Simulation Impact of Land Redistribution on the Indonesian Economy

(1)

ADE HOLIS

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Dampak Simulasi Kebijakan Redistribusi Lahan terhadap Perekonomian Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2012

Ade Holis

NIM. H151080061


(3)

(4)

Economy. Under direction of DEDI BUDIMAN HAKIM and MUHAMMAD FIRDAUS.

This study aims to simulate the impact of the land redistribution policy to the Indonesian economy. A Computable General Equilibrium (CGE) and Microsimulation Model is developed and exersiced to analysis the impacts of land redistribution to income distribution, productions and poverty. Based on 2008 Indonesian Social Accounting Matrix (SAM) and National Socio-Economic Household Survey (SUSENAS) 2008 data set; the land redistribution simulation show that land redistribution have the potential of generating economic growth, poverty and income inequality reduction. Land redistribution expected to affect household income structur and subject to household consumption composition changes. This changes implicitly shows that there are some changes in demand of consumption goods which will be responded by firms by changing the composition of their output. The results suggest that land redistribution will raise Indonesian GDP growth. Furthermore, the changes in income structure of each household particularly improved the condition of poverty level and income distribution in Indonesia. It is shown by the decrease in three poverty indicators (i.e. headcount index, poverty gap ratio and severity index) and income distribution indicator which is in line with land redistribution policy.

Keywords: land redistribution, CGE, microsimulation, economic growth, poverty, income distribution.


(5)

(6)

Perekonomian Indonesia. Dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM dan MUHAMMAD FIRDAUS.

Keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia yang ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi ternyata masih menyisakan masalah sosial ekonomi yang harus mendapatkan perhatian serius, yaitu kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia menunjukan bahwa membaiknya kondisi perekonomian tidak disertai dengan pemerataan pendapatan yang ditandai dengan meningkatnya indeks gini selama periode 2002 sampai dengan 2010 (pada tahun 2002 nilai indeks gini sebesar 0.33 dan pada tahun 2010 nilai indeks gini sebesar 0.38) dan selama periode tersebut perekonomian tumbuh dengan rata-tata 5.3%. Fakta ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi selama ini masih menimbulkan adanya ketimpangan pendapatan diantara masyarakat.

Permasalahan lain yang dihadapi pemerintah Indonesia adalah adanya keragaman profil kemiskinan baik secara regional maupun spasial. Pulau-pulau di wilayah barat Indonesia seperti Sumatera, Jawa dan Kalimantan cenderung memiliki kondisi kemiskinan yang lebih baik dibanding pulau-pulau di wilayah timur seperti Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Pada tahun 2011, rata-rata tingkat kemiskinan di wilayah barat Indonesia adalah sebesar 11.22% sedangkan untuk wilayah timur adalah 17.79%. Tidak hanya secara regional, kesenjangan juga terjadi pada tingkat kemiskinan antara desa dan kota. Selama kurun waktu 1996-2011 tingkat kemiskinan di desa selalu lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan kota. Pada tahun 2011 tingkat kemiskinan kota adalah sebesar 9.23% sedangkan tingkat kemiskinan desa sebesar 15.72%. Perbedaan yang cukup signifikan antara wilayah barat dan timur serta antara desa dan kota menunjukkan bahwa pembanguna di Indonesia masih belum merata. Berdasarkan pengalaman di Negara lain, salah satu solusi potensial untuk mengatasi masalah kesenjangan pembangunan ekonomi adalah reforma agraria berupa redistribusi lahan.

Hasil studi literatur terkait kebijakan redistribusi lahan menunjukkan hasil yang berbeda-beda antara satu penelitian dengan penelitian yang lainnya. Beberapa literatur menunjukkan bahwa kebijakan reforma agraria berupa redistribusi lahan dapat menurunkan tingkat kemiskinan, meningkatkan pemerataan pendapatan, peningkatan pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan kenaikan dan penurunan output dari berbagai sektor ekonomi (Chitiga dan Mabugu 2008). Sementara itu, Bautista dan Thomas (1999) menunjukkan bahwa redistribusi lahan memberikan dampak bagi perekonomian berupa penurunan ekonomi secara agregat, penurunan ekspor dan impor, penurunan tingkat kemiskinan yang disertai dengan peningkatan pemerataan pendapatan. Adanya perbedaan hasil yang diperoleh dari beberapa literatur mendorong penulis untuk menganalisis dampak redistribusi lahan terhadap perekonomian secara makro dan sektoral serta distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan di Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pada penelitian ini dilakukan dua pendekatan


(7)

(SUSENAS) Indonesia tahun 2008. Data SNSE dan IO 2008 menjadi data dasar pengembangan model CGE sedangkan data SUSENAS digunakan sebagai bahan untuk melakukan analisis microsimulation.

Dalam penelitian ini kebijakan reforma agraria dianalisis melalui dua pendekatan simulasi yaitu kebijakan redistribusi kepemilikan lahan dan kebijakan redistribusi kepemilikan lahan yang disertai kenaikan produktivitas (teknologi) di sektor pertanian. Dengan menggunakan analisis CGE, hasil simulasi pertama menunjukkan bahwa kebijakan redistribusi lahan mampu meningkatkan PDB Indonesia dengan kisaran 0.45% dan kenaikan tingkat inflasi sebesar 0.30%. Selain itu kebijakan redistribusi lahan mengakibatkan beberapa sektor ekonomi mengalami peningkatan output dan disisi lain terdapat beberapa sektor yang mengalami penurunan output. Melalui pendekatan microsimulation, hasil simulasi pertama menunjukkan bahwa kebijakan reforma agraria mampu mengurangi tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Berdasarkan perhitungan indikator kemiskinan, redistribusi lahan mampu menurunkan tingkat kemiskinan dimana nilai head count index mengalami penurunan sebesar 1.85% sedangkan

poverty gap ratio dan severity of poverty masing-masing mengalami penurunan dengan nilai sebesar 0.64% dan 0.32%.

Hasil simulasi pertama juga menunjukkan bahwa kebijakan redistribusi lahan mampu memperbaiki kondisi kesenjangan pendapatan diantara kelompok rumah tangga, dimana terdapat kelompok rumah tangga yang mengalami peningkatan pendapatan dan disisi lain terdapat pula rumah tangga yang mengalami penurunan tingkat pendapatan. Hal ini dibuktikan dengan membaiknya indikator distribusi pendapatan yang ditunjukkan dengan menurunnya nilai koefisien gini dari angka 0.384 menjadi 0.377.

Tidak jauh berbeda dengan hasil simulasi pertama, simulasi kedua menunjukkan bahwa kebijakan reforma agria mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi tingkat kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan dengan besaran yang lebih tinggi dibanding hasil simulasi pertama. Perbedaan hasil yang diperoleh pada simulasi pertama dan kedua diakibatkan karena pada simulasi pertama kebijkan reforma agraria hanya mendorong sisi permintaan berupa kenaikan tingkat pendapatan masayarakat sedangkan pada simulasi kedua reforma agraria didorong baik dari sisi permintaan maupun penawaran berupa kenaikan produktivitas (teknologi) di sektor pertanian.

Kata Kunci: redistribusi lahan, CGE, microsimulation, pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, distribusi pendapatan.


(8)

ADE HOLIS

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(9)

(10)

NIM : H151080061

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec Ketua

Dr. Muhammad Firdaus, SP. M.Si Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(11)

(12)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS


(13)

(14)

Puji dan syukur segalanya milik Allah SWT, dan karena atas izin-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul Dampak Simulasi Kebijakan Redistribusi Lahan terhadap Perekonomian Indonesia. Banyak kendala yang penulis hadapi dalam menyelesaikan tesis ini, namun berkat bimbingan, dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, Alhamdulillah tesis ini dapat penulis selesaikan. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang didasari atas rasa hormat dan penghargaan kepada : Bapak Dr. Dedi Budiman Hakim selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Muhammad Firdaus selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan masukan dalam penyusunan tesis ini.

Selanjutnya, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada InterCAFE yang telah memberikan beasiswa selama menyelesaikan kuliah S2. Ungkapan terima kasih yang tak terkira penulis sampaikan kepada Anggi Utami Saputri (Istri Penulis) yang selalu sabar dan memberikan kekuatan luar biasa kepada penulis melalui doa dan kasih sayangnya sejak proses kuliah hingga penyelesaian tesis ini. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian tesis ini dan tidak mungkin disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa dalam menghasilkan karya ini masih banyak kekurangan. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun bagi penelitian di masa yang akan datang. Semoga hasil dari penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun semua pihak yang membutuhkan.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Bogor, Juni 2012


(15)

(16)

Penulis memiliki nama lengkap Ade Holis, lahir pada tanggal 13 Nopember 1982 di Ciamis Jawa barat. Penulis lahir sebagai sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Emuh Masruri (alm) dan Dedeh. Jenjang pendidikan penulis dimulai di Sekolah Dasar Negeri Madura kawali Ciamis pada tahun 1990. Lulus dari Sekolah Dasar penulis melanjutkan ke SLTPN 1 Kawali pada tahun1996. Tahun 1999 penulis melanjutkan pendidikannya di SMUN 1 Cisarua Bandung dan mendapat beasiswa penuh dari Yayasan Darmaloka Provinsi Jawa-barat.

Pada tahun 2002 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan terdaftar sebagai mahasiswa di Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP). Program studi ini kemudian berubah nama menjadi Departemen Ilmu Ekonomi pada tahun 2004. Selama mengikuti pendidikan di bangku kuliah, penulis aktif sebagai asisten dosen Mata Kuliah Teori Mikroekonomi 1 (2005-2007) serta terlibat sebagai pengurus dalam beberapa organisasi kemahasiswaan, seperti Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat FEM IPB, Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (HIPOTESA) dan Paguyuban Mahasiwa Galuh Ciamis.

Sejak tahun 2007, penulis bekerja sebagai staf peneliti di International Center for Applied Finance and Economics (InterCAFE) serta menjadi asisten dosen di Departemen Ilmu Ekonomi IPB untuk Mata Kulaih Teori Mikroekonomi 1, Teori Makroekonomi 1 dan Ekonometrika. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan studi di sekolah Pascasarjana IPB dengan mayor Ilmu Ekonomi.

Selama mengikuti program S2, penulis banyak melakukan penelitian serta membuat beberapa tulisan Ilmiah . Sebuah artikel dengan judul Consumer Price Index for the Poor (CPI-P): An Empirical Analysis of Indonesia yang ditulis bersama dengan beberapa peneliti lain telah diterbitkan di International Research Journal of Finance and Economics pada tahun 2010. Artikel lain yang berjudul

The Impact of Inflation on Rural Poverty in Indonesia: an Econometrics Approach telah diterbitkan pada jurnal dan tahun yang sama.


(17)

(18)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Selama beberapa periode terakhir Indonesia merupakan salah satu negara dengan perkembangan ekonomi yang mengesankan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III-2011 mencapai 2.56 % dibanding triwulan II-2011 (q-to-q)dan apabila dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun 2010 mengalami pertumbuhan 6.54 % (y-o-y) (BPS 2011). Hal tersebut menunjukan bahwa perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan luar biasa, terutama ketika negara-negara lain mengalami perlambatan ekonomi akibat adanya krisis ekonomi global.

Namun, keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia yang ditandai dengan meningkatknya pertumbuhan ekonomi, ternyata masih menyisakan masalah sosial ekonomi yang harus mendapatkan perhatian serius yaitu kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan pada dasarnya diharapkan mampu mengurangi kesenjangan pendapatan masyarakat dan angka kemiskinan melalui penyerapan angkatan kerja dan peningkatan daya beli masyarakat. Hal tersebut terkait dengan kualitas dari pertumbuhan ekonomi itu sendiri.

Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas hendaknya diikuti dengan penurunan tingkat kemiskinan, penurunan tingkat pengangguran, serta tercapainya stabilitas makro yang lain. Meskipun data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia menunjukan tingkat kemiskinan menurun setiap tahun, namun kualitas pertumbuhan ekonomi belum mencerminkan kebijakan pemerintah yang optimal. Jika dibandingkan dengan Negara-negara yang ada di kawasan ASEAN, tingkat kemiskinan di Indonesia cukup jauh tertinggal terutama jika dibandingkan dengan Malaysia. Berdasarkan data yang ada, tingkat kemiskinan di Indonesia hanya lebih rendah jika dibandingkan dengan Negara Laos.


(19)

Tabel 1 Perbandingan tingkat kemiskinan beberapa negara anggota ASEAN tahun 2006-2011 (%)

Negara 2011 2010 2009 2008 2007 2006

Indonesia 12.49 13.33 14.2 15.4 16.6 17.8

Lao PDR 27.6

Malaysia 3.8 3.6

Thailand 8.1 9 8.5 9.6

Vietnam 14.5 16

Sumber : World Bank (2012)

Selain itu, distribusi pendapatan secara nasional berdasarkan ukuran indeks Gini menunjukkan adanya ketimpangan (Gambar 1), dengan kata lain bahwa distribusi pendapatan nasional bersifat tidak merata. Membaiknya kondisi perekonomian dengan pertumbuhan yang lebih tinggi tidak dibarengi dengan percepatan penurunan nilai indeks Gini secara signifikan. Indeks Gini berfluktuasi dengan kecenderungan yang semakin meningkat. Jika dibandingkan antara pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketimpangan, pada periode ketika terjadi pertumbuhan ekonomi yang positif (misalnya saja tahun 2004-2005), yang terjadi adalah penurunan angka kemiskinan tetapi indeks Gini justru mengalami peningkatan. Fakta ini menunjukkan bahwa disatu sisi pertumbuhan ekonomi bisa mengurangi kemiskinan tetapi disisi lain mengakibatkan meningkatnya ketimpangan diantara masyarakat.

Sumber : diolah dari BPS 2012

Gambar 1 Profil pertumbuhan ekonomi ketimpangan dan kemiskinan di Indonesia tahun 2002-2011.

1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 10.00 20.00 30.00 40.00

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

K oe fi si e n G ini (%) Ti ng ka t K e m is ki nan (% )

Koefisien Gini Tingkat Kemiskinan Pertumbuhan Ekonomi

P e rt um buhan E ko nom i (% )


(20)

Tabel 2 menunjukkan bahwa ketimpangan distribusi pendapatan yang terjadi antar kelompok masyarakat. Menurut tabel tersebut, kelompok rumah tangga buruh pertanian dan pengusaha pertanian dengan kepemilikan tanah kurang dari 0.5 ha memiliki rata-rata tingkat pendapatan per rumah tangga masing-masing Rp 23 990 000.00 dan Rp 34 680 000.00 yang merupakan kelompok dengan rata-rata pendapatan per rumah tangga terkecil. Adapun rumah tangga lain selain kedua kelompok rumah tangga tersebut, memiliki rata-rata pendapatan per rumah tangga yang berkali lipat dibandingkan kelompok buruh tani, bahkan jika dibandingkan dengan kelompok rumah tangga perkotaan golongan atas, maka pendapatan buruh tani hanya sepertujuh dari pendapatan kelompok rumah tangga tersebut.

Tabel 2 Distribusi pendapatan antar kelompok rumah tangga di Indonesia tahun 2008

Kategori Rumah Tangga Jumlah Rumah tangga

Jumlah Pendapatan Kelompok Rumah Tangga (Milyar Rp)

Rata-rata pendapatan per Rumah tangga

(Ribu Rp) Buruh pertanian 7 367 966 176 757 23 990

Pengusaha pertanian memiliki tanah 0.000 ha – 0.500 ha

9 952 671 345 205 34 685

Pengusaha pertanian memiliki tanah 0.500 ha -1.000 ha

3 597 504 195 049 54 218

Pengusaha pertanian memiliki tanah 1.000 ha lebih

2 470 540 191 309 77 436

Rumah tangga golongan rendah pedesaan

9 122 381 494 234 54 178

Bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas pedesaan

3 306 788 173 152 52 363

Rumah tangga golongan atas pedesaan 3 922 657 468 455 119 423

Rumah tangga golongan rendah perkotaan

9 360 179 710 495 75 906

Bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas perkotaan

3 591 039 243 905 67 921

Rumah tangga golongan atas perkotaan 5 024 376 827 883 164 773

Total 57 716 100 3 826 445 66 298

Sumber : diolah dari SNSE 2008

Permasalahan lain yang dihadapi pemerintah Indonesia adalah adanya keragaman profil kemiskinan secara regional (Gambar 2). Pulau-pulau di wilayah barat Indonesia seperti Sumatera, Jawa dan Kalimantan cenderung memiliki kondisi yang lebih baik dibanding pulau-pulau di wilayah timur seperti Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Pada tahun 2011, tingkat kemiskinan secara


(21)

nasional adalah sebesar 12.49% dengan rata-rata tingkat kemiskinan di wilayah barat Indonesia sebesar 11.22% sedangkan untuk wilayah timur adalah 17.79%. Perbedaan yang cukup signifikan antara wilayah barat dan timur Indonesia menunjukkan bahwa pembangunan di Indonesia masih belum merata dalam hal pemberantasan tingkat kemiskinan.

Sumber : BPS (2012)

Gambar 2 Profil kemiskinan regional di Indonesia tahun 2011.

Tidak hanya secara regional, kesenjangan juga terjadi pada tingkat kemiskinan antara desa dan kota (Gambar 3). Gambar 3 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat kemiskinan antara kelompok masyarakat perdesaan dengan kelompok masyarakat perkotaan. Selama kurun waktu 1996-2010 tingkat kemiskinan di desa selalu lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan kota.

Sumber : BPS (2012)

Gambar 3 Perbandingan tingkat kemiskinan desa-kota di Indonesia tahun 1996-2011. 0 5 10 15 20 25 30 35 0 200 400 600 800 1000 N an gr oe Ac eh … Su mat er a U tar a Su mat er a B ar at Ri au Jam b i Su mat er a Se lat an B en g k u lu Lamp u n g B an g k a B el it u n g Kep u lau an Ri au D KI Jak ar ta Jaw a B ar a t Jaw a T en g ah D I Y o g y ak ar ta Jaw a T imu r B an

ten Bal

i N u sa T en g g ar a B ar at N u sa T en g g ar a T imu r Kal iman tan B ar at Kal iman tan T en g ah Kal iman tan s el at an Kal iman tan T imu r Su law es i Ut ar a Su law es i T en g ah Su law es i Se lat an Su law es i T en g g ar a G o ro n tal o Su law es i B ar at M al u k u M al u k u Uta ra Pa p u a B ar at Pa p u a

Jumlah Penduduk Miskin (000) Persentase Penduduk Miskin (%)

Jum lah P e nd ud uk P e rse nt as e P e nd ud uk i sk in (%) 0 10 20 30 19 96 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 20 06 20 07 20 08 20 09 20 10 20 11

Perkembangan Tingkat Kemiskinan Desa-Kota

Kota Desa


(22)

Adanya ketidakmerataan pembangunan dan kesenjangan ekonomi selama ini, menjadi suatu pekerjaan rumah bagi pemerintah yang sulit untuk dipecahkan. Sebagian kalangan menganggap bahwa faktor yang menjadi biang keladi dari fenomena ketidakseimbangan pembangunan antarwilayah (unbalanced growth) dan ketidak merataan distribusi pendapatan adalah tidak tersedianya lapangan pekerjaan di pedesaan. Hal ini disebabkan karena para petani kecil dan buruh tani tidak memiliki faktor produksi berupa lahan yang menjadi faktor produksi utama di sektor pertanian. Kondisi ini dapat dilihat dari adanya ketimpangan struktur kepemilikan lahan dari tahun 1963-2003 seperti ditunjukkan pada Gambar 4.

Sumber : Sensus Pertanian, dalam Bachriadi dan Wiradi (2011)

Gambar 4 Perkembangan struktur kepemilikan lahan di Indonesia 1963-2003.

Gambar 4 menunjukkan dinamika perubahan dalam kelompok petani pengguna lahan berdasarkan kategori luas lahan yang dimilikinya. Selama periode 1963-2003 jumlah rumah tangga petani yang memiliki tanah kurang dari 0.5 ha adalah sekitar 44%-51% dari total petani. Hal ini menunjukkan bahwa hampir setengah dari total populasi petani di Indonesia hanya memiliki lahan yang luasnya kurang dari setengah ha. Adapun luas lahan yang dimiliki oleh separuh dari rumah tangga pertanian itu hanya sekitar 11%-13%. Disisi lain, jumlah rumah tangga petani yang memiliki luas lahan pertanian diatas 5 ha adalah sekitar

2%-0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% % ∑ Rumah tangga petani % ∑ tanah yang dikuasai % ∑ Rumah tangga petani % ∑ tanah yang dikuasai % ∑ Rumah tangga petani % ∑ tanah yang dikuasai % ∑ Rumah tangga petani % ∑ tanah yang dikuasai % ∑ Rumah tangga petani % ∑ tanah yang dikuasai

1963 1973 1983 1993 2003

44 11 46 12 45 11 49 13 51 13 45 40 43 41 42 40 39 42 36 38 9 25 9 27 11 31 11 34 11 35 3 24 2 21 2 19 1

12 2 14


(23)

3% dari total petani dengan jumlah lahan yang dikuasai adalah sekitar 12%-24% (yang notabane nilainya lebih besar dibandingkan dengan luas lahan yang dimilki oleh hampir setengan populasi petani). Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika ketimpangan pemilikan lahan ini dianggap sebagai salah satu faktor penyebab ketimpangan pendapatan dan kesenjangan pembangunan ekonomi. Salah satu solusi potensial untuk mengatasi masalah kesenjangan pembangunan ekonomi adalah reforma agraria. Dalam arti sempit, reforma agraria adalah penataan ulang struktur penguasaan dan pemilikan lahan dan merupakan bagian pokok dalam konsep reforma agraria.

Strategi reforma agraria sebagai solusi pengurangan tingkat kemiskinan sudah banyak dilakukan oleh negara lain, seperti India, Zimbabwe, Mozambik dan Ghana. Hasil penelitian di India membuktikan bahwa reforma agraria berkaitan erat dengan pengurangan tingkat kemiskinan melalui dua tipe reformasi lahan, yaitu reformasi sistem penyewaan lahan dan penghapusan perantara (broker) lahan. Selain itu, reforma agraria juga memberi keuntungan bagi masyarakat yang tidak memiliki tanah dengan meningkatkan upah sektor pertanian dan pada akhirnya mengurangi tingkat kemiskinan (Besley & Burgess 1998).

Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini dilakukan untuk meneliti secara kuantitatif mengenai efek yang dapat ditimbulkan dari adanya kebijakan reforma agraria berupa redistribusi lahan terhadap tingkat kemiskinan dan distribusi pendapatan dan perekonomian secara sektoral dan makro di Indonesia.

1.2. Perumusan Masalah

Sesuai dengan pembahasan pada bagian sebelumnya, dimana berdasarkan literatur serta pengalaman proses perkembangan ekonomi negara-negara lain, reforma agraria dianggap sebagai suatu solusi untuk mengatasi permasalahan sosial seperti kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan. Banyak negara yang berhasil menerapkan reforma agraria sebagai jalan keluar bagi negaranya untuk melakukan sebuah proses modernisasi dan pembangunan dalam rangka


(24)

mengatasi permasalahan-permasalahan sosial yang dihadapinya. Namun dalam kenyataannya, pelaksanaan proses reforma agraria di beberapa negara tidak semudah dan semulus seperti apa yang ada didalam teori dan literatur. Oleh karena itu, pelaksanaan proses reforma agraria menjadi sebuah objek yang menimbulkan pro kontra dari berbagai pihak terkait adanya konflik berbagai kepentingan.

Berdasarkan literatur yang ada, pelaksanaan reforma agraria beberapa negara di belahan dunia menghasilkan dampak yang berbeda satu sama lainnya. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan sistem pemerintahan yang dianut Negara tersebut serta proses pelaksanaan reforma agraria yang bebeda pula. Beberapa literatur menunjukkan bahwa reforma agraria berupa redistribusi kepemilikan lahan dapat menurunkan tingkat kemiskinan, meningkatkan pemerataan pendapatan, peningkatan pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan kenaikan dan penurunan output dari berbagai sektor ekonomi (Chitiga & Mabugu 2008). Sementara itu, Bautista dan Thomas (1999) menunjukkan bahwa Reforma Agraria memberikan dampak bagi perekonomian berupa penurunan ekonomi secara agregat, penurunan ekspor dan impor, penurunan tingkat kemiskinan yang disertai dengan peningkatan pemerataan pendapatan.

Hasil-hasil penelitian sebelumnya secara konsisten menunjukkan bahwa kebijakan reforma agraria mampu memperbaiki kondisi kemiskinan dan masalah distribusi pendapatan. Pada dasarnya, reforma agraria mencoba untuk mengalihkan kepemilikan lahan dari kelompok rumah tangga yang memiliki lahan diatas batas maksimal yang ditetapkan undang-undang (dalam hal ini kelompok masyarakat tersebut masuk ke dalam kelompok masyarakat kaya) kepada para buruh tani dan petani dengan kepemilikan lahan kecil(yang menjadi kelompok terbesar penyumbang kemiskinan di Indonesia). Dengan adanya redistribusi kepemilikan lahan kepada para buruh tani dan petani dengan kepemilikan lahan kecil, maka kedua kelompok masyarakat ini akan memperoleh pendapatan tambahan dari sewa lahan yang sebelumnya dinikmati oleh kelompok masyarakat kaya. Secara tidak langsung, redistribusi kepemilikan lahan mengakibatkan redistribusi pendapatan dari kelompok masyarakat kaya kepada kelompok


(25)

masyarakat miskin, dalam artian, kelompok masyarakat kaya akan kehilangan sebagian pendapatan yang berasal dari sewa kepemilikan lahan yang kemudian dialihkan kepada kelompok masyarakat buruh tani dan petani dengan kepemilikan lahan kecil. Pada akhirnya, kenaikan pendapatan yang terjadi pada kelompok buruh tani dan petani dengan kepemilikan lahan kecilakan mendorong kedua kelompok masyarakat ini keluar dari belenggu kemiskinan.

Dampak kebijkaan redistribusi lahan terhadap perekonomian secara makro dan sektoral memiliki hasil yang berbeda-beda antara satu penelitian dengan yang lainnya. Perubahan pendapatan masyarakat yang terjadi akibat redistribusi lahanakan merubah komposisi barang dan jasa yang dikonsumsi. Barang-barang yang banyak dikonsumsi oleh kelompok masyarakat yang mengalami kenaikan pendapatan akan mengalami kenaikan permintaan, sedangkan barang-barang yang banyak dikonsumsi oleh kelompok masyarakat yang mengalami penurunan pendapatan akan mengalami kondisi penurunan permintaan. Perubahan pola konsumsi dan komposisi permintaan ini selanjutnya akan mengakibatkan perubahan pada komposisi produksi dari setiap sektor yang ada dalam perekonomian. Jika total kenaikan dari sektor-sektor yang mengalami kenaikan output lebih besar dibandingkan dengan penurunan dari semua sektor-sektor yang mengalami penurunan output maka secara agregat output nasional (produk domestik bruto/PDB) akan mengalami peningkatan, dan sebaliknya jika total penurunan dari semua sektor yang mengalami penurunan lebih besar dibandingkan peningkatan output dari sektor yang lain maka output nasional akan mengalami penurunan.

Sampai sejauh ini, pelaksanaan proses reforma agraria di Indonesia telah mengalami pasang surut. Mandegnya proses reforma agraria di Indonesia selama ini tidak terlepas dari dinamika politik, masalah legalitas tanah, tumpang tindih peraturan mengenai pertanahan, ketersediaan data base kepemilikikan tanah yang terbatas, serta berbagai masalah lain yang menjadi penghambat bagi terlaksananya proses reforma agraria (Wiradi 2009). Terlepas dari semua permasalahan yang ada, penelitian ini mencoba untuk melakukan sebuah simulasi kebijakan reforma agraria berupa penerapan redistribusi lahan serta mengalisis dampak dari


(26)

kebijakan tersebut bagi perekonomian Indonesia. Sebuah pertanyaan besar yang

menjadi pemicu penulis untuk melakukan penelitian ini adalah : ”Siapakah yang

akan menikmati dampak dari kebijakan redistribusi lahan dan seberapa besar nilai korbanan yang akan terjadi jika redistribusi lahan dilaksanakan?” Namun demikian, penelitian ini hanya menjawab sebagian kecil dari pertanyaan tersebut terkait dengan keterbatasan data dan penyederhanaan-penyederhanan asumsi yang ditetapkan dalam model analisis.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang ada, maka penelitian ini memiliki tujuan :

1. Menganalisis dampak pelaksanaan redistribusi lahan terhadap perekonomian secara sektoral di Indonesia.

2. Menganalisis dampak pelaksanaan redistribusi lahan terhadap makro ekonomidi Indonesia

3. Menganalisis dampak pelaksanaan redistribusi lahan terhadap distribusi pendapatan di Indonesia.

4. Menganalisis dampak pelaksanaan redistribusi lahan terhadap kemiskinan di Indonesia.

1.4. Manfaat Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan tujuan dari penelitian ini, maka diharapkan output dan bahasan yang dilakukan dalam penelitian ini dapat memberikan suatu khasanah baru terkait dampak diterapkannya kebijakan redistribusi lahan di Indonesia. Adapun informasi akhir yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Gambaran dampak perubahan perekonomian secara makro dan sektoral, jika pemerintah menerapkan kebijakan redistribusi lahan. 2. Gambaran dampak perubahan tingkat kemiskinan dan distribusi


(27)

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Bagi bangsa Indonesia, reforma agraria bukan kebijakan baru. Kebijakan reforma agraria di Indonesia pertama kali dicetuskan bersamaan dengan kebijakan serupa di Taiwan. Namun ketika Taiwan terus melesat dengan industrialisasinya, reforma agraria di Indonesia malah mandeg, sebab kebijakan reforma agraria ini mengalami banyak rintangan di tengah jalan.

Reforma agraria bukanlah program yang ringan untuk dilaksanakan. Cakupan dan dampak dari program ini berdimensi sangat luas bagi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Oleh karenanya gerakan ini menuntut keterlibatan penuh seluruh komponen bangsa. Selain itu pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa gerakan reforma agraria ini juga harus dilaksanakan dengan sepenuh hati, pikiran, dan sumberdaya, sehingga reforma agraria mampu memberikan ruang gerak agar terjadi dinamika sosial yang positif bagi masyarakat.

Seiring dengan kompleksitas dan luasnya cakupan mengenai gerakan reforma agararia, maka penelitian ini hanya membatasi bahasannya mengenai analisis dampak yang dapat ditimbulkan oleh kebijakan redistribusi lahan, dilihat dari sisi ekonomi, tingkat kemiskinan serta distribusi pendapatan yang terjadi. Dalam penelitian ini, penulis mengabaikan hal-hal yang terkait teknis serta berbagai benturan kebijakan serta kepentingan yang menjadi penghambat dan permasalahan bagi terlaksananya reforma agraria. Analisis yang dilakukan juga tidak memperhitungkan kemungkinan terjadinya instabilitas politik dan keamanan yang dapat ditimbulkan dari pelaksanaan kebijkan redistribusi lahan.


(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Reforma Agraria

Menurut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, reforma agraria (pembaruan agraria) didefinisikan sebagai suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan kata lain, reforma agraria adalah proses redistribusi kepemilikan lahan diantara kelompok masyarakat guna mencapai penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat.

Sementara itu, Wiradi (2009) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan reforma agararia adalah penataan kembali (atau pembaruan) struktur pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah/wilayah, demi kepentingan petani kecil, penyekap dan buruh tani tak bertanah. Selanjutnya Wiradi membedakan antara konsep reforma agraria dan landreform. Istilah landreform dipakai untuk merujuk pada program-program sekitar redistribusi tanah dalam rangka menata ulang struktur kepemilikan tanah yang timpang menjadi lebih adil. Adapun istilah reforma agararia mengacu pada pengertian lebih luas dan komprehensif, karena mencakup juga berbagai program pendukung yang dapat mempengaruhi kinerja sektor pertanian pasca redistribusi tanah.

2.2. Sejarah Reforma Agraria Dunia

Tonggak pertama reforma agraria dimulai dari Yunani Kuno, Romawi Kuno, Inggris, Prancis, hingga Rusia. Pada masa itu kaum bangsawan dengan fasilitas yang dimilikinya pada umumnya menguasai lahan-lahan pertanian yang luas. Untuk mencegah pemberontakan rakyat terutama petani-petani yang tidak mempunyai lahan atau mempunyai lahan tetapi sempit maka kaisar mengeluarkan


(29)

titah tentang pembagian kembali lahan-lahan pertanian kepada petani. Dalam perkembangannya, reforma agraria mengalami perkembangan dan perubahan dimana ada negara yang berhasil dan membawa perubahan dalam perkembangan pembangunan di negaranya namun ada pula yang gagal (Wiradi 2000).

Gerakan reforma agraria besar-besaran yang terjadi pertama kali pada jaman modern yaitu pada saat terjadinya Revolusi Perancis (1789). Revolusi Perancis mendasari dua hal yang menjadi tujuan pembaharuan dalam hal reforma

agraria, yaitu membebaskan petani dari ikatan “tuan-budak” (serfdom) dari sistem feodal dan melembagakan usaha tani keluarga yang kecil-kecil sebagai satuan pertanian yang dianggap ideal.

Gagasan ideal reforma agraria di Perancis ini membawa pengaruh luas keseluruh Eropa, terutama Eropa Barat dan Utara. Bulgaria merupakan contoh negara yang telah lebih dahulu melakukan pembaharuan agraria yang lebih komprehensif, dimana reforma agraria tidak hanya berupa redistribusi lahan, tetapi juga mencakup program-program penunjangnya secara terpadu seperti koperasi kredit, tabungan terpusat untuk kepentingan pengolahan, pabrik kalengan dan juga pembinaan usaha tani intensif. Setelah itu, reforma agraria diadopsi oleh banyak Negara untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial yang terjadi di negaranya, termasuk Indonesia.

2.3. Kondisi Reforma Agraria di Indonesia

Berdasarkan catatan sejarah pertanahan nasional, pelaksanaan proses reforma agraria di Indonesia telah mengalami pasang surut. Tonggak penting dalam hukum nasional Indonesia yang menyangkut program reforma agraria adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang: Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (disingkat UUPA) yang mengatur mengenai ketentuan-ketentuan

landreform, seperti ketentuan-ketentuan mengenai luas maksimum-minimum hak milik atas tanah (pasal 7 dan 17 ayat (1) UUPA) dan pembagian tanah kepada petani tak bertanah (Pasal 17 ayat (3) UUPA). Pelaksanaan program landreform

tersebut hanya berjalan intensif dari tahun 1961 sampai 1965. Secara akumulatif dari tahun 1960 sampai 2000, tercatat bahwa distribusi lahan telah berhasil dilakukan dalam konteks landreform seluas 850ribu ha dengan jumlah rumah


(30)

tangga tani yang menerima sebanyak 1292851 keluarga dimana rata-rata per keluarga menerima 0.66 ha (Wiradi 2009).

Saat program landform tersebut diluncurkan, kondisi politik di Indonesia

sedang labil. Pada masa itu dikenal pendekatan “politik sebagai panglima”,

dimana tiap kebijakan pemerintah dimaknai dalam konteks politik. Partai Komunis Indonesia (PKI) kemudian menjadikan landform sebagai alat yang ampuh untuk menarik simpatisan. Landform diklaim sebagai alat perjuangan partai mereka, dengan menjanjikan tanah sebagai faktor penarik untuk perekrutan anggota. Pola ini berhasil membuat PKI cepat disenangi oleh masyarakat terutama di Jawa yang petaninya sudah merasakan kekurangan tanah garapan. Namun bagi petani bertanah luas, landreform merupakan ancaman bagi mereka baik secara politik maupun ekonomi. Ada kekhawatiran diantara petani bertanah luas terhadap akan menurunnya luas penguasaan tanah mereka yang akhirnya berimplikasi kepada penurunan pendapatan keluarga dan kesejahteraan.

Program landform hanya berjalan intensif dari tahun 1961 sampai 1965. Namun demikian, pemerintahan Orde Baru yang berkuasa pada masa berikutnya mengklaim bahwa landreform tetap dilaksanakan meskipun secara terbatas. Selama era pemerintahan Orde Baru, untuk menghindari kerawanan sosial politik yang besar, maka landreform diimplementasikan dengan bentuk yang sangat berbeda. Peningkatan akses petani terhadap tanah dilakukan melalui kebijakan transmigrasi. Program ini kemudian dibarengi dengan program pengembangan Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Luas tanah yang diberikan kepada transmigran dan petani plasma mengikuti ketentuan batas minimum penguasaan yaitu 2 ha lahan garapan per keluarga. Sebagian kalangan menganggap bahwa selama masa orde baru, kegiatan reforma agraria mengalami mati suri dan terjadi pembelokan makna dari reforma agraria itu sendiri.

Pada masa reformasi, pemerintah berupaya untuk menggiatkan kembali

landreform dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 1999 Tentang Tim Pengkajian Kebijaksanaan dan Peraturan Perundang-undangan dalam Rangka Pelaksanaan Landreform yang ditandatangani oleh Presiden BJ Habibie. Tim landreform ini mempunyai tugas yaitu:


(31)

a)melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan dibidang pertanahan; b) melakukan pengkajian dan penelaahan terhadap pelaksanaan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan landreform; c) menyusun dan merumuskan kebijaksanaan dan rancangan peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk terlaksananya landreform. Sebelum Kepres ini terlaksana, pimpinan pemerintahan Indonesia telah mengalami perubahan sehingga Kepres ini berhenti di tengah jalan.

Pasca pergantian pemerintahan dari Presiden B.J. Habibie ke Presiden Abdurachman Wahid, terdapat suatu peristiwa yang cukup menggemparkan. Presiden Abdurachman Wahid pernah menyatakan bahwa 40% dari tanah-tanah perkebunan perlu diredistribusikan kepada rakyat. Namun pernyataan ini hanya sebuah wacana tanpa diikuti oleh adanya penetapan suatu aturan yang legal.

Selama masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, terdapat beberapa hal yang perlu dicatat terkait pelaksanaan reforma agraria. Pada awal masa pemerintahan-nya, MPR-RI mengeluarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor : IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pada dasarnya TAP MPR-RI Nomor

IX/MPR/2001 merupakan semacam “perintah”, baik kepada Presiden maupun

DPR, agar mengambil langkah tindak lanjut terhadap kegiatan pembaruan agraria. Karena sampai dengan tahun 2003 ternyata tidak ada tanggapan konkret baik dari DPR maupun Presiden, maka Komnas HAM bersama sejumlah LSM dan organisasi tani menyampaikan usulan kepada Presiden untuk membentuk Komite Nasional Untuk Penanggulangan Konflik Agraria (KNUPKA). Namun demikian, sebelum konsep ini direalisasikan, prosesnya berhenti di tengah jalan seiring terjadinya pergantian tampuk pimpinan pemerintahan Indonesia.

Hal lain yang perlu dicatat selama pemerintahan Megawati adalah pada saat menjelang akhir masa jabatan-nya, Presiden Megawati mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003 yang isinya memberi mandat kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk melakukan


(32)

sempat disusun RUU agraria, namun proses ini berhenti setelah terjadinya perubahan pimpinan dalam tubuh BPN.

Semangat pembaruan agraria kembali muncul setelah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Muhammad Jusuf Kalla (JK) terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia melalui pemilihan langsung. Dalam janji kampanye-nya dan visi misinya, SBY dan JK menetapkan reforma agraria sebagai salah satu program kerja andalan pemerintahannya. Namun setelah terpilih, pelaksanaan reforma agraria mengalami proses yang tersendat-sendat.

Pada tahun 2006, melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006, Presiden melakukan penataan ulang terhadap kelembagaan BPN dan menyatakan bahwa pelaksanaan landreform merupakan salah satu tugas pokok dan fungsi BPN. Pada tahun yang sama, BPN dibawah kepemimpinan Dr. Joyowinoto mengeluarkan sebuah Program Pembaruan Agraria Nasional (yang lebih dikenal dengan PPAN) namun secara legal program ini belum disertai dengan payung hukum yang kuat.

Angin segar kembali muncul setelah Presiden Republik Indonesia dalam Pidato Politik Awal Tahun 2007 (pada tanggal 31 Januari 2007) menyatakan secara tegas arah kebijakannya mengenai program Reforma Agraria yakni:

“Program Reforma Agraria … secara bertahap … akan dilaksanakan mulai tahun 2007 ini. Langkah itu dilakukan dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat termiskin yang berasal dari hutan konversi dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan kita boleh diperuntukkan bagi kepentingan rakyat. Inilah yang saya sebut sebagai prinsip Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat … [yang] saya anggap mutlak untuk dilakukan”.

Seiring dengan pernyataan Presiden tersebut, kepala BPN dalam orasi ilmiahnya pada tanggal 1 September 2007 menyatakan bahwa untuk memastikan proses reforma agraria dapat berjalan secara baik, Pemerintah merencanakan akan mengalokasikan 9.25 juta hektar tanah yang berasal dari berbagai sumber, termasuk di dalamnya tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee yang telah


(33)

ditetapkan berdasarkan undang-undang tetapi masih belum diredistribusikan, tanah-tanah negara yang haknya telah berakhir, tanah-tanah negara yang pemanfaatan dan penggunaannya tidak sesuai dengan surat keputusan pemberian haknya, tanah-tanah yang secara fisik dan secara hukum telantar, tanah bekas kawasan kehutanan, dan jenis-jenis tanah lainnya yang telah diatur oleh undang-undang. Namun demikian, sampai saat ini penulis belum mendengar mengenai implementasi dari reforma agraria sesuai dengan apa yang telah diamanatkan Undang-undang dan peraturan lain yang telah ada.

2.4. Best Practices Kebijakan Reforma Agraria

Sejarah panjang reforma agraria di dunia telah memberikan banyak

pelajaran dan suatu “cermin” bagi negara-negara lain yang sedang

mengagendakan proses reforma agraria dalam proses pembangunan ekonominya. Pengalaman di Amerika Latin reforma agraria telah memberikan akses tanah terhadap beberapa penduduk miskin pedesaan. Reforma agraria telah cukup luas diterapkan di beberapa Negara seperti Bolivia, Meksiko dan Peru dimana sekitar setengah dari tanah yang ada di Negara-negara tersebut diredistribusikan. Reforma agraria juga telah berhasil menghapus elit feodal dan mentransformasikannya menjadi pengusaha modern di bawah ancaman pengambilalihan kekuasaan dengan bantuan untuk proses kapitalisasi (Kolombia, Ekuador, Venezuela) atau secara efektif mengambil alih (Meksiko, Bolivia, Chili, Peru). Akhirnya, reforma agraria efektif dalam mengurangi tekanan revolusi dan memberikan kemudahan bagi petani terkait akses terhadap tanah serta menciptakan kelas khusus penerima manfaat (petani) atas akses tanah (Meksiko, Bolivia dan Peru). Hal tersebut merupakan keberhasilan positif reforma agraria di Amerika Latin.

Namun, kenyataannya reformasi agraria masih dinilai kurang berhasil dalam mengurangi kemiskinan petani karena reforma agraria tidak disertai dengan kebijakan pembangunan pertanian dan pedesaan untuk membantu penerima manfaat (petani) meningkatkan daya saing. Di Meksiko, pada awalnya landreform

dianggap cukup berhasil dalam meningkatkan produktivitas penerima manfaat melalui proyek-proyek irigasi yang besar dan seperangkat institusi yang


(34)

mendukung. Dukungan tersebut menurun dari tahun ke tahun sehingga semakin mendorong petani pada stagnasi dan kemiskinan.

Merujuk kepada paparan singkat di atas, maka nyata sekali bahwa Reforma Agraria bukanlah program yang ringan untuk dilaksanakan. Cakupan dan dampak dari program ini berdimensi sangat luas bagi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Oleh karenanya gerakan ini menuntut keterlibatan penuh seluruh komponen bangsa. Selain itu pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa gerakan Reforma Agraria ini juga harus dilaksanakan dengan sepenuh hati, pikiran, dan sumberdaya, tidak mengenal gerak setengah-setengah dan serba tidak pasti, sehingga Reforma Agraria mampu memberikan ruang gerak agar terjadi dinamika sosial yang positif bagi masyarakat.

2.5. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terkait reforma agraria yang pernah dilakukan sebelumnya baik oleh peneliti dalam maupun peneliti luar negeri, mempunyai beragam kesimpulan yang cukup menarik. Syahyuti (2004) berpendapat bahwa terdapat 4 Faktor penting sebagai prasyarat pelaksanaan landreform yaitu: (1) kesadaran dan dukungan elit politik, (2) organisasi masyarakat tani yang kuat dan terintegrasi, (3) ketersediaan data yang lengkap dan akurat, serta (4) anggaran yang memadai. Selain itu, Syahyuti menjelaskan bahwa permasalahan dan kendala utama dari program landreform di Indonesia sebenarnya hanya pada penguasaan yang belum jelas dan kuat secara hukum.

Bautista dan Thomas (2000) menganalisis secara kuantitatif dampak dari kebijakan perdagangan dan landreform terhadap perekonomian nasional Zimbabwe. Dengan menggunakan Computable General Equilibrium (CGE) Batuista dan Thomas melakukan 9 simulasi kebijakan terkait liberalisasi perdagangan dan landreform. Hasil simulasi dengan melakukan redistribusi lahan sebesar 50% dari kepemilikan lahan kelompok petani kaya kepada para petani miskin, menimbulkan dampak yang cukup signifikan terhadap perekonomian nasional Zimbabwe. Namun demikian, Batuista dan Thomas menemukan bahwa,


(35)

dampak yang ditimbulkan dari refoma agraria tidak efektif seperti halnya dampak yang ditimbulkan kebijakan liberalisasi perdagangan.

Fairhead et al. (2010) melakukan suatu penelitian untuk menganalisis dampak landreform di Papua New Gini dengan menggunakan CGE. Senada dengan Fairhead et al.(2010), Lofgren et al. (2001) melakukan sebuah studi mengenai dampak dari external shock dan kebijakan domestik Negara Malawi dalam rangka mengurangi tingkat kemiskinan. Dengan menggunakan analisis CGE Lofgren et al. mensimulasikan dampak dari perubahan nilai tukar mata uang Malawi dan peningkatan harga-harga komoditas dunia serta kebijakan dalam negeri berupa landreform dan proyek padat karya.

Penelitian lain terkait analisis CGE untuk mengukur dampak dari reforma agraria adalah penelitian yang dilakukan Chitiga dan Mabugu (2008) yang

berjudul “Evaluating the Impact of land redistribution : A CGE Microsimulation

Application to Zimbabwe”. Dalam penelitian ini Margaret Chitiga et al. melakukan sebuah simulasi dengan melakukan reditribusi kepemilikan lahan sebesar 40% dari keseluruhan lahan yang dimiliki kelompok masyarakat petani komersil kepada kelompok petani komunal. Berdasarkan hasil analisis ditemukan bahwa program reforma agraria yang dilakukan di Zimbabwe telah mampu mengurangi tingkat kemiskinan dan kesenjangan yang terjadi secara signifikan, sehingga Margaret Chitiga et al. menyarankan bahwa reforma agraria di Zimbabwe harus terus dilaksanan.

2.6. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan teori-teori dan penelitian terdahulu, hipotesis yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah:

1. Proses redistribusi lahan akan mendorong sektor ekonomi yang produk-produknya banyak dikonsumsi oleh kelompok masyarakat golongan bawah. Untuk Indonesia, sektor-sektor yang diperkirakan akan mengalami kenaikan output adalah sektor-sektor primer dan sekunder yang barang-barangnya memiliki proporsi terbesar dalam konsumsi kelompok


(36)

masyarakat golongan bawah. Hal ini disebabkan karena proses reforma agraria diharapkan akan mampu menambah tingkat pendapatan dari kelompok buruh tani dan petani dengan kepemilikan lahan sempit yang merupakan kelompok masyarakat golongan bawah. Disisi lain, sektor-sektor yang banyak dikonsumsi oleh kelompok masyarakat yang mengalami penurunan pendapatan akan mengalami penurunan output dan untuk penelitian ini sektor yang diperkirakan akan mengalami penurunan output adalah sektor-sektor yang menghasilkan barang-barang mewah (barang tersier).

2. Perekonomian Indonesia secara agregat diperkirakan akan mengalami kenaikan output karena sektor-sektor yang mengalami kenaikan output adalah sektor primer dan sekunder yang banyak memiliki keterkaitan. Ketika terjadi kenaikan output disatu sektor akan mendorong sektor lain yang menjadi input antara bagi sektor yang bersangkutan mengalami kenaikan output. Hal tersebut akan mendorong terjadinya proses multiplier peningkatan output. Adapun sektor-sektor yang mengalami penurunan output adalah sektor-sektor tersier yang memiliki keterkaitan yang rendah dengan sektor yang lain. Ketika sektor tersebut mengalami penurunan output maka sektor yang terpengaruh cenderung lebih sedikit.Secara agregat output nasional diharapkan akan mengalami kenaikan.

3. Proses reforma agraria diasumsikan akan mampu mengurangi kesenjangan pendapatan diantara kelompok masyarakat. Seperti kita ketahui bahwa kebijakan reforma agraria adalah kebijakan redistribusi kepemilikan lahan dari kelompok rumah tangga yang memiliki lahan diatas batas maksimal yang ditetapkan undang-undang (dalam hal ini kelompok masyarakat tersebut masuk kedalam kelompok masyarakat kaya) kepada para buruh tani dan petani dengan kepemilikan lahan sempit(yang menjadi kelompok terbesar penyumbang kemiskinan di Indonesia). Dengan adanya redistribusi kepemilikan lahan kepada para buruh tani dan petani dengan kepemilikan lahan sempit, maka kedua kelompok masyarakat ini akan memperoleh pendapatan tambahan dari sewa lahan yang sebelumnya dinikmati oleh kelompok masyarakat kaya. Secara tidak langsung,


(37)

redistribusi kepemilikan lahan mengakibatkan redistribusi pendapatan dari kelompok masyarakat kaya kepada kelompok masyarakat miskin dan hal ini diharapkan akan mampu mengurangi tingkat kesenjangan pendapatan yang terjadi antar kelompok masyarakat di Indonesia.

4. Kebijakan redistribusi lahan yang mampu meningkatakan pendapatan dari kelompok buruh tani dan petani dengan kepemilikan lahan sempit diharapkan akan mampu memperbaiki kondisi kemiskinan di Indonesia. Selama ini, kelompok buruh tani dan petani dengan kepemilikan lahan sempit merupakan dua kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan per kapita terendah dan menjadi penyumbang terbesar dalam kategori kelompok masyarakat miskin di Indonesia. Ketika terjadi kenaikan pendapatan dari kedua kelompok masyarakat tersebut maka diaharapkan mereka akan terlepas dari belenggu kemiskinan dan kondisi kemiskinan di Indonesia akan lebih baik.


(38)

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Analisis

Untuk menjawab semua permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai, penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan. Pada tahap pertama, penelitian dilakukan untuk menganalisis dampak pelaksanaan reforma agraria terhadap tingkat output masing-masing sektor, perekonomian Indonesia secara makro serta tingkat pendapatan kelompok rumah tanggamelalui pendekatan analisis

computable general equilibrium (CGE). Pada tahapan selanjutnya, hasil yang diperoleh dari analisis CGE digunakan dalam analisis microsimulation untuk mengukur bagaimana dampak perubahan pendapatan yang terjadi diantara kelompok masyarakat mempengaruhi kemiskinan dan distribusi pendapatan di Indonesia. Kerangka tahapan penelitan yang dilakukan oleh penulis dapat ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5 Kerangka tahapan penelitian.

3.2. Model Analisis

Sesuai dengan pembahasan sebelumnya dimana pada penelitian ini digunakan dua pendekatan yaitu computable general equilibrium (CGE) dan analisis microsimulation, maka pada bagian ini akan dibahas mengenai kedua model yang digunakan.

Analisis CGE :

mengukur dampak simulasi reformasi agraria terhadap : a) output per sektor ekonomi b) kondisi makroekonomi c) pendapatan kelompok rumah

tangga

Penelitian Tahap 1

Analisis microsimulation : mengukur dampak perubahan tingkat pendapatan kelompok rumah tangga sebagai akibat reforma agraria terhadap :

a) tingkat kemiskinan

b) distribusi pendapatan


(39)

3.2.1. Computable General Equilibrium (CGE)

Teori general equilibrium (GE) dalam ilmu ekonomi adalah teori yang menjelaskan tentang keberadaan pasar sebagai suatu sistem dalam suatu perekonomian yang terdiri atas beberapa macam pasar dan memiliki kaitan antara satu pasar dengan pasar lainnya. Adanya kaitan tersebut menyebabkan setiap perubahan pada satu pasar akan berpengaruh terhadap kinerja pasar lainnya. Teori GE ini pertama kali dikembangkan oleh Leon Walras. Teori ini mengemukakan bahwa semua harga dan kuantitas barang di semua pasar ditentukan secara simultan melalui proses interaksi antara satu dengan lainnya.

Model CGE pada dasarnya merupakan model keseimbangan. Model CGE meliputi model multimarket dimana keputusan-keputusan agen yang terlibat bersifat responsif terhadap harga dan pasar bersifat responsif terhadap keputusan permintaan dan penawaran. Secara umum, framework model CGE dapat dijelaskan pada Gambar 6.


(40)

Model CGE terdiri dari persamaan-persamaan yang mewakili keseimbangan seluruh pasar mulai dari pasar input sampai pasar output untuk keseluruhan sektor yang dianalisis. Selain itu, model CGE ini secara eksplisit memodelkan perilaku rasional agen-agen perekonomian baik produsen yang memaksimalkan keuntungan, rumah tangga yang memaksimalkan kepuasan (utility), dan agen lain dalam perekonomian. Model GE juga menangkap perilaku arus dana antar agen, serta persamaan-persamaan lain yang mendefinisikan pembentukan harga dan kuantitas. Secara keseluruhan, model CGE merupakan sekumpulan persamaan matematis yang simultan dan dapat diselesaikan.

Model CGE sering digunakan untuk permasalahan strategi perdagangan, distribusi pendapatan, dan perubahan struktural di suatu negara. Model CGE memiliki sejumlah fitur umum yang menjadikan CGE sesuai untuk penelitian ini. Pertama, CGE dapat mensimulasikan fungsi dari pasar-pasar yang berada dalam perekonomian, termasuk pasar tenaga kerja, pasar modal, dan pasar komoditas, serta menyediakan perspektif yang sangat bermanfaat mengenai perubahan yang terjadi dalam kondisi ekonomi melalui harga dan pasar. Kedua, sifat struktural dari model CGE dapat mengakomodir berbagai fenomena baru. Ketiga, model CGE mempertimbangkan seluruh kendala perekonomian secara luas. Dalam penelitian ini reforma agraria diperkirakan dapat mempengaruhi tingkat pendapatan antar kelompok rumah tangga yang pada akhirnya akan mampu mempengaruhi kondisi perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Keempat, karena model CGE terdiri dari sektor yang sangat detil maka model ini dapat digunakan sebagai "simulation laboratory" untuk menguji secara kuantitatif bagaimana dampak dari kebijakan yang berbeda mempengaruhi kinerja dan struktur ekonomi. Terakhir, model CGE secara teoritis dapat memberikan

framework untuk menganalisis kesejahteraan dan distribusinya.

Dalam model CGE, keputusan ekonomi merupakan hasil optimalisasi dari produsen dan konsumen dengan kerangka perekonomian secara luas dan koheren. Berbagai mekanisme substitusi ditetapkan, termasuk substitusi antar tenaga kerja, antara modal dan tenaga kerja, antara barang domestik dan barang impor, serta


(41)

antara penjualan domestik dan ekspor. Semua itu terjadi sebagai respon terhadap variasi harga relatif.

Selain memiliki beberapa keunggulan yang telah disebutkan sebelumnya, penggunaan model CGE ini memiliki beberapa kelemahan. Pendekatan ekonomi secara luas tidak cocok untuk menganalisis semua masalah. Dalam pengembangan gambaran komprehensif dari seluruh perekonomian, beberapa detail permasalahan seringkali dihilangkan. Jika detail yang sangat relevan dengan analisa itu dihilangkan, pendekatan jelas kurang cocok. Selain itu, asumsi-asumsi yang digunakan dalam pemodelan bisa saja berbeda dengan kondisi yang nyata dilapangan sehingga hasil yang diperoleh dari analisis model ini akan berlaku jika kondisinya sesuai dengan asumsi yang diterapkan. Secara umum, model CGE merupakan suatu alat analisis yang paling sering digunakan dan sangat bermanfaat dalam menentukan sebuah pilihan kebijakan.

3.2.1.1. Data Base dan Pemilihan Sektor Ekonomi

Pada penelitian ini, data yang digunakan untuk analisis CGE adalah Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Indonesia tahun 2008. SNSE merupakan suatu kerangka data yang disusun dalam bentuk matriks yang merangkum berbagai variabel sosial dan ekonomi secara terintegrasi sehingga dapat memberikan gambaran umum mengenai perekonomian suatu negara dan keterkaitan antar variabel ekonomi dan sosial pada suatu waktu tertentu. Secara umum, SNSE memuat mengenai distribusi pendapatan, baik distribusi pendapatan rumah tangga maupun distribusi pendapatan faktor produksi serta pola pengeluaran rumah tangga.

Data dasar SNSE Indonesia tahun 2008 terdiri dari empat komponen neraca yaitu :

1. Neraca faktor produksi, 2. Neraca institusi,

3. Neraca sektor produksi, dan 4. Neraca lainnya (rest of the world).


(42)

Pada penelitian ini, faktor produksi yang akan dianalisis terdiri atas tenaga kerja, modal, dan lahan. Dalam penelitian ini tenaga kerja diklasifikasikan menjadi empat kelompok utama yaitu tenaga kerja sektor pertanian desa, tenaga kerja sektor pertanian kota, tenaga kerja sektor non pertanian desa, tenaga kerja sektor non pertanian kota. Adapun Institusi yang akan dianalisis dibagi menjadi 4 kelompok utama, yakni rumah tangga, pemerintah, perusahaan, dan luar negeri (rest of the world). Kelompok rumah tangga selanjutnya dibagi menjadi 10 kategori, yaitu:

1. Buruh pertanian/HH1

2. Pengusaha pertanian memiliki tanah 0.0 ha – 0.5 ha (Pengusaha pertanian kecil)/HH2

3. Pengusaha pertanian memiliki tanah 0.5 ha -1.0 ha (Pengusaha pertanian menengah)/HH3

4. Pengusaha pertanian memiliki tanah 1.0 ha lebih (Pengusaha pertanian besar) /HH4

5. Pengusaha bebas golongan rendah, tenaga TU, pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, buruh kasar pedesaan/ HH5

6. Bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas pedesaan/HH6

7. Pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan atas pedesaan/HH7

8. Pengusaha bebas golongan rendah, tenaga TU, pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, buruh kasar perkotaan/HH8

9. Bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas perkotaan/HH9

10. Pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan atas perkotaan/HH10


(43)

Adapun untuk sektor produksi yang akan dianalisis terdiri atas : 1. Pertanian Tanaman Pangan

2. Pertanian Tanaman Lainnya 3. Peternakan dan Hasil-hasilnya 4. Kehutanan dan Perburuan 5. Perikanan

6. Pertambangan

7. Industri Makanan, Minuman dan Tembakau 8. Industri Lainnya

9. Jasa Swasta 10. Sektor Lainnya

Secara umum, SNSE yang digunakan dalam penelitian ini berbeda dengan data dasar SNSE 2008. Untuk memperoleh SNSE yang sesuai dengan tujuan penelitian, maka dilakukan proses Agregasi dan disagregasi pada SNSE dasar tahun 2008 dengan menggunakan informasi yang ada di tabel input-output (I-O) tahun 2008. Selain data-data dasar yang berasal dari SNSE, model keseimbangan umum juga membutuhkan informasi elastisitas dan beberapa parameter

behavioural lainnya. Parameter elastisitas yang digunakan dalam model ini terdiri dari elastisitas substitusi tenaga kerja, elastisitas substitusi faktor kapital, elastisitas substitusi input primer, elastistas transformasi total output suatu perusahaan, elastistas transformasi produk untuk pasar domestik dan ekspor, elastisitas permintaan ekspor, elastisitas Armington dan elastisitas pengeluaran. Semua nilai elastisitas yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat di Lampiran 2.

3.2.1.2. Model CGE empiris

Pada penelitian ini, model CGE yang digunakan mengadopsi CGE PEP-1-1 (Single-Country, Static Version) yang disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik penelitian. Model CGE PEP-1-1 ini merupakan model standar CGE yang berbasis syntax untuk software General AlgebraicModeling


(44)

System(GAMS) yang bisa dikases secara bebas dari website Poverty & Economic Policy (PEP).

Dalam model ini perusahaan diasumsikan beroperasi pada sistem pasar persaingan sempurna. Semua perusahaan berupaya untuk memaksimumkan keuntungan dengan kendala teknologi produksi tertentu serta menghadapi tingkat harga input dan output tertentu pula (dalam hal ini perusahaan bertindak sebagai

price taker). Fungsi produksi yang digunakan dalam model ini ditunjukkan pada Gambar 7.

Gambar 7 Struktur Fungsi Produksi.

Gambar 7 menunjukkan bahwa struktur fungsi produksi dapat dijelaskan melalui beberapa tingkatan. Pada tingkatan paling atas, gambar tersebut menjelaskan bahwa total output yang dihasilkan oleh suatu sektor j merupakan kombinasi antara value added dengan intermediate consumption dengan mengikuti fungsi constant elasticity of substitution (CES).Dalam hal ini, semua input bersifat substitusi dan antara value added dengan intermediate consumption

dapat dipertukarkan dengan koefisien tertentu. Fungsi yang digunakan dalam penelitian ini berbeda dengan model dasarnya, dimana komposisi value added

dengan intermediate consumption dalam membentuk total produksi dinyatakan

CES CES

Leontief

… …

Output (XSTJ)

Value added (VAj) Aggregate Intermediate

Consumption (CIj)

Composite Labor (LDCj)

Product 1 (DI1,j) Composite

Capital (KDCj)

Product 2 (DI2,j)

Labor 1 (LD1,j)

Labor 2 (LD2,j)

Capital Land CES


(45)

dengan fungsi Leontief dan memiliki proporsi yang tetap. Pada tingkat kedua, nilai value added dari masing-masing sektor produksi terdiri komposit tenaga kerja dan komposit modal. Penyusunan nilai value added idari komposit tenaga kerja dan komposit modal ini mengikuti fingsi (CES)

Pada tingkatan paling bawah di sisi value added, komposit tenaga kerja merupakan kombinasi dari semua kategori tenaga kerja (yang dilambangkan

dengan L1, L2,…,Ll) dengan mengikuti fungsi CES dan hubungan antar jenis

tenaga tersebut bersifat imperfect substitutability. Perusahaan mencoba untuk mengkombinasikan berbagai jenis tenaga kerja guna meminimumkan biaya tenaga kerja pada tingkat upah tertentu. Permintaan tenaga kerja diperoleh dari first order condition untuk meminimumkan biaya dengan kendala teknologi tertentu dengan menggunakan fungsi CES.

Sisi lain pada tingkatan paling bawah dari value added adalah komposit modal. Dalam model ini komposit modal dibedakan antar sektor pertanian dengan non pertanian. Untuk sektor pertanian komposit modal merupakan kombinasi dari lahan dan modal lainnya yang bersifat imperfect substitutability. Adapun untuk sektor non pertanian komposit modal hanya terdiri dari satu komponen yaitu modal. Permintaan masing-masing jenis modal merupakan hasil dari proses minimisasi biaya.

Kembali pada tingkat kedua, pada sisi intermediate consumption, total

intermediate consumption merupakan kombinasi dari berbagai barang dan jasa yang ada di pasar produk. Dalam penyusunan total intermediate consumption

diasumsikan bahwa semua penyusunnya bersifat kompelementer secara sempurna yang mengikuti fungsi Leontif.

Asumsi penting lain yang perlu dibahas dalam model ini adalah terkait dengan pemodelan tabungan. Model fungsi tabungan rumah tangga yang digunakan dalam model ini sedikit berbeda dari fungsi tabungan yang banyak digunakan dalam model yang lain. Dalam model ini memungkinkan nilai

marginal propensity to save berbeda dengan nilai average propensity. Pemilihan model ini dilakukan untuk mengakomodir jika terjadi nilai tabungan yang negatif.


(46)

Jika nilai marginal propensity to save sama dengan nilai average propensity, dan berdasarkan hasil kalibrasi menghasilkan nilai tabungan yang negatif maka akan memberikan hasil yang kurang sesuai dengan teori. Ketika terjadi penurunan pendapatan rumah tangga maka akan meningkatkan tingkat tabungannya, dan sebaliknya, jika terjadi peningkatan pendapatan maka akan menambah tingkat utang rumah tangga. Model ini mencoba untuk menghindari kesalahan yang sangat mendasar seperti ini, namun demikian model ini membutuhkan nilai parameter tambahan berupa nilai marginal propensity to save. Untuk tujuan ini, maka nilai marginal propensity to save bisa diperoleh dari hasil estimasi ekonometrika sesuai dengan kondisi masing-masing kelompok rumah tangga. Untuk keluarga dengan tingkat tabungan negatif akan memiliki intersep yang negatif sedangkan slope dari fungsi tabungannya bernilai positif.

Dalam model ini, permintaan investasi terdiri dari penanaman modal total domestik bruto (gross fixed capital formation/GFCF)dan perubahan stok modal (change in inventories). Kedua komponen permintaan investasi ini sangat berbeda. Nilai GFCF tidak boleh negatif sedangkan nilai perubahan stok modal bisa bernilai positif ataupun negatif. Dalam model ini nilai GFCF merupakan variabel yang bersifat endogen sedangkan perubahan stok modal bersifat eksogen. Total pengeluaran investasi ditentukan oleh kendala persamaan saving-investment dengan nilai tabungan yang bersifat endogen. Nilai GFCF diperoleh dari hasil pengurangan antara total pengeluaran investasi dengan perubahan stok modal. Dalam pemodelannya, nilai GFCF merupakan sebuah proporsi tertentu dari total pengeluaran investasi dengan nilai yang tetap dan secara implist model ini menunjukkan bahwa fungsi produksi dari modal yang baru adalah fungsi Cobb-Douglas. Besaran pengeluaran investasi tertentu, jumlah barang untuk kegiatan investasi berbanding terbalik dengan harga barang tersebut. Asumsi seperti ini juga digunakan dalam memodelkan pengeluaran pemerintah untuk barang dan jasa. Pada besaran nilai anggaran belanja pemerintah tertentu, jumlah barang yang diminta per komoditas akan berubah-ubah mengikuti perubahan tingkat harga dengan arah yang berlawanan.


(47)

Tingkat permintaan barang dan jasa (baik untuk barang domestik ataupun impor) merupakan penjumlahan antara permintaan konsumsi rumah tangga, permintaan untuk investasi, permintaan untuk kepentingan pelayanan publik serta permintaan untuk marjin perdagangan dan pengangkutan. Dalam model ini, tingkat konsumsi rumah tangga diasumsikan mengikuti Stone-Gearyutilityfunctions (yang diturunkan dari fungsi linear expenditure system/LES). Terdapat hal yang sangat mendasar yang membedakan antara Stone-Gearyutilityfunctions dengan fungsi yang lainnya yaitu dengan adanya tingkat konsumsi minimum dari masing-masing produk barang dan jasa. Berbeda dengan fungsi Cobb-Douglas (yang banyak digunakan dalam literatur lain) model ini bisa menangkap nilai elastisitas permintaan antara barang yang nol atau menyatakan semua barang bersifat unit income-elasticities. Pemodelan seperti ini memberikan keleluasaan bagi peneliti untuk menentukan besaran elastisitas yang digunakan dalam penelitiannya. Dalam model ini, fungsi konsumsi masing-masing rumah tangga merupakan sebuah proses maksimisasi utuilitas dengan kendala anggaran tertentu.

Beberapa model CGE mengasumsikan bahwa produsen selalu dapat menjual barang dan jasa yang dihasilkan ke pasar luar negeri sebanyak mungkin sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. Berbeda dari model-model tersebut, model CGE ini mencoba untuk mengembangkan asumsi lain dimana para produsen lokal dapat meningkatkan proporsi penjualannya dalam pasar internasional melalui penurunan harga ekspor yang menunjukan keunggulan relatif terhadap produk luar negeri. Kemudahan seorang produsen lokal untuk meningkatkan proporsi penjualannya di pasar internasional akan sangat tergantung dari nilai elastisitas substistusi ekspor. Selain itu model ini mengakomodir kemungkinan peningkatan permintaan ekspor (dalam model ini diasumsikan bersifat eksogen) yang dapat dilakukan dengan merubah besaran nilai autonomous ekspor .

Selanjutnya, model ini mengasumsikan perilaku dari para konsumen dalam perekonomian mengikuti perilaku dari produsen. Model ini mengasumsikan bahwa barang hasil impor tidak bisa disubstitusikan secara sempurna dengan


(48)

barang-barang hasil produksi dalam negeri. Oleh karena itu, permintaan barang dan jasa yang terjadi dalam sebuah perekonomian merupakan permintaan gabungan antara barang impor dengan barang domestik. Tingkat substitusi yang tidak sempurna antara kedua jenis barang yang diminta ditunjukkan oleh fungsi elastisitas substitusi yang konstan (constant elasticity of substitution/CES)

Dalam model ini, fungsi penawaran Impor dinyatakan secara implisit. Asumsi Negara kecil menyiratkan bahwa elastisitas penawaran impor bersifat tidak terbatas sebagai akibat adanya perubahan harga sehingga dalam model ini harga impor dunia nilainya diasumsikan tetap.

Asumsi lain dari model ini adalah bahwa modal bersifat industry-specific

dengan jumlah modal di setiap industri yang tetap, sehingga sewa kapitalyang terjadi antar indutsri akan berbeda. Selain asumsi-asumsi diatas, model ini memiliki asumsi dan pemodelan yang sama dengan model dasar dan model CGE yang lainnya. Secara lengkap rumusan matematis dari model yang digunakan di model ini dapat dilihat di Lampiran 1.

3.2.1.3. Simulasi yang Dilakukan

Untuk menjawab permasalahan dan tujuan penelitian, maka dalam penelitian ini dilakukan dua buah simulasi kebijakan yaitu :

1. Kebijakan redistrbusi kepemilikan lahan dengan menambah kepemilikan lahan bagi kelompok masyarakat dengan kategori buruh tani, dan kelompok masyarakat pengusaha pertanian dengan kepemilikan lahan kurang dari 0.5 ha(petani kecil) yang berasal dari kelompok pengusaha pertanian dengan kepemilikan lahan diatas 1 ha(pengusaha pertanian golongan atas), golongan atas perdesaan serta rumah tangga golongan atas perkotaan. Dengan kata lain, pada simulasi yang pertama kebijakan yang dilakukan hanya berupa redistribusi lahan. Selanjutnya, kebijakan refoma agraria yang hanya berupa kegiatan reditribusi kepemilikan lahan disebut sebagai redistribusi lahan.

2. Simulasi kedua dari penelitian ini terdiri dari kebijakan redistribusi kepemilikan lahan yang disertai dengan kenaikan produktivitas


(49)

(teknologi produksi) dari sektor-sektor pertanian. Seperti halnya dijelaskan pada bagian sebelumnya, dimana terdapat perbedaan antara konsep reforma agraria dan redistribusi lahan. Istilah redistribusi lahan dipakai untuk merujuk pada program-program sekitar redistribusi kepemilkan lahan dalam rangka menata ulang struktur kepemilikan tanah yang timpang menjadi lebih adil. Adapun istilah reforma agararia mengacu pada pengertian lebih luas dan komprehensif, karena mencakup juga berbagai program pendukung yang dapat mempengaruhi kinerja sektor pertanian pasca redistribusi kepemilikan lahan. Dalam penelitian ini, simulasi kedua selanjutnya disebut sebagai redistribusi lahan plus.

Besarnya penambahan kepemilikan lahan dilakukan dengan besaran nilai yang disesuaikan dengan struktur kepemilikan lahan yang ada di Indonesia seperti yang dijelaskan pada Tabel 3.

Tabel 3 Besaran redistribusi lahan yang digunakan dalam simulasi

Sumber : diolah dari SNSE dan SUSENAS 2008

Besaran nilai redsitribusi kepemilikan lahan yang dilakukan dalam penelitian ini didasarkan pada data yang terdapat dalam SNSE dan SUSENAS 2008. Redistribusi kepemilikan lahan dilakukan kepada kelompok rumah tangga yang memiliki rata-rata kepemilikan lahan lebih dari 2 ha dan dalam hal ini

Kelompo k Rumah

tangga

Kondisi Awal Kondisi Akhir

Perubahan Kepemilik an lahan Jumlah HH Pendapatan HH dari lahan (dalam Milyar Rp) Total lahan yang dikuasai setiap kelompok HH Rata-rata Kepemili kan lahan (Susenas) Total lahan yang dikuasai setiap kelompok HH Rata-rata Kepemili kan lahan

HH1 7 367 966 441 200 884 0.3 9 485 286 1.3 4622% HH2 9 952 671 2 204 1 004 427 0.1 13 545 823 1.4 1249% HH3 3 597 504 7 713 3 515 493 0.9 3 515 493 0.9 0% HH4 2 470 540 9 915 6 990 458 2.8 4 941 078 2.0 -29% HH5 9 122 381 13 220 6 026 558 0.6 6 026 558 0.6 0% HH6 3 306 788 1 102 502 212 0.2 502 212 0.2 0% HH7 3 922 657 38 561 17 577 463 4.5 7 845 314 2.0 -55% HH8 9 360 179 12 118 5 524 345 0.6 5 524 345 0.6 0% HH9 3 591 039 2 204 1 004 427 0.2 1 004 427 0.3 0% HH10 5 024 376 22 036 20 093 017 3.9 10 048 752 2.0 -50% Total 57 716 100 109 517 62 439 292 1.1 62 439 292 1.1


(1)

(1996) untuk model perekonomian Philippina. Dalam penelitiannya, Behar (2008) menyimpulkan bahwa tenaga kerja terdidik dan tidak terdidik bersifat komplementer dan memiliki nilai elastisitas sekitar 0.5. Dalam penelitian lain

yang berjudul ‘Globalization and wage inequality in Indonesia: a CGE analysis”,

Suryahadi (2001) menetapkan nilai elastisitas substitusi antar tenaga kerja sebesar 0.5 yang menunjukkan bahwa diantara jenis tenaga kerja yang satu dengan yang lainnya sangat sulit untuk dipertukarkan. Oleh karena itu pada penelitian ini, nilai koefisien elastisitas substitusi tenaga kerja menggunakan nilai sebesar 0.5, merujuk pada nilai yang banyak digunakan pada penelitian-penelitian sebelumnya.

Elastisitas Faktor Modal

Dalam penelitian ini faktor modal terdiri dari lahan dan kapital. Gabungan diantara kedua faktor modal tersebut membentuk apa yang disebut komposit kapital. Model dasar yang dikembangkan dalam penelitian ini memungkinkan faktor modal yang satu saling bersubstitusi dengan faktor yang lainnya dengan mengikuti fungsi CES. Derajat substitusi diantara semua jenis kapital ini disebut sebagai elatisitas substitusi faktor modal. Sama seperti halnya koefisien elastisitas tenaga kerja, nilai koefisien ini sulit untuk diestimasi karena terbatasnya ketersediaan data.

Pada dasarnya kedua faktor modal yang digunakan dalam penelitian ini tidak bisa disubstitusikan antara faktor yang satu dengan yang lainnya, sehingga dalam penelitian nilai elastisitas faktor modal ditetapkan sebesar 0.19. Penetapan angka 0.19 ini dilakukan berdasarkan hasil trial and error untuk memperoleh nilai terkecil yang bisa digunakan supaya model masih bisa menghasilkan solusi. Semakin kecil nilai koefisien elastisitas menunjukkan semakin sulit untuk menggantikan faktor yang satu dengan faktor yang lain-nya.

Elastisitas Substitusi Input Primer

Elastisitas substitusi input primer menentukan respon dari setiap input di setiap sektor akibat adanya perubahan harga input. Pada model ini, input primer dibagi menjadi dua kelompok yaitu komposit tenaga kerja dan komposit kapital. Selanjutnya kedua input primer tersebut membentuk komponen value added yang


(2)

mengikuti fungsi CES, dimana faktor primer disubstitusi sesamanya dengan elastisitas substitusi yang konstan. Seperti halnya nilai parameter yang lain, dalam penelitian ini nilai elastisitas substitusi input primer diadopsi dari penelitian-penelitian sebelumnya. Adapun nilai elastisitas substitusi input primer masing-masing sektor/komoditas ditunjukkan pada Tabel 18.

Tabel 16 Nilai elastisitas substitusi input primer masing-masing sektor

Sektor Elastisitas Input Primer

Pertanian Tanaman Pangan 0.24

Pertanian Tanaman Lainnya 0.24

Peternakan dan Hasil-hasilnya 0.24

Kehutanan dan Perburuan 0.20

Perikanan 0.20

Pertambangan 0.20

Industri Makanan, Minuman dan Tembakau 1.12

Industri Lainnya 1.26

Jasa Swasta 1.44

Sektor Lainnya 1.26

Sumber : GTAP 7 Documentation Chapter 14 Behavioral Parameters

Elastistas Transformasi Total Output Suatu Perusahaan

Model CGE yang dikembangkan dalam penelitian ini merupakan sebuah model CGE yang memungkinkan sebuah sektor industri untuk menghasilkan satu produk komoditas atau lebih. Selain itu, model ini juga mengakomodir kemungkinan adanya suatu produk yang sama yang dihasilkan oleh industri yang berbeda. Sesuai dengan sifat dasar model tersebut, maka sebuah industri dapat mengalihkan alokasi sumber daya yang dimilikinya untuk menghasilkan suatu produk tertentu yang lebih menguntungkan.

Secara teoritis, sebuah industri akan mencoba untuk menghasilkan kombinasi produk yang mampu memberikan keuntungan maksimal. Dalam hal ini perusahaan/industri akan menghasilkan suatu produk lebih banyak dibandingkan dengan produk yang lainnya jika harga relatif dari produk tersebut lebih tinggi. Namun demikian, sebuah industri tidak bisa secara sempurna merubah produk yang dihasilkan-nya dari suatu komoditas yang satu ke komoditas yang lainnya, akan tetapi mengikuti fungsi constant elasticity of transformation (CET). Mudah atau tidaknya sebuah industri merubah kombinasi output yang dihasilkan-nya ditentukan oleh nilai elastistas transformasi total output. Untuk kasus penelitian


(3)

ini, satu jenis Industri hanya bisa menghasilkan satu jenis produk, sehingga besaran nilai elastistas transformasi total output adalah sebesar 0.1 yang memiliki makna bahwa sangat sulit bagi suatu Industri untuk merubah-rubah kombinasi jenis output yang dihasilkan-nya sebagai respon perubahan harga komoditas yang terjadi.

Elastistas Transformasi Produk Untuk Pasar Domestik dan Ekspor

Suatu produk yang dihasilkan oleh industri dapat dijual ke pasar domestik ataupun pasar luar negeri melalui kegiatan ekspor. Untuk memperoleh keuntungan yang maskimal, suatu produk akan dijual ke pasar yang memiliki harga relatif yang lebih tinggi. Mudah atau tidaknya mengalihkan pangsa pasar suatu produk dari pasar luar ke negeri ke pasar domestik, atau sebaliknya, ditentukan oleh elastistas transformasi produk yang mengikuti fungsi constant elasticity of transformation (CET). Semakin besar nilai elastistas transformasi suatu produk mengindikasikan bahwa semakin mudah untuk memindahkan pasar produk tersebut dari pasar domestik ke luar negeri ataupun sebaliknya sebagai respon perubahan harga relatif. Besaran nilai elastistas transformasi produk untuk pasar domestik dan ekspor yang digunakan dalam penelitian mengadopsi nilai yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan oleh Decaluwé et al.(2006).

Tabel 17 Nilai elastistas transformasi produk untuk pasar domestik dan ekspor Jenis Komoditas Elastisitas CET komoditas Ekspor

Pertanian Tanaman Pangan 0.60

Pertanian Tanaman Lainnya 0.60

Peternakan dan Hasil-hasilnya 0.60

Kehutanan dan Perburuan 0.60

Perikanan 0.60

Pertambangan 0.60

Industri Makanan, Minuman dan Tembakau 1.20

Industri Lainnya 0.85

Jasa Swasta 0.40

Sektor Lainnya 0.40


(4)

Elastisitas Permintaan Ekspor

Pada perekonomian internasional, Indonesia diasumsikan sebagai negara kecil, sehingga ekspor Indonesia tidak akan mempengaruhi harga dunia. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam negeri Indonesia tidak akan mampu mepengaruhi keseimbangan internasional. Sebaliknya perubahan-perubahan yang terjadi di dunia Internasional akan mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia melalui jalur harga dan pendapatan. Besaran pengaruh perubahan pendapatan Internasional terhadap kinerja ekspor Indonesia ditentukan oleh besaran elastisitas permintaan ekspor.

Semakin besar nilai elastisitas ekspor maka perubahan pendapatan internasional sedikit saja akan mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia secara signifikan dan sebaliknya. Untuk kepentingan penelitian ini, nilai elastisitas permintaan ekspor diadopsi dari penelitian Rahmaddi et al. (2012). Berdasarkan hasil estimasi ekonometrika yang dilakukan oleh Rahmaddi et al. (2012) diperoleh besaran nilai elastisitas permintaan ekspor sebesar 2.68.

Elastisitas Armington

`Elastisitas Amington merupakan sebuah parameter yang menentukan tingkat substitusi antara barang-barang domestik dan barang-barang impor. Besaran nilai elastisitas Armington ini akan menentukan apakah sebuah komoditas yang diproduksi di dalam negeri dapat dengan mudah disubstitusi dengan komoditas impor atau tidak. Dalam teorinya armington menyatakan bahwa, barang-barang yang diperdagangkan secara Internasional meiliki sifat yang berbeda-beda tergantung Negara asal barang tersebut.

Dari sisi konsumen, produk suatu industri yang berasal dari berbagai negara merupakan sekelompok barang yang dapat saling bersubstitusi. Dalam penelitian ini, nilai elastisitas armington diperoleh dari hasil-hasil penelitian sebelumnya. Data lengkap mengenai elastisitas Armington yang digunakan pada pada penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 18.


(5)

Tabel 18 Nilai elastisitas Armington yang digunakan

Sektor CES Armington

Pertanian Tanaman Pangan 2.97

Pertanian Tanaman Lainnya 2.88

Peternakan dan Hasil-hasilnya 3.35

Kehutanan dan Perburuan 2.50

Perikanan 1.25

Pertambangan 6.59

Industri Makanan, Minuman dan Tembakau 2.83

Industri Lainnya 3.52

Jasa Swasta 2.11

Sektor Lainnya 1.90

Sumber : GTAP 7 Documentation Chapter 14 Behavioral Parameters

Elastisitas Pengeluaran

Elastisitas pengeluaran menunjukkan respon pengeluaran rumah tangga terhadap konsumsi berbagai jenis komoditi atas perubahan tingkat pendapatannya. Secara teoritis pola hubungan antara tingkat pendapatan dan pengeluaran konsumsi rumah tangga dipresentasikan oleh Hukum Engel. Dalam teori mikro ekonomi dikenal tiga jenis barang yaitu barang normal, inferior dan barang gifen. Perbedaan mendasar diantara ketiga barang tersebut adalah terkait dampak yang ditimbulkan terhadap tingkat konsumsi suatu barang ketika pendapatan masyarakat mengalami perubahan. Dalam penelitian ini semua barang diasumsikan sebagai barang normal sehingga ketika terjadi peningkatan pendapatan rumah tangga maka akan diikuti oleh peningkatan pengeluaran konsumsi. Namun demikian, perubahan tingkat pendapatan tertentu akan memiliki dampak yang berbeda terhadap perubahan tingkat konsumsi dari masing-masing produk yang dianalisis, yang sangat tergantung dari besaran nilai elastisitas pengeluaran rumah tangga.

Estimasi koefisien elastisitas pengeluaran rumah tangga secara terperinci untuk keseluruhan kelompok rumah tangga terhadap berbagai jenis komoditas yang dikonsumsi, membutuhkan data dan informasi yang sangat banyak dan waktu yang cukup lama. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka pada penelitian ini tidak dilakukan pengestimasian koefisien elastisitas pengeluaran rumah tangga. Untuk memenuhi keperluan penyusunan data dasar dalam penelitian ini,


(6)

nilai koefisien elastisitas pengeluaran rumah tangga diadopsi dari penelittian Hertel et al. (2004). Karena model CGE yang dikembangkan dalam penelitian ini merupakan sebuah sistem dan fungsi konsumsi-nya menggunakan konsep Linear Expenditure System (LES), maka elastisitas permintaan yang digunakan harus memenuhi kondisi Angel Agregation. Nilai elastisitas pengeluaran dan kondisi Angel aggregation dapat ditunjukkan pada Tabel 19.

Tabel 19 Elastisitas pengeluaran rumah tangga Sektor

Nilai Elastisitas Pendapatan

*

Proporsi Konsumsi

Rumah Tangga **

Nilai Elastisitas kali proporsi konsumsi **

Pertanian Tanaman Pangan 0.22 0.08 0.02

Pertanian Tanaman Lainnya 0.47 0.00 0.00

Peternakan dan Hasil-hasilnya 0.71 0.06 0.04

Kehutanan dan Perburuan 1.14 0.00 0.00

Perikanan 0.22 0.05 0.01

Pertambangan 1.14 0.00 0.00

Industri Makanan, Minuman dan

Tembakau 1.24 0.23 0.28

Industri Lainnya 0.86 0.25 0.22

Jasa Swasta 1.09 0.24 0.26

Pemerintahan dan Pertahanan, Pendidikan, Kesehatan, Film dan Jasa Sosial Lainnya

1.97 0.08 0.16

Jumlah 9.06 1.00 1.00

Sumber : * GTAP 7 Documentation Chapter 14 Behavioral Parameters ** dan *** olahan penulis