Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya Terhadap Pendapatan Petani (Studi kasus: Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang)

(1)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian merupakan basis utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Sektor pertanian telah memberikan sumbangan besar dalam pembangunan nasional, seperti peningkatan ketahanan nasional, penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), perolehan devisa melalui ekspor-impor, dan penekanan inflasi.

Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan merupakan sektor kedua setelah sektor industri pengolahan yang memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan PDRB Indonesia. PDRB merupakan salah satu indikator yang menggambarkan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah atau negara. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1. dimana pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan pada tahun 2010 dan 2011 menyumbang masing-masing sebesar Rp 985,40 triliyun dan Rp 1.039,50 triliyun. Sumbangan sektor pertanian ini naik sebesar Rp 54,10 triliyun. Jika berdasarkan harga konstan, pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan menyumbang sebesar Rp 304,70 triliyun dan Rp 313,70 triliyun. Sumbangan sektor pertanian berdasarkan harga konstan naik sebesar Rp9,00 triliyun. Hal ini menunjukkan bahwa sector pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan masih memberikan sumbangan yang besar terhadap pembangunan di Indonesia.


(2)

2 Tabel 1. Nilai PDRB Indonesia pada Tahun 2010-2011 Menurut Lapangan

Usaha Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan 2000.

Lapangan Usaha

Atas dasar harga berlaku

Atas dasar harga konstan

2000

2010 2011 2010 2011

Pertanian, peternakan,

kehutanan, dan perikanan 985,40 1093,5

304,7 313,7 Pertambangan dan penggalian 718,1 886,3 186,6 189,2 Industri pengolahan 1595,8 1803,5 597,1 634,2 Listrik, gas dan air bersih 49,1 55,7 18,1 18,9

Bangunan 660,9 756,5 150,0 160,1

Perdagangan, hotel, restoran 882,5 1.022,1 400,5 437,2 Pengangkutan dan komunikasi 423,2 491,2 218 241,3 Keuangan, persewaan, jasa

perusahaan 466,6 535,0 221,0 236,1

Jasa-jasa 654,7 783,3 217,8 232,5

Produk Domestik Bruto (PDB) 6.436,3 7.427,1 2.313.8 2.463,2 PDB Tanpa Migas 5936,2 6794,4 2.171 2.321,8 Sumber: Badan Pusat Statistik (2012)

Dalam menghadapi pembangunan, sektor pertanian masih terdapat banyak persoalan besar yang harus diselesaikan, salah satu diantaranya adalah permasalahan alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian yang saat ini terus mengalami peningkatan. Menurut Utomo (1992) Alih fungsi lahan atau konversi lahan adalah berubahnya satu penggunanaan lahan ke penggunanaan lahan lainnya. Banyak faktor baik internal maupun eksternal yang mempengaruhi terjadinya alih fungsi lahan.

Alih fungsi lahan pertanian sebenarnya bukan masalah baru. Sejalan dengan adanya peningkatan jumlah penduduk serta meningkatnya kebutuhan infrastruktur seperti, perumahan, jalan, industri, perkantoran, dan bangunan lain menyebabkan kebutuhan akan lahan meningkat. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi menyebabkan pertumbuhan yang sangat cepat di beberapa sektor ekonomi. Pertumbuhan tersebut juga membutuhkan lahan yang lebih luas sehingga terjadi peningkatan kebutuhan lahan untuk pembangunan, sementara


(3)

3 ketersediaan lahan relatif tetap menyebabkan persaingan dalam pemanfaatan lahan. Kebanyakan lahan yang dialihfungsikan umumnya adalah lahan-lahan pertanian karena land rent (sewa lahan). Menurut Barlowe, sewa ekonomi lahan (land rent) mengandung pengertian nilai ekonomi yang diperoleh oleh satu bidang lahan bila lahan tersebut digunakan untuk kegiatan proses produksi. Land rent lahan pertanian relatif lebih tinggi penggunaannya untuk non-pertanian dibandingkan dengan lahan pertanian yang dikelola oleh petani (Putri 2009).

Fenomena alih fungsi lahan pertanian merupakan dampak dari transformasi sruktur ekonomi (pertanian ke industri), dan demografi (pedesaan ke perkotaan) yang pada akhirnya mendorong transformasi sumberdaya lahan dari pertanian ke non-pertanian (Supriyadi 2004). Persoalan ini harus dicarikan solusi pemecahannya karena melihat juga dampak yang ditimbulkan dari alih fungsi lahan ini dapat merugikan petani khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Adanya alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan sawah akan mempengaruhi produksi beras yang mana merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia sehingga akan berpengaruh terhadap ketahanan pangan.

Fenomena alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian saat ini terjadi sangat pesat di beberapa wilayah di Indonesia terutama di Pulau Jawa. Alih fungsi lahan yang terjadi di Pulau Jawa sebesar 54 persen lebih tinggi dibandingkan Pulau Sumatera sebesar 38 persen dan beberapa daerah di seluruh wilayah Indonesia (Anugrah 2005). Dalam sepuluh tahun terakhir, konversi lahan sawah di sentra utama penghasil beras Indonesia yakni Pulau Jawa, rata-rata lebih dari 22.000 hektar/tahun (Sumaryanto et all 2006), dan Karawang sebagai salah


(4)

4 1600000 1700000 1800000 1900000 2000000 2100000 2200000

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Tahun Ju m lah P en d u d u k jumlah penduduk 1600000 1700000 1800000 1900000 2000000 2100000 2200000

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Tahun J u m la h P e ndu du k jumlah penduduk satu wilayah penyumbang beras tertinggi khususnya di Jawa Barat sampai saat ini tetap mengalami alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan sawah.

Salah satu wilayah di Indonesia yang mengalami alih fungsi lahan pertanian adalah kabupaten Karawang. Wilayah ini juga terkenal sebagai lumbung padi nasional. Kabupaten Karawang menjadi penghasil padi terbesar ketiga setelah Indramayu dan Subang di Jawa Barat1. Selain itu, lahan pertanian terutama lahan sawah cukup luas. Sebesar 55,62 persen luas wilayah Kabupaten Karawang merupakan lahan sawah. Namun, Kabupaten Karawang merupakan wilayah yang rawan akan masalah lahan, terutama karena adanya kawasan industri serta pemukiman penduduk. Adanya pertambahan jumlah penduduk Kabupaten Karawang setiap tahun dengan laju rata-rata setiap tahun sebesar 1,75 persen menyebabkan kebutuhan baik pemukiman maupun perumahan terus meningkat.

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang 2011 (diolah)

Gambar 1. Jumlah Penduduk Kabupaten Karawang Tahun 2001-2010 Selain itu, kemudahan akses serta letak geografis yang berada di dua kota besar yaitu Jakarta dan Bandung mengakibatkan daerah ini menjadi daerah penyangga yang strategis untuk menjadi salah satu pusat perekonomian sehingga


(5)

5 sektor-sektor ekonomi pun menjadi tumbuh (Sandi 2009). Sejak dibangunnya jalan tol Jakarta-Cikampek telah menjadikan kabupaten Karawang sebagai salah satu lokasi strategis untuk kegiatan industri (Jamal 1999).

1.2 Rumusan Masalah

Alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian yang terjadi selama ini di Indonesia sebenarnya tidak menguntungkan bagi sektor pertanian. Adanya alih fungsi lahan justru menimbulkan dampak negatif karena dapat menurunkan hasil produksi pertanian dan daya serap tenaga kerja sehingga akan berpengaruh terhadap keberlanjutan hidup petani. Namun, potensi dampak yang akan terjadi kurang diperhatikan masyarakat ataupun pemerintah dan upaya untuk pengendalian terhadap alih fungsi lahan sepertinya diabaikan. Inilah yang menjadi konsentrasi pemerintah dan masyarakat Indonesia, khususnya di wilayah Kabupaten Karawang terutama di wilayah Kecamatan Karawang Timur.

Perkembangan Kabupaten Karawang telah mengakibatkan terjadinya persaingan dalam penggunaan lahan yang menyebabkan terjadinya peningkatan permintaan lahan dimana luas lahan tetap, yaitu seluas 175.327 hektar. Sebagai konsekuensi dari hal ini maka terjadilah alih fungsi lahan pertanian. Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Karawang (2011) menunjukkan bahwa secara umum luas lahan sawah yang mengalami alih fungsi dari tahun 2001-2010 mencapai 346,9 hektar atau 34,69 hektar per tahun2.

Perubahan penggunaan lahan dilakukan pada lahan pertanian yang bertempat pada zonasi kawasan yang dialokasikan sebagai kawasan industri maupun pemukiman. Penetapan zonasi wilayah diatur pada Peraturan Daerah


(6)

6 Kabupaten Karawang mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Penetapan RTRW Kabupaten Karawang tahun 2004 berdasarkan perda no 19 tahun 2004 memiliki zonasi industri lebih besar dibandingkan RTRW Kabupaten Karawang sebelumnya, yaitu 1999 (Ervani 2011).

Perubahan fungsi lahan dari lahan pertanian ke lahan non-pertanian di Kabupaten Karawang tidak saja menghilangkan kesempatan dalam memproduksi padi dan komoditas pertanian lainnya, namun juga menghilangkan kesempatan usaha yang akan mengancam kelangsungan hidup petani. Sebanyak 61,9 persen penduduk Kabupaten Karawang bergerak di bidang usaha pertanian dengan presentasi buruh tani sekitar 59,43 persen3. Akibat adanya alih fungsi lahan ini, banyak petani yang kehilangan mata pencahariaannya. Sebagian besar dari mereka beralih dari petani pemilik menjadi petani penggarap ataupun beralih profesi menjadi buruh pabrik atau tukang ojek. Hal ini akan berpengaruh terhadap pendapatan petani yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian.

Petani yang sebelumnya sangat bergantung pada sektor pertanian sebagai mata pencahariannya kini banyak diantara mereka tidak bisa bertani kembali. Selain itu, bertambahnya wilayah terbangun (built up area) menyebabkan muka tanah yang merupakan peresapan akan jauh berkurang luasannya (Achard et al.1987) dalam (Barbier 1999). Rendahnya daya resapan air menyebabkan peningkatan aliran air permukaan. Tingginya aliran permukaan akan menyebabkan terjadinya banjir. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap kondisi lingkungan wilayah sekitar.

3www.pelitakarawang.com “Wilayah Lumbung Padi Karawang” . Diakses pada tanggal


(7)

7 Kecamatan Karawang Timur merupakan salah satu wilayah yang mengalami alih fungsi lahan tertinggi di Kabupaten Karawang. Pada tahun 2011, wilayah ini mengalami alih fungsi lahan tertinggi mencapai 254,60 hektar berdasarkan data dari Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Karawang. Lahan yang mengalami alih fungsi sebagian besar adalah lahan sawah produktif. Saat ini luas lahan pertanian khusunya lahan sawah sebesar 69,8 persen. Namun seiring dengan adanya pembangunan, banyak lahan yang beralih fungsi terutama untuk pembangunan perumahan.

Sejak adanya penetapan RTRW tahun 2004, Kecamatan Karawang Timur terus mengalami pembangunan. Wilayah ini memiliki peluang yang tinggi untuk investor dalam menanamkan modalnya karena wilayah ini merupakan pusat bisnis dan tata niaga. Selain itu, wilayah ini juga merupakan pusat kota dari pemerintahan Kabupaten Karawang dan pintu gerbang ibu kota Jakarta. Hal tersebut mendorong terjadinya alih fungsi lahan di Kecamatan Karawang Timur, khususnya Desa Kondangjaya.

Desa Kondangjaya merupakan desa yang mengalami alih fungsi lahan pertanian paling tinggi di Kecamatan Karawang Timur. Sebagian besar lahan di wilayah ini merupakan lahan sawah. Pada tahun 2011, lahan pertanian khususnya sawah yang mengalami alih fungsi seluas 130 hektar. Lahan yang dialihfungsikan berupa lahan sawah produktif, yakni lahan sawah irigasi teknis. Saat ini, luas lahan sawah di Desa Kondangjaya hanya tinggal 33 persen dari luas wilayah4.

Pembangunan di wilayah ini lebih banyak untuk perumahan. Banyak kontraktor perumahan (developer) yang membangun perumahan karena wilayah


(8)

8 ini sangat strategis, dekat dengan pusat Kabupaten Karawang dan dekat dengan jalan alternatif (By Pass). Namun, penggunaan lahan sawah yang dilakukan developer menimbulkan banyak dampak, terutama terhadap lingkungan dan pendapatan yang dirasakan langsung oleh masyarakat di Desa Kondangjaya. Berikut nama-nama perusahaan atau developer dari perumahan yang di bangun diatas lahan sawah di Desa Kondangjaya:

Tabel 2. Nama Perusahaan Perumahan di Desa Kondangjaya 2000-2011 Nama Perusahaan Luas (Hektar)

PT Trimertta Griya Lestari 8,19

PT Tawakal Griya Husada 6,32

PT Griya Tata Mandiri 7,20

PT Tawakal Griya Husada 11,00

PT Cipta Cakti Carono 3,10

PT Sinar Kompas Utama 10,00

PT Daun Permata Mulia 10,00

PT Ristia Bintang Mahkota Sejati Tbk 15,00

HENDRIK UTAMA 5,12

PT Perkasa Internusa Mandiri 150,00

PT Duta Bersama 40,00

PT Arrayan Nusantara Development 300,00

Sumber: Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Karawang 2011

Berdasarkan Tabel 2, pembangunan perumahan-perumahan di lahan sawah tetap dibiarkan atau diberikan izin oleh pemerintah daerah. Padahal adanya pembangunan di lahan sawah dapat memberikan dampak terhadap lingkungan. Dampak lingkungan dirasakan langsung oleh masyarakat di Desa Kondangjaya, yaitu, udara yang mulai tercemar, air yang mulai sulit diperoleh, serta ancaman terhdadap banjir.

Pergeseran penggunaan lahan dari lahan sawah ke non-pertanian di Desa Kondangjaya menyebabkan terjadinya penurunan luas lahan dan pergeseran mata


(9)

9 pencaharian penduduk. Pada awalnya sebagian besar penduduk berprofesi sebagai petani, namun saat ini hanya 19,40 persen penduduk yang memiliki mata pencaharian di bidang pertanian. Saat ini, sebagian besar penduduk memiliki mata pencaharian di bidang perdagangan, industri, wiraswasta, dan jasa seperti tukang ojek. Hal ini akan berpengaruh terhadap pendapatan yang diperoleh penduduk sebelum dan sesudah melakukan alih fungsi lahan di Desa Kondangjaya. Kondisi ini menggambarkan bahwa terjadinya alih fungsi lahan sawah justru merugikan petani.

Berdasarkan berbagai kenyataan dan permasalahan di atas maka rumusan masalah di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana laju alih fungsi lahan di Kecamatan Karawang Timur? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian? 3. Bagaimana dampak alih fungsi lahan terhadap pendapatan petani di Desa

Kondangjaya?

4. Bagaimana dampak akibat alih fungsi lahan terhadap lingkungan di Desa Kondangjaya?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan hasil uraian rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengkaji laju alih fungsi lahan pertanian di Kecamatan Karawang Timur. 2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pada

tingkat wilayah maupun tingkat petani.

3. Menganalisis dampak alih fungsi lahan terhadap pendapatan petani di Desa Kondangjaya.


(10)

10 4. Menganalisis dampak lingkungan akibat alih fungsi lahan pertanian di

Desa Kondangjaya. 1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti, diharapkan penelitian ini dapat menjadi sarana dalam mengaplikasikan ilmu pengetahuan bidang keilmuan ekonomi sumberdaya dan lingkungan yang dipelajari selama menjalani perkuliahan di Institut Pertanian Bogor.

2. Bagi pemerintah, informasi ini dapat menjadi acuan dalam pembuatan kebijakan pembangunan infrastruktur yang sejalan dengan pembangunan pertanian.

3. Bagi civitas akademika, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi yang digunakan untuk penelitian selanjutnya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Dalam penelitian yang berjudul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya Terhadap Pendapatan Petani (Studi Kasus Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang) diperlukan batasan penelitian agar lebih fokus dalam penelitian. Adapun pembatasan penelitian dari penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini dilakukan di Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang.

2. Alih fungsi lahan pertanian yang terjadi berupa lahan sawah di Kecamatan Karawang Timur.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan dilihat dari faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan ditingkat wilayah dan faktor-faktor


(11)

11 yang mempengaruhi keputusan petani melakukan alih fungsi lahan pertanian.

4. Pendapatan yang diperhitungkan dilihat dari perubahan pendapatan rumah tangga dari petani sebelum dan sesudah kegiatan alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan sawah.

5. Dampak lingkungan yang dinilai dari dampak yang dirasakan langsung oleh masyarakat dilihat dari kondisi udara, air, sampah, dan banjir.


(12)

12 II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lahan Pertanian

Sumberdaya lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki banyak manfaat bagi manusia, seperti sebagai tempat hidup, tempat mencari nafkah. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan seperti sektor pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan, dan transportasi.

Lahan mempunyai arti penting bagi para stakeholder yang memanfaatkannya. Fungsi lahan bagi masyarakat sebagai tempat tinggal dan sumber mata pencaharian. Bagi petani, lahan merupakan sumber memproduksi makanan dan keberlangsungan hidup. Bagi pihak swasta, lahan adalah aset untuk mengakumulasikan modal. Bagi pemerintah, lahan merupakan kedaulatan suatu negara dan untuk kesejahteraan rakyatnya. Adanya banyak kepentingan yang saling terkait dalam penggunaan lahan, hal ini mengakibatkan terjadinya tumpang tindih kepentingan antar aktor yaitu petani, pihak swasta, dan pemerinntah dalam memanfaatkan lahan.

Lahan pertanian merupakan lahan yang diperuntukan untuk kegiatan pertanian. Sumberdaya lahan pertanian memiliki banyak manfaat bagi manusia. Menurut Sumaryanto dan Tahlim (2005) menyebutkan bahwa manfaat lahan pertanian dapat dibagi menjadi dua kategori. Pertama, use values atau nilai penggunaan dapat pula disebut sebagai personal use values. Manfaat ini dihasilkan dari hasil eksploitasi atau kegiatan usahatani yang dilakukan pada sumber daya lahan pertanian. Kedua, non use values dapat pula disebut sebagai intrinsic values atau manfaat bawaan. Berbagai manfaat yang tercipta dengan


(13)

13 sendirinya walaupun bukan merupakan tujuan dari kegiatan eksploitasi dari pemilik lahan pertanian termasuk dalam kategori ini.

Salah satu lahan pertanian yang banyak terdapat di Indonesia khusunya Pulau Jawa adalah lahan sawah. Lahan sawah adalah suatu tipe penggunaan lahan yang untuk pengelolaannya memerlukan genangan air. Oleh karena itu, lahan sawah selalu memiliki permukaan datar atau yang didatarkan dan dibatasi oleh pematang untuk menahan air genangan (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat 2003).

Menurut Yoshida (1994) dan Kenkyu (1996) dalam Sumaryanto et al (2005) bahwa dari aspek lingkungan, keberadaan lahan pertanian dapat berkontribusi dalam lima manfaat, yaitu: pencegahan banjir, pengendali keseimbangan tata air, pencegahan erosi, pengurangan pencemaran lingkungan yang berasal dari limbah rumah tangga, dan mencegah pencemaran udara yang berasal dari gas buangan.

2.2 Alih Fungsi Lahan pertanian

Alih fungsi lahan pertanian bukan merupakan hal yang baru. Dengan semakin meningkatnya taraf hidup dan terbukanya kesempatan untuk menciptakan peluang kerja, yang ditandai oleh semakin banyaknya investor ataupun masyarakat dan pemerintah dalam melakukan pembangunan, maka semakin meningkat pula kebutuhan akan lahan. Dipihak lain jumlah lahan yang terbatas sehingga menimbulkan penggunaan lahan yang seharusnya beralih ke penggunaan non-pertanian.

Alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian merupakan isu yang perlu diperhatikan karena ketergatungan masyarakat terhadap sektor pertanian.


(14)

14 Konversi lahan atau alih fungsi lahan adalah berubahnya satu penggunaan lahan ke penggunaan lainnya, sehingga permasalahan yang timbul akibat konversi lahan, banyak terkait dengan kebijakan tataguna tanah (Ruswandi 2005). Menurut Kustiawan (1997) alih fungsi atau konversi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Alih fungsi lahan umumnya terjadi di wilayah sekitar perkotaan dan dimaksudkan untuk mendukung perkembangan sektor industri dan jasa.

Dalam kegiatan alih fungsi lahan sangat erat kaitannya dengan permintaan dan penawaran lahan. Adanya ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan dimana penawaran terbatas sedangkan permintaan tak terbatas menyebabkan alih fungsi lahan. Menurut Barlowe (1978), faktor faktor yang mempengaruhi penawaran lahan adalah karateristik fisik alamiah, faktor ekonomi, faktor teknologi, dan faktor kelembagaan. Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan lahan adalah populasi penduduk, perkembangan teknologi, kebiasaan dan tradisi, pendidikan dan kebudayaan, pendapatan dan pengeluaran, selera dan tujuan, serta perubahan sikap dan nilai-nilai yang disebabkan oleh perkembangan usia.

Sumaryanto dan Tahlim (2005) mengungkapkan bahwa pola konversi lahan dapat ditinjau dalam beberapa aspek. Pertama, alih fungsi secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Lazimnya motif tindakan ada 3: (a) untuk pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal, (b) dalam rangka meningkatkan pendapatan melalui alih usaha, (c) kombinasi dari (a) dan (b) seperti pembangunan rumah sekaligus dijadikan tempat usaha. Pola alih fungsi lahan ini


(15)

15 terjadi disembarang tempat, kecil-kecil, dan tersebar. Dampak alih fungsi lahan dengan pola ini terhadap eksistensi lahan sawah sekitarnya baru significant untuk jangka waktu lama.

Kedua, alih fungsi yang diawali dengan alih penguasaan lahan. Pemilik menjual kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha non-pertanian atau kepada makelar. Secara empiris, alih fungsi lahan melalui cara ini terjadi dalam hamparan yang luas, terkonsentrasi, dan umumnya berkorelasi positif dengan proses urbanisasi (pengkotaan). Dampak alih fungsi lahan terhadap eksistensi lahan sawah sekitarnya berlangsung cepat dan nyata.

Alih fungsi lahan dapat bersifat permanen dan juga dapat bersifat sementara (Utomo 1992). Jika lahan sawah beririgasi teknis berubah menjadi kawasan pemukiman atau industri, maka alih fungsi lahan bersifat permanen. Akan tetapi, jika sawah tersebut berubah menjadi perkebunan tebu, maka alih fungsi lahan tersebut bersifat sementara, karena pada tahun-tahun berikutnya dapat dijadikan sawah kembali. Alih fungsi lahan permanen biasanya lebih besar dampaknya dari pada alih fungsi lahan sementara.

2.3 Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian

Terkonsentrasinya pembangunan perumahan dan industri di Pulau Jawa menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan. Di satu sisi alih fungsi lahan ini menambah terbukanya lapangan kerja di sektor non-pertanian seperti jasa konstruksi, dan industri, akan tetapi juga menimbulkan dampak negatif yang kurang menguntungkan. Menurut Widjanarko et al (2006) dampak negatif akibat alih fungsi lahan, antara lain:


(16)

16 1. Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan turunnya produksi padi, yang

mengganggu tercapainya swasembada pangan.

2. Berkurangnya luas sawah yang mangakibatkan bergesernya lapangan kerja dari sektor pertanian ke non-pertanian, yang apabila tenaga kerja lokal yang ada tidak terserap seluruhnya justru akan meninggikan angka pengangguran. Dampak sosial ini akan berkembang dengan meningkatnya kecemburuan sosial masyarakat setempat terhadap pendatang yang pada gilirannya berpotensi meningkatkan konflik sosial.

3. Investasi pemerintah dalam pengadaan prasarana dan sarana pengairan menjadi tidak optimal pemanfaatannya.

4. Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan perumahan maupun indusri sebagai dampak krisis ekonomi atau karena kesalahan perhitungan mengakibatkan tidak termanfaatkannya tanah yang telah diperoleh sehingga meningkatkan luas lahan tidur yang pada gilirannya akan menimbulkan konflik sosial seperti penjarahan tanah.

5. Berkurangnya ekosistem sawah terutama di jalur pantai utara Pulau Jawa yang terbaik dan telah terbentuk puluhan tahun, sedangkan pencetakan sawah baru yang sangat besar biayanya di luar Pulau Jawa seperti di Kalimantan Tengah, tidak memuaskan hasilnya.

Sumaryanto et al (2005) mengungkapkan bahwa dampak negatif dari konversi lahan sawah adalah degradasi daya dukung ketahanan pangan nasional, pendapatan pertanian menurun, dan meningkatnya kemiskinan masyarakat lokal. Selain itu dampak lainnya adalah rusaknya ekosistem sawah, serta adanya


(17)

17 perubahan budaya dari agraris ke budaya urban sehingga menyebabkan terjadinya kriminalitas.

Menurut Firman (2005) bahwa alih fungsi lahan yang terjadi menimbulkan dampak langsung maupun dampak tidak langsung. Dampak langsung yang diakibatkan oleh alih fungsi lahan berupa hilangnya lahan pertanian subur, hilangnya investasi dalam infrastruktur irigasi, kerusakan natural lanskap, dan masalah lingkungan. Kemudian dampak tidak langsung yang ditimbulkan berupa inflasi penduduk dari wilayah perkotaan ke wilayah tepi kota.

Kegiatan alih fungsi lahan pertanian juga berpengaruh terhadap lingkungan. Perubahan lahan pertanian menjadi lahan non-petanian akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem lahan pertanian. Menurut Ruswandi et al (2007) secara faktual alih fungsi lahan atau konversi lahan menimbulkan beberapa konsekuensi, antara lain berkurangnya lahan terbuka hijau sehingga lingkungan tata air akan terganggu, serta lahan untuk budidaya pertanian semakin sempit.

Furi (2007) menjelaskan bahwa konversi lahan atau alih fungsi lahan yang terjadi mengubah status kepemilikan lahan dan penguasaan lahan. Perubahan dalam penguasaan lahan di pedesaan membawa implikasi bagi perubahan pendapatan dan kesempatan kerja masyarakat yang menjadi indikator kesejahteraan masyarakat desa. Terbatasnya akses untuk menguasai lahan menyebabkan terbatas pula akses masyarakat atas manfaat lahan yang menjadi modal utama mata pencaharian sehingga terjadi pergeseran kesempatan kerja ke sektor non-pertanian (sektor informal).


(18)

18 2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan

Laju penggunaan lahan akan semakin meningkat seiring dengan pembangunan pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya permintaan akan lahan mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian. Menurut Pakpahan (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi atau konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat wilayah yaitu faktor yang tidak langsung mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan konversi dan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat petani yaitu faktor yang langsung mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan alih fungsi.

Di tingkat wilayah, alih fungsi lahan sawah secara tidak langsung dipengaruhi oleh perubahan struktur ekonomi, pertumbuhan penduduk, arus urbanisasi, dan konsistensi implementasi rencana tata ruang. Sedangkan secara tidak langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan pembangunan sarana transportasi, pertumbuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman, dan sebaran lahan sawah.

Pengaruh langsung dipengaruhi oleh pengaruh tidak langsung, seperti pertumbuhan penduduk akan menyebabkan pertumbuhan pemukiman, perubahan struktur ekonomi ke arah industri dan jasa akan meningkatkan kebutuhan pembangunan sarana transportasi dan lahan untuk industri, serta peningkatan arus urbanisasi akan meningkatkan tekanan penduduk atas lahan dipinggiran kota. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat petani adalah kondisi sosial ekonomi petani seperti tingkat pendidikan, pendapatan dan kemampuan ekonomi secara keseluruhan serta pajak tanah, harga tanah dan lokasi tanah.


(19)

19 Menurut Situmeang (1998), perubahan struktur ekonomi dimana telah terjadi peningkatan peranan sektor non-pertanian terhadap perekonomian dapat mempercepat perubahan pola penggunaan lahan ke arah pengkotaan. Selanjutnya, perubahan struktur perekonomian sendiri dapat dijelaskan dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi, dimana pertumbuhan ekonomi dapat mempercepat terjadinya struktur ekonomi kearah sektor manufaktur, jasa dan sektor non-pertanian lainnya.

Menurut Winoto (2005) faktor-faktor yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian antara lain:

1. Faktor Kependudukan. Pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah meningkatkan permintaan tanah. Selain itu, peningkatan taraf hidup masyarakat juga turut berperan menciptakan tambahan permintaan lahan.

2. Faktor ekonomi, yaitu tingginya land rent yang diperoleh aktivitas sektor non-pertanian dibandingkan sektor non-pertanian. Rendahnya insentif untuk bertani disebabkan oleh tingginya biaya produksi, sementara harga hasil pertanian relatif rendah dan berfluktuasi. Selain itu karena faktor kebutuhan keluarga petani yang terdesak oleh kebutuhan modal usaha atau keperluan keluarga lainnya.

3. Faktor sosial budaya, antara lain keberadaan hukum waris yang menyebabkan terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak memenuhi batas minimum skala ekonomi usaha yang menguntungkan.

4. Perilaku myopic, yaitu mencari keuntungan jangka pendek namun kurang memperhatikan jangka panjang dan kepentingan nasional secara keseluruhan. Hal ini antara lain tercermin dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang cenderung mendorong konversi tanah pertanian untuk penggunaan tanah non-pertanian.


(20)

20 5. Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum (Law

Enforcement) dari peraturan-peraturan yang ada.

Menurut Kustiawan (1997) dalam hasil kajiannya menyatakan bahwa ada faktor yang berpengaruh terhadap proses alih fungsi lahan pertanian sawah, yaitu (1) Faktor Eksternal adalah faktor-faktor dinamika pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi yang mendorong alih fungsi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian, (2) Faktor-faktor Internal adalah kondisi sosial ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan yang mendorong lepasnya kepemilikan lahan, dan (3) Faktor Kebijaksanaan Pemerintah.

Utomo (1992) memaparkan bahwa secara umum masalah alih fungsi dalam penggunaan lahan terjadi antara lain karena pola pemanfaatan lahan masih sektoral, delineasi antar kawasan belum jelas, kriteria kawasan belum jelas, koordinasi pemanfaatan ruang masih lemah, dan pelaksanaan UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) masih lemah dan penegakan hukum yang masih lemah.

Menurut Winoto (1996) dalam hasil penelitiannya alih fungsi lahan sawah ditentukan oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan sistem pertanian yang ada seperti halnya perubahan di dalam land tenure system dan perubahan dalam sistem ekonomi pertanian. Faktor luar sistem pertanian seperti industrialisasi dan faktor-faktor perkotaan menjelaskan 32,17 persen dan faktor-faktor demografis hanya menjelaskan 8,75 persen.

2.5 Peraturan Tentang Alih Fungsi Lahan Pertanian

Dasar kebijaksanaan pertanahan adalah pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang dijabarkan lebih lanjut dalam UU No 5 tahun 1960 mengenai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Pada pasal 2 ayat (1) UUPA ditegaskan lagi bahwa bumi,


(21)

21 air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Selanjutnya pada ayat (2) pasal yang sama disebutkan bahwa hak menguasai dari negara memberikan wewenang untuk:

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.

2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.

3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Menurut Widjanarko et al. (2006) ada tiga kebijakan nasional yang berpengaruh langsung terhadap alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian ialah:

1. Kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri sesuai Keputusan Presiden Nomor 53 tahun 1989 yang telah memberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk melakukan investasi dalam pembangunan kawasan industri dan memilih lokasinya sesuai dengan mekanisme pasar. Dampak kebijakan ini sangat berpengaruh pada peningkatan kebutuhan lahan sejak tahun 1989, yang telah berorientasi pada lokasi subur dan menguntungkan dari ketersediaan infrastruktur ekonomi.

2. Kebijakan pemerintah lainnya yang sangat berpengaruh terhadap perubahan fungsi lahan pertanian ialah kebijakan pembangunan permukiman skala besar dan kota baru. Akibat penerapan kebijakan ini ialah munculnya spekulan yang mendorong minat petani menjual lahannya.


(22)

22 3. Selain dua kebijakan tersebut, kebijakan deregulasi dalam hal penanaman

modal dan perizinan sesuai Paket Kebijaksanaan Oktober Nomor 23 Tahun 1993 memberikan kemudahan dan penyederhanaan dalam pemrosesan perizinan lokasi. Akibat kebijakan ini ialah terjadi peningkatan sangat nyata dalam hal permohonan izin lokasi baik untuk kawasan industri, permukiman skala besar, maupun kawasan pariwisata.

Landasan Hukum dan Kebijakan alih fungsi lahan pertanian selain UUPA, antara lain:

a. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

b. Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Undang-undang ini merupakan penggantian dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang yang menyebutkan bahwa RTRW mempertimbangkan budidaya tanaman pangan dimana perubahan fungsi ruang kawasan pertanian menjadi kawasan pertambangan, pemukiman, kawasan industri, dan sebagainya memerlukan kajian dan penilaian atas perubahan fungsi ruang tersebut secara lintas sektor, lintas daerah, dan terpusat.

c. Peraturan pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah. d. Peraturan pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban dan

Pendayagunaan Lahan Terlantar. Pasal 11 ayat (3b) yang berbunyi: ” tanah yang diperoleh dasar penggunaannya oleh orang-perseorangan yang tidak menggunakan tanah tersebut sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya atau tidak memelihara dengan baik atau tidak mengambil langkah-langkah pengelolaan bukan karena tidak mampu dari segi ekonomi,


(23)

23 maka Kepala Kantor Pertanahan mengusulkan kepada Kepala Kantor Wilayah agar kepada pemegang hak diberi peringatan agar dalam waktu tertentu sudah menggunakan tanahnya sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya”.

e. Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Izin Lokasi. Pasal 6 ayat 1 yang berbunyi: ”izin lokasi diberikan berdasarkan pertimbangan mengenai aspek penguasaan tanah dan teknis tata guna tanah meliputi keadaan hak serta penguasaan tanah yang bersangkutan, penilaian fisik wilayah, penggunaan tanah, serta kemampuan tanah”.

2.6 Penelitian Terdahulu

Solihah (2002) dalam penelitiannya bahwa terjadi penurunan luas lahan sawah sebanyak 2.946 hektar di Kabupaten Bogor. Faktor-faktor yang berpengaruh positif penurunan luas lahan jumlah penduduk, panjang jalan kabupaten, dan sarana pendidikan. Serta faktor-faktor yang berpengaruh negatif terhadap penurunan luas lahan adalah produktivitas tanaman padi sawah. Dalam menganalisis faktor-faktor ini menggunakan analisis regresi berganda. Kemudian faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keputusan petani adalah pendidikan, kepala keluarga, jumlah tangungan, persentase pendapatan usaha tani padi terhadap pendapatan total petani, jarak lahan dari pusat pertumbuhan ekonomi, dan pengaruh tetangga yang melakukan alih fungsi lahan. Dalam menganalisis faktor-faktor di tingkat petani menggunakan analisis fungsi logit.

Ruswandi (2005) dalam penelitianya bahwa terjadi konversi lahan pertanian di Kecamatan Lembang dan Parompong sebesar 3.134,39 hektar dengan laju sebesar 2,96 persen per tahun. Beberapa faktor yang mempengaruhi konversi


(24)

24 lahan pertanian adalah kepadatan petani pemilik 1992, kepadatan petani non pemilik 1992, jumlah masyarakat miskin, jarak desa ke kota kecamatan, luas lahan guntai dari luas wilayah desa tahun 1992, dan peningkatan persentase luas lahan guntai. Dalam menganalisis faktor-faktor ini digunakan analisis regresi berganda. Secara umum konversi lahan berpeluang menurunkan kesejahteraan petani yang dianalisis dengan metode logistik binari.

Barokah et al (2010) dalam penelitiannya Dampak Konversi Lahan Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani Di Kabupaten Karanganyar menjelaskan bahwa terjadi perubahan alih fungsi lahan pertanian menyebabkan penurunan luas lahan pertanian di wilayah tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama kurun waktu 12 tahun dari 1998-2010 telah terjadi perubahan fungsi lahan sawah 0,120 hektar per rumah tangga petani, proporsi pendapatan usahatani berkurang 8,30 persen dari 42 persen menjadi 33,7 persen dan proporsi pendapatan luar usahatani meningkat 10,30 persen dari 54 persen menjadi 64,30 persen). Berdasarkan hasil analisis uji t dengan α = 5 persen menunjukkan pendapatan rumah tangga petani sebelum konversi tidak sama dengan sesudah konversi lahan pertanian (pendapatan bertambah Rp 1.482.000 per tahun). Metode yang digunakan dalam penelitian ini untuk melihat perubahan pendapatan digunakan uji beda rata-rata.

Sitorus (2011) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa telah terjadi konversi lahan sawah di Kabupaten Bogor sebesar 2.520,40 hektar dengan laju konversi 81,95 persen per tahun. Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah adalah PDRB sektor bangunan dan harga GKG. Analisis data yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda.


(25)

25 III. KERANGKA PEMIKIRAN

Lahan merupakan modal penting yang diperlukan dalam proses produksi pertanian. Namun, perkembangan sektor ekonomi di suatu kawasan mendorong perubahan penggunaan lahan di kawasan tersebut. Perkembangan sektor ekonomi mendorong perubahan sumberdaya lahan ke penggunaan yang memberikan nilai ekonomi lebih tinggi. Pertumbuhan sektor ekonomi yang paling terlihat adalah industri. Pertumbuhan sektor industri menyebabkan lahan untuk kebutuhan industri semakin meningkat. Lahan yang awalnya berupa lahan pertanian khususnya lahan sawah kini berubah menjadi bentuk lain yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi. Selain itu, pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat maka kebutuhan akan tempat tinggal serta sarana dan prasarana untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari juga meningkat. Peningkatan kebutuhan tempat tinggal membutuhkan jumlah lahan yang luas sehingga permintaan akan lahan meningkat. Keberadaan lahan yang sifatnya relatif tetap, sedangkan permintaan atas sumberdaya lahan meningkat mengakibatkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian. Alih fungsi lahan bisa terjadi alami atau alih fungsi lahan buatan yang telah direncanakan wilayah berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Alih fungsi lahan pertanian merupakan tuntutan terhadap pembangunan di sektor non-pertanian seperti, industri, perumahan, dan lain-lain. Hal ini mengakibatkan terjadinya penyempitan lahan. Penyempitan pada lahan akan berdampak langsung terhadap volume produksi padi yang dilakukan petani di wilayah tersebut. Penyempitan lahan ini juga akan berdampak pada kondisi ekonomi petani. Petani yang pada awalnya merupakan petani pemilik kini secara


(26)

26 perlahan mereka mulai berubah kedudukannya menjadi petani penggarap, buruh tani, pengangguran ataupun pindah ke pekerjaan lain. Hal ini tentunya menggambarkan bahwa telah terjadinya transformasi dari sektor pertanian ke non-pertanian. Adanya transformasi ini disebabkan karena dalam usaha pertanian, lahan merupakan salah satu faktor yang menentukan jumlah produksi. Penurunan volume produksi padi akan menghilangkan nilai produksi pertanian dan pendapatan petani. Selain itu, adanya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian juga akan berpengaruh juga terhadap kondisi lingkungan secara fisik, seperti: banjir, kekurangan air, dan pencemaran air. Hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi lingkungan masyarakat.

Adanya alih fungsi lahan dari pertanian ke non-pertanian dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor yang mempengaruhi di tingkat wilayah maupun faktor yang mempengaruhi di tingkat petani. Faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat wilayah, yaitu faktor yang secara tidak secara langsung mempengaruhi keputusan petani melakukan alih fungsi lahan. Faktor yang mempengaruhi alih fungsi di tingkat petani, yaitu faktor yang secara langsung mempengaruhi keputusan petani dalam melakukan alih fungsi lahan.

Skema faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian dan dampaknya terhadap pendapatan petani ditampilkan secara sederhana dalam Gambar 2.


(27)

27 Pembangunan sektor

ekonomi

Gambar 2. Diagram Alur Pikir

Laju Alih Fungsi Lahan

Pertanian Dampak Ekonomi

Alih Fungsi Lahan Pertanian

Dampak Lingkungan

Rekomendasi Kebijakan Faktor-faktor

yang mempengaruhi alih fungsi lahan

Perubahan Pendapatan Petani

Menurunnya Kondisi Lingkungan Peningkatan Kebutuhan

Pemukiman Peningkatan Kebutuhan Lahan Industri Pertumbuhan Penduduk


(28)

28 IV. METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini merupakan studi kasus yang dilakukan di Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan atas wilayah Kecamatan Karawang Timur dijadikan sebagai kawasan pemukiman dan kawasan industri berskala kecil berdasarkan rencana tata ruang wilayah Kabupaten Karawang. Hal ini mengindikasikan terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke pemukiman ataupun industri. Selain itu, wilayah ini juga merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Karawang sehingga memberikan implikasi terjadinya perubahan tata guna lahan.

Penelitian dilakukan dengan mengambil sampel Desa Kondangjaya. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) atau disebut juga

judgemental sampling karena wilayah tersebut merupakan wilayah yang mengalami alih fungsi lahan tertinggi di Kabupaten Karawang pada tahun 2011. Proses pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan pada bulan Februari hingga April 2012.

4.2 Jenis dan Sumber data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat petani, dampak lingkungan dari alih fungsi lahannya, serta dampak alih fungsi lahan pertanian terhadap pendapatan petani. Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dari pemilik lahan baik melalui kusioner maupun melalui wawancara mendalam. Data sekunder digunakan untuk mengetahui laju alih fungsi lahan dan faktor-faktor yang


(29)

29 mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat wilayah dengan menggunakan data

time series 2001– 2010. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) nasional, BPS kabupaten Karawang, Dinas Pertanian, kehutanan, perkebunan, dan Peternakan Kabupaten Karawang, Kantor Kecamatan Karawang Timur, dan Kantor Desa Kondangjaya, Bappeda Kabupaten Karawang dan dinas-dinas terkait lainnya. Data sekunder berupa data kebijakan alih fungsi lahan yang berlaku, harga lahan, dan kependudukan, serta data-data lain yang di anggap mendukung dalam menjawab pertanyaan penelitian.

4.3 Metode Pengambilan Sampel

Pengambilan sample yang dilakukan kepada petani pemilik lahan yang mengalami alih fungsi lahan dan tidak mengalami alih fungsi lahan dilakukan secara purposive sampling. Teknik purposive sampling merupakan bentuk dari

non-probability sampling method. Penelitian dilaksanakan menggunakan metode

sampling non-probability disebabkan oleh jumlah masing-masing populasi yang akan diteliti tidak diketahui secara pasti. Sampel pada sampling tidak acak akan menyebabkan populasi yang akan diteliti tidak memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel.

Responden dalam penelitian ini adalah petani setempat yang lahan usaha taninya pernah mengalami alih fungsi lahan dan tidak mengalami alih fungsi lahan. Penelitian yang dilaksanakan mengambil responden berjumlah 40 responden. Penetapan sampel ini disasarkan pada pendapat Bailey dalam Hasan (2002) yang menyatakan bahwa ukuran sampel minimum yang menggunakan analisis data statistik ialah 30 responden dimana populasi menyebar normal. Sampel merupakan bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu


(30)

30 yang juga mewakili karateristik tertentu, jelas, dan lengkap yang bisa dianggap bisa mewakili populasi.

Pengambilan data primer dilakukan melalui teknik wawancara dengan bantuan kuisioner kepada responden. Responden merupakan pihak yang memberikan informasi dan dapat mewakili dalam menjawab permasalahan penelitian.

4.4 Metode dan Prosedur Analisis Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan dua metode analisis, yaitu metode analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Metode analisis deskriptif digunakan dengan tujuan untuk memberikan penjelasan dan interpretasi atas data dan informasi pada tabulasi data. Kemudian metode analisis kuantitatif bertujuan untuk mengetahui laju alih fungsi lahan, mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan, mengetahui dampak alih fungsi lahan terhadap pendapatan petani dan lingkungan. Metode analisis kuantitatif menggunakan persamaan laju alih fungsi lahan, analisis regresi berganda, analisis regresi logistik. dan analisis uji beda rata-rata.

Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan menggunakan komputer dengan program microsoft office exel 2007 dan Statistical Program and Service Solution(SPSS) 20.0.

4.4.1 Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif merupakan metode pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat mengenai masalah-masalah yang ada dalam masyarakat, tata cara yang berlaku, serta situasi-situasi tertentu termasuk tentang hubungan, kegiatan, sikap,


(31)

31 pandangan, serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena (Withney 1960) dalam (Nazir 2005). Data yang diperoleh dari hasil penelitian kemudian diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Penulisan data dan informasi yang diperoleh selama penelitian dengan tujuan untuk mengevaluasi data. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi selama pengamatan.

2. Merumuskan data yang diperoleh ke dalam bentuk tabel untuk menghindari kesimpangsiuran interpretasi serta sekaligus untuk mempermudah interpretasi data.

3. Menghubungkan hasil penelitian yang diperoleh dengan kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian, dengan tujuan mencari arti atau memberi interpretasi yang lebih luas dari data yang diperoleh.

Dengan menggunakan analisis deskriptif ini maka akan diperoleh gambaran mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian dan dampaknya terhadap pendapatan petani.

4.4.1 Analisis Laju Alih Fungsi Lahan

Dalam penghitungan laju alih fungsi lahan pertanian digunakan persamaan alih fungsi lahan yang digunakan oleh sutandi (2009) dalam Astuti (2011). Laju alih fungsi lahan dapat ditentukan dengan cara menghitung laju alih fungsi lahan secara parsial. Laju alih fungsi lahan secara parsial dapat dijelaskan sebagai berikut:


(32)

32 dimana:

V = laju alih fungsi lahan (%) Lt = Luas lahan tahun ke-t (ha)

Lt-1 = Luas lahan sebelumnya (ha)

Laju alih fungsi lahan (%) dapat ditentukan melalui selisih antara luas lahan tahun ke-t dengan luas lahan tahun sebelumnya (t-1). Kemudian dibagi

dengan luas lahan tahun sebelumnya dan dikalikan dengan 100 persen. Hal ini dilakukan juga pada tahun-tahun berikutnya sehingga diperoleh laju alih fungsi lahan setiap tahun.

4.4.1 Analisis Regresi Linear Berganda

Dalam mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan lahan akibat alih fungsi lahan pertanian digunakan model analisis regresi linear berganda. Analisis regresi adalah sebuah alat analisis statistik yang memberikan penjelasan tentang pola hubungan (antara dua variabel atau lebih). Tujuan dari analisis regresi ini adalah meramalkan nilai rata-rata satu variabel. Metode ini sebenarnya menggambarkan hubungan antara peubah bebas atau independent (Y) dengan peubah tak bebas atau dependent (X) dan sering disebut dengan peubah penjelas.

Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap kegiatan alih fungsi lahan di tingkat wilayah adalah:

1. Laju Pertumbuhan Penduduk (persen)

Jumlah penduduk mempengaruhi permintaan lahan. Semakin meningkat jumlah penduduk maka permintaan lahan terutama untuk pembangunan perumahan akan semakin tinggi sehingga mendorong penurunan luas lahan sawah akibat alih fungsi lahan sawah yang semakin tinggi.


(33)

33 2. Jumlah Industri (unit)

Adanya peningkatan jumlah industri mendorong terjadinya peningkatan permintaan lahan. Semakin tinggi jumlah industri maka semakin tinggi penurunan luas lahan sawah akibat alih fungsi lahan sawah yang terjadi. 3. Produktivitas Lahan Pertanian (ton/ha)

Semakin rendah produktivitas lahan pertanian, maka diduga akan meningkatkan penurunan luas lahan sawah akibat alih fungsi lahan karena lahan dianggap memiliki opportunitunity cost.

4. Proporsi Luas Lahan Sawah Terhadap Luas Wilayah (persen)

Peningkatan luas lahan sawah karena adanya pencetakan sawah baru menyebabkan terjadinya pembangunan yang dilakukan di atas lahan sawah akan semakin besar. Semakin luas proporsi luas lahan sawah terhadap luas wilayah maka akan semakin tinggi penurunan luas lahan sawah akibat alih fungsi lahan yang terjadi.

5. Kebijakan pemerintah (dummy)

Adanya kebijakan pemerintah mengenai tata ruang wilayah pada saat ini dan saat tahun sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk membedakan penggunaan lahan pertanian berdasarkan kebijakan tata ruang wilayah saat ini dan tahun sebelumnya. Adanya perubahan kebijakan menyebabkan terjadinya peningkatan penggunaan lahan sawah untuk keperluan non-pertanian.

Persamaan model regresi linear berganda untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan adalah sebagai berikut:


(34)

34 Tanda yang diharapkan:

β1 > 0 β2 > 0 β3 < 0 β4 > 0

D > 0 Dimana:

Y = Penurunan lahan pertanian akibat alih fungsi lahan (m2 )

α = Intersep

Xi = Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi alih fungsi lahan βi =Koefisien Regresi

D = Dummy

ε = Eror Term

Model analisis regresi linear berganda merupakan metode analisis yang didasarkan pada metode Ordinary Least Square (OLS). Konsep dari metode least square adalah menduga koefisien regresi (β) dengan meminimumkan kesalahan (error). Ordinary least square (OLS) dapat menduga koefisien regresi dengan baik karena: (1) memiliki sifat tidak bias dengan varians yang minimum (efisien) baik linear maupun bukan, (2) konsisten, dangan meningkatknya ukuran sampel maka koefisien regresi mengarah pada nilai populasi yang sebenarnya, serta (3) β0 dan β1 terdistribusi secara normal (Gujarati 2002).

Model ini mencangkup hubungan banyak variabel terdiri dari satu variabel

dependent dan berbagai variabel independent. Penggunaan metode ini saling terikat antara satu variabel dengan variabel lainnya. Jika dijumpai bahwa saat satu


(35)

35 variabel terikat yang dipengaruhi oleh beberapa variabel bebas dalam mempengaruhi variabel terikat itu bermacam maka bentuk hubungan antar variabel pun juga akan berbeda. Dalam regresi linear berganda sifat hubungan berjenjang sering kali terjadi dalam kajian ilmu sosial.

Sebagai langkah awal pengujian dilakukan pengujian ketelitian dan kemampuan model regresi. Pengujian model regresi diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari tiga pengujian, yaitu uji koefisien determinasi (R-squared), Uji F, dan Uji t.

Untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh peubah-peubah dalam persamaan akan mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian akan uji statistik sebagai berikut:

1. Uji Koefisien Determinasi (R-squared)

Nilai R-squared mencerminkan seberapa besar keragaman dari variabel dependen yang dapat diterangkan oleh variabel independen. Nilai R-squared

memiliki besaran yang positif dan besarannya adalah 0 < R-squared < 1. Jika nilai R-squared bernilai nol maka artinya keragaman variabel dependen tidak dapat dijelaskan oleh variabel independennya. Sebaliknya, jika nilai R-squared bernilai satu maka keragaman dari variabel dependen secara keseluruhan dapat diterangkan oleh variabel independennya secara sempurna (Gujarati, 2002). R-squared dapat dirumuskan sebagai berikut:

...(4.3) Dimana:

ESS = Explained of Sum Squared


(36)

36 2. Uji t

Uji t dilakukan untuk menghitung koefisien regresi masing-masing variabel independen sehingga dapat diketahui pengaruh variabel independen tersebut terhadap variabel dependennya. Adapun prosedur pengujiannya yang diungkap Gujarati (2002):

H0 : β1 = 0

H0 : β1 ≠ 0

... (4.4) Dimana:

b = Parameter dugaan

βt = Parameter Hipotesis

Seβ = Standar error parameter β

Jika thitung (n-k) < t tabel α/2, maka H0 diterima, artinya variabel berarti variabel

(Xi) tidak berpengaruh nyata terhadap (Y). Namun, jika thitung (n-k) > t tabel α/2, maka H0

ditolak, artinya variabel (Xi) berpengaruh nyata terhadap (Y)

3. Uji F

Uji F dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel independent atau bebas (Xi) secara bersama-sama terhadap variabel dependent atau tidak bebas (Y).

Adapun prosedur yang digunakan dalam uji F (Gujarati 2002): H0 = β1 = β2 = β3 = .... = βi = 0

H1 = minimal ada satu βi ≠ 0


(37)

37 Dimana:

JKR = Jumlah Kuadrat Regresi JKG = Jumlah Kuadrat Galat

k = jumlah variabel terhadap intersep n = jumlah pengamatan/sampel

Apabila F hitung < F tabel maka H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti

bahwa variabel bebas (Xi) tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas

(Y). Sedangkan apabila F hitung > F tabel maka H0 ditolak dan H1 diterima yang

berarti bahwa variabel (Xi) berpengaruh nyata terhadap variabel (Y).

Model yang dihasilkan dari regresi linear berganda haruslah baik. Jika tidak baik maka akan mempengaruhi interpretasinya. Interpretasi ini menjadi tidak benar apabila terdapat hubungan linear antara variabel bebas (Chatterjee and price

dalam Nachrowi et all 2002) Namun, agar diperoleh model regresi linear berganda yang baik, maka model harus memenuhi kriteria BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). BLUE dapat dicapai bila memenuhi asumsi klasik. Uji asumsi klasik merupakan pengujian pada model yang telah berbentuk linear untuk mendapatkan model yang baik. Setelah model diregresikan kemudian dilakukan uji penyimpangan asumsi.

a. Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk melihat apakah model tersbut baik atau tidak. Model dikatakan baik jika mempunyai distribusi normal atau hampir normal. Uji yang dapat digunakan adalah Uji Kolmogorov-Smirnov.

Hipotesis pada uji Kolmogorov-Smirnov adalah sebagai berikut: H0 : Error term terdistribusi normal.


(38)

38 H1 : Error term tidak terdistribusi normal.

Dengan kriteria uji :

Jika P-value < α maka tolak H0

Jika P-value > α maka terima H0

Kelebihan dari uji ini adalah sederhana dan tidak menimbulkan perbedaan persepsi di antara satu pengamat dengan pengamat lain. Penerapan pada uji

Kolmogorov-Smirnov adalah jika signifikansi di atas 5 persen berarti tidak terdapat pebedaan yang signifikan antara data yang akan diuji dengan data normal baku, artinya data tersebut normal.

b. Uji Autokorelasi

Menurut Nachrowi et all (2002), Autokorelasi adalah adanya korelasi antara variabel itu sendiri, pada pengamatan berbeda waktu dan individu. Umumnya, kasus autokorelasi terjadi pada data time series. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi. Salah satu cara yang digunakan adalah Uji Durbin Watson (DW-test). Uji ini hanya digunakan untuk autokorelasi tingkat satu (first order autocorrelation) dan mensyaratkan adanya intercept dalam model regresi dan tidak ada variabel lag diantara variabel penjelas. Jika pengujian autokorelasi diabaikan, maka akan berdampak terhadap pengujian hipotesis dan proses peramalan. Besarnya nilai statistik DW dapat diperoleh dengan rumus (Nachrowi et all. 2002):

...………... (4.6)

Dimana:

d = statistik Durbin-Watson ut dan ut-1 = Gangguan estimasi


(39)

39 Pengambilan keputusannya:

− Jika nilai DW terletak antara batas atau upper bound (du) dan (4-du), maka koefisien autokorelasi sama dengan nol, berarti tidak ada autokorelasi positif.

− Jika nilai DW lebih rendah dari pada batas bawah atau lower bound (dl), maka koefisien autokorelasi lebih besar dari pada nol, berarti ada autokorelasi positif.

− Jika DW lebih besar dari pada (4-dl), maka koefisien autokorelasi lebih kecil dari pada nol, berarti ada autokorelasi positif.

− Jika nilai DW lebih besar dari pada (4-dl), maka koefisien autokorelasi lebih kecil dari pada nol, berarti ada autokorelasi negatif.

− Jika nilai DW terletak diantara batas atas (du) dan batas bawah (dl) atau DW terletak antara (4-du) dan (4-dl), maka hasilnya tidak dapat disimpulkan. c. Uji Multikolinearitas

Jika suatu model regresi berganda terdapat hubungan linear sempurna antar peubah bebas dalam model tersebut, maka dapat dikatakan model tersebut mengalami multikolinearitas. Terjadinya multikolinearitas menyebabkan

R-squared tinggi namun tidak banyak variabel yang signifikan dari uji t. Ada berbagai cara untuk menentukan apakah suatu model memiliki gejala multikolinearitas. Salah satu cara yang digunakan adalah uji Varian Infiaction Factor (VIF). Cara ini sangat mudah, hanya melihat apakah nilai VIF untuk masing-masing variabel lebih besar dari 10 atau tidak. Bila nilai VIF lebih besar dari 10 maka diindikasikan model tersebut mengalami multikolinearitas.


(40)

40 Sebaliknya, jika VIF lebih kecil dari 10 maka diindikasikan bahwa model tersebut tidak mengalami multikolinearitas yang serius.

d. Uji Heteroskedastisitas

Asumsi penting dari regresi linear klasik adalah bahwa gangguan yang muncul dalam fungsi regresi adalah heteroskedastisitas. Menurut Juanda (2009), heteroskedastisitas terjadi jika ragam sisaan tidak sama untuk tiap pengamatan ke-i darke-i peubah-peubah bebas dalam model regreske-i. Masalah heteroskedastke-iske-itas biasanya sering terjadi dalam data cross section. Salah satu cara dalam mendeteksi heteroskedastisitas adalah dengan transformasi terhadap peubah respon dilakukan dengan tujuan untuk menjadikan ragam menjadi homogeny pada peubah respon hasil transformasi tersebut. Namun, dalam mendeteksi terjadinya heteroskedastisitas dalam model dapat digunakan juga metode grafik (Nachrowi et all 2002). Selain itu, dapat juga dilakukan dengan uji glejser. Uji Glejser dilakukan dengan meregresikan variabel-variabel bebas terhadap nilai absolute residualnya (Gujarati 2006). Jika nilai signifikan dari hasil uji Glejser lebih besar dari α maka tidak terdapat heteroskedastisitas dan sebaliknya.

4.4.2 Analisis Regresi Logistik

Dalam mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam mengalihfungsikan lahan sawah digunakan analisis regresi logistik. Menurut Nachrowi et all (2002), model logit adalah model non linear, baik dalam paramater maupun dalam variabel. Model logit diturunkan berdasarkan fungsi peluang logistik yang dapat di spesifikasikan sebagai berikut (Juanda 2009):


(41)

41 Dimana e mempresentasikan bilangan dasar logaritma natural (e=2.718...). Kemudian dengan menggunakan aljabar biasa, persamaan dapat ditunjukkan menjadi:

... (4.8) Peubah Pi / 1 – Pi dalam persamaan diatas disebut sebagai odds, yang

sering diistilahkan dengan resiko atau kemungkinan, yaitu rasio peluang terjadinya pilihan 1 terhadap peluang terjadinya pilihan 0 alternatif. Parameter model estimasi logit harus diestimasi dengan metode maximum likelihood (ML). Jika persamaan ditransformasikan dengan logaritma natural, maka:

... (4.9)

Persamaan model regresi logistik untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan adalah sebagai berikut:

= Z = α + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + β4 X4 + β5 X5 + β6 X6 + ε ... (4.10)

Dimana:

Z = Peluang alih fungsi lahan (1) dan tidak alih fungsi lahan (0)

α = Intersep

Xi = Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi keputusan alih fungsi lahan βi =Koefisien Regresi

ε = Eror Term

Adapun faktor-faktor yang diduga mempengaruhi keputusan petani dalam mengalihfungsikan lahan, antara lain:


(42)

42 1. Tingkat Usia (Tahun)

Tingkat usia menunjukkan produktivitas seseorang dalam bekerja. Semakin tinggi usia seseorang maka produktivitas dalam bekerja akan semakin menurun. Hal ini akan mendorong terjadinya alih fungsi lahan yang dilakukan.

2. Lama Pendidikan Petani (Tahun)

Lama pendidikan diduga berpengaruh terhadap keputusan petani dalam melakukan alih fungsi lahan. Lama pendidikan menunjukkan tingkat pendidikan yang dicapai. Semakin tinggi tingkat pendidikan petani maka akan semakin bijaksana dalam pengambilan keputusan alih fungsi lahan. 3. Luas Lahan (Hektar)

Petani yang memiliki ukuran lahan yang luas cenderung untuk mempertahankan lahannya karena semakin luas lahan maka usaha tani akan semakin efisien dan relatif lebih besar keuntungannya. Semakin luas lahan yang dimiliki oleh petani maka semakin kecil alih fungsi lahan yang terjadi.

4. Proporsi pendapatan hasil usaha tani (Persen)

Semakin rendah pendapatan yang diperoleh dari hasil usaha tani, maka akan semakin tinggi peluang petani dalam melakukan alih fungsi lahan. Jika pendapatan yang diperoleh dari hasil usaha tani rendah maka ada kecenderungan untuk memilih pendapatan di luar sektor pertanian dan lahan yang dimiliki dialihfungsikan karena pendapatan usaha tani tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari.


(43)

43 5. Jumlah tanggungan petani (Jiwa)

Jumlah tanggungan yang harus ditanggung petani mempengaruhi alih fungsi lahan dimana semakin banyak jumlah tanggungan yang harus ditanggung, maka alih fungsi lahan akan semakin tinggi. Semakin banyak tanggungan yang dimiliki maka biaya yang dibutuhkan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari semakin banyak sehingga petani akan cenderung untuk mengalih fungsikan lahannya.

6. Pengalaman bertani (Tahun)

Semakin lama petani pengalaman dalam bertani, maka akan semakin berat dalam pengambilan keputusan untuk alih fungsi lahan. Hal ini disebabkan karena semakin lama pengalaman bertani, maka keahlian yang dalam bertani akan semakin tinggi sehingga petani akan cenderung untuk terus mempertahankan lahannya.

7. Produktivitas (Ton/Ha)

Semakin tinggi tingkat produktivitas lahan maka keputusan petani untuk melakukan alih fungsi lahan akan semakin rendah. Hal tersebut disebabkan karena semakin tinggi produktivitas, pendapatan yang diperoleh dari sektor pertanian akan semakin tinggi sehingga petani akan cenderung mempertahankan lahannya.

Agar diperoleh hasil analisis regresi logit yang baik perlu dilakukan pengujian. Pengujian dilakukan untuk melihat apakah model logit yang dihasilkan secara keseluruhan dapat menjelaskan keputusan pilihan secara kualitatif. Dalam hal ini pilihan yang digunakan untuk melakukan alih fungsi lahan atau tidak melakukan. Pengujian parameter dilakukan dengan menguji semua parameter


(44)

44 secara keseluruhan dan menguji masing-masing parameter secara terpisah. Statistik uji yang digunakan adalah sebagai berikut:

a. Odds Ratio

Odds merupakan rasio peluang kejadian terjadi sukses (terjadinya pristiwa y=1) terhadap peluang terjadi gagal (terjadinya pristiwa y=0) (Nachrowi et all. 2002). Odds ratio ini sering juga digunakan sebagai suatu ukuran asosiasi yang sering ditemukan dalam epidemologi. Pada dasarnya odds ratio digunakan untuk melihat hubungan antara peubah bebas dan peubah terikat dalam model logit. Nilai tersebut dapat diperoleh dari perhitungan eksponensial dari koefisien estimasi (βi) atau exp (βj). Odds Ratio dapat didefinisikan sebagai berikut:

dimana P menyatakan peluang terjadinya peristiwa (Z=1) dan 1-P menyatakan peluang tidak terjadinya peristiwa.

b. Likelihood Ratio

Likelihood Ratio merupakan suatu rasio kemungkinan maksimum yang digunakan untuk menguji peranan variabel penjelas secara serentak (Hosmer dan Lemeshow 2002). Statistik uji yang dapat menunjukkan nilai likelihood ratio

adalah Uji G. Rumus umum Uji G adalah:

... (4.11) Dimana l0 merupakan nilai likelihood tanpa variabel penjelas dan li

merupakan nilai likelihood model penuh. Statistik uji G akan mengikuti sebaran

chi-square dengan derajat bebas α. Kriteria keputusan yang diambil adalah jika G > chi-square maka H0 ditolak. Jika H0 ditolak maka dapat disimpulkan bahwa


(45)

45 minimal ada βj ≠ 0, dengan pengertian lain, model regresi logistik dapat

menjelaskan atau memprediksi pilihan individu pengamatan. 4.4.3 Uji Beda Rata-rata

Perubahan pendapatan dilihat dari perubahan pendapatan rumah tangga petani sebelum dan sesudah melakukan alih fungsi lahan. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan tingkat pendapatan petani sebelum alih fungsi lahan dan setelah alih fungsi lahan yang dimilikinya digunakan pendekatan perbedaan dua rata-rata. Pengujian ini dilakukan dengan uji T-test baik untuk menguji data sampel masing-masing jenis alih fungsi lahan maupun untuk menguji data sampel secara keseluruhan (Sutrisno 1995).

Persamaan uji T adalah sebagai berikut:

... (4.12)

Dimana:

X1 = Rata-rata pendapatan sebelum terjadinya alih fungsi lahan X2 = Rata-rata pendapatan setelah terjadinya alih fungsi lahan n1 = Jumlah responden sebelum terjadinya alih fungsi lahan n2 = Jumlah responden setelah terjadinya alih fungsi lahan s1 = Standar deviasi sebelum terjadinya alih fungsi lahan s2 = Standar deviasi setelah terjadinya alih fungsi lahan

Hipotesis: H0 = X1 = X2


(46)

46 Apabila t hitung < t tabel maka H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti tidak

ada perbedaan pendapatan petani sebelum dan sesudah alih fungsi lahan. Sedangkan apabila t hitung > t tabel maka H0 ditolak dan H1 diterima yang berarti ada


(47)

V. GAMBARAN UMUM 5.1 Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Karawang

Kabupaten Karawang merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Secara geografis, wilayah Kabupaten Karawang terletak antara 107002’ – 1070040’ Bujur Timur dan 5056 – 6034’ Lintang Selatan. Wilayah ini termasuk daerah dataran yang relatif rendah dimana mempunyai variasi ketinggian wilayah antara 0 – 1279 m di atas permukaan laut dengan kemiringan wilayah 0 – 20, 2 – 150, 15 – 400, dan diatas 400. Secara topografi, Kabupaten Karawang termasuk daratan rendah yang relatif datar. Sekitar 94 persen memiliki tingkat kemiringan lereng maksimum 8 persen dan 83,4 persen berada pada kisaran lereng 0 – 3 persen. Suhu rata-rata wilayah mencapai 270 C.

Luas wilayah Kabupaten Karawang 1.753,27 km2 atau 175.327 hektar. Luas wilayah tersebut merupakan 3,73 persen dari luas provinsi Jawa Barat dan memiliki laut seluas 4 mil x 84,23 km. Sebagian besar lahan di Kabupaten Karawang merupakan lahan sawah yaitu sebesar 54 persen atau 94.311 hektar yang terdiri dari lahan sawah irigasi teknis (88 persen), setengah teknis (4 persen), irigasi sederhana (3 persen), irigasi desa (1 persen), dan tadah hujan (3 persen). Sedangkan luas lahan kering di Kabupaten Karawang sebesar 81.016 hektar. Secara umum, jenis tanah di Kabupaten Karawang terdiri dari alluvial terutama pada lahan sawah dataran rendah, sedangkan untuk daerah pegunungan atau berbukit-bukit terdiri dari podsolik dan latosol.

Pada tahun 2010 Kabupaten Karawang terdiri dari 30 kecamatan dengan jumlah desa seluruhnya 297 desa dan 12 kelurahan (BPS 2010). Batas-batas wilayah Kabupaten Karawang secara geografis sebagai berikut:


(48)

48  

• Sebelah Utara : Berbatasan dengan Laut Jawa

• Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kabupaten Subang

• Sebelah Tenggara : Berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta

• Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Cianjur

• Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kabupaten Bekasi

Jumlah penduduk Kabupaten Karawang 2.127.791 jiwa dengan kepadatan penduduk 1.213,61 per km2. Sebagian besar penduduk bekerja di sektor pertanian. Mata pencaharian penduduk Kabupaten Karawang dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini:

Tabel 3. Mata Pencaharian Penduduk Kabupaten Karawang

Mata Pencaharian Jumlah (Jiwa) Presentase (%)

Petani 587.878 29,19 Pedagang 529.078 26,27

Buruh pabrik 398.772 19,80

Penyedia jasa 234.229 11,63

Lainnya 263.834 13,10 Jumlah 2.013.800 100,00 Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang (2009)

Potensi suatu daerah dapat dilihat dari pola penggunaan lahan yang ada di daerah yang bersangkutan. Pola penggunaan lahan itu pun juga dapat menggambarkan kondisi sosial ekonomi dari masyarakatnya.

Penggunaan lahan di Kabupaten Karawang dapat dibedakan menjadi lahan untuk sawah irihasi teknis, sawah irigasi setengah teknis, sawah irigasi sederhana, sawah non PU, sawah tadah hujan, lahan kering (tegalan), lahan untuk perumahan dan pekarangan sekitarnya, tambak, kolam, lahan sementara tidak diusahakan, lahan hutan, rawa-rawa dan perkebunan. Penggunaan lahan ini dapat dilihat pada Tabel 4.


(49)

49  

Tabel 4. Penggunaan Lahan di Kabupaten Karawang Tahun 2010

5.2 Gambaran Wilayah Kecamatan Karawang Timur

Kecamatan Karawang Timur adalah salah satu kecamatan dari 30 kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Karawang. Kecamatan Karawang Timur merupakan pemekaran dari Kecamatan Karawang, Kecamatan Klari, dan Kecamatan Majalaya pada tahun 2005. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor: 2 tahun 2005 yaitu tentang Pembentukan kecamatan pada Daerah Kabupaten Karawang dan diresmikan pada tanggal 29 Maret 2005 oleh Bupati Karawang. Wilayah ini merupakan letak pusat pemerintahan Kabupaten Karawang.

Penggunaan Lahan Luas

(Hektar) Lahan Sawah

Irigasi teknis 83.021

Irigasi setengah teknis 3.853

Irigasi sederhana 2.986

Irigasi desa 1.179

Tadah hujan 3.273

Lahan bukan sawah

Tegal/kebun 5.374 ladang/huma 3.203 Perkebunan 412

Ditanami pohon/ hutan rakyat 1.566

Tambak 13.264

Kolam/ Tebet/ Empang 587

Sementara tidak diusahakan 33

Lainnya 10.704 Lahan bukan pertanian

Rumah, bangunan dan halaman 23.398

Hutan negara 14.601

Rawa-rawa 197 Lainnya 7.367 Total 175.327 Sumber: Dinas Pertanian, Peternakan, dan Kehutanan Kab. Karawang


(50)

50  

Kecamatan Karawang (kecamatan Karawang Timur) termasuk ke dalam pusat pertumbuhan bersama kecamatan lain, yaitu Kecamatan Teluk Jambe, Tegal sari, Pangkalan, Klari, dan Ciampel. Berdasarkan Perda Kabupaten Karawang No. 2 Tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah, Kecamatan Karawang diarahkan untuk pengembangan kawasan pemukiman skala besar dan skala menengah. Selain itu, Kecamatan Karawang termasuk dalam zona industri dalam skala kecil mengingat dominasi wilayah ini ditetapkan sebagai pusat pelayanan, permukiman, perdagangan dan jasa.

Letak Geografis Kecamatan Karawang Timur berada terletak disebelah timur Kabupaten Karawang dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :

• Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kecamatan Majalaya dan Kecamatan Rawamerta;

• Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kecamatan Klari;

• Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kecamatan Telukjambe Timur;

• Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kecamatan Karawang Barat. Luas Wilayah Kecamatan Karawang Timur adalah 2.697,980 hektar terdiri dari lahan sawah seluas 1.882,790 hektar dan lahan darat seluas 875,190 hektar. Permukaan tanah Karawang Timur termasuk dataran tinggi yang terdiri dari sebagian besar persawahan dengan ketinggian dari permukaan laut kurang lebih 15 m. Suhu rata-rata maksimum 33 0C dan minimum 27 0C.

Secara administratif, Kecamatan Karawang Timur membawahi 4 Desa dan 4 Kelurahan meliputi 82 Rukun Warga (RW) dan 377 Rukun Tetangga (RT). Jarak Kecamatan Karawang Timur ke ibu kota kabupaten lebih kurang 3 km. Desa dan Kelurahan di Kecamatan Karawang Timur terdiri dari: Desa Margasari, Desa


(51)

51  

Tegal Sawah, Desa Kondangjaya, Desa Warungbambu, Kelurahan Karang Wetan, Kelurahan Adiarsa Timur, Kelurahan Palumbonsari, dan Kelurahan Plawad. Luas wilayah masing-masing desa dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Luas Desa di Kecamatan Karawang Timur Tahun 2010 Desa dan Kelurahan Luas (Km2)

Margasari 2,80

Tegal Sawah 4,32

Kondangjaya 2,69 Warungbambu 1,20

Karang wetan 3,20

Adiarsa timur 2,31

Palumbonsari 4,02 Palawad 7,01 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang, 2011

Kecamatan Karawang Timur memiliki kepadatan penduduk tertinggi kedua dari seluruh kecamatan di Kabupaten Karawang, yaitu sebesar 3.963,76 per km2. Jumlah penduduk di wilayah ini sebesar 118.001 jiwa yang terdiri atas 61.643 laki-laki dan 56.358 perempuan. Jumlah rumah tangga yang berada di kecamatan ini sebanyak 26.786 rumah tangga. Jumlah penduduk masing-masing desa dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Jumlah Penduduk Masing-Masing Kelurahan dan Desa di Kecamatan Karawang Timur

Desa dan Kelurahan Jumlah Penduduk

Margasari 8.643

Tegal Sawah 5.134

Kondangjaya 15.642 Warungbambu 12.071

Karang wetan 29.870

Adiarsa timur 16.701

Palumbonsari 19.286 Palawad 10.654 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang, 2011


(52)

52  

Mata pencaharian penduduk di Kecamatan Karawang Timur sebagian besar bergerak di sektor pertanian. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 7 dibawah ini.

Tabel 7. Keadaan Penduduk di Kecamatan Karawang Timur Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2011

No Jenis Mata Pencaharian Jumlah KK (Orang) Persentase (%)

1 Pertanian 4.157 15,00

2 Industri/Perdagangan 5.730 20,70

3 Wiraswasta 6.149 22,30

4 Jasa 5.123 18,50

5 Lain-lain 6.495 23,50

Jumlah 27.654 100,00

Sumber : BP3K Kecamatan Karawang Timur

Sebagian besar penduduk yang bergerak di bidang pertanian merupakan petani penggarap/buruh tani. Kepemilikan lahan di Kecamatan Karawang Timur, sebagian besar dimiliki oleh masyarakat diluar Karawang Timur bahkan di luar Kabupaten Karawang.

Kecamatan Karawang Timur merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Karawang yang terus mengalami alih fungsi lahan terutama lahan pertanian ke non-pertanian. Sejak adanya pemekaran Kecamatan Karawang dan RTRW 2004 yang menjadikan Kecamatan Karawang Timur sebagai kawasan pemukiman menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian, peternakan, dan kehutanan Kabupaten Karawang, Kecamatan Karawang Timur pada tahun 2011 mengalami alih fungsi lahan sebesar 254,6 hektar. Alih Fungsi Lahan yang terjadi di Kecamatan Karawang Timur dapat dilihat pada Tabel 8.


(53)

53  

Tabel 8. Data Alih Fungsi Lahan di Kecamatan Karawang Timur Tahun 2011

No Kelurahan/Desa Luas Lahan Alih Fungsi (Hektar)

1  Margasari 20,00

2  Tegal Sawah 3,12

3  Kondangjaya 130,00

4  Warungbambu 12,00

5  Karang wetan 25,00

6  Adiarsa timur 4,00

7  Palumbonsari 60,00

8  Palawad 0,50

Jumlah 254,62

Sumber : Dinas Pertanian, Peternakan, dan Kehutanan Kab. Karawang 2011 5.2.1 Gambaran Umum Wilayah Desa Kondangjaya

Desa Kondangjaya merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang. Luas wilayahnya sebesar 269 hektar yang terdiri dari lahan sawah irigsi teknis sebesar 33 persen atau 100 hektar, lahan pemukiman 62 persen atau 166 hektar, dan lainnya 3 hektar. Desa ini terdiri dari 5 Rukun Warga (RW) dan 40 Rukun Tetangga (RT). Jumlah penduduk Desa Kondangjaya mencapai 12.557 orang dengan jumlah laki-laki 6.779 orang dan perempuan 5.778 orang. Kepadatan penduduk sebesar 1.000 per km.

Mata pencaharian penduduk Desa Kondangjaya cukup bervariasi. Sebelumnya sebagian besar penduduk bekerja dibidang pertanian namun saat ini akibat jumlah lahan pertanian terus berkurang sehingga banyak penduduk yang beralih profesi. Mata Pencaharian penduduk Desa Kondangjaya dapat dilihat pada Tabel 9.


(54)

54  

Tabel 9. Mata Pencaharian Penduduk Desa Kondangjaya Tahun 2011 (Persen)

No Jenis Mata Pencaharian Persentase (%)

1 Pertanian 19,4

2 Industri/Perdagangan 22,3

3 Wiraswasta 24,2

4 Jasa 15,8

5 Lain-lain 18,3

Jumlah 100,00

Sumber : BP3K Kecamatan Karawang Timur 2012

Secara geografis, Desa Kondangjaya berbatasan dengan Desa Margasari sebelah utara, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Anggadita, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Klari, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Warungbambu. Adanya pembangunan jalan yang menghubungkan Kecamatan Klari sebagai Kawasan Industri dengan pusat kota menyebabkan pembangunan di wilayah ini terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian, peternakan, dan Kehutanan tahun 2011, Desa Kondangjaya mengalami alih fungsi lahan pertanian tertinggi sebesar 103 hektar. Lahan-lahan sawah tersebut dijadikan perumahan ataupun sektor jasa.

5.3 Karakteristik Umum Responden

Karakteristik responden di daerah penelitian ini diperoleh berdasarkan survei yang dilakukan kepada 40 responden yang termasuk dalam petani yang melakukan alih fungsi lahan sawah dan tidak melakukan alih fungsi lahan sawah. Karakteristik umum tersebut terdiri dari tingkat usia, tingkat pendidikan, lama bertani, dan luas lahan yang dimiliki.


(55)

55  

5.3.1 Tingkat Usia

Tingkat usia menggambarkan perilaku kemampuan dalam berkerja. Semakin tua seseorang menggambarkan kemampuan tubuhnya semakin lemah dalam bekerja. Keadaan usia responden yang melakukan alih fungsi lahan sawah dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5, dibawah ini :

a. Alih Fungsi Lahan b. Tidak Alih Fungsi Lahan Sumber : Data Primer (Diolah)

Gambar 3. Tingkat Usia Responden Tahun 2012 (diolah)

Berdasarkan Gambar 3 diatas diperoleh bahwa sebagian besar responden yang melakukan alih fungsi lahan adalah petani pada sebaran usia 51 – 60 tahun sebesar 44 persen dan > 61 tahun sebesar 33,00 persen. Sisanya adalah responden yang memiliki umur dibawah 50 tahun. Sedangkan bagi responden yang tidak melakukan alih fungsi lahan memiliki sebaran umur 51-60 tahun sebesar 80 persen dan > 61 tahun sebesar 20 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden adalah petani yang memiliki usia cukup tua. Usia petani yang cukup tua akan mempengaruhi kegiatan bertani. Kegiatan bertani akan berkurang sehingga diduga mempengaruhi petani dalam melakukan alih fungsi lahan.


(56)

56  

5.3.2 Pendidikan

Tingkat pendidikan menentukan cara berpikir seseorang dalam pengambilan keputusan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan menentukan sikap dan mempengaruhi pengambilan keputusan seseorang.

a. Alih Fungsi Lahan b. Tidak Alih Fungsi Lahan Sumber : Data Primer (Diolah)

Gambar 4. Tingkat Pendidikan Responden Tahun 2012 (diolah)

Berdasarkan Gambar 4 diatas dapat dilihat bahwa responden di Desa Kondangjaya memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Sebesar 77 persen responden tidak tamat SD (Sekolah Dasar) dan 10 persen responden tamat SD. Sedangkan responden yang mencapai tingkat pendidikan SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas) masing-masing sebesar 10 persen dan 3 persen. Tingkat pendidikan yang rendah disebabkan karena tingkat pendapatan yang rendah sehingga sulit bagi mereka untuk bersekolah. Bagi responden yang tidak melakukan alih fungsi lahan, tingkat pendidikan tertinggi tamat SD sebesar 50 persen. Sedangkan responden yang tidak tamat SD sebesar 40 persen dan tamat SMP 10 persen.


(57)

57  

5.3.3 Lama Bertani

Sebagian besar penduduk di lokasi penelitian berprofesi sebagai petani. Kebanyakan dari mereka sudah menjadi petani sejak kecil. Kegiatan pertanian sudah merupakan kegiatan turun temurun yang telah dilaksanakan. Lama bertani menunjukkan seberapa lama petani telah melakukan kegiatan pertanian.

a. Alih Fungsi Lahan b. Tidak Alih Fungsi Lahan Sumber : Data Primer (Diolah)

Gambar 5. Lama Bertani Responden Tahun 2012 (diolah)

Lama bertani bagi responden sangat bervariasi. Gambar 5 menunjukkan bahwa sebesar 40 persen responden telah melakukan kegiatan bertani selama 31-40 tahun dan 27 persen responden telah bertani selama 46-60 tahun. Kegiatan bertani telah mereka lakukan sejak mereka SD ataupun lulus SD untuk membantu orang tua mereka. Bagi petani yang tidak melakukan alih fungsi lahan juga memiliki pengalaman bertani yang cukup lama dilihat dari lama bertani. Sebesar 80 persen responden telah bertani selama 31-45 tahun.

5.3.4 Luas Lahan Sawah

Luas lahan yang dimiliki responden yang melakukan alih fungsi lahan dan tidak melakukan alih fungsi lahan bervariasi. Kisaran luas lahan yang mereka miliki dari 0,023 hektar sampai dengan lebih dari 1,00 hektar dengan rata-rata


(1)

Lampiran 10. Dampak alih fungsi lahan terhadap pendapatan total T-Test

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

Pair 1 Sebelum 1421514.0310 30 1409787.59867 257390.82303 Setelah 1299796.2973 30 1064061.59634 194270.17963

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig. Pair 1 Sebelum & Setelah 30 .406 .026

Paired Samples Test

Paired Differences t df Sig.

(2-tailed) Mean Std. Deviation Std. Error Mean 95% Confidence Interval of the

Difference

Lower Upper

Pair 1 Sebelum

- Setelah 121717.73367 1379067.59195 251782.14281 -393234.56817 636670.03551 .483 29 .632


(2)

Lampiran 11. Dampak alih fungsi lahan terhadap pendapatan usaha tani T-Test

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

Pair 1 Sebelum 14466241.0600 30 16145702.31734 2947788.45532 sesudah 6388222.2333 30 8173296.60852 1492232.97389

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig. Pair 1 Sebelum & sesudah 30 .692 .000

 

Paired Samples Test

Paired Differences t df Sig.

(2-tailed

) Mean Std. Deviation Std. Error Mean 95% Confidence Interval of the

Difference

Lower Upper

Pair 1 Sebelum -

sesudah 8078018.82667 12034744.65261 2197233.70668 3584171.31907 12571866.33427 3.676 29 .001


(3)

119 Lampiran 12. Dokumentasi Penelitian

   

   

     

   

Alih Fungsi Lahan di Kecamatan Karawang Timur       Lahan Sawah di Kecamatan Karawang Timur 

   

         

Alih Fungsi Lahan di Desa Kondangjaya      Lahan Sawah di Desa Kondangjaya 

           


(4)

120  

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 24 Januari 1991 sebagai putri kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Budy Christianto dan Ibu Fahriana. Pada tahun 1994 penulis memulai studinya di TK (Taman Kanak-kanak) HANG TUAH XI Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 1996. Penulis melanjutkan pendidikan di SDN (Sekolah Dasar Negeri) 07 Pondok Labu, Jakarta Selatan dan lulus tahun 2002. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan di SMPN (Sekolah Menengah Pertama Negeri) 96 Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 2005. Kemudian penulis bersekolah di SMAN (Sekolah Menengah Atas Negeri) 66 Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2008, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Setelah setahun belajar di Tingkat Persiapan Bersama (TPB-IPB). Pada tahun 2009 penulis memasuki Mayor Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen-IPB. Untuk melengkapi kompetensi Mayor, penulis mengambil Minor Komunikasi Pengembangan Masyarakat dibawah naungan Fakultas Ekologi Manusia yang mampu mendukung studi penulis.

Selama kuliah penulis aktif pada lembaga kemahasiswaan intra kampus. Tercatat penulis pernah menjadi anggota divisi Intenal Development, pada

Resource and Environmental Economics Student Association (REESA)

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, FEM-IPB selama dua periode tahun 2009-2011. Selain itu, penulis juga aktif di berbagai kegiatan baik sebagai peserta maupun sebagai panitia.


(5)

RINGKASAN

ANNEKE PUSPASARI. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya Terhadap Pendapatan Petani (Studi Kasus Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang). Dibimbing oleh ACENG HIDAYAT.

Permasalahan alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian saat ini terus mengalami peningkatan. Sejalan dengan adanya peningkatan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi menyebabkan kebutuhan lahan meningkat. Adanya peningkatan kebutuhan lahan untuk pembangunan, sementara ketersediaan lahan relatif tetap menyebabkan persaingan dalam pemanfaatan lahan. Kabupaten Karawang sebagai lumbung padi nasional juga mengalami alih fungsi lahan pertanian terutama lahan sawah. Dari tahun 2001-2010 luas lahan sawah yang mengalami alih fungsi sebesar 317,10 hektar. Terjadinya alih fungsi lahan akan memberikan dampak baik pada lingkungan maupun pendapatan petani. Kecamatan Karawang Timur merupakan salah satu kecamatan yang mengalami alih fungsi lahan tertinggi.

Penelitian ini memiliki tujuan umum untuk memberikan informasi faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian dan dampaknya terhadap pendapatan petani. Tujuan khusus dari penelitian ini: (1) mengkaji laju alih fungsi lahan di Kecamatan Karawang Timur, (2) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di Kecamatan Karawang Timur, (3) menganalisis dampak alih fungsi lahan terhadap pendapatan petani, (4) menganalisis dampak lingkungan akibat alih fungsi lahan pertanian di Desa Kondangjaya. 

Penelitian ini dilakukan di Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive). Pengambilan data dilakukan selama bulan Februari - April 2012. Data primer diperoleh dari hasil wawancara melalui kuisioner. Data sekunder diperoleh melalui dinas-dinas terkait serta studi literatur atau referensi lainnya berupa jurnal dan penelusuran data melalui internet. Laju alih fungsi lahan dianalisis dengan persamaan laju alih fungsi lahan, pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan menggunakan model regresi linier berganda dan model regresi logistik, dampak alih fungsi lahan dianalisis dengan analisis uji beda rata-rata. Pengolahan data dilakukan secara manual serta komputerisasi dan melalui program Microsoft Office Excel 2007 dan SPSS 20.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tren laju alih fungsi lahan sawah di Kecamatan Karawang Timur mengalami fluktuasi dari tahun 2006-2011. Laju alih fungsi lahan tahun 2006-2011 sebesar 0,47 persen per tahun. Laju alih fungsi lahan sawah paling tinggi terjadi pada tahun 2011, yaitu sebesar 5,58 persen. Hal ini disebabkan karena adanya pembangunan pemukiman akibat peningkatan jumlah penduduk di Kecamatan Karawang Timur. Faktor-faktor yang mempengaruhi Alih fungsi lahan pertanian di tingkat wilayah adalah jumlah industri, dan proporsi luas lahan sawah terhadap luas wilayah. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat petani dipengaruhi oleh tingkat usia, luas lahan, lama pendidikan, dan pengalaman bertani. Rata-rata pendapatan total petani sebelum dan sesudah alih fungsi lahan terjadi perubahan dari Rp 1.421.514,03 menjadi Rp 1.299.796,30. Namun, terjadinya alih fungsi lahan tidak berpengaruh terhadap pendapatan petani. Keterampilan rendah dan


(6)

pendidikan rendah yang dimiliki oleh responden menyebabkan perubahan mata pencaharian tidak terlalu berpengaruh terhadap pendapatan responden. Pembangunan terus-menerus menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah di Desa Kondangjaya. Alih fungsi lahan sawah menyebabkan dampak lingkungan. Dampak lingkungan dilihat dari kondisi air, udara, dan terjadinya banjir. Namun, dampak lingkungan yang terjadi tidak terlalu dirasakan oleh responden untuk saat ini.