatan Parlilitan seluas 61.490 ha (37.590 ha hutan produksi dan 23.900 ha hutan lindung). Berdasarkan data dari Dinas Pertanian, Peternakan dart Perikanan Kebupaten Humbang Hasundutan (2004) produksi hasil hutan terdiri dari : log kayu Eucalyptus alba (PT. TPL) 17.403,25 m3; log kayu rakyat campuran 82.370,05 m3; kayu pinus hutan rakyat 45.366,58 m3 dan hasil hutan ikutan berupa rotan 100 ton dan getah pinus 66,50 ton.


(48)

(49)

 

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga bulan April tahun 2011 di lahan gambut yang terletak di Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi Sumatera Utara. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Tanah Departemen Ilmu Tanah Sumberdaya Lingkungan IPB, analisis bahan bakar dilakukan di Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan IPB, serta analisis karbon dilakukan di Laboratorium Terpadu IPB.

4.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kompas, GPS (Global

Positioning System) Garmin 60CSx, bor gambut, ring contoh, phi band, parang/golok, meteran, timbangan, timbangan analitik, kamera serta perlengkapan alat tulis. Sedangkan bahan yang digunakan adalah sampel tanaman, tanah gambut, tali rafia, kertas koran, ring sampel, alkohol 70%, kantong plastik (2 kg), kertas label, amplop, sealed plastic untuk menyimpan sampel, serta tally sheet.

4.3 Jenis Data

Data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Data Primer : data yang diperoleh langsung dari kegiatan di lapangan yaitu jenis dan potensi vegetasi pada lahan gambut bekas terbakar, sifat fisik dan kimia tanah serta kandungan karbon.

b. Data sekunder : kondisi umum lokasi penelitian meliputi luas dan lokasi, aksesibilitas, kondisi fisik, cuaca (suhu, kelembaban dan curah hujan), biotik wilayah, serta kejadian kebakaran.

4.4 Survey Lokasi Penelitian

Survey pendahuluan lokasi penelitian dilakukan pada Bulan April 2010, yang bertujuan untuk menentukan lokasi pembuatan petak contoh dan


(50)

pengambilan sampel penelitian. Pada kegiatan tersebut dilakukan pengamatan terhadap kondisi vegetasi pada lahan gambut bekas terbakar.

4.5 Pengukuran Luas Lahan

Penentuan luas lahan dilakukan dengan menggunakan GPS (Global

Positioning System) dan pita meteran melalui perekaman titik deliniasi sesuai dengan bentuk bentang lahan yang ada di lapangan.

4.6 Pembuatan Petak Contoh

Petak yang digunakan untuk penelitian adalah petak lahan gambut bekas pembakaran dan galian. Pembuatan petak ini sesuai dengan prosedur analisis vegetasi (Soerianegara dan Indrawan. 2008) yaitu dilakukan dengan metode jalur berpetak. Jalur yang dibuat sebanyak 5 jalur dengan jumlah plot sebanyak 45 plot. Pengukuran dilakukan pada petak ukuran 2 m x 2 m (Gambar 4). Pemilihan petak berukuran 2 m x 2 m dikarenakan pada lokasi penelitian didominasi oleh tumbuhan bawah.

Arah Kompas 20 m

Gambar 4. Desain petak penelitian Keterangan :

a. Sub-petak ukuran 2 m x 2 m untuk analisis vegetasi tumbuhan bawah,serasah

dan nekromasa

b. Sub-petak ukuran 5 m x 5 m untuk analisis vegetasi tingkat pancang c. Sub-petak ukuran 10 m x 10 m untuk analisis vegetasi tingkat tiang

d. Petak ukuran 20 m x 20 m

      

d      20 m   

c b  a


(51)

 

4.7. Penentuan Karbon Tersimpan Dalam Gambut Pada umumnya parameter yang diamati adalah:

1. Berat volume (Bulk density) [g cm-3 atau kg dm-3 atau t m-3]

2. Kandungan karbon [% berat]

3. Tingkat kematangan gambut

4. Ketebalan gambut

5. Luas lahan gambut

4.7.1 Berat Volume

Berat volume (Db) adalah masa fase padat tanah (Ms), dibagi dengan

volume total tanah (Vt). Volume total tanah adalah jumlah volume dari fase padat

tanah dalam keadaan di lapangan. Nilai Db yang umum untuk tanah gambut

berkisar antara 0.05-0.3 g cm-3, namun kadangkala bisa sampai <0.01 dan >0.4 g

cm-3. Berbeda dengan tanah mineral, tanah gambut tidak membentuk bongkahan

dan mudah terbakar. Dengan demikian penentuan berat volume dengan metode

bongkahan (clod method) yang memerlukan keberadaan bongkahan dan proses

pembakaran bongkahan, tidak dapat diberlakukan untuk tanah gambut.

Db (berat volume) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (dimodifikasi dari Agus et al. 2007):

          Dimana :

Ms = Berat kering contoh tanah

Vt = Volume contoh tanah

Db = Berat volume (Bulk density) [g cm-3 atau kg dm-3 atau t m-3]

4.7.2 Kandungan Karbon Gambut

Kandungan karbon gambut dapat ditentukan dengan salah satu dari beberapa metode yaitu, pengabuan kering (lost in ignition), Walkley and Black

(pengabuan basah), atau C analyzer. Metode yang paling sederhana, namun

memberikan angka yang cukup akurat adalah metode pengabuan kering. Dengan banyaknya serat setengah lapuk, pengabuan basah dikhawatirkan tidak merombak


(52)

semua bahan organik dalam analisisnya. Penggunaan auto analyzer merupakan

metode langsung (mengukur carbon atau CO2), namun dengan sangat sedikitnya

(15-30 mg) contoh yang dianalisis maka pengambilan contoh yang paling mewakili merupakan bagian yang kritis metode ini.

Kerapatan karbon (C density, Cd) yaitu berat karbon per satuan volume, dapat dihitung dengan persamaan (Agus etal. 2007):

Cd = Db x C

Dimana :

Cd = Kerapatan karbon

Db = Berat volume (Bulk density) [g cm-3 atau kg dm-3 atau t m-3]

C = Kandungan karbon dalam persen

Kisaran Db gambut adalah sekitar 0,02 kg dm-3 pada gambut mentah dan pada bagian gambut yang berongga (hollow) sampai 0,40 kg dm-3 pada gambut matang yang sudah mengalami pemadatan atau bercampur liat. Kisaran kandungan C gambut adalah 30-58%.

4.7.3 Kematangan Gambut

Pengamatan kematangan gambut berguna untuk menaksir kesuburan dan kandungan C gambut. Gambut yang lebih matang biasanya lebih subur, walaupun banyak faktor lain yang menentukan kesuburan gambut, misalnya campuran liat dan abu. Gambut yang lebih matang juga mempunyai kerapatan karbon, Cd, lebih tinggi. Pengamatan kematangan gambut dapat dilakukan di lapangan atau di laboratorium berdasarkan kadar seratnya.

Penetapan Kematangan Gambut di Lapangan

1) Segenggam gambut diambil lalu diperas di telapak tangan.


(53)

 

• Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan

bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila diremas kandungan seratnya yang tertinggal di telapak tangan < sepertiga jumlah semula.

• Gambut hemik (setengah matang) adalah gambut setengah matang,

sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas kandungan seratnya yang tertinggal di telapak tangan antara sepertiga dan dua pertiga jumlah semula.

• Gambut fibrik (mentah) adalah gambut yang belum melapuk, bahan

asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas kandungan seratnya yang tertinggal di telapak tangan > dua pertiga jumlah semula.

4.7.4 Penentuan Ketebalan Gambut Pengambilan Contoh Gambut

Bentuk contoh tanah gambut dilakukan dengan cara menggunakan bor gambut (contoh hampir tidak terganggu). Dengan menggunakan bor gambut contoh gambut dapat diambil dari permukaan sampai ke dasar (substratum)

gambut tergantung jumlah batang besi penyambung (extension rod) yang

dipunyai. Bahkan gambut yang berada dalam keadaan terendam airpun dapat diambil contohnya dengan menggunakan bor gambut. Contoh gambut yang diambil dengan bor gambut dapat digunakan untuk analisis berat volume (Db), kadar air (% volume), dan sifat kimia termasuk kandungan karbon (C).

Pengambilan contoh gambut menggunakan bor gambut

Bor gambut terdiri dari tangkai, tiang sambungan (extension rod) dan

sampler. Sampler terdiri atas sayap penutup dan setengah tabung silinder yang mempunyai satu sisi yang tajam untuk memotong gambut. Bagian-bagian dari bor ini dapat dihubungkan dengan mudah satu sama lainnya dengan menggunakan dua buah kunci pas nomor 23.

Bila bor diputar 180o searah jarum jam maka sayap akan tetap pada

posisinya sehingga menutup tabung silinder yang berisi contoh tanah gambut. Kedalaman contoh yang dapat diambil dengan bor ini adalah 50 cm. Diameter


(54)

tabung bor adalah 60 mm dan diameter contoh 52 mm, sehingga volume contoh yang diambil adalah 500 cm3. Tangkai bor panjangnya 60 cm dan dibalut dengan karet sintetis insulasi arus listrik.

4.8 Analisis Data

4.8.1 Perhitungan Pendugaan Simpanan Karbon Atas Permukaan

Karbon di atas permukaan tanah, meliputi: biomassa tumbuhan bawah, nekromsa, dan serasah.Tumbuhan bawah yang diambil sebagai contoh adalah semua tumbuhan hidup termasuk herba dan rumput-rumputan.

Total berat kering tumbuhan bawah per kuadran dengan rumus sebagai berikut (Hairiah K dan Rahayu S. 2007):

Dimana :

BK = berat kering dan BB = berat basah

Konsentrasi C dalam bahan organik biasanya sekitar 46%, oleh karena itu estimasi jumlah C tersimpan per komponen dapat dihitung dengan mengalikan total berat masanya dengan konsentrasi C, sebagai berikut (Hairiah dan Rahayu, 2007) :

Estimasi C = Total BK x 0.46

Dimana :

Total BK = Biomasa Total (ton ha-1)

4.8.2 Perhitungan Pendugaan Simpanan Karbon Bawah Permukaan

Parameter yang digunakan dalam perhitungan pendugaan simpanan karbon bawah permukaan adalah luas lahan gambut, kedalaman tanah gambut, bobot isi (Db) dan simpanan karbon (C-Organik) pada setiap jenis tanah gambut. Dengan diketahui parameter-parameter tersebut, maka simpanan karbon bawah permukaan dapat dihitung.


(55)

 

Persamaan yang digunakan (Murdiyarso et al. 2004) adalah : KC = B x A x D x C

Dimana :

KC = Simpanan karbon dalam ton

B = Bobot isi (Db) tanah gambut dalam g/cc atau ton/m3

A = Luas tanah gambut dalam m2

D = Ketebalan gambut dalam m

C = Kadar karbon (C-Organik) dalam persen (%)

4.8.3 Perhitungan Jumlah Emisi CO2

Jumlah emisi dari tanah gambut untuk selang waktu tertentu dapat dihitung berdasarkan perubahan karbon tersimpan pada tanah gambut.

Simpanan karbon terbesar pada lahan gambut adalah pada gambut itu sendiri dan yang kedua adalah pada jaringan tanaman dan pada seresah. Masing-masing simpanan karbon tersebut dapat bertambah atau berkurang tergantung pada faktor alam dan campur tangan manusia.

Dengan demikian jumlah emisi CO2 pada selang waktu tertentu dapat

diperkirakan dengan rumus (Agus etal. 2007) sebagai berikut:

  Dimana :

Ea = Emisi karena terbakarnya jaringan tanaman di atas permukaan tanah.

Ea = C tanaman yang terbakar x 3,67 (Angka 3,67 adalah faktor

konversi dari C menjadi CO2).

Ebb = Emisi karena kebakaran gambut.

Ebb = volume gambut yang terbakar (m3) x Cd (t C m-3) x 3,67 CO2/C.

Ebo = Emisi dari dekomposisi gambut.

Pendugaan berdasarkan penurunan permukaan gambut (subsiden)

Sa = Sequestrasi atau penambatan karbon oleh tanaman = rata-rata waktu

simpanan pertambahan kandungan karbon pada jaringan tanaman (t/ha) x 3,67.


(56)

(57)

 

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1Hasil

5.1.1 Biomasa Atas Permukaan

Pada areal penelitian ditemukan beberapa vegetasi yang tumbuh di atas

lahan gambut berupa semak belukar dengan tinggi rata-rata satu meter tumbuh jarang dan tersebar bercampur dengan tumbuhan herba, paku-pakuan dan rumput. Hasil identifikasi jenis tumbuhan yang terdapat di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Daftar jenis tumbuhan yang terdapat di lahan gambut Kab. Humbang Hasundutan

No Jenis Suku Kategori

1 Vaccinium varingifolium Ericaceae Semak 2 Neprolepis biserrata Polypodiaceae Paku-pakuan 3 Melastoma malabathricum. Melastomataceae Herba

4 Daphniphyllum glaucescens Daphniphyllaceae Semak

5 Ficus deltoidea Moraceae Herba 6 Lepinoria mucronata Cyperaceae Rumput 7 Leptospermum flavescens Myrtaceae Semak 8 Cycas rumphii Cycadaceae Pakis

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa ada delapan jenis tumbuhan yang tumbuh dominan pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan yang dibagi menjadi empat kelompok yaitu semak (tumbuhan kecil berkayu), herba, rumput dan paku-pakuan. Jenis semak yang paling banyak dijumpai adalah Vaccinium varingifolium, Daphniphyllum glaucescens, dan Leptospermum flavescens. Dimana ketiga jenis tersebut mempunyai perakaran besar dan rapat dan selama ini yang digali oleh masyarakat di Lintongnihuta untuk dibuat arang. Gambaran umum penutupan vegetasi di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 5. Sedangkan foto beberapa jenis tumbuhan yang umum dijumpai di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.


(58)

Gambar 5. Kondisi penutupan vegetasi di lahan gambut Kab. Humbang Hasundutan yang didominasi oleh semak dan paku-pakuan.

Neprolepis biserrata Daphniphyllum glaucescens

(Polypodiaceae) (Daphniphyllaceae)

Vaccinium varingifolium (Ericaceae) Leptospermum flavescens (Myrtaceae) Gambar 6. Foto-foto jenis tumbuhan yang dijumpai pada lahan gambut di


(59)

 

Ficus deltoidea (Moraceae) Lepinoria mucronata (Cyperaceae)

Melastoma malabathricum Cycas rumphii

(Melastomataceae) (Cycadaceae)

Gambar 6. Foto-foto jenis tumbuhan yang dijumpai pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan (Istomo. 2006)


(60)

Tabel 4. Potensi biomasa tumbuhan bawah di lokasi penelitian

No Plot

No Jenis Berat Basah Contoh (g) Berat Kering Contoh (g) Biomassa (total BK) (g m-2)

Biomasa (total BK)

(ton ha-1)

Estimasi jumlah C (ton ha-1)

1 Ficus deltoidea 300 68,16 63,62 0,63 0,29

22

2 Neprolepis

biserrata

400 86,2 60,63 0,61 0,28

3 Melastoma

malabathricum

420 108,23 72,15 0,72 0,33

Total 1120 1,96 0,90

1 Neprolepis

biserrata

320 79,71 54,80 0,55 0,25

23 2 Cycas rumphii 250 33,80 29,74 0,29 0,13

3 Melastoma

malabathricum

310 82,82 58,77 0,59 0,27

Total 880 1,43 0,65

1 Ficus deltoidea 300 54,90 46,66 0,47 0,22

24 2 Neprolepis

biserrata

420 11,20 69,94 0,69 0,32

3 Cycas rumphii 300 56,94 48,39 0,48 0,22

Total 1020 1,64 0,76

1 Neprolepis

biserrata

400 67,60 52,81 0,53 0,24

31 2 Cycas rumphii 400 11,72 88,84 0,89 0,41

3 Daphniphyllum

glaucescens

450 124,92 86,75 0,87 0,40

Total 1250 2,29 1,05

1 Melastoma

malabathricum

380 115,98 95,38 0,95 0,44

32 2 Cycas rumphii 400 68,08 53,18 0,53 0,24

3 Vaccinium

varingifolium

470 143,44 95,37 0,95 0,44

Total 1250 2,43 1,10

1 Neprolepis

biserrata

350 96,49 10,.31 1,01 0,46

33 2 Cycas rumphii 400 100,40 92,24 0,92 0,42

3 Vaccinium

varingifolium

420 109,62 95,92 0,96 0,44

4 Lepinoria

mucronata

300 66,72 81,73 0,82 0,38

Total 1470 3,71 1,70

Rata-rata

2,24 1,03

Pada Tabel 4 dapat dilihat hasil dari potensi biomasa dan estimasi C tumbuhan bawah pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan. Biomasa tumbuhan bawah yang terdapat pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan berkisar antara 1,43 – 3,71 ton ha-1 dengan rata-rata sebesar 2,24


(61)

 

ton ha-1. Sedangkan estimasi C tumbuhan bawah yang terdapat pada lahan

gambut di Kab. Humbang Hasundutan berkisar antara 0,60 – 1,70 ton ha-1

dengan rata-rata sebesar 1,03 ton ha-1.

5.1.2 Biomasa dan Cadangan Karbon Bawah Permukaan 5.1.2.1 Berat Volume (Bulk density) Contoh

Berat volume (Db) adalah masa fase padat tanah (Ms), dibagi dengan volume total tanah (Vt). Volume total tanah adalah jumlah volume dari fase padat

tanah dalam keadaan di lapangan. Nilai Db yang umum untuk tanah gambut

berkisar antara 0,05-0,3 g cm-3, namun kadangkala bisa sampai <0,01 dan >0,4 g

cm-3. Berbeda dengan tanah mineral, tanah gambut tidak membentuk bongkahan

dan mudah terbakar.

Pada Tabel 5 dapat dilihat hasil dari berat volume (Bulk density) dari beberapa jenis tanah gambut pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan. Pengambilan contoh gambut pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan dilakukan pada tiga tipe penutupan lahan yaitu tanah bervegetasi, tanah tidak bervegetasi dan tanah bekas galian. Volume contoh tanah (Vt) dari ring contoh sebesar 254,82 cm3. Sehingga diperoleh Bulk density di lokasi penelitian berkisar antara 0,274 - 0,286 g cm-3 (tanah bekas galian dengan tanah bervegetasi), sedangkan Bulk density pada tanah tidak bervegetasi sebesar 0,282 g cm-3.

Tabel 5. Berat volume (Bulk density) dari beberapa jenis tanah gambut pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan

No Tipe Penutupan Lahan Bulk Density

(g cm-3)

1 Tanah bervegetasi 0,286

2 Tanah tidak bervegetasi 0,282

3 Tanah bekas galian 0,274

5.1.2.2 Kandungan Karbon Gambut Contoh

Data kandungan karbon (%C) gambut merupakan variabel utama untuk menentukan total karbon (cadangan karbon) yang tersimpan pada lahan gambut. Secara umum, cadangan karbon yang tersimpan pada hamparan tanah gambut dapat diketahui berdasarkan ketersediaan data: ketebalan gambut, kandungan


(62)

gambut dapat ditentukan dengan salah satu dari beberapa metode yaitu, pengabuan kering (lost in ignition), Walkley and Black (pengabuan basah), atau C analyzer. Pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan, kandungan C gambut diperoleh pada tanah bervegetasi, tanah tidak bervegetasi dan tanah bekas galian.

Tabel 6. Hasil penilaian sifat kimia tanah gambut di lokasi penelitian di Kab. Humbang Hasundutan

No Tipe Penutupan Lahan

Walkley & Black

Kjeldhal Bray 1 N NH4OAc

pH 7.0

C-org N-Total P K KTK

(%) (%) (ppm) (me/100g)

1 Tanah bervegetasi 56.81 1.20 22.42 0.46 175.22

2 Tanah tidak bervegetasi 56.78 1.15 20.93 0.23 126.85

3 Tanah bekas galian 56.58 0.95 12.85 0.23 145.20

Pada Tabel 6 dapat dilihat kandungan C yang terbesar terdapat pada tanah bervegetasi adalah 56,81 %. Sedangkan kandungan C terkecil terdapat pada tanah bekas galian adalah 56,58 %.

5.1.2.3 Kematangan Gambut Contoh

Pengamatan kematangan gambut berguna untuk menaksir kesuburan dan kandungan C gambut. Gambut yang lebih matang biasanya lebih subur, walaupun banyak faktor lain yang menentukan kesuburan gambut, misalnya campuran liat dan abu. Gambut pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan merupakan gambut hemik, yang mempunyai ciri-ciri yaitu sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas kandungan seratnya yang tertinggal di telapak tangan antara sepertiga dan dua pertiga jumlah semula.

Pada Lampiran 2 dapat dilihat tingkat kematangan gambut yang terdapat pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan yang terdiri atas tiga tipe penutupan lahan dari jumlah plot yang diukur.

5.1.2.4 Ketebalan Gambut

Bentuk contoh tanah gambut dilakukan dengan cara menggunakan bor gambut (contoh hampir tidak terganggu). Dengan menggunakan bor gambut


(63)

 

contoh gambut dapat diambil dari permukaan sampai ke dasar (substratum)

gambut tergantung jumlah batang besi penyambung (extension rod) yang

dipunyai. Bahkan gambut yang berada dalam keadaan terendam airpun dapat diambil contohnya dengan menggunakan bor gambut. Contoh gambut yang diambil dengan bor gambut dapat digunakan untuk analisis berat volume (Db), kadar air (% volume), dan sifat kimia termasuk kandungan karbon (C). Ketebalan gambut yang diukur rata-rata sebesar 2,5 meter (Istomo. 2006). Gambut di lokasi penelitian merupakan gambut topogen yang memiliki akar-akar pohon yang tersusun sangat rapat (lebih rapat bila dibandingkan dengan gambut ombrogen) (Istomo. 2006).

Pada Lampiran 3 dapat dilihat ketebalan gambut yang terdapat pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan yang terdiri atas tiga tipe penutupan lahan dari jumlah plot yang diukur.

5.1.2.5 Luas Tanah Gambut Contoh

Luas keseluruhan lahan gambut di desa Nagasaribu Kec. Lintongnihuta Kab. Humbang Hasundutan sebesar 97,99 ha. Lokasi lahan gambut tersebut dipisah oleh jalan besar. Lokasi lahan gambut tersebut dibagi menjadi tiga bagian yaitu tanah bervegetasi, tanah tidak bervegetasi dan tanah bekas digali. Luas tanah bervegetasi 0,06 ha (600 m2), luas tanah tidak bervegetasi sebesar 0,01 ha (100 m2)dan luas tanah bekas galian sebesar 2 ha (20.000 m2). Tidak semua luas lahan dipergunakan untuk melakukan penelitian ini karena sebagian lahan gambut ini tidak memungkinkan untuk dilakukan analisa vegetasi.

Tabel 7. Luas tanah gambut yang dibagi atas tiga jenis tanah pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan

No Tipe Penutupan Lahan Luas areal (ha)

1 Bervegetasi 0,06

2 Tidak Bervegetasi 0,01


(64)

5.1.2.6 Pengukuran Tinggi Muka Air Saluran

Tinggi muka air di saluran drainase di lahan gambut Kab. Humbang Hasunduntan berkisar antara 25 - 55 cm.Tinggi muka air tanah pada lahan gambut yang didrainase dipengaruhi oleh dalam saluran drainase, sedangkan jenis vegetasi tidak terlihat berpengaruh terhadap tinggi muka air tanah (Finn . 1983). Hasil penelitian Andrie et al. (2010) juga menemukan bahwa pembuatan saluran drainase yang berlebihan menyebabkan perubahan sifat-sifat fisika, kimia dan biologi gambut, dampaknya dalam muka air tanah pada musim kemarau letaknya jauh dari permukaan tanah, sedangkan pada musim hujan berada dekat permukaan tanah.

5.1.3 Perhitungan Pendugaan Simpanan Karbon Bawah Permukaan

Dengan diperolehnya luas lahan gambut, kedalaman tanah gambut, berat volume (Bulk density) dan Simpanan karbon (C-Organik) pada setiap jenis tanah gambut pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan maka dapat dihitung Biomasa bawah permukaan gambut.

Pada Tabel 8 dapat dilihat hasil dari potensi biomasa bawah permukaan pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan. Simpanan karbon terbesar terdapat pada jenis tanah tidak bervegetasi sebesar 0,400 ton. Sedangkan simpanan karbon terkecil terdapat pada jenis tanah bervegetasi sebesar 0,333 ton. Total simpanan karbon bawah permukaan pada luas areal 2,07 ha sebesar 1,118 ton..

Tabel 8. Potensi biomasa bawah permukaan pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan No Tipe Penutupan Lahan Bulk density (ton/m3)

Luas tanah gambut (ha) Ketebalan gambut (m) Kadar karbon (C-Organik) (%) Simpanan karbon (ton)

1 Bervegetasi 0,286 0,06 2,5 56,81 0,333

2 Tidak bervegetasi

0,282 0,01 2,5 56,78 0,400

3 Bekas galian

0,274 2 2,5 56,58 0,385


(65)

 

5.1.4 Perhitungan Jumlah Emisi CO2

Gas rumah kaca (GRK) yang dikeluarkan (diemisikan) lahan gambut adalah CO2, CH4 (metan), dan N2O. Di antara ketiga gas tersebut CO2 merupakan GRK terpenting karena jumlahnya yang relatif besar, terutama dari lahan gambut yang sudah berubah fungsi dari hutan menjadi lahan pertanian dan pemukiman.

Pada Tabel 9 dapat dilihat hasil dari jumlah emisi CO2 pada lahan

gambut di Kab. Humbang Hasundutan.

Tabel 9. Emisi CO2 pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan

Ea

(t CO2)

Ebb

(t CO2)

Ebo

(t CO2)

Sa Δt Efiensi Pembakaran

(%)

Emisi Total (ton/tahun)

25,55 7.122,09 769,18 0 5 25 1,58

Dari hasil yang diperoleh bahwa emisi karena terbakarnya jaringan

tanaman di atas permukaan tanah (Ea) sebesar 25,55 t CO2. Emisi karena

kebakaran gambut (Ebb) sebesar 7122,09 t CO2. Emisi dari dekomposisi gambut

(Ebo) sebesar 769,18 t CO2 dimana pendugaan berdasarkan penurunan

permukaan gambut (subsiden). Dimana Ea, Ebb dan Ebo dikalikan 25 % (efisiensi pembakaran). Tidak ada terjadi Sequestrasi (Sa) atau penambatan karbon oleh tanaman pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan sehingga dianggap 0.

Sedangkan perbedaan atau lamanya waktu yang diperhitungkan (Δt) selama 5

tahun.

Sehingga emisi CO2 dapat dihitung dengan menggunakan rumus diatas, yaitu:

E = (25,55 t CO2 + 7.122,09 t CO2 + 769,18 t CO2 – 0 )/5 th E = 7.916,82 t CO2/5 th

E = 7,9 ton/5 thn

Dari perhitungan diatas dapat diinterpretasi bahwa 7,9 ton akan teremisi dari 2,07 ha di Kab. Humbang Hasundutan selama 5 tahun dan emisi per tahun sebesar 1,58 ton dengan efisiensi pembakaran sebesar 25%.


(66)

5.2 Pembahasan

5.2.1 Biomasa Atas Permukaan

Pada areal penelitian ditemukan ada delapan jenis tumbuhan bawah yang tumbuh dominan pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan yang dibagi menjadi empat kelompok yaitu semak (tumbuhan kecil berkayu), herba, rumput dan paku-pakuan. Jenis semak yang paling banyak dijumpai adalah Vaccinium varingifolium, Daphniphyllum glaucescens, dan Leptospermum flavescens.

Biomasa tumbuhan bawah yang terdapat pada lahan gambut di Kab.

Humbang Hasundutan berkisar antara 1,43 – 3,71 ton ha-1 dengan rata-rata

sebesar 2,24 ton ha-1. Sedangkan estimasi C tumbuhan bawah yang terdapat

pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan berkisar antara 0,60 – 1,70 ton ha-1 dengan rata-rata sebesar 1,03 ton ha-1.

Besarnya biomasa tumbuhan bawah sangat dipengaruhi oleh banyaknya jenis tumbuhan bawah di suatu plot yang akan diukur.

5.2.2 Biomasa dan Cadangan Karbon Bawah Permukaan 5.2.2.1 Berat Volume (Bulk density) Contoh

Indikator terpenting dari potensi tanah gambut adalah: (l) tingkat

dekomposisi, (2) kadar abu dan (3) nilai berat volume (Db). Semakin tinggi

tingkat dekornposisinya, kadar abu dan berat volume (Db)-nya maka semakin

tinggi kandungan mineral dan bahan padatannya sehingga akan menghasilkan kalori yang lebih tinggi.

Dari hasil berat volume (Db) diketahui bahwa nilai berat volume (Db) pada tanah bervegetasi lebih besar dibandingkan dengan tanah tidak bervegetasi, dan tanah bekas digali. Hal ini berkaitan dengan keberadaan lapisan liat pada

tanah bervegetasi hingga menyebabkan nilai berat volume (Db) menjadi lebih

tinggi. Selain itu pengaruh tumbuhnya tumbuhan bawah di tanah bervegetasi sehingga mempengaruhi berat volume (Db). Nilai berat volume (Db) yang rendah diakibatkan oleh adanya rongga pada gambut yang dipenganrhi oleh adanya akar-akar tumbuhan.


(67)

 

5.2.2.2 Kandungan Karbon Gambut Contoh

Data kandungan karbon (%C) gambut merupakan variabel utama untuk menentukan total karbon (cadangan karbon) yang tersimpan pada lahan gambut. Secara umum, cadangan karbon yang tersimpan pada hamparan tanah gambut dapat diketahui berdasarkan ketersediaan data: ketebalan gambut, kandungan

karbon (%C), Bulk density, dan luas areal lahan gambut. Kandungan karbon

gambut dapat ditentukan dengan salah satu dari beberapa metode yaitu, pengabuan kering (lost in ignition), Walkley and Black (pengabuan basah), atau C analyzer. Sama halnya dengan berat volume (Db), tanah bervegetasi mempunyai kandungan karbon (%C) yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah tidak bervegetasi, dan tanah bekas digali.

5.2.2.3 Kematangan Gambut Contoh

Kematangan gambut diteliti untuk menaksir kesuburan dan kandungan C gambut. Gambut yang lebih matang biasanya lebih subur, walaupun banyak faktor lain yang menentukan kesuburan gambut, misalnya campuran liat dan abu. Gambut pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan merupakan gambut hemik.

Gambut pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan juga merupakan gambut yang terdapat di daerah dingin. Gambut di daerah dingin terbentuk dari tumbuhan herba (rumput dan paku pakuan) dan terbentuk karena suhu rendah sehingga tanah gambut yang ada sangat homogen dan subur. Kesuburan tanah gambut lokasi penelitian memperlihatkan sifat umum dari tanah gambut topogen dengan tingkat kesuburan sedang sampai tinggi (mesotropik sampai eutropik) dibandingkan dengan gambut ombrogen yang umumnya oligotropik (tidak subur).

5.2.2.4 Ketebalan Gambut

Ketebalan gambut diperoleh dengan cara menggunakan bor gambut. Dengan menggunakan bor gambut contoh gambut dapat diambil dari permukaan sampai ke dasar (substratum) gambut tergantung jumlah batang besi penyambung (extension rod) yang dipunyai. Contoh gambut yang diambil dengan bor gambut


(68)

dapat digunakan untuk analisis berat volume (Db), kadar air (% volume), dan sifat kimia termasuk kandungan karbon (C).

Rata-rata ketebalan gambut yang diukur di lokasi penelitian sebesar 2,5 meter (Istomo. 2006). Terdapat faktor pembatas yang tinggi/bahkan lebih tinggi bila dibandingkan dengan gambut ombrogen yaitu keberadaan akar-akar pohon yang tersusun sangat rapat (lebih rapat bila dibandingkan dengan gambut ombrogen). Tingkat kerapatan akar pohon lahan gambut di lokasi penelitian diindikasikan dengan tidak adanya celah walaupun hanya untuk mata bor gambut

terutama lahan gambut yang berada di Kab. Humbang Hasundutan (Istomo.

2006)

5.2.2.5 Pengukuran Tinggi Muka Air Saluran

Tinggi muka air tanah pada lahan gambut yang didrainase dipengaruhi oleh dalam saluran drainase, mengikuti pola logaritmik dengan jarak tegak lurus lokasi dari saluran, curah hujan dan permebialitas, sedangkan jenis vegetasi tidak terlihat berpengaruh terhadap tinggi muka air tanah (Finn. 1983).

Pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan tidak dijumpai adanya sungai, tetapi terdapat kanal disekitar lahan gambut. Kondisi muka air tanah gambut sangat dipengaruhi oleh faktor iklim, terutama curah hujan. Pada kondisi musim hujan, rnuka air tanah gambut bisa sangat dangkal atau bahkan tergenang, dan pada musim kemarau muka air tanah akan mengalami penurunan. Menurut Rieley (1997), pada musim hujan permukaan air di lahan gambut dapat mencapai 0,5 m di atas pennukaan tanah tetapi pada musim kemarau dapat turun mencapai 1,5 m di bawah permukaan tanah.

Hasil penelitian Andrie et al. (2010) juga menemukan bahwa pembuatan saluran drainase yang berlebihan menyebabkan perubahan sifat-sifat fisika, kimia dan biologi gambut, dampaknya dalam muka air tanah pada musim kemarau letaknya jauh dari permukaan tanah, sedangkan pada musim hujan berada dekat permukaan tanah, selain itu semakin dekat dengan saluran drainase dalam muka air tanah letaknya jauh dari permukaan tanah dan semakin jauh dari saluran drainase dalam muka air tanah letaknya dekat dengan permukaan tanah.


(1)

Lampiran 1. Metode penelitian secara garis besar disajikan pada matriks di bawah ini

No Tujuan Parameter Pengukuran Alat yang digunakan Sumber data

1 2 Menghitung potensi karbon (Bawah permukaan) (Atas permukaan) Memperoleh emisi karbon

- Berat volume

(Bulk density; Db) - Kandungan karbon - Kematangan gambut - Ketebalan gambut - Biomassa tumbuhan bawah, nekromasa, dan serasah. - Jaringan tanaman yang terbakar di atas permukaan

- Tanah yang

terbakar - Pendugaan penurunan permukaan gambut Pengambilan sampel tanah dengan

menggunakan ring 20 cm di lapangan Di analisa di laboratorium

Diambil segenggam gambut lalu diperas di telapak tangan dan dianalisa di laboratorium

Dengan menggunakan bor gambut

Digunakan kuadran berukuran 0,5 m x 0,5 m pada sub-plot. Lalu diambil tumbuhan bawah, nekromasa tidak berkayu (serasah kasar, serasah dan akar halus) dan ditimbang berat basahnya. Kemudian dianalisa di laboratorium dengan menimbang berat keringnya.

Mengukur volume kayu

(tinggi dan diameter)

Menggali tanah berbentuk kubus dengan ukuran 1 m x 1 m x 1 m, lalu

dipisahkan akar dan tanah. Kemudian diukur masing-masing volumenya Pencarian data penurunan gambut (subsiden)

Ring contoh, cawan aluminium

Lumpung porselin, Cawan porselin, tanur pemanas

Pompa syringe, Botol

semprot, ayakan dengan ukuran lobang

150 μm atau 0.0059

inc.

Bor gambut

Kuadran, Pisau atau gunting rumput, Timbangan, Spidol permanen, Kantong plastik, Kantong kertas semen, Ayakan dengan ukuran lubang 2 mm, Nampan, Ember, Kuadran baja, Palu besar Meteran, Caliper Cangkul, Sekop Alat tulis Data Primer Data Primer Data Primer Data Primer Data Primer Data Primer Data Primer Data Sekunder


(2)

Lampiran 2. Tingkat kematangan gambut

Tipe Penutupan Lahan Plot Kematangan gambut

Bekas galian  1 hemik

Bekas galian  2 hemik

Bekas galian  3 hemik

Bekas galian  4 hemik

Bekas galian  5 hemik

Bekas galian  6 hemik

Bekas galian  7 hemik

Bekas galian  8 hemik

Bekas galian  9 hemik

Bekas galian  10 hemik

Bekas galian  11 hemik

Bekas galian  12 hemik

Bekas galian  13 hemik

Bekas galian  14 hemik

Bekas galian  15 hemik

Bekas galian  16 hemik

Bekas galian  17 hemik

Bekas galian  18 hemik

Bekas galian  19 hemik

Bekas galian  20 hemik

Bekas galian  21 hemik

Bervegetasi 22 hemik

Bervegetasi 23 hemik

Bervegetasi 24 hemik

Bekas galian  25 hemik

Bekas galian  26 hemik

Bekas galian  27 hemik

Bekas galian  28 hemik


(3)

Lampiran 2 (lanjutan). Tingkat kematangan gambut

Tipe Penutupan Lahan Plot Kematangan gambut

Bekas galian  30 hemik

Bervegetasi  31 hemik

Bervegetasi  32 hemik

Bervegetasi  33 hemik

Tidak Bervegetasi  34 hemik

Bekas galian  35 hemik

Bekas galian  36 hemik

Bekas galian  37 hemik

Bekas galian  38 hemik

Bekas galian  39 hemik

Bekas galian  40 hemik

Bekas galian  41 hemik

Bekas galian  42 hemik

Bekas galian  43 hemik

Bekas galian  44 hemik


(4)

Lampiran 3. Ketebalan gambut

Tipe Penutupan Lahan Plot Ketebalan gambut (m) Bekas galian 1 2,5

Bekas galian  2 2,5  Bekas galian  3 2,5  Bekas galian  4 2,5  Bekas galian  5 2,5  Bekas galian  6 2,5  Bekas galian  7 2,5  Bekas galian  8 2,5  Bekas galian  9 2,5  Bekas galian  10 2,5  Bekas galian  11 2,5  Bekas galian  12 2,5  Bekas galian  13 2,5  Bekas galian  14 2,5  Bekas galian  15 2,5  Bekas galian  16 2,5  Bekas galian  17 2,5  Bekas galian 18 2,5  Bekas galian 19 2,5  Bekas galian 20 2,5  Bekas galian 21 2,5  Bervegetasi 22 2,5  Bervegetasi 23 2,5  Bervegetasi 24 2,5  Bekas galian  25 2,5  Bekas galian  26 2,5  Bekas galian  27 2,5  Bekas galian  28 2,5  Bekas galian  29 2,5  Sumber: Istomo (2006)


(5)

Lampiran 3 (lanjutan). Ketebalan gambut

Tipe Penutupan Lahan Plot Ketebalan gambut (m) 

Bekas galian  30 2,5

Bervegetasi  31 2,5  Bervegetasi  32 2,5  Bervegetasi  33 2,5  Tidak Bervegetasi  34 2,5  Bekas galian  35 2,5  Bekas galian  36 2,5  Bekas galian  37 2,5  Bekas galian  38 2,5  Bekas galian  39 2,5  Bekas galian  40 2,5  Bekas galian  41 2,5  Bekas galian  42 2,5  Bekas galian  43 2,5  Bekas galian  44 2,5  Bekas galian  45 2,5  Sumber: Istomo (2006)


(6)

Lampiran 4. Perhitungan Emisi CO2

Ea = 13,46 t C ha-1 x 3,67 CO2/C = 49,39 t CO2 ha-1 Ea = 49,39 t CO2 ha-1 x 2,07 ha = 102,23 t CO2 Ea = 102,23 t CO2 x 25% = 25,55 t CO2

Ebb = 2,5 m x 20.700 m2 = 51.750 m3

Cd = Db x C = 0,274 ton m-3 x 0.56 = 0,15 ton m-3

Ebb = 51.750 m3 x 0,15 ton C m-3 x 3,67 CO2/C = 28.488,37 t CO2

Ebb = 28.488,37 t CO2 x 25% = 7.122,09 t CO2

Ebo = 0,27 m x 0,15 ton C m-3 x 3,67 t CO2/t C x 2,07 ha x 10000 m2 ha-1

= 3.076,74 t CO2

Ebo = 3.076,74 t CO2 x 25% = 769,18 t CO2

Sa = 0

Δt = 5 th

E = (25,55 t CO2 + 7.122,09 t CO2 + 769,18 t CO2 – 0 )/5 E = 7.916,82 t CO2/5 th