27
7 Ketekunan
Ketekunan merupakan inti pendakian dari adversity quotient. Ketekunan adalah kemampuan untuk terus-menerus berusaha, bahkan
manakala dihadapkan pada kemunduran atau kegagalan.
8 Belajar
Inti abad informasi ini adalah kebutuhan untuk terus-menerus mengumpulkan dan memproses arus pengetahuan yang tidak ada
hentinya. Dweck dalam Stoltz, 2000 membuktikan bahwa anak-anak dengan respon yang pesimistis terhadap kesulitan tidak akan banyak
belajar dan berprestasi jika dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki pola-pola yang lebih optimis.
9 Merangkul Perubahan
Perubahan adalah bagian dari hidup sehingga setiap individu harus menentukan sikap untuk menghadapinya. Stoltz 2000, menemukan
individu yang memeluk perubahan cenderung merespon dan secara lebih konstruktif. Dengan memanfaatkannya untuk memperkuat niat,
individu merespon dengan mengubah kesulitan menjadi peluang. Orang-orang yang hancur dalam perubahan akan hancur oleh
kesulitan.
10 Keuletan, Stress, Tekanan, Kemunduran
Stres dan tekanan seringkali dihadapkan pada setiap manusia setiap harinya, dan orang yang tidak mampu mengelola situasi itu akan
mengalami kemunduran. Seorang climbers pun dapat jatuh jika dihadapkan dengan tekanan yang terus-menerus dihadapkan padanya,
namun
keuletan menungkinkan
tiap orang
untuk bangkit
kembali.Suzanne Oulette dalam Stoltz, 2000 memperlihatkan bahwa orang-orang yang merespon kesulitan dengan sifat tahan banting,
pengendalian, tantangan, dan komitman akan tetap ulet dalam menghadapi kesulitan.
Jadi faktor-faktor yang mempengaruhi adversity quotient seseorang adalah daya saing, produktivitas, motivasi, kreativitas, mengambil resiko,
perbaikan, ketekunan, belajar, merangkul perubahan dan keuletan.
2.3 Mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling
Bimbingan dapat diartikan sebagai upaya pemberian bantuan kepada peserta didik dalam rangka mencapai perkembangannya yang optimal.
Sedangkan Konseling merupakan layanan utama bimbingan dalam upaya
28
membantu individu agar mampu mengembangkan dirinya dan mengatasi masalahnya, melalui hubungan face to face atau melalui media, baik
secara perorangan maupun kelompok Yusuf, 2005. Jadi dapat disimpulkan bahwa Bimbingan dan Konseling bertujuan untuk membantu
individu agar memperoleh pencerahan diri intelektual, emosional, sosial, dan moral-spiritual sehingga mampu menyesuaikan diri secara dinamis
dan konstruktif, dan mampu mencapai kehidupannya yang bermakna produktif dan kontributif, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang
lain. Mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling angkatan 2013
termasuk dalam usia dewasa awal yaitu antara usia 18-40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya
kemampuan reproduktif Hurlock, 1999. Menurut Kenniston dalam Santrock, 2002 masa dewasa awal merupakan periode transisi antara
masa remaja dan masa dewasa yang merupakan masa perpanjangan kondisi ekonomi dan pribadi yang sementara. Kriteria penting untuk
menunjukkan permulaan dari masa dewasa awal, yaitu kemandirian ekonomi dan kemandirian dalam membuat keputusan, serta mampu
bertanggung jawab pada diri sendiri. Fase usia dewasa awal merupakan fase memasuki awal kehidupan
yang mulai dihadapkan kepada berbagai perjuangan, kreativitas, tantangan, perubahan diri, serta problematika yang secara simultan dan
kompleks yang dihadapi individu Hurlock, 1999. Pada masa dewasa
29
awal individu mulai melakukan penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Penyesuaian diri ini
menjadikan periode sulit dari rentang kehidupan seseorang, pada masa dewasa awal ini biasanya individu menemui banyak kesulitan dan banyak
anak muda dalam kategori ini merasakan tahun-tahun awal masa dewasa yang sedemikian sulit, sehingga mencoba memperpanjang ketergantungan
dengan mempertahankan status mahasiswanya. Menjadi mahasiswa bukanlah hal yang mudah bagi sebagian remaja
yang telah lulus dari SMA dan melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Menjadi mahasiswa mengharuskan remaja yang bersangkutan
untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian diri dengan situasi dan tuntutan yang baru. Mahasiswa tahun kedua dan ketiga akan mengalami
gangguan-gangguan pada bulan-bulan sibuk mengumpulkan tugas dan menjelang ujian tengah semester maupun ujian akhir. Kekurangmampuan
dalam menjalankan peranannya sebagai mahasiswa akan mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya individu tersebut selama menjalani studi
maupun kehidupan selanjutnya Siswanto, 2007. Dalam tahun-tahun awal masa dewasa banyak masalah baru yang
harus dihadapi seseorang, masalah-masalah baru ini dari segi utamanya berbeda dari masalah-masalah yang sudah dialami sebelumnya. Menurut
Brouwer dalam Alisjahbana, 1983, beberapa masalah yang harus diperhatikan oleh mahasiswa dalam kaitannya dengan penyesuaian diri
dengan situasi dan status baru yang dihadapi, yaitu :
30
a. Masalah pertama yang perlu diperhatikan adalah mengenai cara
belajar. Pelajar SMA biasanya memiliki cara belajar yang lebih pasif bila dibanding dengan mahasiswa. Ini disebabkan oleh cara
pembelajaran yang memang berbeda. Hampir semua materi pelajaran SMA diberikan oleh guru. Asalkan siswa menyimak baik-baik materi
yang diberikan dan belajar hanya dari materi tersebut, biasanya itu sudah cukup. Berbeda dengan perguruan tinggi yang menuntut
mahasiswa untuk lebih aktif dalam mempelajari dan memahami materi. Materi yang diberikan dosen biasanya bersifat sebagai
pengantar, sedangkan pendalaman lebih lanjut diserahkan kepada mahasiswa yang bersangkutan. Ini menyebabkan kedalaman dalam
memahami suatu materi tergantung dari keaktifan mahasiswa dengan usahanya mencari referensi-referensi yang berkaitan dengan materi
yang diajarkan. Belum lagi perbedaan sistem paket yang diterapkan di SMA dan sistem SKS yang berlaku di Perguruan Tinggi, yang betul-
betul menuntut mahasiswa untuk lebih akif kalau ingin lulus dengan nilai yang memuaskan dan dalam jangka waktu yang singkat.
b. Masalah kedua adalah berkaitan dengan perpindahan tempat. Bagi
sebagian besar mahasiswa, memasuki perguruan tinggi berarti juga harus berpindah tempat dari tinggal bersama dengan orang tua,
menjadi tinggal bersama dengan orang lain, entah itu kost, kontrakan atau tinggal bersama dengan saudara. Belum lagi bila situasi di tempat
asal ternyata berbeda sama sekali dengan situasi di tempat yang baru.
31
Misalnya dari lingkungan desa ke kota besar, tempat biasanya Perguruan Tinggi yang baik berada. Perpindahan tempat semacam ini
membutuhkan energi yang besar untuk melakukan penyesuaian diri pada awalnya.
c. Masalah ketiga berkaitan dengan mencari teman baru dan hal-hal yang
berkaitan dengan pergaulan. Menjadi mahasiswa berarti hubungan dengan teman-teman karib sewaktu SMA menjadi semakin renggang
karena pertemuan yang semakin kurang dan sekaligus ada tuntutan untuk mencari teman-teman yang baru. Mencari teman yang cocok
bukanlah merupakan hal yang mudah. Apalagi biasanya teman-teman yang cocok bukanlah merupakan hal yang mudah. Apalagi biasanya
teman-teman kuliah maupun di tempat sekitar tinggal biasanya juga berasal dari latar keluarga yang berbeda-beda. Gagal mendapatkan
teman yang sesuai bisa berakibat timbulnya perasaan kesepian. Berkaitan dengan masalah teman dan pergaulan ini adalah masalah
seksualitas. Mahasiswa secara biologis seksualitasnya telah matang. Namun norma-norma sosial masih menghalangi aktualitas perilaku
seksual secara penuh. Ketika masih dalam lingkungan keluarga sedikit banyak masih ada kontrol dari orang tua, saudara dan lembaga-
lembaga kemasyarakatan gereja, masjid, organisasi atau perkumpulan remaja yang membantu remaja bersangkutan untuk mengatasi
masalah seksualitasnya. Namun di tempat yang baru, ketika mahasiswa yang bersangkutan dituntut untuk membuat keputusan dan
32
pilihan-pulihan sendiri, seksualitas bisa muncul menjadi masalah yang serius.
d. Masalah keempat berhubungan dengan perubahan relasi. Relasi
dengan orang tua, saudara dan teman sewaktu tinggal dalam keluarga merupakan relasi yang lebih bersifat pribadi. Namun relasi-relasi
tersebut berubah menjadi lebih bersifat fungsionil ketika menjadi mahasiswa. Relasi orang tua-anak, antar saudara, antar teman
sepermainan diganti dengan relasi dosen-mahasiswa, mahasiswa- mahasiswa dan sebagainya. Perubahan relasi itu juga dapat menjadi
kesulitan tersendiri bagi mahasiswa. e.
Masalah kelima berkaitan dengan pengaturan waktu. Menjadi mahasiswa untuk sebagian besar berarti bebas mengatur waktu
menurut kehendaknya sendiri, karena tidak ada orang lain yang mengontrol. Ketidakmampuan dalam mengatur waktu antara kegiatan
kuliah, belajar, bermain dan aktifitas lainnya dapat mengakibatkan munculnya masalah-masalah lain yang terutama berkaitan dengan
tugas belajarnya. Masalah lainnya menyangkut nilai-nilai hidup. Berbagai macam
orang yang ditemui serta berbagai macam informasi yang diterima di Perguruan Tinggi yang biasanya lebih terbuka, bisa mengakibatkan
mahasiswa yang bersangkutan mengalami krisis nilai. Nilai-nilai lama yang dibawa dan dihidupi selama ini diperhadapkan dengan nilai-nilai baru
yang ditemui yang dirasa lebih sesuai. Tidak jarang selama masa krisis ini,
33
kehidupan mahasiswa yang bersangkutan menjadi tidak menentu dan membawa dampak yang negatif bagi kesejahteraannya.
Bila mahasiswa berhasil menangani masalah-masalah yang dihadapinya dengan sukses, maka yang bersangkutan akan dapat menjalani
kehidupan dan peranannya sebagai mahasiswa dengan baik dan lancar. Namun bila mahasiswa tersebut gagal menangani masalah-masalah yang
ada, maka peranannya sebagai mahasiswa dan kehidupannya pribadinya akan mengalami gangguan dan hambatan.
2.4 Penelitian yang relevan