pasar dan kenaikan volume transaksi seperti terlihat pada gambar 2.2 Sumber: Boediono, 2000.
Gambar 2.2 Pergeseran Kurva Penawaran
2.1.2 Kebijaksanaan Harga Beras
Kebijaksanaan harga merupakan instrumen pokok kebijaksanaan pangan yang sasarannya adalah:
1. Melindungi produsen dari kemerosotan harga pasar yang biasanya terjadi
pada musim panen. 2.
Melindungi konsumen dari kenaikan harga yang melebihi daya beli khususnya pada musim paceklik, serta
3. Mengendalikan inflasi melalui stabilisasi harga.
Q S
S
D P
Q S
S D
P
Kebijaksanaan harga mempunyai dua sisi yang menunjang bidang produksi dan sisi lain yang menyangkut bidang distribusi dan konsumsi. Kebijaksanaan harga
gabahberas di Indonesia pertama kali diajukan secara komprehensip dan operasional oleh Mears dan Afif 1969. Falsafah dasar kebijaksanaan tersebut berisikan
beberapa komponen sebagai berikut: 1.
Menjaga harga dasar yang cukup tinggi untuk merangsang produksi. 2.
Perlindungan harga beras tertinggi yang menjamin harga yang wajar bagi konsumen.
3. Perbedaan yang layak antara harga dasar dengan harga batas tertinggi untuk
memberikan keuntungan yang wajar bagi swasta untuk penyimpanan. 4.
Menjaga hubungan harga yang wajar antar daerah maupun terhadap harga internasional.
Untuk melindungi konsumen, pemerintah BULOG menetapkan harga eceran tertinggi lokal dan untuk melindungi produsen, BULOG menetapkan harga dasar
gabah terendah. Untuk memenuhi permintaan pada suatu saat dan pada suatu tempat, BULOG melakukan penyebaran persediaan di seluruh Indonesia. Orientasi BULOG
dalam distribusi pangan adalah harga, sesuai dengan tugas pokok BULOG untuk menstabilkan harga. Penanganan persediaan pangan oleh BULOG mempunyai tiga
tujuan yaitu menjaga variasi harga antar tahun, antar musim dan antar tempat. Dalam penetapan harga batas tertinggi selalu mempertimbangkan bagaimana
mengontrol laju inflasi dan pengaruhnya terhadap perdagangan antar tempat antar waktu tanpa mengenyampingkan tingkat harga yang layak bagi konsumen. Harga
batas tertinggi ditetapkan berdasarkan harga dasar ditambah dengan biaya-biaya pemasaran seperti biaya pengolahan, biaya penyimpanan dan biaya angkutan,
ditambah lagi dengan keuntungan yang wajar bagi pedagang. Berbeda dengan harga dasar gabah, yang ditetapkan sama untuk semua daerah,
harga batas tertinggi beras ditetapkan berbeda antar daerah surplus, swasembada dan defisit beras. Perbedaan harga batas tertinggi ini dimaksudkan agar dapat
merangsang aktivitas perdagangan beras antar daerah yang dilakukan oleh pihak swasta. Disamping itu pemerintah juga menerapkan harga khusus, untuk kelompok
sasaran yang selektif pada waktu dan tempat tertentu. Kebijaksanaan ini diterapkan untuk mengatasi kemungkinan timbulnya kekurangan pangan penduduk. Hal ini
dilakukan karena pemerintah menyadari sepenuhnya kekurangan pangan temporer maupun kekurangan pangan kronis dapat saja timbul pada waktu dan tempat tertentu.
Perbedaan harga pembelian antar daerah juga diterapkan pula terhadap harga pembelian pemerintah sejak beberapa tahun terakhir ini, walaupun hingga kini masih
dikenal dengan satu patokan harga dasar. Tujuan memberikan insentif harga yang lebih tinggi di daerah-daerah tertentu di luar Jawa dimaksudkan agar petani di daerah-
daerah terpencil memperoleh pendapatan yang lebih tinggi serta mendorong kenaikan produksi disamping menambah cadangan pangan setempat. Perbedaan harga tersebut
akan memperlebar perbedaan harga antar daerah, defisit dengan surplus ke daerah defisit yang dilakukan oleh pihak swasta Amang dan Silitonga, 1989.
Namun dalam pengimplementasiannya, kebijaksanaan harga dasar pembelian pemerintah HDPP kurang efektif dalam menjaga stabilisasi harga gabah. Hal ini
mungkin saja disebabkan masih kurangnya akurasi estimasi pemerintah dalam menentukan atau memperkirakan hal-hal yang berkaitan dengan penerapan harga
dasar tersebut. Masalah lainnya adalah dengan kondisi perekonomian global saat ini yang mendorong adanya kompetisi, harga beras di pasar dunia cenderung menurun
dan lebih murah dari harga beras dalam negeri. Hal ini yang menyebabkan harga gabah di tingkat petani pada saat panen tertekan. Walaupun telah ada kebijakan tarif
impor beras, ternyata hal ini tidak mengurangi masuknya arus impor. Jelas kondisi yang tidak menguntungkan petani tersebut merupakan kenyataan yang terus berulang
setiap tahunnya. Belum lagi permintaan beras melalui program “raskin” yang di beberapa daerah mendorong perubahan pola konsumsi pangan pokok yang semua
non-beras, turut pula menyebabkan makin bertambahnya permintaan beras secara nasional. Disinilah pemerintah dituntut untuk lebih bekerja secara ekstra guna
memecahkan permasalahan yang kian rumit.
2.1.3 Pengendalian Harga Beras Oleh BULOG