tetapi ia tidak dapat hadir pada saat yang sudah ditentukan. Perlokusi dari ucapan itu dapat membuat pendengarnya memaafkannya dengan berkata, “Ya, tidak apa-
apa” atau bersikap tak peduli diam dan tidak menunjukkan ekspresi memaafkan.
Dari segi konteksnya kalimat di atas merupakan tindak tutur tidak langsung. Hal ini terlihat dari penggunaan kalimat tersebut kalimat berita yang
seolah-olah hanya memberitahukan temannya bahwa kemarin ia tidak dapat hadir. Padahal, si penutur hendak memohon maaf dan seharusnya ia menggunakan
kalimat perintah imperatif. Untuk membuktikan kebenarannya, perhatikan contoh di bawah ini sebagai perluasan dari kalimat tersebut:
4b “Saya minta maaf, karena kemarin tidak dapat hadir.” atau seperti kalimat berikut.
4c “Saya kemarin tidak dapat hadir, ada urusan mendadak. Oleh karena itu, saya mohon maaf.”
2.3 Tinjauan Pustaka
Beberapa hasil penelitian yang ditinjau dalam penelitian ini diterangkan sebagai berikut. Faridah 2002 dalam tesisnya Eufemisme dalam Bahasa Melayu
Serdang menjelaskan bentuk, fungsi, dan makna eufemisme. Faridah menggunakan pandangan Allan dan Burridge 1991 dalam menjawab
permasalahan penelitiannya. Dalam penelitiannya, Faridah menggunakan data tulis dan data lisan. Data tulis diperoleh dari buku-buku pantun bahasa Melayu,
sedangkan data lisan diperoleh dari percakapan penutur jati. Untuk mendapatkan data digunakan metode cakap atau metode wawancara dengan teknik dasar berupa
Universitas Sumatera Utara
teknik pancing dan teknik cakap semuka, teknik rekam, dan teknik catat. Selanjutnya, dalam menganalisis data digunakan metode agih, metode padan dan
metode pragmatik. Dalam menganalisis makna digunakan metode pragmatik, dengan alat penentu mitra wicara.
Menurut Faridah, bentuk-bentuk eufemisme dalam bahasa Melayu Serdang terdiri atas 1 ekspresi figuratif mis: hujanlah hari rintik-rintik, tumbuh
cendawan gelang kaki, kami seumpama telor itik, kasih ayam maka menjadi, 2 metafora mis: angin lalu membawa berita, 3 satu kata untuk menggantikan
kata yang lain mis: penganten ‘lipan’ , 4 umum ke khusus mis: burung salah name ‘burung punai’, 5 hiperbola mis: akan kubawe ke liang kubor ‘akan
kubawa sampai ke liang kubur’, dan 6 kolokial mis: bawe bulan ‘haid’. Fungsi-fungsi eufemisme dalam bahasa Melayu Serdang berupa 1
sapaan dan penamaan mis: Pakcik ‘bapak’, 2 penghindaran tabu mis: punai ‘alat kelamin laki-laki’, 3 menyatakan cara eufemisme digunakan mis: awak
udah haus kali ne, bagilah minom ‘seorang tamu minta minum dengan cara halus’, dan 4 menyatakan situasi mis: nenekdatuk ‘harimau’. Makna
eufemisme berkaitan dengan 1 penutur dan lawan tutur mis: sireh besusun pinang belonggok, tepak bebaris memanggu sape, anak beru menunggu izin, dari
keluarga Datok Husny mulie ‘sirih bersusun pinang berlonggok, tepak berbaris menunggu sapa, anak beru menunggu izin, dari keluarga Datuk Husny mulia, 2
konteks tuturan mis: kalau rumah tide berpintu, dimane arah boleh disingkap, kalau puan kate begitu, inilah kunci due serangkap ‘kalau rumah tidak berpintu,
di mana arah boleh disingkap, kalau puan kata begitu, inilah kunci dua
Universitas Sumatera Utara
serangkap’, 3 tujuan tuturan mis: same umor dah setahun jagung ‘sama umur sudah setahun jagung’, sama darah setampok pinang ‘sama darah setampuk
pinang’, same akal tumboh ke luar ‘sama akal tumbuh ke luar’, 4 tuturan sebagai bentuk tindak atau aktivitas mis: lancang kuning berlasyar malam, arus
deras karangnye tajam, jika mualem kurang paham, alamat kapal akan tenggelam ‘lancang kuning berlayar malam, arus deras karangnya tajam, jika
mualim kurang paham, alamat kapal akan tenggelam’, dan 5 tuturan sebagai bentuk tindak verbal mis: Teruna sudah lelah ‘Teruna sudah lelah’.
Andayani 2005 dalam tesisnya “Eufemisme dalam Upacara Perkawinan Adat Jawa Nemokke di Medan” mengkaji tipe-tipe eufemisme, fungsi eufemisme,
makna eufemisme, serta pola sosiolinguistik penggunaan eufemisme dalam prosesi Nemokke. Ia menggunakan pandangan Allan dan Burridge 1991 untuk
menjelaskan masalah penelitian. Data dikumpulkan dengan metode wawancara yang didukung teknik rekam dan teknik catat, tetapi kurang jelas berapa jumlah
desa yang dijadikan sebagai daerah pengamatan. Menurut Andayani, tipe-tipe eufemisme dalam upacara perkawinan Jawa
Nemokke terdiri atas 1 metafora mis: golek sandang lan pangan ‘mencari pakaian dan makanan’ atau ‘nafkah’, 2 satu kata menggantikan kata yang lain
mis: wal lang ‘lepas hitungan’ atau ‘segala sesuatu harus diperhitungkan’, 3 hiperbola mis: satrio bagus ‘ksatria baik’ atau ‘suami’, dan 4 ekspresi figuratif
mis: wes ngentok ake kembar mayang ponco worno ‘sudah bertemu dengan bunga lima warna’ atau ‘menikah’. Selanjutnya, eufemisme berfungsi sebagai
Universitas Sumatera Utara
sapaan mis: guru laki ‘suami’ dan menghindari tabu mis: kembar sekar mayang ponco worno ‘perawan’.
Perlu dicatat bahwa Andayani tidak menetapkan satu teori yang pasti untuk mencari makna eufemisme. Makna metaforis dari setiap ungkapan dia
jadikan sebagai makna eufemisme. Pola sosiolinguistik meliputi bentuk-bentuk keteraturan dalam penggunaan bahasa yang berhubungan dengan faktor-faktor
seperti jenis kelamin, usia, dan pengalaman. Penggunaan eufemisme berdasarkan jenis kelamin tidak menghasilkan pola tertentu perbedaan. Dari segi usia dan
pengalaman, ahli nemokke yang tua di atas 60 tahun cenderung lebih berpengalaman daripada mereka yang masih muda dan ahli nemokke yang
berpengalaman itu lebih banyak memberikan nasihat daripada yang belum berpengalaman.
Selanjutnya, Rubby dan Dardanila 2008 dalam artikel yang berjudul “Eufemisme pada Harian Seputar Indonesia” membahas bentuk-bentuk
eufemisme dan frekuensi pemakaiannya. Rubby dan Dardanila juga menggunakan pandangan Allan dan Burridge 1991. Data penelitiannya bersumber dari harian
Seputar Indonesia edisi Juni-Juli 2007, yang dikumpulkan dengan menggunakan metode simak. Selanjutnya, data dianalisis dengan menggunakan metode agih dan
metode deskripsi. Menurut Rubby dan Dardanila, ada tujuh bentuk eufemisme pada harian
Seputar Indonesia, yaitu 1 ekspresi figuratif mis: Nasib Mpseda di PSMS berada di ujung tanduk ‘berada dalam situasi yang kritis atau keadaan genting’,
2 flipansi mis:…kader yang tidak mengindahkan peraturan organisasi ‘tidak
Universitas Sumatera Utara
menaati peraturan yang telah ditetapkan’, 3 sirkumlokusi mis: Pemain Timnas Indonesia tak boleh terperangkap dalam permainan dan perang kata yang
dilontarkan Arab Saudi ‘terprovokasi atau terpancing emosi’, 4 singkatan mis: PSK Pekerja Seks Komersial ‘pelacur’, 5 satu kata untuk menggantikan satu
kata yang lain mis: Lembaga Permasyarakat LP ‘penjara’, ‘bui’, atau ‘rumah tahanan’ , 6 umum ke khusus mis: gugur ‘mati’, ‘meninggal’, dan 7
hiperbola mis: Barna belum juga puas, kembali menghujani tubuh pria malang itu bertubi-tubi
Penelitian tentang jenis-jenis tuturan pada upacara adat perkawinan dilakukan oleh Hutapea 2007 dalam skripsinya Tuturan pada Upacara Adat
Perkawinan Masyarakat Batak Toba. Data penelitiannya bersumber dari penutur jati bahasa Batak Toba dan sejumlah data tulis. Data dikumpulkan dengan metode
simak dan dianalisis dengan metode padan pragmatik dengan alat penentu mitra wicara. Hutapea menyimpulkan bahwa tuturan yang paling dominan dalam
upacara adat perkawinan masyarakat Batak Toba adalah tuturan direktif. ‘ditikam’ atau ‘dibacok’.
Penelitian di atas memberikan kontribusi dalam metode dan data bahasa Batak Toba. Metode wawancara atau metode simak juga diterapkan dalam
penelitian ini. Data bahasa Batak Toba yang mengandung eufemisme misalnya, “nunga ojak parsaripeon i marhite ugamo, hot ma antong sipanganon na
hupasahat hami, uli ma roha muna manjalo” ‘sudah sah rumah tangga itu menurut agama, tetaplah makanan yang kami beri, terimalah dengan senang hati’.
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODE PENELITIAN