1.Tata Niaga Buah-buahan dan Sayur- Sayuran

transaksi seperti biaya transportasi dan pungutan- pungutan di jalan dan di pasar. Resiko lainnya yakni resiko kerusakan selama di perjalanan. Hal tersebut dipengaruhi oleh penanganan pasca panen dan teknik penyimpanan di dalam truk yang tidak tepat. Pedagang juga memiliki resiko. Sebagai rantai tata niaga di tingkat akhir sebelum sampai ke konsumen, bila penanganan sebelumnya kurang benar maka produk yang diterima merupakan produk dengan kualitas yang kurang baik. Hal ini berakibat pada resiko kerusakan yang lebih banyak. Dari setiap marjin yang dibentuk, share petani besarnya kontribusi harga yang diterima terlihat seperti pada Tabel 46. Tabel 46 Share Petani No Komoditas Pemasaran Share Petani 1 Jeruk Konsumen Pasar Tradisional 30,43 Konsumen Pasar Modern 23,33 2 Kubis Konsumen Pasar Tradisional 61,57 Konsumen Pasar Modern 50,72 3 Kentang Konsumen Pasar Tradisional 52,32 Konsumen Pasar Modern 36,92 4 Wortel Konsumen Pasar Tradisional 36,17 Konsumen Pasar Modern 34,00 Jika dilihat pada Tabel 46 maka bagian yang diterima petani dalam pembentukan harga cukup besar. Dalam pemasaran hortikultura jeruk, kubis, kentang dan wortel, transmisi harga dari tingkat konsumen kepada petani pada umumnya berbeda menurut komoditas dan dalam kajian ini berkisar antara 23,33 sampai 61,57. Variasi transmisi harga tersebut secara umum dipengaruhi oleh dua faktor yaitu : 1 Adanya kekuatan monopsonioligopsoni pada pedagang sehingga mereka memiliki kekuatan untuk mengendalikan harga beli dari petani atau harga di tingkat produsen. Adanya kekuatan monopsoni pada pedagang menyebabkan kenaikan harga yang terjadi di tingkat konsumen tidak selalu diteruskan kepada petani secara sempurna. 2 Rantai pemasaranyang semakin panjangyang memungkinkan terjadinya akumulasi bias transmisi harga yang semakin besar. Sama seperti komoditas buah-buahan, hasil Susenas tahun 2009 konsumsi perkapita sayur-sayuran segar sebesar 42,62 Kg kapitatahun dan data produksi sayur-sayuran Kabupaten Karo tahun 2009 sebesar 2.703,08 ton,sumbangan produksi kentang, wortel dan kubis sebesar 787,59 ton 29,13, jika dari hasil susenas tersebut diasumsikan bahwa 0,5 adalah konsumsi untuk kentang, kubis dan wortel maka konsumsi ketiga komoditas tersebut sebesar 0,213 Kg tahun. Jumlah penduduk Kabupaten Karo tahun 2009 adalah 360.880 jiwa, sehingga total kebutuhan konsumsi sebesar 76,867 tonthn. Artinya bahwa ada kelebihan ketiga komoditas tersebut sebesar 710,723 ton yang setiap tahunnya keluar dalam bentuk segar dari Kabupaten Karo ke wilayah lain. Dari hasil kajian terlihat bahwa produksi sayuran di Kabupaten Karo semuanya juga masih di jual dalam bentuk segar raw material karena dalam rantai pemasaran tidak terlihat adanya hubungan ke bentuk industri pengolahan maka nilai tambah dari sektor ini dapat dikatakan sangat kecil terhadap wilayahnya, hal ini menujukkan bahwa semakin memperbesar peluang terjadinya kebocoran wilayah. Dan hal ini juga didukung oleh pengolahan dari tabel struktur tabel Input-output bahwa sektor sayur-sayuran ini belum memiliki nilai keterkaitan dengan sektor pengolahan artinya bahwa sektor ini belum mampu menjadi penggerak untuk tumbuhnya sektor perekonomian lainnya khususnya pengolahan. Gambaran aliran dan arahan wilayah industri pengolahan dapat dilihat pada Gambar 21. Gambar 21 Aliran Komoditas Hortikultura Ke Luar Wilayah dan Arahan Lokasi Industri Pengolahan Hortikultura Keterangan: Komoditas Hortikultura mengalir dari kabupaten Karo ke luar wilayahnya dalam bentuk segar. Industri pengolahan diarahkan di ibukota kabupaten Karo Kabanjahe dan Berastagi sebagai salah satu lokasi pasar induk kabupaten Karo. Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Karo dan Arahan Lokasi Industri Pengolahan Berastagi Kabanjahe 5.3.Sintesis Hasil Analisis 5.3.1. Makro Peran hortikultura terhadap perekonomian wilayah dapat diketahui persentase PDRB sektor-sektor hortikultura terhadap total PDRB, persentase output total sektor-sektor hortikultura terhadap keseluruhan output total, keterkaitan sektor hortikultura dengan sektor-sektor lainnya dan nilai multiplier. Kontribusi PDRB sayur-sayuran dan buah-buahan masing masing terhadap sektor pertanian berturut-turut adalah adalah : 0,067 dan 0,025, sementara untuk kontribusi total PDRB sayur-sayuran dan buah-buahan memberikan sumbangan sebesar : 0,04 dan 0,015. Berdasarkan kontribusi output total, maka peran kedua sektor menunjukkan kontribusi yang rendah terhadap pembentukan output total. Dari hasil analisis Nilai keterkaitan ke depan DFL dan keterkaitan ke belakang DBL sektor-sektor hortikultura dengan sektor-sektor lainnya terlihat bahwa sektor sayur- sayuran dan buah-buahan memiliki nilai DFL yang lebih kecil dibandingkan nilai DBL. Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan output kedua sektor tersebut lebih besar oleh sektornya sendiri dibandingkan dengan penggunaan oleh sektor lainnya. Nilai Indeks Penyebaran IDP sayur- sayuran lebih dari satu menunjukkan bahwa sektor tersebut memiliki kemampuan untuk meningkatkan pertumbuhan sektor hulunya atau meningkatkan output sektor lainnya yang digunakan sebagai input oleh sektor tersebut. Sedangkan buah-buahan memiliki nilai yang kurang dari satu, menunjukkan bahwa sektor tersebut kurang mampu dalam menarik sektor hulunya. Nilai Indeks Kepekaan IDK sektor-sayur-sayuran dan buah-buahan kurang dari satu, menunjukkan bahwa sektor tersebut tidak memiliki kemampuan untuk mendorong pertumbuhan produksi sektor hilir yang memakai input dari sektor tersebut. Hal ini berarti bahwa sektor sayur-sayuran dan buah- buahan kurang memiliki kemampuan untuk mendorong sektor-sektor hilir yang menggunakan outputnya sebagai input produksi. Berdasarkan hasil kajian terlihat bahwa ke dua sektor tersebut memiliki keterkaitan yang lemah dengan sektor hilirnya. Keterkaitan sektor hortikultura dengan sektor hulunya lebih kuat bila dibandingkan dengan sektor hulunya. Hal ini dicirikan dengan lebih kuatnya keterkaitan sektor hortikultura dengan sektor- sektor lain ke belakang dibandingkan dengan keterkaitan ke depan. Keterkaitan ke depan sektor sayuran dan buah-buahan dengan sektor pengolahan industri bukan migas sangat kecil yaitu 0,00087 untuk sektor sayur- sayuran dan 0,00235 untuk sektor buah-buahan. Berdasarkan analisis terhadap sistem agribisnis, maka industri pengolahan khusus untuk sektor tersebut masih relatif sedikit dan berada di luar wilayah produksi. Hal ini merupakan salah satu indikasi terjadinya kebocoran wilayah, apabila kegiatan pengolahan tersebut dilakukan di dalam wilayah maka tentu saja akan lebih bermanfaat bagi masyarakat di dalam wilayah dan juga bagi wilayah itu sendiri. Oleh karena itu, industri pengolahan yang dikembangkan dapat berupa industri skala kecil maupun menengah sehingga dapat dikelola oleh petani maupun kelompok tani. Industri skala kecil dan menengah dikembangkan dengan harapan dapat meningkatkan pendapatan petani dan penyerapan tenaga kerja. Dengan pengembangan subsistem hilir dalam bentuk industri pengolahan skala kecil dan menengah oleh petanikelompok tani diharapkan nilai tambah subsistem hilir dapat diperoleh oleh petanikelompok tani. Keterkaitan yang terjadi antara sektor sayur-sayuran dan buah-buahan dengan sektor perdagangan besar dan eceran merupakan keterkaitan ke belakang, bukan merupakan keterkaitan ke depan. Transaksi antara elemen tataniaga juga terjadi di luar wilayah kabupaten Karo. Keterkaitan ke depan antara ke dua sektor ini dengan perdagangan besar dan eceran tidak ada. Bila dikoreksi dengan marjin tata niaga, maka pihak yang lebih banyak mendapatkan keuntungan dalam transaksi adalah pengumpul atau pedagang besar dan transaksi tersebut di dalam wilayah. Dalam analisis ini, nilai transaksi ekspor tidak dirinci dan hanya masuk dalam permintaan akhir. Kemungkinan tidak terkaitnya ke dua sektor tersebut dengan sektor perdagangan besar dan eceran adalah karena komoditas hortikultura lebih banyak di perdagangkan di luar wilayah. Bila hal ini terjadi, maka ada indikasi telah terjadinya kebocoran wilayah di dalam perdagangan. Keterkaitan ke belakang dengan sektor perdagangan besar dan eceran berhubungan dengan perdagangan input produksi sektor hortikultura. Hal ini menunjukkan perkembangan di subsistem hulu. Subsistem hulu merupakan susbistem yang menyediakan sarana produksi pertanian primer bagi subsistem budidaya, baik industri maupun perdagangannya. Bila dihubungkan, maka keterkaitan sektor hortikultura ke belakang dengan sektor perdagangan besar dan eceran merupakan keterkaitan perdagangan sarana produksi pertanian primer. Sebagai contoh adalah keterkaitan dengan kios sarana produksi yang menyediakan sarana produksi pertanian primer untuk kegiatan budidaya seperti polybag, pupuk kimia, pestisida dan lain-lain. Keterkaitan lain yang perlu diperhatikan adalah keterkaitan yang terjadi di dalam masing-masing subsistem agribisnis itu sendiri. Sebagai contoh dalam subsistem budidaya menghasilkan limbah tanaman yang dapat digunakan sebagai pupuk organik. Perbanyakan tanaman juga dapat dilakukan dari bagian tanaman itu sendiri. Keterkaitan di dalam subsistem hulu dapat dilakukan melalui kegiatan produksi dan perdagangan dari sarana produksi pertanian primer yang dilakukan di dalam suatu kelembagaan, seperti kelompok tani. Kelompok tani dapat berperan dalam penyediaan sarana produksi, baik kegiatan produksi pupuk organik dari limbah tanaman yang ada, sedangkan kegiatan perdagangan dapat dilakukan melalui penjualan sarana produksi pertanian primer seperti benih, pupuk, pestisida, polybag dan lain-lain. Suatu sektor dengan keterkaitan ke depan dan belakang lebih besar dengan sektor-sektor lainnya, memiliki potensi kebocoran wilayah yang lebih kecil dibandingkan apabila sektor tersebut memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang yang lebih kecil dengan sektor-sektor lainnya. Efek pengganda dari sektor ini lebih tinggi bila keterkaitan menyebar dalam suatu perekonomian Reis dan Rua, 2006.

5.3.2 Mikro

Sistem agribisnis sebagai suatu sistem yang terdiri dari subsistem hulu, usahatani, hilir dan jasa layanan pendukung merupakan suatu sistem yang secara keseluruhan memerlukan keterkaitan antar subsistem-subsistem tersebut. Keterkaitan antar subsistem tersebut dapat menggambarkan perekonomian di suatu wilayah. Keterkaitan antar subsistem tersebut didukung pula oleh kelengkapan sarana prasarana yang dimiliki oleh suatu wilayah baik sarana prasarana wilayah maupun sarana prasarana agribisnis itu sendiri. Kelengkapan sarana prasana tersebut juga dapat menggambarkan tingkat perkembangan wilayah. Dalam kajian ini kelengkapan sarana prasarana tersebut dikaji menggunakan data Potensi Desa Podes tahun 2008 dan kondisi lapang yang ditemui pada saat melakukan kajian. Sarana dan parasarana yang dikaji dikelompokkan dalam tiga kategori yakni permodalan, pasar dan umum. Sarana dan prasarana permodalan dan berperan juga dalam penyedia saprodi yang dikaji adalah KUD koperasi, sarana dan prasarana pasar yang dikaji adalah ketersediaan pasar di tiap-tiap kecamatan dan untuk kategori umum adalah pelayanan kesehatan dan pendidikan. Sarana prasarana permodalan dan pasar dikaji untuk menjawab perkembangan usaha agribisnis, sementara kategori umum dikaji untuk melihat kesiapan SDM dalam pelaksanaan agribisnis hortikultura. Wilayah dengan kelengkapan sarana prasarana yang tertinggi berdasarkan analisis skalogram dimasukkan dalam kelompok hirarki satu. Sarana produksi pertanian primer yang diperlukan oleh petani sudah dapat disediakan oleh kios saprodi dan beberapa Koperasi. Berdasarkan analisis skalogram dengan menggunakan data PODES diketahui bahwa kios sarana produksi yang ada di tiga kecamatan tersebut adalah koperasi yang berbentuk KUD. Perkembangan subsistem budidaya dicirikan oleh teknologi budidaya yang dilakukan petani. Petani juga sudah mulai menyadari adanya penerapan Good Agricultural Practices GAP dan pengendalian hama penyakit tanaman dengan menggunakan tenknik Pengelolaan Hama Terpadu PHT. Perkembangan subsistem budidaya juga didukung dengan fasilitas budidaya yang baik seperti sudah mulai terlihat penggunaan mulsa dan screen house di beberapa pertanaman. Subsistem hilir merupakan subsistem yang memiliki nilai tambah besar dibandingkan dengan subsistem budidaya. Nilai tambah hortikultura merupakan nilai tambah yang diperoleh melalui penanganan pasca panen. Kebanyakan produk hortikultura merupakan produk yang dijual dalam bentuk segar. Oleh karena itu keterkaitan dengan industri pengolahan tidaklah besar. Berdasarkan hasil deskripsi sistem agrbisnis, penanganan pada bagian hilir masih terbatas pada kegiatan sortasi dan packing belum menyentuh pada arah pengolahan, sehingga pada saat panen raya dan harga tidak terlalu tinggi ditambah lagi dengan upah tenaga kerja yang besar mengakibatkan banyak pertanaman yang tidak dipanen, petani membiarkan tanamannya begitu saja. Semestinya hal ini dapat diatasi jika sudah ada kegiatan pengolahan terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh petani. Aspek lain dari subsistem hilir adalah pemasaran. Produk hortikultura di Kabupaten Karo lebih banyak yang dipasarkan ke luar wilayah dibanding dengan pemasaran di dalam wilayah. Komoditas hortikultura yang dihasilkan kebanyakan dipasarkan secara segarke pasar di luar wilayah kabupaten Karo seperti Kota Medan, Jakarta, Pekan Baru dan wilayah di sekitarnya. Petani juga sudah dapat mengakses informasi mengenai teknologi budidaya dari luar. Peran penyuluh dalam subsistem jasa pendukung adalah sebagai pendamping, karena petani sudah terlihat lebih mandiri. Kelembagaan sebagai penunjang juga berkembang di ketiga kecamatan tersebut. Kelompok tani yang ada di ketiga kecamatan cukup banyak. Jumlah kelembagan kelompok tani yang ada di ketiga wilayah tersebut adalah sebagai berikut: Kecamatan Simpang Empat 223 kelompok tani, Kecamatan Tiga Panah 277 kelompok tani dan Kecamatan Barusjahe 217 kelompok tani. Berdasarkan kelengkapan sarana dan prasarana sistem pemukiman, desa- desa di kecamatan Barus Jahe, Tiga Panah dan Simpang Empat sudah dapat memenuhi persyaratan sarana dan prasarana dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Untuk fasilitas pendidikan dapat ditunjang dengan keberadaan sarana pendidikan di ibukota kecamatan dan ibukota kabupaten. Prasarana penunjang pasar juga sudah berkembang baik untuk toko grosir, eceran, dan warung. Berdasarkan kelengkapan jumlah fasiltas yang ada di ketiga wilayah tersebut yaitu dari fasilitas yang dianalisa, maka fasilitas yang terlengkap adalah fasiltas pelayanan kesehatan, para medis, pasar, KUDKoperasi, Industri rumah tangga. Hirarki wilayah dengan hirarki terendah didominasi oleh hirarki 3 tiga sebesar 74,14 dari angka tersebut 31,03 berada di kecamatan Tiga Panah. Di setiap kecamatan, desa-desa dengan hirarki 3 tiga juga memiliki persentase tertinggi dibandingkan dengan desa-desa dengan hirarki 1 satu dan 2 dua. Berdasarkan persentase, di Kecamatan Simpang Empat desa dengan Hirarki 1satu sebesar 11,775, Hiraki 2 dua sebesar 35,29 dan Hirarki 3 tiga sebesar 52,94 , desa dengan hirarki 1 satu di Kecamatan Tiga Panah sebesar 9,09, hiarki 2dua sebesar 9,09 dan hirarki 3 tiga sebesar 81,83, di Kecamatan Barus Jahe untuk desa dengan hirarki 1 satu,sebesar 5,26, hirarki 2dua sebesar 10,54 dan hirarki 3 tiga sebesar 84,21. Dari masing-masing kecamatan berdasarkan tiga kategori yang digunakan dalam analisis skalogram wilayah yang paling memiliki kesiapan dalam pengembangan agribisnis hortikultura adalah Kecamatan Simpang Empat meskipun Kecamatan tersebut berdasrkan data Podes tahun 2008 belum memiliki bangunan pasar yang permanen, namun dari kriteria permodalan dan SDM sudah dianggap lebih mampu dibandingkan dengan dua kecamatan lainnya. Alsin hortikultura terbagi menjadi 4 empat kategori yakni: 1 alsin budidaya pertanian, 2 alsin pasca panen, 3 alsin pengolahan dan 4 alsin pemasaran. Alsin budidaya terdiri dari shading net, perangkap serangga,power sprayer, mesin babat, tarktor mini dan screen house. Alsin pasca panen antara lain adalah timbangan, tangga pemanenan buah, wrapping, packing house dan alat pengepress paking plastik. Alsin pengolahan terdiri dari alat perajang, alat pembuka, blender pengolahan hasil, dan lain-lain namun untuk ketiga wilayah tersebut alsin pengolahan tersebut belum tersedia. Alsin pemasaran adalah truck dan sorong roda dua. Berdasarkan sarana dan prasarana agribisnis yang tersedia di ketiga wilayah, kecuali alsin pengolahan, ketiga sarana dan prasarana tersebut menyebar secara merata di masing-masing kecamatan.Industri pengolahan belum berkembang. Banyak potensi hortikultura yang dapat dikembangkan menjadi olahan. Namun masih terdapat pola pikir bahwa bila dengan produk segar sudah dapat dijual, tidak perlu diolah menjadi produk olahan. Untuk mengusahakan agar nilai tambah lebih banyak tinggal di tingkat petani, maka fasilitas penyimpanan yang ada diharapkan tidak hanya melayani jasa penyimpanan saja, tetapi terkait dengan dengan kegiatan lainnya seperti sortasi, grading, packing dan packaging, pengolahan, maupun perdagangan. Kegiatan-kegiatan peningkatan nilai tambah tersebut umumnya tidak jatuh ke petani bahkan ke pemerintah daerah. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat dikelola oleh petani, sehingga nilai tambah dapat dinikmati petani dan daerah untuk menggerakkan perekonomian daerah. Pada segmen pasar dan kualitas produk suatu agrbisnis hortikultura ditentukan oleh kemampuan agribisnis hortikutura tersebut dalam memproduksi dan memasarkan produk yang dihasilkan kepada konsumen dengan biaya serendah mungkin. Walaupun memiliki biaya produksi per unit cukup rendah, suatu agribisnis belum tentu berdaya saing tinggi jika biaya pemasaran yang dibutuhkan untuk menyampaikan produk kepada konsumen sangat tinggi. Oleh karena itu upaya untuk meningkatkan daya saing agribisnis seyogyanya tidak hanya ditempuh melalui peningkatan efisiensi produksi untuk menekan biaya produksi per unit produk, tetapi dilengkapi pula dengan upaya peningkatan efisiensi pemasaran dalam rangka menekan biaya pemasaran dari petani kpada konsumen. Produksi komoditas hortikultura pada umumnya terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu sentra sedangkan daerah konsumennya relatif tersebar. Kondisi demikian menyebabkan jarak pemasaran dari daerah produsen ke daerah konsumen relatif jauh. Salah satu konsekuensinya adalah marjin pemasaran hortikultura yang meliputi biaya sewa alat pengangkutan, biaya pengepakan, risiko kerusakan selama pengangkutan dan keuntungan pedagang relatif tinggi. Petani berperan sebagai penerima harga. Karenanya untuk mendapatkan harga yang lebih menguntungkan petani harus mampu memanfaatkan variasi harga yang terjadi di pasar baik menurut tempat, bentuk produk, waktu maupun kualitas produk. Hal ini berarti bahwa petani harus mampu mengatur pola penawarannya dengan mengatur kegiatan produksinya dan mengatur kegiatan pemasarannya yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar.Namun akibat berbagai faktor petani seringkali tidak mampu mengatur pola penawarannya pada pasar yang lebih menguntungkan, akibatnya share petani selalu lebih kecil dibandingkan dengan rantai pemasaran lainnya. Rantai pemasaran hortikultura di Kabupaten Karo masih didominasi oleh pemasaran produk dalam bentuk segar. Belum terlihat adanya rantai pemasaran ke arah industri pengolahan. Petani masih tetap berada pada rantai produsen buah segar. Struktur agribisnis yang hanya memberikan subsistem agribisnis usahatani sebagai porsi ekonomi petani, sulit diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani. Dalam suatu sistem agribisnis, nilai tambah yang terbesar berada pada subsistem hulu dan hilir, sedangkan subsistem usahatani sangat kecil, sehingga petani yang berada pada subsistem ini akan selalu menerima pendapatan yang lebih rendah. Struktur agribisnis yang demikian menempatkan petani pada 2 dua kekuatan eksploitasi ekonomi, yaitu pada pasar faktor produksi, petani menghadapi kekuatan monopolistis, sedangkan pada pasar output petani menghadapi kekuatan monopsonistis. Oleh karena itu petani akan selalu dirugikan Saragih, 2001b. Oleh karena itu, kelembagaan yang ada sebaiknya dikembangkan agar tidak hanya bergerak di tataran budidaya, tetapi bergerak ke arah pengembangan pasca panen, pengolahan dan pemasaran. Seperti yang terlihat dalam hasil kajian makro, bahwa di Kabupaten Karo belum terdapat suatu pola penghubung antara sektor sayur-sayuran dan buah- buahan dengan industri pengolahan. Demikian pula pala kajian mikro, pemasaran yang umumnya terjadi masih dalam bentuk pemasaran buah segar raw material. Hal ini mengindikasikan peluang terjadinya kebocoran wilayah, di mana dimungkinkan nilai tambah kedua sektor ini berada di luar Kabupaten Karo. Sehingga untuk meningkatkan harga yang diterima petani dan rantai pemasaran lainnya, serta untuk mencegah terjadinya kebocoran wilayah, selain dibutuhkan peningkatan efisiensi pemasaran dibutuhkan pula peningkatan daya saing agribisnis hortikultura. Hal tersebut dapat memberikan nilai tambah bagi Kabupaten Karo. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan adanya keterkaitan antar kedua sektor ini dengan sektor industri pengolahan yang dapat memberikan nilai tambah kedua sektor tersebut.

5.4. Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, maka rekomendasi kebijakan yang disarankan adalah : 1. Dalam rangka meningkatkan akses petani dalam hal pemasaran hasil terhadap kelembagaan pemasaran seperti suplier dan pasar modern lainnya , maka diperlukan suatu penguatan kelembagaan kelompok tani yang mampu merencanakan produksi suatu komoditas secara kontinu dan pada gilirannya akan mampu meningkatkan pendapatan usaha tani. Bersamaan dengan itu dapat pula dibentuk koperasi pertanian atau penguatan kelembagaan lainnya di tingkat petani di tiap-tiap desa yang lebih efektif yang berfungsi menampung dan memasarkan komoditas petani dengan harga yang bersaing. Peran kelompok tani lebih kepada proses poduksi dan kolektivitas pemasaran, sedangkan peran koperasi atau kelembagaan ekonomi di tingkat petani lebih pada stabilisasi harga. 2. Mengingat Kabupaten Karo merupakan sentra produksi hortikultura maka sangat mendesak untuk mempermudah transportasi pengangkutan barang ke pusat-pusat konsumsi. Perbaikan sarana transportasi dengan pengamanan aliran barang-barang dan kutipan-kutipan yang sifatnya illegal. Sementara untuk kutipan legal yang ditentukan oleh daerah lintasan sebagai dampak otonomi perlu diatur dalam Undang-undang yang sifatnya lebih nasional dan perlakuan khusus bagi komoditas pertanian yang rawan rusak atau busuk. Terkait pemecahan masalah dalam hal transportasi komoditas ini diperlukan kerjasama lintas instansi yaitu instansi pertanian, perhubungan dan aparat penegak hukum. 3. Pemerintah Daerah dan Kementerian Pertanian tidak cukup hanya melakukan pengembangan sentra, tetapi perlu melakukan saling silang informasi antar sentra termasuk informasi pemantauan intensif mengenai perkembangan barang dan harga dari waktu ke waktu di pusat konsumsi. Informasi ini sangat berguna bagi petani untuk merencanakan penanaman dan pemanenan hasil pertaniannya agar tidak terjadi saat-saat over supply akibat panen serentak atau kekurangan barang akibat seluruh sentra masa paceklik. Singkatnya, informasi pasar dan kondisi sentra lain yang memadai bagi petani mampu mensiasati terjadinya fluktuasi harga. 4. Menyusun dan menerapkan secara tegas kebijakan impor produk hortikultura dengan memperhatikan dan mengutamakan kemanan pasar produk domestik. Poin penting yang perlu diatur adalah bea masuk impor, waktu impor, dan kuantitas komoditas yang diimpor. Impor komoditas hortikultura dengan pengenaan tarif yang seimbang, dilakukan pada saat produksi dalam negeri rendah dan dengan jumlah yang terbatas merupakan dukungan kebijakan yang sangat membantu pemasaran poduksi hortikultura dalam negeri. Terkait dengan kebijakan ini, diperlukan kerjasama yang sinergi antara instansi Kementerian Pertanian dan Perdagangan. 5. Salah satu permasalahan penting terkait pengembangan komoditas hortikultura adalah bahwa sebagian besar nilai tambah kegiatan agribisnis hortikultura lebih banyak dinikmati oleh industri hulu dan hilir, bukan dinikmati oleh petani. Gejala demikian lebih kuat terjadi pada komoditas hortikultura akibat sifat usaha petani yang berorientasi pasar dan posisi tawar petani yang lemah. Hal ini berarti pengembangan komoditas hortikultura pada aspek produksi hanya akan memberikan manfaat lebih besar pada industri hulu dan hilir. Oleh karena itu, dalam pengembangan komoditas hortikultura sudah seyogyanya juga menekankan pada aspek pemasaran bukan pada aspek produksi saja. Pembenahan pada aspek-aspek tersebut dapat dilakukan dengan membangun sarana serta kelembagaan pemasaran yang dibutuhkan serta mengupayakan pemasaran komoditas hortikultura yang mengarah kepada stabilitas harga yang lebih baik dan petani mendapat bagian harga yang lebih baik. 6. Dalam rangka peningkatan kegiatan pasca panen di tingkat petani, maka diperlukan adanya sarana prasarana pasca panen dan sarana penyimpanan, selain itu juga sarana prasarana yang menujang distribusi pemasaran.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. KESIMPULAN 1. Berdasarkan kontribusi output total, maka peran sektor sayur-sayuran dan

buah-buahan menunjukkan kontribusi yang rendah terhadap pembentukan output total. Nilai keterkaitan ke depan DFL dan keterkaitan ke belakang DBL sektor-sektor hortikultura dengan sektor-sektor lainnya maka sektor hortikultura memiliki nilai DFL yang lebih kecil dibandingkan nilai DBL. Sektor sayur-sayuran memiliki nilai IDP yang mampu mendorong pertumbuhan sektor lainnya semantara buah-buahan belum mampu mampu menjadi penggerak tumbuhnya sektor lainnya.Nilai IDK sayur-sayuran dan buah-buahan berada dibawah 1 satu, artinya sektor sayur-sayuran dan buah- buahan kurang memiliki kemampuan untuk mendorong sektor-sektor hilir yang menggunakan outputnya sebagai input produksi. 2. Subsistem agribisnis yang sudah berkembang dengan baik adalah subsistem hulu dan usahatani. Subsistem hulu sudah dapat berperan dalam penyediaan sarana produksi. Sarana produksi pertanian yang diperlukan oleh petani sudah dapat disediakan ole kios saprodi dan KUD. Subsistem usahatani menunjukkan kinerja yang baik. Perkembangan subsistem budidaya dicirikan oleh besarnya produktivitas yang diperoleh. Kegiatan industri hilir dalam bentuk pengolahan hortikultura saat ini belum berkembang. 3. Wilayah yang menjadi pusat dan merupakan hirarki satu terdapat di yakni desa Ndokum Siroga dan desa Surbakti Kecamatan Simpang Empat di desa Tiga Panah dan Ajijulu Kecamatan Tiga Panah dan desa Sukajulu Kecamatan Barus. Besaran hirarki wilayah dengan hirarki terendah didominasi oleh hirarki 3 tiga sebesar 74,14 dari angka tersebut 31,03 berada di kecamatan Tiga Panah. 4. Petani mendapatkan share tataniaga terendah dibandingkan dengan elemen tata niaga lainnya. Share yang diterima petani dalam pembentukan harga berkisar 23,33 sampai 61,57 .

6.2. Saran

1. Dalam rangka meningkatkan akses petani dalam hal pemasaran hasil terhadap kelembagaan pemasaran seperti suplier dan pasar modern lainnya , maka diperlukan suatu penguatan kelembagaan kelompok tani yang mampu merencanakan produksi suatu komoditas secara kontinyu dan pada gilirannya akan mampu meningkatkan pendapatan usaha tani 2. Peningkatan kegiatan pasca panen oleh petani kelompok tani sehingga akan meningkatkan nilai tambah . 3. Sistem transportasi darat merupakan sarana yang utama vital untuk menguatkan keterpaduan dengan wilayah lain. Karena itu perlu dikembangkan jaringan jalan dan sistem transportasi reguler, baik dengan membangun jaringan jalan yang menghubungkan antar kawasan secara internal desa-desa di dalam wilayah kecamatan maupun jaringan jalan dengan wilayah eksternal kecamatan, kabupaten, dan wilayah lain. 4. Pengembangan pola usaha ekonomi harus memiliki keterkaitan dengan potensi sumberdaya setempat baik potensi pertanian, perkebunan, ataupun jasa industri. Pengembangan usaha pertanian atau jasa industri harus terhubung lingkage dengan ketersediaan sarana dan prasarana produksi pertanian, dan terhubung pula dengan industri pengolahan pasca panen. 5. Dalam pengembangan keterkaitan antar kecamatan di Kabupaten Karo yang berbasis pertanian perlu mengembangkan jaringan pasar hasil produksi baik secara internal maupun eksternal. Khusus untuk pengembangan pasar ekternal ke luar kabupaten atau bahkan ke luar negeri perlu difasilitasi dengan kebijakan dan pangaturan perdagangan antar kota atau negara 6. Penelitian ini akan lebih baik apabila dilanjutkan dengan analisis mengenai kebocoran wilayah dalam sistem agribisnis hortikultura. DAFTAR PUSTAKA [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2007. Kawasan Sentra Produksi. Jakarta : http: www.bappenas.go.id 25 Agustus 2011. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2000. Kerangka Teori dan Analisis Tabel Input- Output. Jakarta: Badan Pusat Statistik. [BPS Sumatera Utara] Badan Pusat Statistik Sumatera Utara. 2004. Sumatera Utara Dalam Angka. Medan. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Teknik Penyusunan Tabel Input-Output. Jakarta: Badan Pusat Statistik. [BPS Kabupaten Karo] Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo.2008. Kabupaten Karo Dalam Angka. Kabanjahe. [BPS Kabupaten Karo] Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo.2009. Kabupaten Karo Dalam Angka. Kabanjahe. Darmansyah, A., Rochana, S.H., dan Hamidah. 2010. Strategi Pembangunan Daerah yang Berwawasan Agribisnis di Kabupaten Cirebon STIE INABA, Bandung. diunduh tanggal 10 Desember 2011 Darwanto, H. 2002. Prinsip Dasar Pembangunan Ekonomi Daerah. Majalah PP. 28: 1-15. Bappenas diunduh tanggal 10 Desember 2011 Daryanto, A, dan Hafizrianda Y. 2010. Analisis Input-Output dan Social Accounting Matrix untuk Pembangunan Ekonomi Daerah. Bogor: IPB Press. Departemen Pertanian.2008. Enam Pilar Pengembangan Hortikultura.Jakarta: Ditjen Hortikultura. Jakarta. Djaenuddin, D., 1996 . Evaluasi Sumberdaya Lahan Untuk Menunjang Penataan Ruang Provinsi Jawa Barat, PPTA, Bogor. Djaenudduin, D., Hendrisman, M., Nugroho, K., Rossiter D. G., dan Jordens, E.R. 1996. Evaluasi Lahan Sistem Otomatisas Untuk Membantu PemetaanTanah, LREP-II, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Gie, K. K. 2002. Kebijakan dan Strategi Pembangunan Nasional : Sektor Pertanian Sebagai “Prime Mover” Pembangunan Ekonomi Nasiona. Makalah dalam Rapat Koordinasi Nasional Partai Golkar bidang Pertanian, Kehutanan dan Kelautan di Jakarta, 2 November 2002 Bappenas diunduh tanggal 10 Desember 2011 Glasson, J. 1977. Pengantar Perencanaan Regional. Terjemahan. Sitohang. P. Penerjemah Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Gonarsyah, I. 1992. Peranan Pasar Induk Kramat Jati Sebagai Barometer Harga Sayur Mayur di Wilayah DKI Jakarta. Mimbar Sosek, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 5:43-48. Gumbira, S. E. dan Intan A. H. 2004. Manajemen Agribisnis. Jakarta : Ghalia Indonesia. Hasibuan,N. 1999. Kelembagaan Pendukung Bagi Pengembangan Agribisnis di Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hotman,J. 2006. Peran Sektor Tanaman Bahan Makanan dalam Pembangunan Ekonomi di Propinsi Sumatera Utara Analisis Input-Output. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Isard, W. 1975. Introduction to Regional Science. Prentice Hall Inc, Englewood Cliffs. Jackson, A.W and Murray, A.T. 2003. Alternate Input-Output Matrix Upadting Formulation. Research Paper 2003-6. Jalili, A.R. 2006. Impacts of Agregation on Relative Performance of Non Survey Updating Tehniques and Intertemporal Stability of Input Output Coefficient. Journal Economics Change and Restructuring. Springer. Jaya, A. 2009. Kebocoran Wilayah Dalam Agribisnis Komoditas Kayu Manis Rakyat Serta Dampaknya Terhadap Perekonomian Wilayah Kasus Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Jayadinata, J. T., 1999. Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Perdesaan,Perkotaan dan wilayah, Penerbit ITB, Bandung. Kasryno. F, 1984. Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Kementerian Pertanian.2010. Rencana Strategis.Jakarta: Ditjen Hortikultura. Jakarta Kuma’at, R. 1992. Sistem Pemasaran Sayuran Dataran Tinggi di Provinsi Sulawesi Utara.Thesis MS – FPS IPB, Bogor. Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta. Nurmalinda, Martiningsih dan Santika, 1997 Tataniaga dan Penanganan Pascapanen Bunga Anggrek Dendrobium potong di Jabotabek. J. Hort. 2 2 : 9 – 13. Rachman, H.P.S. 1997. Aspek Permintaan, Penawaran dan Tataniaga Hortikultura di Indonesia. Forum Agro Ekonomi 15 12 : 44-56. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Reis, H dan Rua. 2006. An Input-Output Analysis : Linkages vs Leakages. Working Papers. Banco de Portugal Eurosistema. Riyadi dan Bratakusumah. D. S. 2004. Perencanaan Permbangunan Daerah. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Rustiadi, E., Saefulhakim, S., dan Panuju. D. R. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Bogor: Cresspent Press. Samiun. 2008. Analisis Perekonomian Provinsi Maluku Utara : Pendekatan Multisektoral. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Saragih, B., 1997. Pembangunan Sektor Agribisnis Dalam Kerangka Pembangunan Ekonomi Indonesia, BAPPENAS, Jakarta Saragih, B. 2001a. Pembangunan Sistem Agribisnis di Indonesia dan Peranan Public Relation Makalah. Disampaikan pada Seminar Peranana Public Relation dalam Pembangunan Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Saragih, B. 2001b. Agribisnis Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian Kumpulan Pemikiran. Jakarta: PT. Surveyor Indonesia. Setyawati, T., Suhandoko, Trisulo, W., Rais M., 1990 Tataniaga Pisang Batu dan Pisang Buai di Sentra Produksi Sumatera Barat. Bull. Pel. Hort. 5 1 : 59 – 65. Sitanggang.M, 2002. Peran Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Sumatera Utara , Analisis Input-Output Tahun 2002. [Tesis]. Program Studi Magister Manajemen Agribisnis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Soekartawi, 1996 . Pembangunan Pertanian, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Soekartawi. 2005. Agribisnis : Teori dan Aplikasinya. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Sudaryanto, T., Yusdja,Y., Purwoto, A., Noekman, K.M., Bariyadi, A., dan Limbong,W.H.1993. Agribisnis Komoditas Hortikultura. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Sumunaringtyas, S. I., 2010. Kajian Peran Sistem Agribisnis Hortikultura Dalam perekonomian Wilayah Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Suripto. 2003. Strategi Pengembangan Komoditas Unggulan. Jakarta : Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta. Suryawardana , M. I. 2006. Analisa Keterkaitan Sektor Unggulan dan Alokasi Anggaran Untuk Penguatan Kinerja Pembangunan Daerah Di Provinsi Jawa Timur [Tesis]. Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Syafa’at, N., Simatupang, P., Mardianto S., dan Pranadji. T., 2003. Konsep Pengembangan Wilayah Berbasis Agribisnis Dalam Rangka Pemberdayaan Petani. Bogor : Forum Penelitian Agro Ekonomi 21 1: 26-43. Tampubolon, S.M.H. 2002. Sistem dan Usaha Agribisnis. Kacamata Sang Pemikir. Suara Dari Bogor. Bogor : Pusat Studi Pembangunan IPB bekerjasama dengan USESE Foundation. Tarigan. R. 2005.Perencanaan Pembangunan Wilayah Jakarta: PT. Bumi Aksara. Thomas, A. S., Nurmalinda dan Adiyoga. W., 1995. Efisiensi Saluran Tataniaga Bawang Putih dari Kecamatan Ciwidey ke Kotamadya Bandung dan DKI Jakarta. J. Hort. 1 1: 27 – 37 LAMPIRAN