Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Kelurahan Dan Perkotaan

(1)

DAFTAR PUSTAKA Buku

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2004.

Afdeling, Article. 521. Algemene Wet Bestuursrecht, 1992

AM. Donner, Nederlands Bestuursrecht, Samson H.D. Tjeenk Willink Apphen aan Rijn, 1987.

Algra, N.E. Rechtsgeleed Handwoordenboek. Twede Druk. Gromingen: J.B. Uitgeversmaatshappij, N.V. 1951

Brotodihardjo, Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Edisi Keempat, Refika Aditama, Bandung. 2003.

C.J.N. Versteden, Inleiding ALgemen Bestuursrecht, Somson H.D. Tjeenk Willink, Alphen aan dan Rijn, 1984

Devas, Nick, Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia (Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia : Sebuah Tinjauan Umum), UI Press, Jakarta.1989. Fadillah, Putra, Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik. Yogyakarta :

Pustaka Pelajar, 2003.

G. Kuntana Magnar, Pokok-pokok Pemerintah Daerah Wilayah Administratif, Bandung: Armico, 1983.

Hadjon, Philipus M. dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cetakan IX, Gajahmada University Press, Yogyakarta, 2005.

H.D. van Wijk/Williem Konijenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, Vuga, S Gravenhage, 1995.

H.R.W. Gokkel dan N. Van der Wal, Juridisch Latijn, H.D. Tjeenk Willink, Groningen, 1971, diterjemahkan oleh S. Adiwinta, Istilah Hukum: Latin – Indonesia, Intermasa, Cet. Kedua, Jakarta, 1986

Karim, Abdul Gaffar, (Amirudin, Mada Sukmajati, Nur Azizah), Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah, Cetakan I, Pustaka Pelajar. 2003

Kelly, Roy, Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia (Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia), UI Press, Jakarta. 1989.


(2)

Lasmana, Eko, Sistem Perpajakan di Indonesia, Jakarta: Prima Campus Grafika, 1994.

Manan, Bagir, Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah, Bandung: Pusat Penerbitan LPPM Universitas Islam, 1995.

Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi 2008. Yogyakarta: Andy Offset. 2008

Muchsin, H., dan Putra Fadillah, Hukum dan Kebijakan Publik, Malang: Averroes Press, 2002.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Surabaya: Jakarta: Kencana Perdana Media Group, 2007.

P. de Haan, et. al. Bestuursrecht in de sociale rechsstaat. Deel 1, Kluwer.Deventar,1999.

Poerwadarminta,WJS. Kamus Umum Bahas Indonesia, Jakarta: 2012 R. Mansury, Pajak Penghasilan Lanjutan, Ind Hill-Co, Jakarta, 1996.

Ridwan. HR. Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2007 Suandy, Early. Hukum Pajak. Yogyakarta:Salemba Empat,2002

Soemitro, Rochmat. Pajak Bumi dan Bangunan. Bandung: Eresco, 1989

Suharno. Potret Perjalanan Pajak Bumi dan Bangunan. Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2003.

Soekanto, Soerjono dan Srimamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta Cet. V, Ind-Hillco, 2001.

Safi’i. Strategi dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah. Malang : Averroes Pres, 2007

Subarsono, A.G. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2005 Soehino, Hukum Tata Negara (Penyusunan dan Penetapan Peraturan Daerah),

Liberty, Yogyakarta, 1998.

Siti Sundari Rangkuti. Hukum Lingkungan dan Kebijakan Lingkungan, Surabaya: Arilanga Universitas Press, 1996.


(3)

Stroink F.A.M. en. J.G. Steenbeck. Inleiding in het Staat-en Administratief Rech. Alphen aan den Rijn : Samson H.D. Tjeenk Wilink, 1985

Tangkilisan, Hesel Nogi. Kebijakan Publik yang Membumi. Yogyakarta: YPAPI, 2003.

Tunggul Anshari SN. Pengantar Hukum Pajak. Jawa Timur: Bayumedia Publising, 2006.

Wirawan B. Ilyas dan Richard Buton, Hukum Pajak, Salemba Empat:Jakarta, 2002.

Wahab, Solichin, A. Analisa Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, Edisi Kedua. Jakarta: Bumi Aksara, 2004.

Wibawa, Samudra. Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta: Raja Grafindo, 1994 Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Jakarta: Med Press,

2002.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang No. 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan serta melalui PP nomor 16 Tahun 2000 tanggal 10 Maret 2000

Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 82/KMK.0412000 tanggal 21 Maret 2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara PemerintahPusat dan Daerah.

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, ”Temu Kenal Citra Hukum dan Penerapan Azas-azas Hukum Nasional”, Rumusan Hasil Seminar dalan Majalah Hukum Nasional, Edisi Khusus No. 1 tanggal 22 – 24 Mei 1995


(4)

Perda Kota Medan Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan

Internet

http://eprints.undip.ac.id/17594/1/Hernanda_Bagus_Priandana.pdf, diakses tanggal 18 April 2014


(5)

D. Asas-Asas dan Syarat-Syarat Pemungutan Pajak

Asas-asas prinsip adalah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alas, sebagai dasar, sebagai tumpuan berfikir atau berpendapat untuk menjelaskan sesuatu permasalahan. Lazimnya suatu pemungutan pajak harus dilandasai dengan asas-asas yang merupakan ukuran untuk menentukan adil tidaknya suatu pemungutan pajak. Dalam kaitan ini Mansury31 menyatakan sebagai berikut : “Dari pengalaman ternyata apabila tidak setiap ketentuan rancangan undang-undang pada saat penyusunannya selalu diuji apakah sejalan dengan tujuan dan asas atau syarat yang harus dipegang teguh, ketentuan tersebut mudah sekali mengatur sesuatu yang sebenarnya tidak sejalan dengan asas atau syarat yang harus dipegang teguh”.

Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa suatu produk perundang-undangan sebelum ditetapkan harus dilakukan pengkajian dengan melibatkan peran serta masyarakat secara aktif dalam menentukan nasib bangsa dan negara, dan adanya keyakinan dan jaminan suatu produk peraturan perundang-undangan sudah sesuai dengan asas-asas untuk menentukan adil tidaknya suatu pemungutan pajak, sehingga betapa pentingnya asas sebagai dasar yaitu dasar yang

      


(6)

mengandung kebenaran atau dasar sebagai tumpuan berfikir atau berpendapat dalam menjelaskan suatu permasalahan terkait dengan pemungutan pajak.

Terkait dengan pengkajian asas-asas pajak ini, dipandang perlu untuk melakukan suatu kajian apa yang menjadi dasar hukum pemungutan pajak. Tujuan hukum adalah untuk menjamin kepastian hukum dan menciptakan keadilan, demikian juga halnya dengan hukum pajak harus memberikan jaminan hukum dan keadilan yang tegas, baik untuk pemerintah selaku pemungut pajak (fiscus) maupun kepada rakyat selaku wajib pajak. Negara Indonesia sebagai negara hukum, segala sesuatu yang menyangkut pajak harus ditetapkan dalam undang-undang. Dalam UUD 1945 Pasal 23-A adalah sebagai dasar hukum pemungutan pajak oleh pemerintah.

Rasio dari pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang adalah karena adanya peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor pemerintah tanpa ada jasa timbal (kontraprestasi) secara langsung. Jadi pajak disini merupakan kekayaan rakyat yang diserahkan kepada negara. Biasanya peralihan kekayaan dari satu sektor ke sektor lain tanpa adanya kontraprestasi bisa terjadi dalam hal hibah, perampasan, sehingga dikenal suatu dalil seperti di Inggris yaitu : No taxation without representation (tidak ada pajak tanpa undang-undang) dan di Amerika yaitu : Taxation without representation is robbery (pajak tanpa undang adalah perampokan). Jadi dengan ditetapkan pajak dalam bentuk undang-undang, berarti pajak bukan perampasan hak atau kekayaan rakyat karena dalam proses pembentukannya sudah disetujui oleh rakyat melalui wakil-wakilnya.


(7)

Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations mengemukakan 4 (empat) asas pemungutan pajak yang lazim dikenal dengan “four canons taxation” atau sering disebut “The four Maxims” dengan uraian sebagai berikut :

1. Equality (asas persamaan).

Asas ini menekankan bahwa pada warga negara atau wajib pajak tiap Negara seharusnya memberikan sumbangannya kepada negara, sebanding dengan kemampuan mereka masing – masing, yaitu sehubungan dengan keuntungan yang mereka terima di bawah perlindungan negara. Yang dimaksud “keuntungan” di sini adalah besar kecilnya pendapatan yang diperoleh di bawah perlindungan negara. Dalam asas equality ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi diantara wajib pajak. Jadi dalam keadaan yang sama, para wajib pajak harus dikenakan pajak yang sama.

2. Certaity (asas kepastian):

Asas ini menekankan bahwa bagi wajib pajak harus jelas dan pasti tentang waktu, jumlah, dan cara pembayaran pajak. Dalam asas ini kepastian hukum sangat dipentingkan terutama mengenai subyek dan obyek pajak.

3. Conveniency of Payment (asas menyenangkan) :

Pajak seharusnya dipungut pada waktu yang paling menyenangkan bagi para wajib pajak, misalnya : pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan terhadap para petani sebaiknya dipungut pada saat mereka memperoleh uang yaitu pada saat panen.


(8)

4. Low Cost of Collection (asas efisiensi) :

Asas ini menekankan bahwa biaya pemungutan pajak tidak boleh lebih dari hasil pajak yang akan diterima. Pemungutan pajak harus disesuaikan dengan kebutuhan anggaran belanja Negara.

Pajak sebagai suatu kewajiban dari wajib pajak kepada negara yang walaupun pada proses berikutnya ada suatu pendistribusian berupa hasil – hasil pajak kepada masyarakat, dalam pemungutannya sudah seharusnya memperhatikan asas-asas pemungutan pajak. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam pemungutan pajak agar tidak terjadi perlawanan ataupun hal-hal lain yang kontra produktif dengan tujuan dilakukannya pemungutan pajak.32

Untuk mewujudkan tujuan dari pemungutan pajak tanpa menimbulkan konflik asas-asas pemungutan wajib diperhatikan oleh pembuat undang-undang pajak yang tampak secara tersirat dalam konsideran menimbang. Adapun asas pemungutan pajak secara umum dalam ketentuan Undang-undang perpajakan adalah :

1. Asas yuridis, asas ini mempunyai makna bahwa setiap pemungutan pajak wajib didasarkan pada undang-undang. Dalam sistem perpajakan di Indonesia asas ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 23-A UUD NKRI yang menentukan : “Pajak dan pungutan lain bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang-undang”.

      


(9)

2. Asas kepastian hukum, artinya bahwa ketentuan-ketentuan perpajakan tidak boleh mengandung keragu-raguan, harus jelas dan tidak mengandung penafsiran ganda.

3. Asas keadilan, artinya alokasi beban pajak pada berbagai golongan masyarakat harus mencerminkan keadilan.

4. Asas manfaat, artinya pengenaan pajak oleh pemerintah didasarkan atas alasan bahwa masyarakat menerima manfaat dari fasilitas yang disediakan oleh pemerintah.

5. Asas tidak mengganggu perekonomian (asas non distorsi), yaitu pajak harus tidak menimbulkan kelesuan ekonomi seperti : inflasi, mis alokasi sumber-sumber daya.33

Apabila dicermati dengan menyandingkan pendapat Adam Smith dengan yang tersirat dalam undang-undang pajak pada umumnya, terdapat kemiripan dan saling mengadopsi. Hal mana dapat dijelaskan: asas equality (persamaan) tercakup asas keadilan dan asas manfaat menurut undang-undang pajak, asas conveniency of payment (asas menyenangkan) dan asas low cost of collection (asas efisiensi) ada kesesuaian dengan asas non distorsi, asas certaty (asas kepastian) sesuai dengan asas kepastian hukum.

Dari asas-asas tersebut, ada suatu keterkaitan antara asas yang satu dengan asas yang lainnya. Keterkaitan ini dapat dijelaskan : kepastian hukum akan terwujud apabila ada suatu aturan hukum (undang-undang) yang mengatur, keadilan dapat dirasakan apabila ada kesesuaian antara manfaat yang diperoleh

      


(10)

oleh wajib pajak dengan beban pajak yang dibebankan berdasarkan undang-undang yang menjadi dasar hukum dalam pemungutan pajak. Selain asas – asas yang dijelaskan di atas menjadi suatu keharusan untuk diperhatikan, bahwa untuk optimalnya maksud pemungutan pajak agar sesuai dengan yang diharapkan, dalam undang-undang perpajakan tersirat beberapa syarat yang juga harus dipenuhi dalam pemungutan pajak, yaitu :

1. Pemungutan Pajak Harus Adil (syarat keadilan) :

“Asas ini sama dengan asas pertama dalam teori Adam Smith. Sesuai dengan tujuan hukum yaitu mencapai keadilan, maka undang-undang dan peraturan pelaksanaan pemungutan pajak harus memperhatikan aspek keadilan. Adil dalam undang-undang dan peraturan pelaksanaannya tersebut harus berlaku secara umum dan merata, tidak diskriminatif serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing wajib pajak”

2. Pemungutan Pajak Harus Berdasarkan Undang–Undang (Syarat Yuridis) : Di Indonesia pajak diatur dalam Pasal 23 -A UUD 1945. Ketentuan tersebut memberikan jaminan hukum bagi pelaksanaan pemungutan pajak di Indonesia.

3. Tidak Mengganggu Perekonomian (syarat ekonomi): “Syarat ini mengharuskan bahwa pelaksanaan pemungutan pajak jangan sampai mengakibatkan hal-hal yang kontra-produktif dengan kegiatan perekonomian secara keseluruhan. Dengan kata lain, pemungutan pajak tidak boleh menimbulkan gangguan terhadap kegiatan produksi maupun distribusi dan


(11)

perdagangan yang pada akhirnya akan mengakibatkan dampak yang negatif terhadap perekonomian”.

4. Sistem Pemungutan Pajak Harus Sederhana : “Sistem pemungutan pajak harus sederhana dimaksudkan agar wajib pajak tidak mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya, bahkan seharusnya sistem pemungutan pajak harus dapat mendorong wajib pajak untuk dapat memenuhi kewajiban perpajakannya”.34

Dari syarat-syarat yang diuraiakan tersebut dapat dikatakan bahwa optimalnya pemungutan pajak bisa tercapai apabila dalam pemungutannya memperhatikan syarat-syarat yang menjamin lancarnya proses pemungutan pajak, seperti misalnya harus memenuhi syarat yuridis, memenuhi rasa keadilan, proses yang sederhana, tidak mengganggu perekonomian.

E. Kewajiban Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Kelurahan dan

Perkotaan

Tugas wajib pajak adalah memenuhi kewajiban sebagai wajib pajak yaitu membayar pajak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan, sebagai akibat telah dinikmatinya atau diterimanya manfaat dari obyek pajak. Dapat dikatakan bahwa antara hak dan kewajiban wajib pajak harus seimbang.

Kondisi seperti itu akan dirasakan membebani wajib pajak yang tanahnya ditetapkan atau terkena kawasan jalur hijau, karena tanah-tanah yang terkena atau termasuk kawasan jalur hijau tidak dapat dimanfaatkan selain untuk peruntukan

      


(12)

lahan hijau atau lahan pertanian. Pengharapan yang layak dari pemilik tanah yang terkena kawasan jalur hijau supaya dapat memperlakukan tanah-tanah mereka untuk tujuan yang lebih bermanfaat seperti untuk rumah tinggal, tempat usaha, dikontrakkan kepada investor, yang hasilnya mampu memberikan nilai tambah untuk peningkatan taraf hidup.

Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Kelurahan dan Perkotaan adalah NJOP. Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap tiga tahun, kecuali untuk Objek Pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya. Penetapan besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Kepala Daerah.

Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Kelurahan dan Perkotaan ditetapkan sebagai berikut :

a. Untuk NJOP sampai dengan Rp. 1.000.000.000,00 ( satu milyar rupiah ) ditetapkan sebesar 0,2 % ( nol koma dua persen ) pertahun;

b. untuk NJOP diatas Rp. 1.000.000.000,00 ( satu milyar rupiah ) ditetapkan sebesar 0,3 % ( nol koma tiga persen ) pertahun.

Besaran Pokok Pajak Bumi dan Bangunan Kelurahan dan Perkotaan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a atau b dengan dasar pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5). Hasil perhitungan besaran Pokok Pajak Bumi dan Bangunan yang terhutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan minimal sebesar Rp. 20.000,00 (dua puluh ribu rupiah)


(13)

F. Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan Kelurahan dan Perkotaan Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan Kelurahan dan Perkotaan antara lain :

1. Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Kelurahan dan Perkotaan adalah NJOP.

2. Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk Objek Pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.

3. Penetapan besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Kepala Daerah35.

      

35 Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2011, Op.cit Pasal 4 ayat (1), (2) dan


(14)

PERKOTAAN

D. Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2011

Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Kelurahan dan Perkotaan

Menurut Mazmanian dan Sabatier dalam Wahab menyatakan implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan.36

Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan/sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan/mengatur proses implementasinya. Proses ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan tahapan pengesahan undang-undang, kemudian output kebijaksanaan dalam bentuk pelaksanaan keputusan oleh badan (instansi) pelaksanaan, kesediaan dilaksanakannya keputusan-keputusan tersebut oleh kelompok-kelompok sasaran, dampak nyata, baik yang dikehendaki atau yang tidak, dari output tersebut, dampak keputusan sebagai dipersepsikan oleh badan-badan yang mengambil keputusan, dan akhirnya perbaikan-perbaikan penting (atau upaya untuk melakukan perbaikan-perbaikan) terhadap undang-undang/peraturan yang bersangkutan.

      

36 Solichin, A.Wahab, Analisa Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan


(15)

Pressman dan Wildavsky dalam Tangkilisan, implementasi diartikan sebagai interaksi antara penyusunan tujuan dengan sarana-sarana tindakan dalam mencapai tujuan tersebut, atau kemampuan untuk menghubungkan dalam hubungan kausal antara yang diinginkan dengan cara untuk mencapainya. Implementasi mengatur kegiatan-kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program ke dalam tujuan kebijakan yang diinginkan. 37

Definisi lain tentang implementasi diberikan oleh Lineberry dalam Putra yakni tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh pemerintah dan swasta baik secara individu dan kelompok yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan sasaran yang menjadi prioritas dalam keputusan kebijakan.38

Tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi menyatakan bahwa :

1. Penafsiran, yaitu merupakan kegiatan yang menerjemahkan makna program ke dalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan. 2. Organisasi, yaitu merupakan unit atau wadah untuk menempatkan program

ke dalam tujuan kebijakan

3. Penerapan yang berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah, dan lain-lainnya.39

Implementasi Kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat tercapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang untuk mengimplementasikan kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkah yang ada,

      

37 Hesel Nogi, Tangkilisan,. Kebijakan Publik yang Membumi. Yogyakarta: YPAPI,

2003, hal 17.

38 Putra, Fadillah. Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik. Yogyakarta : Pustaka

Pelajar, 2003, hal 81


(16)

yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan publik tersebut.40

Menurut Mazmanian dan Sabatier dalam Safi’i,41menyatakan bahwa mengkaji masalah implementasi kebijakan berarti berusaha memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah program dinyatakan diberlakukan atau dirumuskan, yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan, baik yang menyangkut usaha-usaha mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan dampak nyata pada masyarakat atau pada kejadian-kejadian tertentu.

Pendapat kedua tokoh ini menunjukkan bahwa implementasi kebijakan pada hakekatnya tidak hanya terbatas pada tindakan-tindakan atau perilaku badan-badan administratif atau unit birokrasi yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan kepatuhan dari kelompok sasaran (target group). Namun demikian hal itu juga memperhatikan secara cermat berbagai jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang berpengaruh pada perilaku semua pihak yang terlibat, dan pada akhirnya membawa dampak yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.

Dalam setiap perumusan kebijakan apakah menyangkut program maupun kegiatan-kegiatan selalu diiringi dengan suatu tindakan pelaksanaan atau implementasi. Betapa pun baiknya suatu kebijakan tanpa implementasi maka tidak akan banyak berarti. Implementasi kebijakan bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur

      

40 Ibid., hal 158

41 Safi’i. Strategi dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah. Malang : Averroes


(17)

rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperolehapa dari suatu kebijakan.42. Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Ini menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara perumusan kebijakan dengan implementasi kebijakan dalam arti walaupun perumusan dilakukan dengan sempurna namun apabila proses implementasi tidak bekerja sesuai persyaratan, maka kebijakan yang semula baik akan menjadi jelek begitu pula sebaliknya.

Dalam kaitan ini, seperti dikemukakan oleh Wahab, menyatakan bahwa pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan jauh lebih penting daripada pembuatan kebijaksanaan. Kebijaksanaan hanya sekedar impian atau rencana bagus yang tersimpan dalam arsip kalau tidak mampu diimplementasikan. 43

Dari beberapa pemahaman tersebut maka terlihat dengan jelas bahwa implementasi kebijakan merupakan rangkaian aktifitas dalam rangka membawa kebijakan kepada masyarakat sehingga kebijakan tersebut membawa hasil sebagaimana yang diharapkan. Membicarakan masalah implementasi berarti melihat sejauh mana kebijakan berjalan setelah dirumuskan dan diberlakukan. Dan dapat dirumuskan bahwa fungsi implementasi ialah untuk membentuk suatu hubungan yang memungkinkan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran kebijakan publik diwujudkan sebgai outcome atau hasil akhir kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah.

      

42 Solichin A, Wahab Op.cit., hal 51 43 Ibid.


(18)

Menurut Wibawa, implementasi kebijakan merupakan pengejahwantahan keputusan mengenai kebijakan yang mendasar, biasanya tertuang dalam suatu Undang-Undang namun juga dapat berbentuk instruksi instruksi eksekutif yang penting atau keputusan perundangan. Idealnya keputusan-keputusan tersebut menjelaskan masalah-masalah yang hendak ditangani, menentukan tujuan yang hendak dicapai dan dalam berbagai cara “menggambarkan struktur” proses implementasi tersebut.44 Tujuan implementasi kebijakan adalah untuk menetapkan arah agar tujuan kebijakan publik dapat direalisasikan sebagai hasil dari kegiatan pemerintah.

Implementasi merupakan suatu proses mengubah gagasan atau program menjadi tindakan dan bagaimana kemungkinan cara menjalankan perubahan tersebut. Untuk menganalisis bagaimana proses implementasi kebijakan itu berlangsung secara efektif, maka dapat dilihat dari berbagai model implementasi kebijakan. Sekalipun banyak dikembangkan model-model yang membahas tentang implementasi kebijakan, namun dalam hal ini hanya akan menguraikan beberapa model implementasi kebijakan yang relatif baru dan banyak mempengaruhi berbagai pemikiran maupun tulisan para ahli.

Beberapa model-model implementasi kebijakan dari berbagai ahli : 1. Model yang dikembangkan oleh Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn.

Model mereka ini kerap kali oleh para ahli disebut sebagai ”The top dwon approach”. Hogwood dan Gunn dalam, untuk dapat mengimplementasikan

      


(19)

kebijakan secara sempurna maka diperlukan beberapa persyaratan tertentu. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut;45

a. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan atau kendala yang serius. Beberapa kendala/hambatan pada saat implementasi kebijakan seringkali berada di luar kendali para administrator, sebab hambatan-hambatan itu memang di luar jangkauan wewenang kebijakan dan badan pelaksana. Hambatan-hambatan tersebut tersebut diantaranya mungki bersifat fisik. Adapula kemungkinan hambatan tersebut bersifat politis, dalam artian bahwa baik kebijakan maupun tindakan-tindakan yang diperlukan untuk melaksanakannya tidak diterima/tidak disepakati oleh berbagai pihak yang kepentingannya terkait. Kendala-kendala semacam itu cukup jelas dan mendasari sifatnya, sehingga sedikit sekali yang bisa diperbuat oleh para administrator guna mengatasinya. Dalam hubungan ini yang mungkin dapat dilakukan para administrator ialah mengingatkan bahwa kemungkinan-kemungkinan semacam itu perlu dipikirkan matang-matang sewaktu merumuskan kebijakan.

b. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup memadai. Syarat kedua ini sebagian tumpang tindih dengan syarat pertama, dalam pengertian bahwa kerap kali ia muncul diantara kendala-kendala yang bersifat eksternal. Jadi, kebijakan yang memiliki tingkat kelayakan fisik dan politis tertentu bisa saja tidak berhasil mencapai tujuan

      


(20)

yang diinginkan. Alasan yang biasanya dikemukakan ialah terlalu banyak berharap dalam waktu yang terlalu pendek, khususnya jika persoalannya menyangkut sikap dan perilaku. Alasan lainnya ialah bahwa para politis kadangkala hanya peduli dengan pencapaian tujuan, namun kurang peduli dengan penyediaan sarana untuk mencapainya, sehingga tindakan-tindakan pembatasan terhadap pembiayaan program mungkin akan membahayakan upaya pencapaian tujuan program karena sumber-sumber yang tidak memadai.

c. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia.

Persyaratan ketiga ini lazimnya mengikuti persyaratam kedua, dalam artian bahwa di satu pihak harus dijamin tidak terdapat kandala-kendala pada semua sumber-sumber yang diperelukan dan di lain pihak pada setiap tahapan proses implementasinya perpaduan diantara sumber-sumber tersebut harus benar-benar dapat disediakan.

d. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang handal.

Kebijakan kadangkala tidak dapat diimplementasikan secara efektif bukan lantaran ia telah diimplementasikan secara sembrono/asal-asalan, melainkan karena kebijakan itu sendiri tidak tepat penempatannya.

e. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya.

Pada kenyataannya program Pemerintah, sesungguhnya teori yang mendasari kebijakan jauh lebih kompleks dari pada sekedar berupa jika X


(21)

dilakukan, maka terjadi Y dan mata rantai kualitas hubungannya hanya sekedar jika X, maka terjadi Y, dan Jika Y terjadi maka akan diikuti oleh Z. Dalam hubungan ini Pressman dan Wildavski memperingatkan, bahwa kebijakan-kebijakan yang hubungan sebab-akibatnya tergantung pada mata rantai yang amat panjang maka ia akan mudah sekali mengalami keretakan, sebab semakin panjang mata rantai kausalitas, semakin besar hubungan timbal balik diantara mata rantai penghubungnya dan semakin menjadi kompleks implementasinya.

f. Hubungan saling ketergantungan harus kecil

Implementasi yang sempurna menurut adanya persyaratan bahwa hanya terdapat Badan pelaksana tunggal untuk keberhasilan misi yang diembannya, tidak perlu tergantung pada Badan-badan lain kalaupun dalam pelaksanaannya harus melibatkan Badan-badan/Instansi-instansi lainnya, maka hubungan ketergantungan dengan organisasi-organisasi ini haruslah pada tingkat yang minimal, baik dalam artian jumlah maupun kadar kepentingannya. Jika implementasi suatu program tenyata tidak hanya membutuhkan serangkaian tahapan dan jalinan hubungan tertentu meleinkan juga kesepakatan terhadap setiap tahapan diantara sejumlah besar pelaku yang terlibat, maka peluang bagi keberhasilan implementasi program bahkan hasil akhir yang diharapkan kemungkinan akan semakin berkurang.


(22)

Persyaratan ini menharuskan adanya pemahaman yang menyeluruh mengenai dan kesepakatan terhadap tujuan atau sasaran yang akan dicapai dan yang penting keadaan ini harus dapat dipertahankan selama proses omplementasi. Tujuan tersebut haruslah dirumuskan dengan jelas, spesifik dan lebih baik lagi apabila dapat dikuantifikasikan, dipahami,serta disepakati oleh seluruh pihak yang terlibat dalam organisasi, bersifat saling melengkapi dan mendukung serta mampu berperan selaku pedoman dengan mana pelaksanaan program dapat dimonitor

h. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat.

Persyaratan ini mengandung makna bahwa dalam mengfayunkan langkah menuju tercapainya tujuan-tujuan yang telah disepakati, masih dimungkinkan untuk memerinci dan menyusun dalam urutan-urutan yang tepat seluruh tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap pihak yang terlibat. Kesukaran-kesukaran untuk mencapai kondisi implementasi yang sempurna ini tidak dapat kita sngsikan lagi. Disamping itu juga duiperlukan bahkan dapat dikatakan tidak dapat dihindarkan keharusan adanya ruangan yang cukup bagi kebebasab bertindak dan melakukan improvisasi, sekalipun dalam program yang telah dirancang secara ketat. i. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

Persyatratan ini menggariskan bahwa harus ada komunikasi dan koordinasi yang sempurna diantara berbagai unsur atau badan yang terlibat dalam program. Hood dalam hubungan ini menyatakan bahwa guna


(23)

mencapai implementasi yang sempurna barangkali diperlukan suatu sistem administrasi tunggal.

j. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.

Persyaratan terakhir ini menjelaskan bahwa harus terdapat kondisi loyalitas penuh dan tidak ada penolakan sama sekali terhadap perintah dari siapapun dalam sistem administrasi itu. Apabila terdapat potensi penolakan terhadap perintah itu maka iya harus dapat diidentifikasikan oleh kecanggihan sistem informasinya dan dicegah sedini mungkin oleh sistem pengendalian yang handal. 46

2. Model yang dikembangkan oleh George C. Edwards III

George Edwards III ada empat faktor yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan, antara lain;

a. Komunikasi

Secara umum, Edwards membahas tiga hal penting dalam komunikasi, yakni transmisi, konsistensi dan kejelasan (clarity). Transmisi adalah keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah telah diteruskan kepada personil yang tepat. Kejelasan adalah perintah-perintah yang akan dilaksanakan tersebut haruslah jelas misalkan melalui petunjuk-petunjuk pelaksanaan. Konsistensi adalah perintah-perintah tersebut harus jelas dan tidak bertentangan dengan para pelaksana kebijakan agar proses implementasi dapat berjalan lebih efektif. 47

      

46 Ibid


(24)

b. Sumber-sumber

Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi ini pun cenderung tidak efektif. Adapun sumber-sumber yang penting meliputi :

1. Staf

Jumlah staf yang banyak tidak secara otomatis mendorong implementasi yang berhasil. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kecakapan yang dimiliki oleh para pegawai pemerintah ataupun staf, namun di sisi yang lain kekurangan staf juga akan menimbulkan persoalan yang pelik menyangkut implementasi kebijakan yang efektif. Dengan demikian, tidaklah cukup hanya dengan jumlah pelaksanaan yang memadai untuk melaksanakan suatu kebijakan. Para pelaksana harus memiliki keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan. 2. Wewenang

Setiap wewenang mempunyai bentuk yang berbeda-beda. Jika para pejabat/badan pelaksana kebijakan mempunyai keterbatasan wewenang untuk melaksanakan kebijakan maka diperlukan kerjasama dengan pelaksana/badan lain agar program berhasil.

3. Fasilitas

Fasilitas fisik merupakan sumber yang penting pula dalam proses implementasi. Tanpa bangunan sebagai kantor untuk melaksanakan koordinasi, tanpa perlengkapa, tanpa perbekalan, maka besar kemungkinan implementasi yang direncanakan tidak akan berhasil.


(25)

c. Kecenderungan

Yaitu dimana para pelaksana memiliki kecenderungan tidak sepakat dengan suatu kebijakan sehingga mengabaikan beberapa persyaratan yang tidak sesuai pandangan mereka. Oleh karena para pelaksana memegang peran penting dalam implementasi kebijakan publik, maka usaha-usaha untuk memperbaiki kecenderungan-kecenderungan mereka menjadi penting. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan insentif.

d. Struktur Birokrasi

Menurut Edwards, ada dua karakteristik utama dari birokrasi, yakni prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar atau sering disebut sebagai SOP. berkembang sebagai tanggapan internal terhadap waktu yang terbatas dan sumber-sumber dari para pelaksana serta keinginan untuk keseragaman dalam bekerjasamanya organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas. Fragmentasi adalah tekanan-tekanan di luar unit-unit birokrasi, seperti komite-komite legislative, kelompok-kelompok kepentingan, pejabat-pejabat eksekutif, konstitusi Negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi organisasi birokrasi-birokrasi pemerintah.

3. Model yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn, yang disebut sebagai model proses implementasi kebijakan.

Meter dan Horn dalam teorinya ini beranjak dari suatu argumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijakan yang akan dilaksanakan. Selanjutnya mereka menawarkan suatu pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu kebijakan dengan


(26)

implementasi dan suatu model konseptual yang mempertalikan kebijakan dengan prestasi kerja. Kedua ahli ini menegaskan pula pendiriannya bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep penting dalam prosedur-prosedur implementasi.

Ada enam variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yaitu: 48 a. Standar dan sasaran kebijakan

Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisasikan. Apabila standar dan kebijakan kabur, maka akan terjadi misi interpretasi dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen implementasi. b. Sumber daya

Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia.

c. Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas

Dalam implementasi program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu perlu koordinasi dan kerja sama antara instansi bagi keberhasilan suatu program.

d. Karakteristik agen pelaksana

Agen pelaksana mancakup struktur birokrasi, SOP, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya akan mempengaruhi implementasi suatu program.

      


(27)

e. Kondisi sosial, ekonomi dan politik

Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi, lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok- kelompok kepentingan daoat memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan, dan apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan.

f. Disposisi Implementor

Disposisi implementor ini mencakup tiga hal, yakni: a) respon implementor terhadap kebijakan yang akan dipengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, b) kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan, dan c) intensitas disposisi implementor, yakni prefansi nilai yang dimiliki oleh implementor. 49

Variabel-variabel kebijakan bersangkutan paut dengan tujuan-tujuan yang telah digariskan dan sumber-sumber yang tersedia. Pusat perhatian pada badan-badan pelaksana meliputi baik organisasi formal maupun informal, sedangkan komunikasi antara organisasi terkait beserta kegiatan-kegiatan pelaksanaannya mencakup antara hubungan di dalam lingkungan sistem politik dan dengan para pelaksana mengantarkan kita pada pemahaman mengenai orientasi dari mereka yang mengoperasionalkan program di lapangan.50

Model implementasi inilah yang akan digunakan penulis di lapangan untuk menganalisis proses implementasi Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3

      

49 Ibid., hal 98 50 Ibid, hal 99


(28)

Tahun 2011 Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan Kelurahan Dan Perkotaan. Alasan menggunakan model ini karena variabel ataupun indikator yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn merupakan variabel yang bisa menjelaskan secara komprehensif tentang kinerja implementasi dan dapat lebih kongkret dalam menjelaskan proses implementasi yang sebenarnya.

E. Sistem Pengawasan Terhadap Suatu Peraturan Perundang-Undangan

Khusunya Terhadap Peraturan Daerah (Perda)

Pengawasan secara umum termasuk pengawasan terhadap Perda ada dikenal dengan istilah preventif ini berasal dari kata “preventief” yang mempunyai makna suatu tindakan bersifat pencegahan artinya sebelum suatu perda diberlakukan maka dilakukan pengawasan dalam bentuk pencegahan agar perda yang bersangkutan tidak bertentangan dengan prinsif-prinsip umum pembentukan peraturan daerah dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tingkat atasnya dan kepentingan umum 51

Pelaksanaan pengawasan terhadap perda oleh pejabat yang berwenang selama ini selain memperhatikan kriteria khusus, dan alasan-alasan dalam rangka mencegah pelaksanaan pengawasan tersebut, juga dilakukan berdasarkan pada kriteria-kriteria yang ditentukan, antara lain dalam bentuk Surat Mendagri yang dikaitkan dengan syarat teknis dan proses perundang-undangan atau bentuk luar

      

51 H.R.W. Gokkel dan N. Van der Wal, Juridisch Latijn, H.D. Tjeenk Willink, Groningen,

1971, diterjemahkan oleh S. Adiwinta, Istilah Hukum: Latin – Indonesia, Jakarta: Intermasa, 1986,hal. 78.


(29)

dari suatu perda.52 Pelaksanaan pengawasan terhadap perda ini hanya dilakukan perubahanpada susunan konsideran dan bahasa, sementara asas-asas formal dan asas-asas materil maupun “kriteria umum” serta asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik pada umumnya tidak diperhatikan.

Pelaksanaan pengawasan selama ini tidak ditentukan secara tegas perda yang tidak memerlukan pengawasan, sehingga dalam praktik untuk memperoleh kepastian hukum bagi daerah, nampaknya semua perda diajukan untuk memperoleh pengesahandan sebagai syarat untuk dapat diundangkan atau berlakunya suatu perda agar sesuai dengan tertib hukum yang berlaku.53 Demikian juga, sifat dan bentuk pelaksanaan pengawasan terhadap perda banyak mengikuti keputusan-keputusan yang ditentukan atau dibuat oleh pejabat berwenang yang memperoleh atribusi dari undang-undang dan merangkap sebagai wakil pemerintah dalam bentuk pedoman, bimbingan, arahan dan konsultasi, sehingga pelaksanaan pengawasan terhadap perda tidak mengikuti ketentuan dalam tingkat undang-undang, melainkan tunduk pada aturan yang dikeluarkan atau berlaku dalam lingkungan organisasi di mana pejabat berwenang berada sebagai pelaksana asas dekonsentrasi.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak secara tegas mengatur pengawasan preventif, tetapi dari sifat dan bentuk-bentuk pengawasan terhadap daerah yang dipraktikkan selama ini, maka dikuatirkan peniadaan pelaksanaan

      

52 Soehino, Hukum Tata Negara (Penyusunan dan Penetapan Peraturan Daerah),

Yogyakarta: Liberty, , 1998, hal 40.

53 Bagir Manan, Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-undangan Tingkat


(30)

pengawasan terhadap perda tidak ada artinya diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Dalam pengawasan perda dapat dilakukan dengan mementukan criteria-kreteria tertentu. Dalam kepustakaan Ilmu Hukum, sejak zaman Indonesia baru merdeka dan diberlakukannya undang-undangan yang mengatur pemerintahan daerah, telah memiliki kriteria khusus atau tertentu, ada yang menyebut dengan tolok ukur objektif normatif dan berdasarkan pasal-pasal tertentu dalam Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1968,Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dan kriteria-kriteria tertentu atas perda. Dalam peraturan perundang-undangan tertentu, seperti Undang-Undang Nomor 11 Drt/Tahun 1957, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1957, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 telah ditentukan secara tegas di mana perda tentang pajak dan retribusi baru dapat berlaku setelah sebelumnya dilakukan pengesahan oleh pejabat yang berwenang. Artinya, selama ini walaupun tidak semua jenis perda memerlukan pengesahan terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang terdapat ketentuan yang mengatur mengenai hal-hal tertentu sehingga perda baru dapat berlaku setelah ada pengesahan dari pejabat yang berwenang.54

Setiap pembentukan perda telah disyaratkan pula, berdasarkan Pasal 28 ayat (5) Nomor 22 Tahun 1948, tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah atau perda yang lebih tinggi tingkatnya. Dalam Pasal 38 ayat (1) Undang Nomor 1 Tahun 1957 dan Pasal 50 ayat (1)

Undang-      

54 G. Magnar Kuntana, Pokok-pokok Pemerintah Daerah Wilayah Administratif,


(31)

Undang Nomor 18 Tahun 1965 ditentukan, selain perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya, juga tidak boleh bertentangan dengn kepentingan umum. Sedangkan Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 menentukan bahwa suatu perda tidak boleh bertentangan dengaan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan atau peraturan daerah yang lebih tinggi tingkatnya.

Ketentuan terakhir dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Perda dimaksud adalah yang : a) tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum; b) peraturan daerah lainnya dan c) peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pengaturan atas materi muatan perda tersebut secara tegas menjadi alasan bagi pejabat yang berwenang dalam rangka pelaksanaan pengawasan represif terhadap Perda, tetapi alasan ini tidak diatur dan ditentukan secara tegas.

Pelaksanaan pengawasan terhadap perda oleh pejabat yang berwenang selama ini selain memperhatikan kriteria khusus, dan alasan-alasan dalam rangka mencegah pelaksanaan pengawasan tersebut, juga dilakukan berdasarkan pada kriteria-kriteria yang ditentukan, antara lain dalam bentuk Surat Mendagri yang dikaitkan dengan syarat teknis dan proses perundang-undangan atau bentuk luar dari suatu perda.55

Pelaksanaan pengawasan terhadap perda ini hanya dilakukan perubahan pada susunan konsideran dan bahasa, sementara asas-asas formal dan asas-asas materil maupun “kriteria umum” serta asas-asas penyelenggaraan pemerintahan

      


(32)

yang baik pada umumnya tidak diperhatikan.56 Pelaksanaan pengawasan selama ini tidak ditentukan secara tegas perda yang tidak memerlukan pengawasan, sehingga dalam praktik untuk memperoleh kepastian hukum bagi daerah, nampaknya semua perda diajukan untuk memperoleh pengesahan dan sebagai syarat untuk dapat diundangkan atau berlakunya suatu perda agar sesuai dengan tertib hukum yang berlaku.57

Sifat dan bentuk pelaksanaan pengawasan terhadap perda banyak mengikuti keputusan-keputusan yang ditentukan atau dibuat oleh pejabat berwenang yang memperoleh atribusi dari UU dan merangkap sebagai wakil pemerintah dalam bentuk pedoman, bimbingan, arahan dan konsultasi, sehingga pelaksanaan pengawasan terhadap perda tidak mengikuti ketentuan dalam tingkat undang-undang, melainkan tunduk pada aturan yang dikeluarkan atau berlaku dalam lingkungan organisasi di mana pejabat berwenang berada sebagai pelaksana asas dekonsentrasi.

Perluasan sifat dan bentuk-bentuk pelaksanaan pengawasan terhadap perda selama ini telah membuat suatu perda telah sesuai dengan tertib hukum yang berlaku dan hampir tidak ada perda yang dilakukan pengawasan represif, karena bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan kata lain, dengan adanya pelaksanaan pengawasan terhadap perda pembentukan dan berlakunya perda selama ini hampir tidak mendatangkan pertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang

      

56 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, ”Temu Kenal Citra

Hukum dan Penerapan Azas-azas Hukum Nasional”, Rumusan Hasil Seminar dalan Majalah Hukum Nasional, Edisi Khusus No. 1 tanggal 22 – 24 Mei 1995, hal. 167.


(33)

lebih tinggi. Sifat dan bentuk-bentuk pelaksanaan pengawasan tersebut telah membuat pula kewenangan daerah otonom untuk mengatur sesuatu urusan pemerintah menjadi sangat tergantung pada pejabat yang berwenang, sehingga keleluasaan dan kemandirian daerah membentuk perda dalam rangka otonomi daerah tidak ada. Dengan kata lain, otonomi daerah tidak ada berada pada daerah, melainkan berada pada pejabat berwenang, sehingga telah membuat hubungan hirarkis dengan Pemerintah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dalam pembentukan perda di mana pejabat berwenang tersebut berada.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, hubungan antara Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dengan Daerah Provinsi secara hierarkhis tidak ada. Sifat dan bentuk pelaksanaan pengawasan terhadap perda telah ditiadakan dan lebih ditekankan pada pengawasan preventif dalam rangka memberikan kebebasan kepada daerah otonom dalam mengambil keputusan, di mana perda tidak memerlukan pengesahan terlebih dahulu dari pejabat berwenang seperti pada waktu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 berlaku. Akan tetapi Gubernur sebagai wakil pemerintah tetap melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Hal ini berarti, walaupun Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada hubungan dengan Daerah Provinsi, tetapi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota akan tetap mempunyai hubungan koordinasi, kerjasama dan/atau kemitraan dengan Daerah Provinsi dan Pemerintah dalam kedudukannya masing-masing. Hubungan dalam negara kesatuan tetap ada, karena untuk menentukan kewenangan atas suatu urusan pemerintahan tidak dapat ditentukan secara pasti


(34)

seluruh kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu hanya berada pada satu Daerah Kabupaten, Daerah Kota, Daerah Provinsi dan Pemerintah, melainkan masing tetap diperlukan saling koordinasi agar kewenangan masing-masing tidak saling bertentangan.

Hubungan kerjasama dengan konsep “saling mengawasi” agar terjadi keserasian, keselarasan dan koordinasi dalam pelaksanaan suatu rencana antara lain membentuk perda yang berpusat pada satu tujuan pemerintahan yang tanggungjawabnya berada pada pemerintah. Oleh karena itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dalam rangka pembinaan, pemerintah memfasilitasi daerah melalui pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan dan supervisi agar tidak terjadi penyimpangan atau kekeliruan dan kelalaian dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Fasilitasi pemerintah ini, tidak berbeda dengan pengertian preventif yang mempunyai unsur pengarahan dalam bentuk pemberian petunjuk atau pedoman untuk melaksanakan suatu kegiatan dan praktik pelaksanaan pengawasan terhadap perda selama ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, sehingga walaupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak secara tegas mengatur pengawasan preventif, tetapi dari sifat dan bentuk-bentuk pengawasan terhadap daerah yang dipraktikkan selama ini, maka dikuatirkan peniadaan pelaksanaan pengawasan terhadap perda tidak ada artinya diatur dalam peraturan perundang-undangan.

a. Pengawasan Preventif

Pengawasan preventif diartikan sebagai bersifat mencegah sementara, diartikan bersifat mencegah agar tidak terjadi sesuatu dan kewenangannya


(35)

diletakan pada pejabat yang berwenang. Secara umum pengawasan itu mempunyai arti yang luas, yaitu suatu proses, cara perbuatan pengontrolan, pemeliharaan dan pemeriksaan denganmemberikan petunjuk atau pedoman untuk melaksanakan suatu kegiatan.

Pengawasan pada desentralisasi apakah keputusan pemerintah daerah bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dengan kepentingan umum. Dalam keputusan ilmu pengetahuan banyak rumusan tentang konsep pengawasan, tetapi dalam rangka hubungan kewenangan urusan pemerintahan daerah (perda) yang diserahkan, kepada daerah otonom oleh pemerintah yang mempunyai kekuasaan pemerintahan dalam negara kesatuan, maka pengawasan preventif dapat diartikan sebagai pembatasan terhadap kewewenangan daerah mengenai hal tertentu berdasarkan pembagian kekuasaan pemerintahan secara vertikal yang ditentukan dan diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diperoleh berdasrkan asas desentralisasi, tidak berarti dapat berbuat semau-maunya tanpa kontrol dari pemerintah (pusat), tetapi ada bebrapa hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah daerah.

Pengawasan pemerintah ini pada umumnya menyangkut pengawasan kewenangan dalam bidang tertentu pada daerah, agar tetap terjadi hubungan kewenangan yang serasi atau sejalan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan daerah lain. karena itu, dalam pembagian kewenangan berdasarkan sistem desentralisasi diatur dan ditentukan urusan pemerintahan tertentu sebagai bentuk pembatasan-pembatasan, apa yang


(36)

menjadi tugas, fungsi, kewajiban, dan kewenangan daerah-daerah, sehingga antara daerah-daerah denga pemerintah terjadi hubungan kewenangan dalam rangka kesetasian dalam menyelenggarakan pemerintahan. Pengawasan terhadap perda dilakukan, selain dalam rangaka menjamin pelayanan (dalam bidang tertentu) yang sama untuk seluruh rakyat ( azaz requal treatment); menjamin keseragaman tindakan tertentu (asas uniformitas), juga untuk menjaga hubungan antara pemrintah dan daerah tetap terpelihara dan menjamin keutuhan negara dan kesatuan pemerintah.

Pengawasan preventif tersebut diatas mempunyai makna yang luas yang dilakukan oleh pemerintah melalu pejabat yang berwenang sebagai usaha untuk memlihara hubungan yang serasi dan harmonis antra pemerintah dengan daerah dan antar daerah-daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan. Pengawasan preventif terhadap perda merupakan konsekuensi dan tanggungjawab pemerintah dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan yang memegang “monopoli“ kekuasaan pemerintahan, sehingga pemerintah menetukan cara-cara tertentu misalnya dalam bentuk pengawasan preventif, terhadap kewenangan penyelenggaraan pemerintah pada tingkat-tingkat pemerintahan daerah agar urusan pemerintah dapat diselenggarakan secara tertib, pemerintahan melalui pengarahan–pengarahan pejabat yang berwenang.

Pengawasan preventif dilakukan dalam rangka menjaga agar kewenangan antara pemerintah dan daerah-daerah tidak berbenturan. Pemerintah menentukan cara-cara/bentuk pengawasan preventif terhadap penyelenggaraan kewenangan daerah dalam mengatur urusan pemerintahan tertentu,agar dapat terjadi ketertiban


(37)

dalam penyelenggaraan kewenangan pemerintah antara pemerintah dan daerah-daerah otonom. Ketertiban kewenangan pemerintah ini. Tidak lain adalah dalam rangka ketertiban hukum pada umumnya. Dengan kata lain, pengawasan preventif terhadap perda dibentuk tidak mempunyai kekurangan yuridis, tetapi perbuatan pemerintah membentuk perda tersebut akan menjadi sah setelah ada pengesahan dari pejabat yang berwenang dalam rangka menyesuaikan dan membandingkan dengan bentuk peraturan perundang-undangan yang lain. Agar dapat diterima sebagai bagian dari ketertiban hukum dan mempunyai ketentuan hukum dan mempengaruhi pergaulan hukum.

Walaupun demikian ada yang berpendapat bahwa pengawasan preventif terhadap perda sebagai salah satu tindak lanjut memperkuat atau untuk melihat lebih jauh sahnya suatu proses pembentukan perda, sehingga pengawasan preventif tidak hanya diwujudkan dengan pemberian atau ditolak pengesahan terhadap perda, tetapi dalam berbagai bentuk putusan pejabat berwenang. Dalam hal ini, maka badan/pejabat yang berwenang melakukan tindakan pengawasan preventif dapat dipandang dalam rangka meneliti dan mengevaluasi syarat-syarat pembentukan perda baik secara formal maupun materil.

Dalam paktik syarat-syarat formal maupun materil dalam pembentukan perda sebagai peraturan perundang-undangan selalu diperhatikan oleh pejabat yang berwenang, sehingga alasan-alasan pelaksanaan pengawasan preventif terhadap perda menjadi luas, bahkan tidak lepas dari nuansa tindakan “politis” yang melekat pada pejabat yang berwenang sebagai pelaksanan asas dekonsentrasi didaerah.


(38)

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka alasan-alasan pengawasan preventif terhadap perda tidak lepas dari perwujudan kebijaksanaan dari pemerintah atas dasar kepentingan pemerintah, daerah propinsi dan daerah lain, sehingga pengawasan preventif terhadap perda dilakukan, juga antara lain dalam rangka: a. Koordinasi : mencegah atau mencari penyelesaian perselisiahan kepentingan; b. pengawasan kebijaksanaan : disesuaikan kebijaksanaan dari aparat pemrintah

yang lebih rendah terhadap yang lebih tinggi;

c. Pengawasan kualitas : kontrol atas kebolehan dan kualitas teknis pengambilan keputusan dan tindakan-tindakan aparat pemerintah yang lebih rendah;

d. Alasan-alasan keuangan : peningkatan kebijaksanaan yang tepat dan seimbang aparat pemerintah yang lebih rendah;

e. Perlindungan hak dan kepentingan warga : dalam situasi tertentu mungkin diperlukan suatu perlindungan khusus untuk kepentingan dari seorang warga.

Alasan-alasan pengawasan preventif terhadap kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintah daerahtersebut dapat menjadi bagian dari tugas pemerintah pada umumnya. Akan tetapi, oleh karena orientasi pemberian otonomi kepada daerah pada pembangunan yang meliputi berbagai aspek, maka daerah berkewajiban untuk melancarakan jalannya pembangunan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, sehingga pelaksanaan pengawasan preventif terhadap perda tidak dapat dilepaskan dari orientasi pelaksanaan pembangunan. Hal ini berarti pelaksanaan pengawasan preventif terhadap perda tidak hanya terbatas pada alasan kepentingan dan peraturan daerah lainnya, tetapi


(39)

dapat menyangkut kebijaksanaan Pemerintah, daerah, provinsi, daerah lain, dan Daerah sendiri dalam rangka pelaksanaan pembangunan.

Dalam keadaan seperti itu, maka untuk kepastian kewenangan hak mengatur dari suatu daerah otonomi, maka pengawasan preventif terhadap perda merupakan hak “placet“ ,yaitu suatu hak untuk mencegah atau mengukuhkan suatu keputusan agar mempunyai atau tidak mempunyai kekuatan mengikat oleh suatu badan pemerintahan yang berbeda dari badan yang membuat keputusan perda tersebut. Keputusan badan pemerintahan yang mempunyai hak placet ini mempunyai kekuatan mengikat dan bersifat einmahlig yang tidak dapat ditarik kembalidan dipersoalkan dalam pengadilan.

b. Pengawasan Represif

Perda setelah dibentuk oleh daerah (pemerintah daerah) dan memenuhi syarat-syarat pembentukan dan memperoleh pengesahan, maka dapat diberlakukan. Pemberlakuan Perda ini melalui pengumuman dalam lembaran daerah. Pengumuman atau pengundangan Perda dilakukan agar Perda dapat dilaksanakan (diterapkan) dan mempunyai kekuatan hukum untuk berlaku dan mengikat secara umum. Apabila dalam pelaksanaannya mendatangkan persoalan, maka Perda tersebut dapat dilakukan pengujian. Pengujian terhadap Perda dilakukan, sebagaimana berlakukan terhadap peraturan perundang-undangan pada umumnya. Pengujian dimaksud dilakukan baik secara formal maupun secara materil.

Walupun hak menguji terhadap peraturan perundang-undangan pada umumnya melekat pada fungsi peradilan (berdasarkan perturan


(40)

perundang-undangan maupun yuriprudensi), namun dalam perkembanganya pengujian terhadap peraturan perundang-undangan bukan hanya menjadi monopoli dan merupakan fungsi peradilan tetapi pengujian terhadap peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibedakan atas pengujian secara yustisial (yudicial review) dan bukan yustisial (political controlpoitical review).

Pengujian yustisial dilakukan oleh badan peradilan pada umumnya sedangkan pengujian bukan yustisial merupakan pengujian yang dilakukan oleh badan yang berkarakter politik seperti antara lain DPR dan DPRD. Bagir manan berpendapat, bahwa selain kedua bentuk pengujian tersebut terdapat pula bentuk pengujian yang dilakukan oleh badan/pejabat administrasi Negara seperti kewenangan Mendagri atau Gubernur (pejabat yang berwenang) untuk membatalkan Perda yang dapat dikatakan merupakan pengujian administrative (administrative review) atau dalam peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah dikenal sebagai pengawasan represif. Pengawasan represif oleh pejabat yang berwenang ini berisi penangguhan/penundaan atau pembatalan terhadap putusan-putusan daerah otonom (Perda dan keputusan kepala daerah) yang dapat dilakukan saat dalam jangka waktu yang tidak terbatas, apabila dipanding oleh pejabat yang berwenang bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, Perda lainnya Pengawasan represif terhadap Perda oleh pejabat yang berwenang dengan ukuran-ukuran tersebut. Terkesan kuat tidak berbeda dengan pengujian dalam rangka pengujian secara maetril terhadap peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Namun pengawasan represif oleh pejabat yang berwenang


(41)

terhadap Perda yang dibentuk berdasarkan pembagian kewenangan secara vertikal berdasrkan peraturan perundang-undangan, tidak hanya dibatasi pada rumusan dalam peraturan perundang-undangan yang ada, tetapi dapat berkembang dan diperluas atas dasar kebijakan pemerintah dalam pemberian otonomi, kebjakan pemrintah (pusat), daerah propinsi dan daerah lain sesuai dengan fungsi pemerintahan yang diletakan pada pemerintahan dan daerah. Karena itu, salah satu alasan dilakukan pengawasan represif terhadap Perda adalah dasar kepentingan umum yang dapat merupakan perwujudan peraturan (putusan) kebijaksanaan. Pengawasan represif terhadap Perda pada dasarnya adalah pengujian dibidang administrasi yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang atas dasar atribusi UU yang disesuaikan dengan fungsi pemerintahan, sehingga peraturan perundangan yang lebih tinggi lainnya termasuk peraturan (putusan) kebijaksanaan dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan pengawasan.

F. Sanksi Terhadap Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2011

Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan Kelurahan dan Perkotaan terhadap wajib Pajak Bumi dan Bangunan

Sering dengan luasnya ruang lingkup dan keragaman bidang urusan pemerintahan yang masing-masing bidang itu diatur dengan peraturan tersendiri, macam dan sanksi dalam rangka penegakan peraturan itu menjadi beragam. Pada umumnya macam-macam dan jenis sanksi itu dicantumkan dan ditentukan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan bidang administrasi tertentu. Secara umum dikenal beberapa macam sanksi dalam hukum administrasi, yaitu


(42)

1. Paksaan pemerintahan (bestuursdwang)

2. Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan (izin, subsidi dan pembayaran)

3. Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom) 4. Pengenaan denda administratif (administratieve boete)

Sanksi tersebut tidak dapat diterapkan secara keseluruhan pada suatu bidang administrasi Negara tertentu. Sanksi paksaan pemerintahan misalnya, sudah barang tentu tidak dapat diterapkan dalam bidang kepegawaian dan ketenagakerjaan. Akan tetapi, dapat terjadi dalam suatu bidang administrasi diterapkan lebih keempat macam sanksi tersebut, seperti bidang lingkungan.58 a. Paksaan pemerintahan (bestuursdwang)

Berdasarkan Undang-undang Hukum Administrasi Negara “onder bestursdwang wordt verstaan, het feitelijk handelen door of vanwegeen bestuursorgaan wegnemen, ontruimen, beletten, in de vorige toestand herstellen of verricihten is of wordt gedaan, gehouden of nageleten, (paksaan pemerintahan merupakan tindakan nyata yang dilakukan oleh organ pemerintah atau atas nama pemerintah untuk memindahkan, mengosongkan, menghalang-halangi, memperbaiki pada keadaan semula apa yang telah dilakukan atau sedang dilakukan yang bertentangan dengan kewajiban-kewajiban. 59

Dalam kepustakaan Hukum Administrasi Negara, ada dua istilah mengenai paksaan pemerintahan ini, yaitu bestuursdwang dan politiedwang. Istilah yang

      

58 Siti Sundari Rangkuti. Hukum Lingkungan dan Kebijakan Lingkungan, Surabaya:

Arilanga Universitas Press, 1996, hal 192


(43)

sebelumnya sering digunakan adalah politiedwang. Menurut Philipus M. Hadjon60 digunakannya istilah bestuursdwang untuk mengakhiri kesalahpahaman yang dapat ditimbulkan oleh kata “politie” dalam penyebutan politiedwang (paksaan polisi). Polisi sama sekali tidak terlibat dalam pelaksanaan politiedwang (bestuursdwang).61Meskipun demikian, dalam berbagai kepustakaan dan

yurisprudensi masih ditemukan istilah politiedwang. A.M. Donner menggunakan istilah politiedwang,62 termasuk Algemene Bepaliedwang van Administratief Recht” juga menggunakan istilah politiedwang. F.A.M. Stoink dan J.G. Steen menggunakan kedua istilah ini sekaligus, yaitu ; politiedwang of bestuursdwang.63

Berkenaan dengan paksaan pemerintahan ini, F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek mengatakan sebagai berikut “eenzeer belangrijke administratieve recht te handhaven is de politie-of bestuursdwang, Bestuursoganen hebben de bevogdheid om, zo nodig met gewelld, de naleving van bepaalde wettelijke voorschften door of ten laste van de burger feitelijk le realiseren64(Kewenangan

paling penting yang dapat dijalankan oleh pemerintah untuk menegakkan hukum administrasi materiil adalah paksaan terhadap peraturan perundang-undangan tertentu atau kewajiban tertentu).

Kewenangan paksaan pemerintah (bestuursdwangbevoegheid) dapat diuraikan sebagai kewenangan organ pemerintahan untuk melakukan tindakan

      

60 Philipus M. Hadjon, Op.cit. hal 251

61 Donner AM., Nederlands Bestuursrecht, Samson H.D. Tjeenk Willink Apphen aan

Rijn, 1987, hal 15

62 Versteden C.J.N., Inleiding ALgemen Bestuursrecht, Somson H.D. Tjeenk Willink,

Alphen aan dan Rijn, 1984, hal 207

63 F.A.M Stroink. en. J.G. Steenbeck. Inleiding in het Staat-en Administratief Rech.

Alphen aan den Rijn : Samson H.D. Tjeenk Wilink, 1985


(44)

nyata mengakhiri situasi yang bertentangan dengan norma hukum yang dilakukan warga Negara.65

Dalam istilah hukum, ada perbedaan antara kewenangan (bevoddheid) dengan kewajiban (verplicchting). Kewenangan mengandung makna hak dan kewajiban (rechten en plichen) dalam dan untuk melakukan tindakan hukum tertentu, sedangkan kewajiban hanya menunjukkan keharusan untuk mengambil tindakan hukum tertentu. Berdasarkan berbagai yurisprudensi di Negeri Belanda atau peraturan perundang-undangan di Indonesia, tampak bahwa pelaksanaan paksaan pemerintah adalah wewenang yang diberikan undang-undang kepada pemerintah, bukan kewajiban.

Kewenangan pemerintah untuk menggunakan bestuursdwang merupakan kewenangan yang bersifat bebas (vrijebevoegheid), dalam arti pemerintah diberi kebebasan untuk mempertimbangkan menurut inisiatifnya sendiri apakah menggunakan bestuursdwang atau tidak bahkan menerapkan sanksi lainnya.

b. Penggunaan uang paksa (dwangsom)

Menurut N.E. Algra, Dwangsom straf of poenalities, bedragdrat, krachtens beding in een verbintenis verschuldigd is bij niet nakoming, niet volledige of niet itijdge nakoming cq. Onderscheiden van de vergoeding van kosten, schaden en interessen.66(uang paksa sebagai hukuman atau denda,

jumlahnya berdasarkan syarat dalam perjanjian, yang harus dibayar karena tidak menunaikan, tidak sempurna melaksanakan atau tidak sesuai waktu yang

      

65 H.D. van Wijk/Williem Konijenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, Vuga, S

Gravenhage, 1995, hal 17

66 Algra, N.E. Rechtsgeleed Handwoordenboek. Twede Druk. Gromingen: J.B.


(45)

ditentukan, dalam hal ini berbeda dengan biaya ganti kerugian, kerusakan dan pembayaran bunga). Dalam hukum administrasi, pengenaan uang paksa ini dapat dikenakan kepada seseorang atau warga Negara yang tidak mematuhi atau melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai alternatif dari tindakan paksaan pemerintahan.

c. Pengenaan Denda Administratif

Denda administratif (kestuurslijke boetes) dapat dilihat contohnya pada denda fiscal yang ditarik oleh inspektur pajak dengan cara meninggikan pembayaran dari ketentuan semula sebagai akibat kesalahannya.67 Menurut P. de Haan dkk “anders dan de administratieve dwangsom die gericht os op het verkrijgen van een feitelike situatie in oveerseenstemming met de dorm wormt de administratieve boete niet meer dan eer reactive op een normovertreding die geircht is op het toevogen van een zeker leed. Vooral in het belastingsrecht komt de administratieve boete voor. In alle gevallen leg teen administratief organ, zondar tussenbomsi van de rechter een straf op. (berbeda dengan pengenaan uang paksa administrasi yang ditujukkan untuk mendapatkan situasi konkret yang sesuai dengan norma, denda administrasi tidak lebih dari sekadar reaksi terhadap pelanggaran norma, yang ditujukan untuk menambah hukuman yang pasti, terutama denda administrasi yang terdapat dalam hukum pajak. Bagaimanapun juga, organ administrasi dapat memberikan hukuman tanpa perantaraan hakim). 68Pengenaan denda administrative tanpa perantaraan hakim ini tidak berarti pemerintah dapat menerapkannya secara arbiter (sewenang-wenang). Pemerintah

      

67 Williemkonijnen H.D. van Wijk, Op.cit, hal 523

68 Haan P. de, et. al. Bestuursrecht in de sociale rechsstaat. Deel 1, Kluwer.Deventar,


(46)

harus tetap memperhatikan asas-asas hukum administrasi, baik tertulis maupun tidak tertulis.

Pembuat undang-undang dapat memberikan wewenang kepada organ pemerintah untuk menjatuhkan hukuman yang berupa denda (geldboete) terhadap seseorang yang telah melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan. Pemberian wewenang langsung (atributie) mengenai sanksi punitif ini dapat ditemukan dalam peraturan perundang-undangan. Sanksi ini biasanya terdapat dalam hukum pajak, jaminan social dan hukum kepegawaian.69 Pada umumnya dalam berbagai peraturan perundang-undangan, hukuman yang berupa denda ini telah ditentukan. Berkenaan dengan denda administrasi ini, dalam Algeme Bepalingen van Administratief Recht, disimpulkan bahwa administratieve boete kunnen slechts worden opgelegd uit kracht van een bevoegdhied die is voorzien bij een wet in formele zin.70

Sanksi yang diberikan terhadap Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan Kelurahan dan Perkotaan terhadap wajib Pajak Bumi dan Bangunan antara lain ;

a. Sanksi terhadap wajib pajak

1. Dalam hal wajib pajak dalam hal tahun diajukan tidak atau kurang dalam dalam hal pembayaran pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% setiap bulan untuk paling lama 15 bulan setiap bulan.

2. Tidak membayar setelah jatuh tempo pembayaran dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% setiap bulan ditagih melalui STPD.

      

69 Ibid


(47)

3. Pajak yang terutang berdasarkan SPPT, SKPD, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh wajib pajak pada waktunya dapat ditagih dengan surat paksaan.71

b. Sanksi terhadap petugas pemungut pajak

1. Pejabat dan tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 4.000.000,- (empat juta rupiah).

2. Pejabat dan tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).

3. Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiannya dilanggar.

4. Tuntutan pidana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau Badan selaku Wajib Pajak, karena itu dijadikan tindak pidana pengaduan.72

      

71 Perda Nomor 3 Tahun 2011, Op.cit., Pasal 13 dan 15 72 Ibid, Pasal (1), (2), (3) dan (4)


(48)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

C. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan pembahasan pada bagian terdahulu, maka dapat ditarik kesimpulan yaitu sebagai berikut :

1. Dalam hal pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk Kota Medan sejak diterbitkannya Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Kelurahan dan Perkotaan, yang ditanda tangani oleh Walikota Medan pada tanggal 1 Januari 2012 sudah menjadi tanggungjawab dan urusan Pemerintah Daerah Kota Medan. Adapun yang menjadi dasar dan payung hukum dikeluarkannya Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2011 tersebut adalah :

a. Pasal 18 pada Bab VI UUD 1945 tentang Pemerintah Daerah.

b. Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan terhadap Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. c. Undang No. 12 Tahun 1998 tentang Perubahan

Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

d. Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan. 2. Kewajiban Pembyaran Pajak Bumi dan Bangunan dan Kelurahan dan


(49)

a. Wajib pajak, adalah orang pribadi atau badan yang memiliki kewajiban membayar Pajak Bumi dan Bangunan sesuai SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang) dan SPOP (Surat Pemberitahuan Objek Pajak)

b. Petugas Pemungut Pajak yaitu pejabat dan tenaga ahli yang ditunjuk didalam melaksanakan tugasnya berkewajiban mempraktekan asas yuridis dan kepastian hukum, asas keadilan dan kemanfaatan, sederhana dan tidak menggangu perekonomian, sehingga apabila wajib pajak beserta petugas pemungutan pajak dapat menyadari dan menjalankan kewajibannya masing-masing sesuai dengan peraturan perundangan-undangan, maka uang/pajak PBB tersebut akan mempunyai kontribusi terhadap permasukan (penerimaan) negara.

3. Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Kelurahan dan Perkotaan ditinjau dari hukum administrasi Negara adalah sangat positif, alasannya ialah:

a. Terciptanya ketertiban hukum dan keadilan yaitu dengan diterbitkannya Perda No. 3 Tahun 2011 sudah ada payung hukum dalam hal pajak PBB Kota Medan, kemudian pihaj wajib pajak maupun petugas pemungut pajak dapat diberi sanksi apabila tidak melakukan kewajibannya. Wajib pajak denda administrasi 2% juga dapat ditunjuk sebagai pemungut Pajak PBB disamping dapat diberi sanksi pidana penjara 2 (dua) tahun juga denda Rp. 4.000.000,- (empat juta) sampai dengan Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta)


(50)

b. Tercapainya suatu kemanfaatan yaitu dengan keluarnya Perda tersebut, maka berapapun pajak PBB yang dipungut akan berkontribusi terhadap pemasukan uang negara khususnya untuk Pemerintahan Kota Medan.

D. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas ditemukan beberapa saran yaitu sebagai berikut :

1. Dikarenakan Perda No. 3 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Kelurahan dan Perkotaan Pemerintah Kota Medan pada akhir tahun 2014 ini nantinya sudah berumur 3 (tiga) tahun maka, disarankan supaya ada penelitian lanjutan atau paling tidak skripsi mahasiswa untuk mengevaluasi Perda tersebut berjalan atau tidak sebagaimana mestinya dan berapa % (persen) kira-kira kontribusi Pajak Bumi dan Bangunan terhadap APBD Kora Medan.

2. Disarankan wajib pajak yaitu orang pribadi atau Badan maupun Pejabat dan tenaga ahli yang ditunjuk dapat lebih memahami dan sadar akan kewajiban masing-masing terutama apa yang telah diatur oleh Perda No. 3 Tahun 2011 tentang PBB tersebut, agar pajak tersebut dapat bermanfaat bagi masyarakat luas khususnya bagi masyarakat dan Pemerintah Kota Medan.

3. Agar pelaksanaan Perda Kota Medan No. 3 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Kelurahan dan Kota dapat lebih bermanfaat lagi pada masa-masa yang akan datang disarankan kepada masyarakat agar lebih aktif mengawasi pelaksanaannya. Karena sekalipun sudah diatur secara


(51)

jelas tugas masing-masing pihak beserta sanksi atas pelanggaran Perda tersebut, tetapi dalam kenyataannya masih banyak juga petugas pajak melakukan korupsi di Negara kita ini.


(52)

BANGUNAN KELURAHAN DAN PERKOTAAN

D. Pengertian Pemerintah Daerah

Pemerintahan adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat dan kepentingan negara.19 Dengan kata lain, pemerintahan adalah bestuurvoering atau pelaksanaan tugas pemerintah. Sedangkan Pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan perubahan dari pada Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan penyempurnaan dari undang-undang nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di daerah yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan penyelenggaraan otonomi daerah.

Pengertian Pemerintah daerah diatur dalam Bab I Pasal 1 (2) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 dan dirubah dengan Undang-Undang-Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah yang berbunyi Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

      


(53)

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945).20

Dalam Hukum Administrasi Negara, pemerintah daerah diberikan kekuasaan istimewa dalam menyelenggarakan bestuurszorgs/public service. Pandangan tersebut ada keterkaitan dengan maksud pembentukan pemerintahan daerah yang oleh undang-undang dimaksudkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Sehingga pembentukan pemerintahan daerah lebih menekankan pada kewajiban daripada hak, yaitu kewajiban untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang harus diterima dan dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Mengenai tujuan dari pembentukan pemerintah daerah dapat dilihat dari aspek pembagian tugas dan fungsi serta wewenang antara pemerintah pusat (untuk selanjutnya disebut pemerintah) dan pemerintah daerah.

Pemerintah daerah merupakan unsur utama dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dan berdasarkan inti dari Pasal 18 UUD 1945, pemerintahan daerah adalah merupakan sub sistem pemerintahan negara dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia21. Dengan demikian tujuan yang diemban oleh Pemerintah Daerah adalah sama dengan tujuan yang diemban oleh Pemerintah, yaitu mewujudkan cita-cita nasional sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam penyelenggaraan pemerintahanyang terlihat dari aspek-aspek manajemennya, terdapat pembagian tugas, fungsi dan wewenang antara pemerintah dengan pemerintah daerah

      

20Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 1 ayat (2) 21Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pasal 18


(54)

Pemerintah Daerah dibentuk untuk mencegah menumpuknya kekuasaan pada Pemerintah yang dapat menumbuhkan kediktatoran. Di lain pihak adanya pemerintah daerah juga sebagai upaya mencapai sistem penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien, serta mewujudkan sistem pemerintahan demokratis, yakni pemerintahan yang mengikutsertakan rakyat berpartisifasi aktif dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan. Dengan demikian Pemerintah Daerah dalam kerangka negara kesatuan merupakan bagian dari Pemerintah yang memperoleh kewenangan melalui peraturan perundang– undangan yang berlaku. Tanpa dasar wewenang tersebut aparat pemerintah di daerah tidak dapat melakukan tindakan hukum

Jika dicermati dari konsep otonomi daerah, wewenang yang ada pada Pemerintah Daerah untuk mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri adalah merupakan wewenang delegasi, dalam hal ini Philipus M. Hadjon menyatakan otonomi daerah pada dasarnya adalah wewenang delegasi. Secara teoritis dalam penyerahan wewenang oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dikenal sebagai sistem rumah tangga daerah. Sistem rumah tangga daerah adalah tatanan yang bersangkutan dengan cara-cara membagi wewenang, tugas dan tanggung jawab mengatur, mengurus urusan pemerintahan antara pusat dan daerah.22

Dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan untuk mengurus dan mengatur urusan rumah tangga sendiri pada umumnya didasarkan atas tiga asas yaitu, asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan asas tugas pembantuan H. Muchsin dan Fadillah Putra menyatakan, sesungguhnya desentralisasi adalah

      

22 Philipus Hadjon M. dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cetakan IX,


(55)

produk pemikiran yang didasari oleh keinginan untuk meminimalisasi fungsi, peran dan kekuasaan negara.23

Desentralisasi memiliki dua dimensi, yakni dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Pada dimensi vertikal, desentralisasi menghendaki adanya pemberian wewenang yang lebih pada organisasi (yang dimaksudkan disini adalah organisasi pemerintah) yang pada level lebih rendah, dan pada saat yang sama meminimalisasi wewenang pada organisasi pada level yang lebih tinggi. Sedangkan pada dimensi horizontal, desentralisasi menghendaki adanya pemberian wewenang lebih pada organisasi selain organisasi pemerintah dalam menangani permasalahan-permasalahan publik, dan pada saat yang sama mengurangi wewenang dari organisasi pemerintah dalam hal menangani persoalan-persoalan publik.

Pada pihak lain menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI.

Sedangkan dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Dan tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

      

23 Muchsin, dan Putra Fadillah, Hukum dan Kebijakan Publik, Malang: Averroes Press,


(56)

Ditinjau dari segi pemberian wewenang, asas desentralisasi adalah asas yang akan memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk menangani urusan-urusan tertentu sebagai urusan rumah tangganya sendiri. Salah satu hal penting dalam manajemen, pemerintah atau bukan pemerintah, adalah seberapa luas desentralisasi diterapkan pada struktur organisasi, atau sebaliknya.

Berdasarkan defenisi diatas bisa diinterpretasikan bahwa sistem sentralisasi itu adalah seluruh decition (keputusan/Kebijakan) dikeluarkan oleh pusat, daerah tinggal menunggu instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut undang - undang. Sentralisasi banyak digunakan pemerintah sebelum otonomi daerah. kelemahan system sentralisasi adalah dimana sebuah kebijakan dan keputusan pemerintah daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat sehingga waktu untuk memutuskan suatu hal menjadi lebih lama.

Dalam kaitan ini, perlu juga dijelaskan hubungan antara desentralisasi dengan sentralisasi. Adapun hubungan antara desentralisasi dengan sentralisasi dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Sentralisasi dan desentralisasi merupakan pasangan yang tidak dapat dipisahkan, saling berkaitan dan saling mempengaruhi.

2. Sentralisasi dan desentralisasi merupakan dua ujung dari sepotong garis. Dimana titik yang bergeser leluasa pada garis yang ditarik antara kedua ujung menunjukkan kadar sentralisasi atau desentralisasi. Bagaimana juga ekstrimnya sentralisasi pada suatu organisasi, titik kadar tidak akan berada tepat pada salah satu garis.


(1)

TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP

PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 3

TAHUN 2011 TENTANG PAJAK BUMI DAN

BANGUNAN KELURAHAN

DAN PERKOTAAN

Oleh

SAYID ANDI MAULANA NIM : 100200403

Disetujui Oleh

Departemen Hukum Administrasi Negara

SURIA NINGSIH, SH., M.Hum NIP. 196002141987032002

Pembimbing I Pembimbing II

Suria Ningsih, SH., M.Hum Hemat Tarigan, SH., M.Hum NIP. 196002141987032002 NIP. 195601211979031005

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ABSTRAK

TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 3 TAHUN

2011 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN KELURAHAN DAN PERKOTAAN

*Sayid Andi Maulana **Suria Ningsih, SH., M.Hum ***Hemat Tarigan, SH., M.Hum

Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986 berdasarkan UU No. 12 Tahun 1985. Kemudian UU ini diubah dengan UU No. 12 Tahun 1998 dan mulai berlaku terhitung 1 Januari 1995. Pajak Bumi dan Bangunan adalah penerimaan pajak pusat yang sebagian besar hasilnya diserahkan kepada Daerah, karena PBB termasuk jenis pajak yang penerimaannya dibagi-bagikan kepada daerah sebagai bagi hasil dana perimbangan (revenue sharing).

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana kewenangan, kewajiban dan tujuan hukum administrasi negara sesuai Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Kelurahan dan Perkotaan. Metode yang digunakan dalam penulisan ialah hukum normatif yang bersifat deskriptif berdasarkan penelitian pustaka (library research) yaitu memperoleh bahan-bahan dari buku dan berbagai literatur termasuk peraturan perundang-undangan.

Hasil dari skripsi ini bahwa kewenangan dalam kelurahan pengelolaan dan tanggungjawab Pajak Bumi dan Bangunan untuk Kota Medan sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah Kota Medan terhitung sejak 1 Januari 2012 setelah diterbitkannya Perda No. 3 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Kelurahan dan Perkotaan. Kewajiban membayar PBB oleh Perda tersebut adalah berdasarkan SPOP (Surat Pemberi Tahunan Objek Pajak) dan SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang), kemudian adapun tujuan hukum administrasi negara terhadap Perda Kota Medan No. 3 Tahun 2011 adalah sangat positif karena dengan keluarnya Perda tersebut menciptakan ketertiban hukum, kemanfaatan maupun keadilan baik terhadap masyarakat luas serta keluarga masyarakat wajib pajak dan petugas Pemungut Pajak Bumi dan Bangunan.

Kata Kunci : Peraturan Daerah (Perda), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) *Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Dosen Pembimbing I, Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara **Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum USU


(3)

KATA PENGANTAR

Tiada kegembiraan, seraya mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan Kelurahan Dan Perkotaan

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin, SH, MH, DFM selaku pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum selaku pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Suria Ningsih, SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara dan sekaligus Dosen Pembimbing I penulis yang telah memberikan saran dan petunjuk dalam pengerjaan skripsi ini.


(4)

6. Bapak Hemat Tarigan, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II Penulis yang telah memberikan pengarahan dalam proses pengerjaaan skripsi ini. 7. Seluruh staf dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 8. Seluruh pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah

memberikan pelayanan administrasi yang baik selama proses akademik penulis.

9. Keluarga Besar Ayahanda dan Ibunda, yang selalu memberikan dukungan baik secara moril maupun material sehingga terselesaikanya skripsi ini. 10. Teman-Teman stambuk 2010 yang telah mendukung dan memberikan

motivasi kepada penulis selama masa perkuliahan sampai selesainya penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekeliruan. Oleh karena itu penulis seraya minta maaf sekaligus sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi penyempurnaan dan kemanfaatannya

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada semua pihak dan semoga doa kritik dan saran yang telah diberikan mendapatkan balasan kebaikan berlipat dari Tuhan dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum di negara Republik Indonesia.

Medan, Oktober 2014 Hormat Saya


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN KELURAHAN DAN PERKOTAAN ... 16

A. Pengertian Pemerintah Daerah ... 16

B. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Perpajakan... 21

C. Subyek Pajak dan Obyek Pajak Bumi dan Bangunan ... 25

BAB III KEWAJIBAN PEMBAYARAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN KELURAHAN DAN PERKOTAAN ... 30

A. Asas – Asas dan Syarat – Syarat Pemungutan Pajak ... 30

B. Kewajiban Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Kelurahan dan Perkotaan ... 36


(6)

C. Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan Kelurahan dan

Perkotaan ... 38

BAB IV TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN KELURAHAN DAN PERKOTAAN ... 39

A. Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Kelurahan dan Perkotaan ... 39

B. Sistem Pengawasan Terhadap Suatu Peraturan Perundang- Undangan Khususnya Terhadap Peraturan Daerah (Perda) ... 53

C. Sanksi Terhadap Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan Kelurahan dan Perkotaan terhadap wajib Pajak Bumi dan Bangunan ... 66

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 73

A. Kesimpulan ... 73

B. Saran ... 75 DAFTAR PUSTAKA


Dokumen yang terkait

Prosedur Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2011 Ditinjau Dari Perspektif Hukum Administrasi Negara

0 9 87

Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Kelurahan Dan Perkotaan

0 0 7

Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Kelurahan Dan Perkotaan

0 0 1

Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Kelurahan Dan Perkotaan

0 0 15

Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Kelurahan Dan Perkotaan

0 0 14

Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Kelurahan Dan Perkotaan

0 0 4

Prosedur Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2011 Ditinjau Dari Perspektif Hukum Administrasi Negara

0 0 8

Prosedur Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2011 Ditinjau Dari Perspektif Hukum Administrasi Negara

0 0 1

Prosedur Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2011 Ditinjau Dari Perspektif Hukum Administrasi Negara

0 1 15

Prosedur Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2011 Ditinjau Dari Perspektif Hukum Administrasi Negara

0 2 21