1. Pada suatu lokasi aktivitas utama, sebagai pendukung aktivitasactivity
support Shirvani, 1985: 37. 2.
Tempat-tempat yang mudah dikenali dan dicapai Bromley dalam Manning, 1996: 238.
3. Pusat-pusat komersial, seperti area pelayanan dan parkir, mal, dan area
rekreatif lainnya Rapuano, 1964: 33-34. 4.
Pasar terbuka markets atau jalan yang digunakan untuk aktivitas pedagang kaki lima atau pasar loak yang bersifat temporer Carr, 1992:
79.
2.6 Defensible Space
Defensible space adalah suatu istilah bagi suatu mekanisme dengan rentang yang luas, berupa penghalang-penghalang baik yang bersifat nyata maupun simbolik,
yang dapat didefinisikan secara jelas oleh area-area yang mempengaruhi berkembangnya peluang-peluang dan kesempatan-kesempatan terhadap suatu
pengawasan. Defensible space ini merupakan suatu kombinasi yang memungkinkan lingkungan agar dapat dikendalikan oleh para penghuninya. Suatu defensible space
adalah suatu lingkungan dimana para penghuninya tinggal dan yang dapat dimanfaatkan oleh para penghuninya tersebut untuk meningkatkan kehidupan
mereka, terutama di dalam penyediaan keamanan bagi keluarga, tetangga, dan teman- teman Newman dalam Lang, 1987. Menurut Lang 1987 defensible space bagi
Universitas Sumatera Utara
penggunanya dapat menjangkau dengan mudah untuk mengenali dan mengontrol aktivitas-aktivitas yang terjadi didalamnya.
Newman 1972 memaparkan adanya bukti-bukti statistik untuk mendukung adanya observasi bahwa suatu struktur lingkungan telah menunjukkan adanya
susunan sosial yang lebih baik dari struktur lingkungan yang lain. Newman kemudian mengidentifikasikan empat karakteristik tata letak lingkungan yang dengan
sendirinya menciptakan defensible space antara lain sebagai berikut: 1. Suatu hirarki dari definisi yang jelas teritolitas, yaitu dari publik ke semi
publik dan dari semi privat ke privat; 2. Peletakan pintu dan jendela agar tersedia kesempatan-kesempatan adanya
pengawasan alami dari pintu masuk dan area-area terbuka; 3. Penggunaan bentuk bangunan dan material yang tidak berhubungan dengan
kondisi-kondisi yang menyebabkan kriminalitas; dan 4. Perletakan atau lokalisasi pengembangan rumah tinggal dalam suatu area
fungsional, dimana para penghuni tidak merasa terancam. Yang pertama dapat dilakukan melalui penggunaan penghalang-penghalang
simbolis seperti permukaan terkstur, jalan setapak, dan lampu jalan. Penghalang yang nyata adalah penggunaan dinding bangunan karena dinding dapat membatasi
terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan orang lain. Yang kedua akan terjadi jika orang dapat melihat area-area publik dan semi publik pada lingkungan
mereka sebagai bagian dari aktivitas-aktivitas keseharian. Kondisi ini mengurangi terjadinya perilaku antisosial yang tidak tampak. Yang ketiga terjadi jika massa
Universitas Sumatera Utara
bangunan, rencana tapak, dan material bangunan memiliki hubungan yang positif dengan masyarakat. Yang keempat dapat mengurangi sumber-sumber perilaku
antisosial. Dari keempat karakter tersebut yang harus diingat adalah bahwa tata letak lingkungan bukan merupakan jaminan penyebab dan penghenti kejahatan, karena
akar kejahatan bergantung pada struktur sosial budaya dan lingkungan masyarakat Lang, 1987.
Sebuah kota tentunya memiliki lingkungan yang heterogen bahkan kontras. Di satu sisi, keberagaman aktivitas dan interaksi sosial pada ruang publik merupakan
faktor pembentuk kota yang atraktif. Di sisi lain, keberagaman seringkali diasosiasikan dengan kriminalitas. Dualisme yang terjadi, seperti publik atau privat,
aman atau bahaya, kaya atau miskin, menimbulkan isu mengenai ruang publik yang digunakan bersama dengan orang asing.
Kontroversi mengenai hubungan antara kriminalitas dan desain ruang mulai tumbuh. Pertanyaannya adalah bagaimana kita dapat mencapai tingkat kriminalitas
yang lebih rendah dengan rancang kota yang berkelanjutan. Terdapat dua kubu teori yang saling bertolakbelakang untuk memecahkan hal ini, yang dikenal dengan
encounter dan enclosure model. Encounter model menganjurkan ruang terbuka dan bebas diakses oleh
penduduk setempat dan orang asing. Di sini, orang asing dipandang sebagai subyek pendukung keamanan sebagai elemen postitif yang turut mengawasi ruang. Jane
Jacobs 1961 mengobservasi bahwa pola jalan tradisional dengan fungsi ganda mixed-use lebih baik dibandingkan pemisahan land-use untuk fungsi tertentu
Universitas Sumatera Utara
single-use seperti pemusatan wilayah perumahan, pemusatan wilayah kesehatan, retail dan sebagainya. Ia memaparkan kondisi ideal sebuah desain ruang publik dalam
kaitannya dengan keamanan, antara lain adanya batas yang jelas antara area publik dan privat, serta adanya pengawasankewaspadaan alami eyes on the street. Ia juga
menambahkan dua kondisi ideal, yaitu adanya kombinasi usia dan golongan sosial dan penggunaan ruang publik yang kontinu setiap saat, yang pada kenyataannya sulit
dicapai. Model ini menjelaskan bahwa ruang terbuka bebas lebih aman karena berfungsi sebagai tempat interaksi sosial sehingga secara tidak langsung juga
meningkatkan kewaspadaan dan aktivitas di ruang publik. Enclosure model menganjurkan ruang tertutup dan lingkungan yang tidak
bebas akses terbatas. Disini, orang asing dipandang sebagai ancamanbahaya. Model ini dipelopori oleh Oscar Newman 1972 dalam konsep defensible place,
dengan empat elemen design utama, yaitu territoriality, surveillance, building image, dan juxtaposition of residential with other facilities. Model ini menjelaskan bahwa
lingkungan dengan akses tertutup memisahkan orang asing dapat menurunkan niatkesempatan untuk melakukan tindakan kriminal secara tidak langsung.
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian