26
2.2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi adversity quotient
Menurut Stoltz 2000, faktor-faktor yang mempengaruhi adversity quotient atau faktor-faktor kesuksesan mencakup semua yang diperlukan
untuk mendaki, adalah
1 Daya saing
Jason Sattefield dan Martin Seligman dalam Stoltz, 2000, menemukan individu yang merespon kesulitan secara lebih optimis
dapat diramalkan akan bersifat lebih agresif dan lebih mengambil banyak resiko, sedangkan reaksi yang lebih pesimis terhadap kesulitan
menimbulkan lebih banyak sikap pasif dan hati-hati. Individu yang secara konstruksi terhadap kesulitan lebih tangkas dalam memelihara
energi fokus dan tenang yang diperlukan supaya berhasil dalam persaingan. Persaingan sebagian besar berkaitan dengan harapan,
kegesitan, dan keuletan yang sangat ditentukan oleh cara seseorang menghadapi tantangan dan kegagalan dalam kehidupan.
2 Produktivitas
Penelitian yang dilakukan Stoltz, menemukan korelasi yang kuat antara kejernihan dan cara-cara pegawai merespon kesulitan.
Selingman 2006 membuktikan bahwa orang yang tidak merespon kesulitan baik produksi, dan kinerjanya lebih buruk daripada mereka
yang merespon kesulitan dengan baik.
3 Kreativitas
Joel Barker dalam Stoltz, 2000, kreativitas muncul dalam keputusan, kreativitas menuntut kemapuan untuk mengatasi kesulitan yang
ditimbulkan oleh hal-hal yang tidak pasti. Joel Barker menemukan orang-orang yang tidak mampu menghadapi kesulitan menjadi tidak
mampu bertindak kreatif. Oleh karena itu, kreativitas menuntut kemampuan untuk mengatasi kesulitan oleh hal-hal yang tidak pasti.
4 Motivasi
Stoltz 2000 melakukan penelitian untuk mengukur motivasi karyawan perusahaan farmasi dalam semua pekerjaan yang dilakukan.
Stoltz menemukan bahwa mereka yang adversity quotientnya tinggi dianggap sebagai orang-orang yang memiliki motivasi.
5 Mengambil Resiko
Sattrerfield dan Seligman dalam Stolz, 2000 menemukan bahwa individu yang merespon kesulitan secara lebih konstruktif, yang
bersedia mengambil banyak resiko . Resiko merupakan aspek esensial pendakian.
6 Perbaikan
Perbaikan dibutuhkan dalam era yang terus-menerus mengalami perubahan, supaya dapat bertahan, mencegah supaya tidak ketinggalan
zaman dalam karir maupun dalam kehidupan pribadi lainnya.
27
7 Ketekunan
Ketekunan merupakan inti pendakian dari adversity quotient. Ketekunan adalah kemampuan untuk terus-menerus berusaha, bahkan
manakala dihadapkan pada kemunduran atau kegagalan.
8 Belajar
Inti abad informasi ini adalah kebutuhan untuk terus-menerus mengumpulkan dan memproses arus pengetahuan yang tidak ada
hentinya. Dweck dalam Stoltz, 2000 membuktikan bahwa anak-anak dengan respon yang pesimistis terhadap kesulitan tidak akan banyak
belajar dan berprestasi jika dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki pola-pola yang lebih optimis.
9 Merangkul Perubahan
Perubahan adalah bagian dari hidup sehingga setiap individu harus menentukan sikap untuk menghadapinya. Stoltz 2000, menemukan
individu yang memeluk perubahan cenderung merespon dan secara lebih konstruktif. Dengan memanfaatkannya untuk memperkuat niat,
individu merespon dengan mengubah kesulitan menjadi peluang. Orang-orang yang hancur dalam perubahan akan hancur oleh
kesulitan.
10 Keuletan, Stress, Tekanan, Kemunduran
Stres dan tekanan seringkali dihadapkan pada setiap manusia setiap harinya, dan orang yang tidak mampu mengelola situasi itu akan
mengalami kemunduran. Seorang climbers pun dapat jatuh jika dihadapkan dengan tekanan yang terus-menerus dihadapkan padanya,
namun
keuletan menungkinkan
tiap orang
untuk bangkit
kembali.Suzanne Oulette dalam Stoltz, 2000 memperlihatkan bahwa orang-orang yang merespon kesulitan dengan sifat tahan banting,
pengendalian, tantangan, dan komitman akan tetap ulet dalam menghadapi kesulitan.
Jadi faktor-faktor yang mempengaruhi adversity quotient seseorang adalah daya saing, produktivitas, motivasi, kreativitas, mengambil resiko,
perbaikan, ketekunan, belajar, merangkul perubahan dan keuletan.
2.3 Mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling