Proses Nasionalisasi Masa Nasionalisasi dan Pendirian PT. Perkebunan IX Persero

20 ke Pantai Timur Sumatera. Harrisons and Crosfield menjadi perusahaan untuk lebih dari 225.000 acres 30 Selain Inggris, modal asing lainnya dalam industri karet di Sumatera Timur adalah Amerika Serikat dengan perusahaan Uniroyal. Sekitar tahun 1910 perusahaan ini telah memiliki 37.000 acres dan bertambah menjadi 76.000 acres pada tahun 1913. Permintaan Amerika akan karet semakin meningkat karena industri mobil yang sedang berkembang memungkinkan usaha pencarian karet ke wilayah-wilayah Sumatera Timur. lahan karet di Malaya, dan 135.000 acresdi Indonesia. 31

2.3 Masa Nasionalisasi dan Pendirian PT. Perkebunan IX Persero

2.3.1 Proses Nasionalisasi

Proses nasionalisasi terhadap aset dan perusahaan Belanda merupakan keputusan nasional di tengah kondisi ekonomi dan politik yang tidak menentu. Kondisi ekonomi Indonesia pasca penyerahan kedaulatan tidak sepenuhnya berada dalam kendali pemerintahan Indonesia, sehingga pemerintah tidak bisa mewujudkan ekonomi nasional secepatnya. Dominasi Belanda dalam aset, investasi dan modal sangatlah besar. Hal ini dikarenakan dalam perjanjian KMB, pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban untuk melindungi aset, investasi dan modal Belanda dalam kegiatan perusahaan dan usahanya di Indonesia. 32 30 Acres adalah ukuran luas tanah, 1 acres adalah 0,46 hektar. 31 Ann Laura Stoler, Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatra 1870-1979, Yogyakarta: KARSA, 2005, hal. 30-31. 32 Bondan Kanumoyoso, Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001, hal. 18. Universitas Sumatera Utara 21 Kewajiban dalam melindungi aset, investasi dan modal asing ternyata membawa kesulitan dan tantangan yang besar bagi pemerintah Indonesia. Seperti yang terjadi dalam kasus Perkebunan Tanjung Morawa pada 1952-1953, pemerintah berusaha menghentikan pendudukan liar yang dilakukan oleh penduduk terhadap lahan perkebunan-perkebunan tembakau yang pada akhirnya mendapat reaksi keras dari organisasi militan dan kalangan pers di Sumatera Utara. Mereka menghimbau kepada pemerintah untuk mengakhiri kebijakan agraria dari zaman kolonial dan melakukan nasionalisasi tanah-tanah yang dikuasai oleh perkebunan-perkebunan asing. Kasus Tanjung Morawa kemudian berdampak secara nasional, sehingga pemerintahan pada waktu itu yakni Kabinet Wilopo terpaksa mengundurkan diri pada tanggal 2 Juni 1953. 33 Salah satu alasan penting diberlakukannya tindakan nasionalisasi adalah bahwa pengambilalihan ini merupakan bagian dari perjuangan untuk pembebasan Irian Barat dari Belanda. Dalam ketujuh pasal UU Nasionalisasi Perusahaan Belanda No. 86 tahun 1958 dan disahkan pada 31 Desember 1958, serta berlaku surut retroaktif mulai 3 Desember 1957, undang-undang ini berusaha untuk membebaskan negeri ini dari dominasi ekonomi pengusaha asing. Dalam pandangan pemerintah selanjutnya bahwa nasionalisasi pada akhirnya akan bertumpu pada dua tujuan yang saling berhubungan, yakni tujuan ekonomi dan keamanan negara. Untuk yang pertama, negara mempunyai peluang dalam meningkatkan ekonomi rakyat 33 Karl J. Pelzer, Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan Melawan Petani, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991, hal. 99-103. Lihat juga Bondan Kanumoyoso, op.cit., hal. 35-36. Universitas Sumatera Utara 22 melalui likuidasi perusahaan Belanda dan sekaligus berpeluang untuk melakukan konsolidasi menyeluruh aset-aset bangsa. Sementara untuk tujuan yang kedua, nasionalisasi bertujuan untuk memperkuat keamanan dan pertahanan republik dari investasi dan modal asing. 34 Proses nasionalisasi dan pengambilalihan aset perusahaan dan perkebunan di Sumatera Utara dimulai ketika dikeluarkan Pengumuman Penguasa Militer No. PMPeng 00101257. Berturut-turut setelah Pengumuman Penguasa Militer tersebut, dikeluarkan sejumlah peraturan terkait lainnya yakni, Keputusan Penguasa Militer No. PMKPTS-00421257 tentang pengawasan langsung semua perusahaan- perusahaan milik Belanda; Keputusan Penguasa Militer No. PMKPTS-00451257 tentang pengambilalihan wewenang kembali pada semua perusahaan-perusahaan Belanda; dan Peraturan Penguasa Militer No. PMPR-0061257 tentang pembatasan kebebasan bergerak bagi warga Negara Belanda. 35 Dalam melakukan pengambilalihan tersebut, terdapat beberapa kelompok yang berperan yaitu, kelompok dan organisasi buruh terutama organisasi buruh yang berafiliasi pada PKI dan Angkatan Darat. 36 34 Edy Ikhsan, “Nasionalisasi Perkebunan Belanda di Sumatera Utara: Diantara Inkonsistensi dan Stigmatisasi” dalam Artikel, hal. 1, diakses dari Walaupun dilakukan pengambilalihan secara nasional namun tidak terjadi bentrokan dan pemerintah cenderung hati-hati dalam prosesnya. http:www.academia.edu 35 Ibid., hal. 3. 36 Syafruddin Kalo, “Perbedaan Persepsi Mengenai Penguasaan Tanah dan Akibatnya Terhadap Masyarakat Petani Sumatera Timur, Pada Masa Kolonial yang Berlanjut Pada Masa Kemerdekaan, Orde Baru dan Reformasi” dalam Laporan Penelitian, Medan: Program Pasca Sarjana USU, 2004, hal. 34-35. Universitas Sumatera Utara 23

2.3.2 Proses Pendirian PT. Perkebunan IX Persero