BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sindroma Down
Sindroma Down adalah kelainan kromosom yang disebabkan oleh kesalahan dalam pembelahan sel yang mengakibatkan adanya kromosom tambahan 21 atau
trisomi 21.
9
Pada saat itu, diagnosis sindrom ini hanya berdasarkan pada temuan fisik. Pada tahun 1956, ditemukan bahwa komplemen normal manusia 46 kromosom dan
pada tahun 1959 ditemukan bahwa sindroma Down dikaitkan dengan kromosom ekstra 21, dengan total 47 kromosom.
3
Gambar 1. kromosom pada sindroma Down
11
Etiologi sindroma Down berkaitan dengan masalah non-disjunction dari kromosom 21 selama oogenesis, sehingga kromosom 21 ekstra yang terdapat pada
ibu diturunkan pada anak. Penelitian terbaru juga menyatakan keterlibatan seorang ayah sebagai etiologi melalui non-disjunction selama spermatogenesis.
3
Banyak teori berkembang mengenai penyebab sindroma Down, tetapi tidak diketahui penyebab
sebenarnya. Beberapa ahli mengatakan bahwa abnormalitas hormon, sinar-X, infeksi
virus, masalah imunologi, kecenderungan genetik, dan ketidakseimbangan enzim mungkin sebagai penyebabnya. Usia ibu hamil diatas 35 tahun beresiko tinggi dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
usia ayah yang lebih tua juga menyebabkan tingginya kemungkinan memperoleh bayi dengan sindoma Down.
11
2.2 Keadaan Fisik dan Sistemik pada Sindroma Down
Gejala yang muncul akibat sindroma Down dapat bervariasi mulai dari yang tidak tampak sama sekali, tampak minimal sampai muncul tanda yang khas. Anak
dengan tanda khas sangat mudah dikenali dengan adanya penampilan fisik yang menonjol berupa bentuk kepala yang relatif kecil dari normal microchephaly
dengan bagian anteroposterior kepala mendatar, lehernya agak pendek. Mempunyai paras muka yang hampir sama seperti muka orang Mongol. Tampak pangkal hidung
yang lebar dan datar, ukuran mulut kecil, letak telinga agak rendah. Jarak diantara 2 mata berjauhan sehingga mata menjadi sipit. Tangan yang pendek termasuk ruas jari-
jarinya serta jarak antara jari pertama dan kedua baik pada tangan maupun kaki melebar. Sementara itu lapisan kulit biasanya tampak keriput dermatoglyphics.
3,10,12
Gambar 2. Keadaan tubuh anak sindroma down
12
Anomali sistem saraf pada anak-anak dengan sindroma Down sering menunjukkan fungsi motorik dan otot yang masih kurang sehingga koordinasi tubuh
dan kekuatan terbatas.
13
Meskipun pengembangan fungsi motorik pada anak
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sindroma Down tertunda dan terbatas, namun akan meningkat seiring dengan pertambahan usia.
15
Masalah pengucapan pada anak sindroma Down umumnya lebih lambat dibandingkan dengan penerimaan bahasa. Hal ini terkait dengan defisit motorik pusat
dan derajat keterbelakangan mental bukan karena masalah artikulasi perifer. Lambatnya berbicara dan kualitas suara serak yang umumnya ditemukan pada anak
sindroma Down. Anak sindroma Down mengalami penggolongan tingkat IQ. Adapun beberapa
penggolongan tingkat IQ pada anak sindroma Down yang sama seperti penggolongan tingkat IQ pada anak retardasi mental. Penggolongan tingkat retardasi mental lazim
didasarkan pada hasil pengukuran inteligensi. Tes inteligensi sendiri sering dimaksudkan untuk mengukur kemungkinan keberhasilan orang dibidang akademik.
Maka pembagian tingkat retardasi mental pada dasarnya merupakan pembagian tingkat kemampuan mengikuti dan menyelesaikan pendidikan formal di sekolah.
Selain itu, pembagian tingkat retardasi tersebut mengandung penilaian tentang kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan, khususnya menyangkut kemandirian
dan tanggung jawab sosial. Pada umumnya dikenal empat tingkat retardasi mental yaitu, retardasi mental ringan, sedang, berat, dan sangat berat.
3
14
2.2.1 Retardasi Mental Ringan
Penderita ini memiliki IQ antara 52-67 dan meliputi bagian terbesar populasi retardasi mental. Sesudah dewasa IQ mereka setara dengan anak berusia 8-11 tahun.
Penyesuaian sosial mereka hampir setara dengan remaja normal, namun kalah dalam hal imajinasi, kreativitas, dan kemampuan membuat penilaian-penilaian. Mereka ini
edukabel atau dapat dididik. Artinya, bila kasus mereka diketahui sejak dini dan selanjutnya mendapatkan pendampingan dari orang tua serta mendapatkan program
pendidikan luar biasa, sebagian besar dari mereka mampu menyesuaikan diri dalam pergaulan, mampu menguasai keterampilan akademik dan keterampilan kerja
sederhana, dan dapat menjadi warga masyarakat yang mandiri.
14
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.2.2 Retardasi Mental Sedang
Golongan ini memiliki IQ 36-51. Sesudah dewasa IQ mereka setara dengan anak-anak usia 4-7 tahun. Secara fisik mereka tampak “wagu” dan biasanya memiliki
sejumlah cacat fisik. Koordinasi motoriknya buruk, sehingga gerakan tangan-kaki maupun tubuhnya tidak luwes. Ada yang agresif dan menunjukkan sikap bermusuhan
terhadap orang yang belum mereka kenal. Mereka lamban belajar dan kemampuan mereka membentuk konsep sangat terbatas. Namun mereka trainable atau dapat
dilatih. Artinya, bila kasus mereka diketahui secara dini, selanjutnya didampingi oleh orang tua dan mendapatkan latihan secukupnya, mereka dapat cukup mandiri dalam
mengurus dirinya, termasuk bisa produktif secara ekonomi, baik dalam perawatan di rumah atau di panti asuhan.
14
2.2.3 Retardasi Mental Berat
Golongan ini memiliki IQ 20-35. Mereka sering disebut “dependent retarded” atau penderita lemah mental yang tergantung. Perkembangan motorik dan bicara
mereka sangat terbelakang, sering disertai gangguan penginderaan dan motorik. Mereka dapat dilatih untuk menolong diri sendiri secara terbatas. Mereka juga dapat
dilatih untuk melakukan tugas-tugas sederhana, sedangkan untuk semua hal lain yang lebih kompleks mereka sangat tergantung pada pertolongan orang lain.
14
2.2.4 Retardasi Mental Sangat Berat
Golongan ini memiliki IQ kurang dari 20. Mereka sering disebut golongan “life support retarded”, golongan lemah mental yang perlu di sokong secara penuh
agar dapat bertahan hidup. Kemampuan adaptasi dan bicara mereka sangat terbatas. Biasanya mereka memiliki cacat tubuh berat dan mengalami patologi pada system
saraf pusat mereka, sehingga pertumbuhan mereka sangat terhambat. Pada mereka sering terjadi kejang-kejang, mutisme, ketulian, dan kelainan tubuh lain. Kesehatan
mereka cenderung buruk dan rentan terhadap penyakit, sehingga biasanya tidak berumur panjang.
14
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.3
Terdapat beberapa karakteristik keadaan rongga mulut yang ada pada anak dengan sindroma Down. Karakteristik tersebut yaitu anomali kerangka utama yang
mempengaruhi struktur orofacial antara lain hipoplasia di pertengahan wajah, dengan jembatan hidung, tulang-tulang wajah pertengahan dan rahang atas yang relatif kecil
ukurannya, palatum sempit dan tinggi. Lidah pada anak sindroma Down memiliki masalah seperti makroglossia, lidah yang berfisur, dan pembesaran papilla lidah
sehingga pasien mengalami kesulitan berbicara dan pengunyahan.
Keadaan Rongga Mulut pada Sindroma Down
Bibir bawah tebal, kering, dan pecah-pecah.
13
Gambar 3. Palatum pada sindroma down
15
Maloklusi dari gigi atas dan bawah merupakan kondisi umum pada anak sindroma Down. Faktor yang berperan dalam maloklusi: pernapasan melalui mulut,
pengunyahan yang tidak benar,
bruxism, openbite
anterior, disfungsi
temporomandibular joint. Anak sindroma Down biasanya memiliki insisivus lateral yang tidak normal, mahkotanya berbentuk kerucut, pendek, dan kecil. Kehilangan
tulang periodontal yang parah sehingga terjadi periodontitis, namun tingkat terjadinya karies gigi sangat rendah. Sering terjadi hipokalsifikasi pada gigi anak sindroma
Down. Anak sindroma Down cenderung memiliki gigi dengan akar berbentuk kerucut kecil dan terlambatnya erupsi selama dua sampai tiga tahun.
2,13,15
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.4 Karies pada Anak Sindroma Down
Karies gigi adalah penyakit jaringan gigi yang ditandai dengan kerusakan jaringan, dimulai dari permukaan gigi pit, fisur, dan daerah interproksimal meluas
kearah pulpa.
5
Proses karies ditandai dengan terjadinya demineralisasi pada jaringan keras gigi, diikuti dengan kerusakan bahan organiknya, sehingga terjadinya invasi
bakteri dan kerusakan pada jaringan pulpa serta penyebaran infeksi ke jaringan periapikal dan menimbulkan rasa nyeri.
Rendahnya prevalensi karies gigi atau kerusakan gigi pada pertumbuhan gigi sulung dan permanen pada anak sindroma Down telah banyak dilaporkan oleh
Cutress, 1971; Orner, 1975; Barnett dkk, 1986; Vigild, 1986; Ulseth dkk, 1991; Gabre dkk, 2001; Bradley McAlister, 2004; Cheng dkk, 2007; Dellavia dkk,
2009; Davidovich dkk, 2010. Cutress 1971 melakukan penelitian pada 416 penderita sindroma Down dan menemukan prevalensi karies gigi yang lebih rendah
daripada populasi normal, tetapi setelah melakukan penyesuaian dengan usia erupsi gigi, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara penderita sindroma Down
dengan populasi normal. Selain itu, penelitian Orner pada tahun 1975 mengatakan bahwa penderita dengan sindroma Down memiliki tingkat karies lebih rendah yaitu
1:3 dari saudara kandungnya.
16
2,15
Penelitian Barnett dkk. 1986 dalam New Jersey, AS, menyatakan bahwa penderita sindroma Down memiliki prevalensi karies yang
lebih rendah bila dibandingkan dengan usia penderita cacat mental. Vigild 1986 juga melaporkan bahwa terdapatnya lesi karies pada penderita sindroma Down lebih
sedikit, demikian juga pada gigi permanennya dibandingkan dengan orang-orang cacat mental.
Penderita sindroma Down yang bebas karies memiliki jumlah Streptococcus mutans yang jauh lebih rendah dan peningkatan saliva streptococcus mutans
khususnya konsentrasi IgA.
15
15,17
Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya prevalensi karies pada penderita sindroma Down yaitu karena terlambatnya erupsi
gigi, kurangnya paparan dengan lingkungan yang kariogenik, kehilangan gigi yang kongenital, tingginya pH saliva, meningkatnya bikarbonat, mikrodonsia, adanya jarak
antara gigi, dan fisur yang dangkal.
2,15
Baru-baru ini, Davidovich dkk 2010
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
menunjukkan bahwa saliva yang berbeda pada lingkungan elektrolit dan pH pada anak sindroma Down menyebabkan tingkat karies yang lebih rendah.
15
Menurut penelitian Putri 2011 nilai DMF, viskositas, serta jumlah S.mutans pada anak sindroma
Down lebih rendah daripada anak normal sedangkan pH, jumlah elektrolit dan IgA yang lebih tinggi daripada anak normal sehingga dapat disimpulkan bahwa rendahnya karies
gigi pada anak sindroma Down dapat dihubungkan dengan pH basa, viskositas dan jumlah S.mutans yang rendah, serta konsentrasi elektrolit dan IgA yang tinggi pada
saliva mereka. Hasil penelitian Thamer A Al- Khadra 2011 pengalaman karies pada
penderita sindroma Down pada pria 11,99 ± 3,91 dan wanita 12,07 ± 4,22. Dan pengalaman DMFT menurut usia dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: 3-6 tahun
adalah 4,71 ± 1,27; 7-14 tahun adalah 6,09 ± 2,34; dan 15-21 tahun adalah 3,93 ± 1,64.
18
17
Penelitian di Indonesia, anak sindroma Down yang datang ke rumah sakit anak dan bersalin Harapan Kita mengalami karies dengan def-t rata-rata 4,65.
7
Dan hasil penelitian di kota Makasar menunjukkan angka prevalensi karies gigi yang
cukup tinggi pada anak sindroma Down yaitu sebesar 82,6 dengan nilai DMF-T rata-rata 3,69.
8
2.5 Gambaran Klinis Karies