Analisis Impor Beras Di Indonesia Periode 1980-201

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Perekonomian negara-negara di dunia saat ini terkait satu sama lain melalui perdagangan barang dan jasa, transfer keuangan dan investasi antar negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan hubungan perdagangan dengan negara lain karena adanya perbedaan antarnegarabaik dalam hal sumber daya alam, sumber daya manusia maupun penguasaan teknologi. Perdagangan internasional juga dapat mendatangkan keuntungan bagi negara yang menjalaninya terutama jika nilai impornya lebih kecil dari nilai ekspor, meskipun demikian impor masih diperlukan untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri atau memenuhi kelebihan permintaan yang tidak dapat dipenuhi dengan produksi dalam negeri.

Ketahanan pangan menjadi persoalan penting terkait dengan perubahan iklim global dan pertumbuhan penduduk dunia. Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia ketahanan pangan menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia terutama terkait penyediaan dan stabilitas harga. Setiap warga negara berhak atas tercukupinya pangan dengan harga yang terjangkau, oleh karena itu oleh karena itu menjadi tugas pemerintah untuk menetapkan kebijakan yang dapat menjamin kecukupan dan keterjangkauan pangan bagi


(2)

seluruh masyarakat dan swasembada pangan menjadi kunci bagi pencapaian ketahanan pangan.

Di antara berbagai komoditi pangan, beras merupakan komoditas pangan yang sangat penting bagi Indonesia baik secara politik maupun ekonomi. Secara politik, stabilitas harga beras menjadi indikator keberhasilan kebijakan ekonomi suatu pemerintahan. Secara ekonomi, beras yang merupakan makanan pokok hampir seluruh masyarakat menjadikan harga beras determinan penting dalam ketahanan pangan dan kemiskinan. Rata-rata konsumsi beras per kapita masyarakat Indonesia pada tahun 2009 adalah sebesar 1,8 kg per minggu dan sekitar sembilan persen pengeluaran rumah tangga dialokasikan untuk konsumsi padi-padian termasuk beras. Harga beras yang rendah dan stabil diperlukan untuk menjamin akses masyarakat, terutama kelompok berpendapatan rendah, atas pangan pokok mereka.

Dari sisi ekonomi, sektor penghasil beras yaitu pertanian merupakan sektor penting dalam perekonomian ditinjau dari kontribusi dalam PDB maupun penyerapan tenagakerja. Dalam lima tahun terakhir kontribusi sektor pertanian terhadap pembentukan PDB berkisar antara 12-15 persen dan masih memperlihatkan kecenderungan meningkat setiap tahun. Ditinjau lebih jauh pada sub-sub sektor di dalamnya, pertanian tanaman pangan merupakan subsektor utama dalam sektor pertanian. Subsektor tanaman pangan memberikan kontribusi sekitar 50 persen terhadap PDB sektor pertanian secara keseluruhan (Tabel 1.1). Kondisi ini menunjukkan sebagian besar pertanian di Indonesia adalah pertanian tanaman pangan di mana komoditi padi termasuk di dalamnya.


(3)

3

Dalam hal penyerapan tenagakerja, sektor pertanian masih menjadi sektor yang paling banyak menampung tenagakerja. Sepanjang tahun 2006-2010, meskipun menunjukkan kecenderungan menurun, sektor pertanian mampu menyerap sekitar 38-42 persen tenagakerja.

Tabel 1.1 : Distribusi Persentase Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Sektor Pertanian Tahun 2006-2010 (Miliar Rupiah)

LAPANGAN USAHA 2006 2007 2008 2009* 2010**

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1. Pertanian, peternakan,

kehutanan dan perikanan 433.223,4 541.931,5 716.656,2 857.241,4 985.143,6 a. Tanaman Bahan Makanan 214.346,3 265.090,9 349.795,0 419.194,8 483.521,1 b. Tanaman Perkebunan 63.401,4 81.664,0 105.960,5 111.423,1 135.258,1 c. Peternakan dan

Hasil-hasilnya 51.074,7 61.325,2 83.276,1 104.883,9 119.094,9 d. Kehutanan 30.065,7 36.154,1 40.375,1 45.119,6 48.050,5 e. Perikanan 74.335,3 97.697,3 137.249,5 176.620,0 199.219,0 Produk Domestik Bruto 1.847.126,7 1.964.327,3 2.082.456,1 2.177.741,7 2.310.689,8

Sumber : BPS (2010)

catatan: * Angka sementara

** Angka sangat sementara

Gambar 1.1 menunjukkan persentase PDB dan penyerapan tenagakerja di sektor pertanian, tampak bahwa sekitar 40 persen tenagakerja hanya menghasilkan tidak lebih dari 15 persen PDB. Hal ini mengindikasikan rendahnya pendapatan tenagakerja di sektor pertanian sehingga rumah tangga yang pendapatan utamanya berasal dari sektor pertanian rawan terhadap kemiskinan.

Sebelum tahun 1998 pemerintah melakukan intervensi terhadap pasar beras melalui lembaga Badan Urusan Logistik (BULOG) yang menyerap produksi saat harga rendah pada panen raya dan melepas cadangan melalui operasi pasar saat harga tinggi pada masa paceklik maupun saat hari besar. BULOG juga


(4)

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

2006 2007 2008 2009 2010

P er se nt as e te rh ad ap S el u ru h S ek to r Tahun PDB TK

memiliki hak monopoli impor beras sehingga pemerintah dapat mengontrol jumlah beras yang diimpor.

Sumber : BPS (2010), diolah

Gambar 1.1 : Persentase PDB dan TenagaKerja Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan Tahun 2006-2010

Pada tahun 1998 Indonesia mengalami krisis ekonomi dan menerima bantuan IMF untuk mengatasinya. Salah satu poin dalam Letter of Intent (LoI) dengan IMF adalah menerapkan liberalisasi perdagangan beras sejak September 1998 dengan mengurangi hambatan impor beras dan menghapus hak monopoli BULOG dalam impor beras melalui Inpres No.19 Tahun 1998.

Liberalisasi pasar menjadi instrumen kebijakan untuk menjaga kecukupan persediaan dan stabilitas harga beras. Kenyataan bahwa produksi padi sangat rentan pada perubahan kondisi alam dan pertumbuhan penduduk serta konsumsi beras yang terus meningkat, membuat impor menjadi pilihan yang realistis dalam mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia. Di lain pihak, liberalisasi


(5)

5

perdagangan beras dapat menjadi ancaman bagi kemandirian pangan dan kesejahteraan petani di dalam negeri.

Dalam lima tahun terakhir konsumsi beras terus meningkat sementara produksi dan impor beras sangat berfluktuasi. Impor beras dilakukan saat produksi tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumsi. Gambar 1.2 menunjukkan fluktuasi impor beras periode 2006-2010 tidak mengikuti perkembangan produksi dan konsumsi beras. Pada tahun 2007 ketika terjadi surplus beras, volume impor justru meningkat. Demikian pula pada tahun 2010 volume impor beras meningkat meskipun terjadi peningkatan produksi. Kondisi ini menunjukkan adanya kebijakan yang kurang tepat dalam impor beras.

Sumber : BPS dan FAO, 2010. (Diolah).

Gambar 1.2 : Produksi, Konsumsi dan Impor Beras Tahun 2006-2010 0.00 200.00 400.00 600.00 800.00 1000.00 1200.00 1400.00 1600.00 33000.0 34000.0 35000.0 36000.0 37000.0 38000.0 39000.0 40000.0

2006 2007 2008 2009 2010

Im po r B er a s ( 0 0 0 T o n) P ro du k si, K o ns um si (0 0 0 T o n) Tahun


(6)

1.2 Perumusan Masalah

Indonesia merupakan negara dengan kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang potensial untuk mengembangkan pertanian, termasuk komoditi beras. Pasar beras dalam negeri sangat besar karena beras merupakan makanan pokok bagi sekitar 240 juta penduduk Indonesia. Kedua hal tersebut menggambarkan potensi pertanian padi yang sangat menjanjikan, maka menjadi sebuah ironi ketika dari tahun ke tahun Indonesia masih menjadi net importir beras.

Ketika pemerintah menerapkan liberalisasi perdagangan beras maka pasar beras Indonesia terintegrasi dengan pasar beras internasional dan harga beras dalam negeri akan terpengaruh oleh harga beras dunia sementara diketahui bahwa pasar beras dunia sangat tipis dan fluktuatif karena persediaan beras di pasar dunia hanya merupakan residu dari negara-negara eksportir beras. Ketergantungan terhadap impor beras membuat harga di tingkat konsumen menjadi lebih fluktuatif (Jamhari, 2004) serta kontraproduktif dengan program pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan mencapai swasembada beras pada tahun 2014 sehingga impor beras seharusnya dikurangi. Perlu dilakukan analisis mengenai ketergantungan terhadap impor beras dan faktor-faktor yang memengaruhi impor beras yang akan bermanfaat dalam menyusun strategi untuk mengurangi impor beras.

Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:


(7)

7

1. Bagaimana perkembangan produksi, konsumsi, impor dan harga beras di Indonesia?

2. Seberapa besar rasio ketergantungan impor beras di Indonesia?

3. Faktor-faktor apa yang memengaruhi impor beras di Indonesia dalam jangka panjang?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan identifikasi permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya, tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah:

1. Menganalisis perkembangan produksi, konsumsi serta impor dan harga beras di Indonesia periode 1980-2010.

2. Mengukur rasio ketergantungan impor beras di Indonesia periode 1980-2010. 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi impor beras di Indonesia

dalam jangka panjang.

1.4 Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada berbagai pihak yang berkepentingan dengan kebijakan impor beras serta dapat menjadi acuan bagi penelitian-penelitian lain yang mengangkat topik serupa.


(8)

2.1 Tinjauan Teori-teori

2.1.1 Perdagangan Internasional

Perdagangan internasional merupakan kegiatan pertukaran barang dan jasa yang dilakukan penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Perdagangan internasional didorong oleh adanya perbedaan harga antar negara (Nopirin, 1997). Menurut Krugman dan Obstfeld (2002) faktor utama yang menjadi alasan negara-negara melakukan perdagangan internasional adalah adanya perbedaan antarnegara dan setiap negara bertujuan mencapai skala ekonomis dalam produksinya. Perbedaan antar negara yang mendorong terjadinya perdagangan internasional adalah perbedaan sumberdaya alam, sumberdaya modal, tenaga kerja dan teknologi yang mengakibatkan perbedaan efisiensi produksi antar negara (Halwani, 2005).

Perdagangan Internasional memberikan keuntungan bagi semua pelakunya meskipun salah satu negara lebih efisien dibandingkan negara lainnya. Suatu negara dapat memperoleh keuntungan dari perdagangan internasional dengan mengekspor komoditi yang dapat diproduksi dengan sumberdaya yang melimpah di negara tersebut dan mengimpor komoditi yang produksinya memerlukan sumberdaya yang langka di negara tersebut (Krugman dan Obstfeld, 2002).


(9)

9

Menurut Sukirno (2004) keuntungan dari melakukan perdagangan internasional adalah :

a. Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi dalam negeri. Beberapa barang tidak dapat diproduksi sendiri di dalam negeri karena faktor alam maupun pengetahuan dan teknologi.

b. Memperoleh keuntungan dari spesialisasi karena faktor-faktor produksi yang dimiliki setiap negara dapat digunakan dengan lebih efisien dan setiap negara dapat menikmati lebih banyak barang dari yang dapat diproduksi di dalam negeri.

c. Memperluas pasar industri-industri dalam negeri. Dengan perluasan pasar, kapasitas produksi dapat terus ditingkatkan dengan pasar yang luas sehingga efisiensi dari skala ekonomi dapat tercapai.

d. Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara mempelajari teknik produksi dan manajemen yang lebih baik dari negara lain dan mengimpor alat-alat dengan teknologi yang lebih canggih dari negara lain untuk meningkatkan efisiensi.

Terjadinya perdagangan internasional akibat perbedaan harga antar negara dapat dianalisis melalui analisis keseimbangan parsial. Menurut Salvatore (1996), harga keseimbangan relatif suatu komoditi dalam perdagangan internasional ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan komoditas tersebut di pasar internasional. Penawaran di pasar internasional akan terbentuk ketika suatu negara mengalami kelebihan penawaran atas suatu komoditi. Sebaliknya, suatu negara yang mengalami kelebihan permintaan atas suatu komoditi akan memenuhinya


(10)

melalui permintaan di pasar internasional. Proses terjadinya kesetimbangan ini dapat dipahami dari analisis kesetimbangan parsial menggunakan kurva permintaan dan penawaran.

Gambar 2.1 menunjukkan terciptanya keseimbangan harga relatif dengan adanya perdagangan, ditinjau dari analisis kesetimbangan parsial. Sumbu vertikal menunjukkan harga relatif komoditi X (Px/Py) dan sumbu horisontal menunjukkan kuantitas komoditi X yang diminta maupun ditawarkan. Kurva Dx dan Sx menggambarkan permintaan dan penawaran atas komoditi X di pasar negara 1 dan negara 2, sementara kurva D dan S menggambarkan permintaan dan penawaran di pasar internasional. Kondisi kesetimbangan pada saat QDx = QSx di pasar negara 1, negara 2 dan pasar internasional berturut-turut ditunjukkan oleh E1, E2 dan Ew.

Gambar 2.1: Analisis Kesetimbangan Parsial Atas Harga Kesetimbangan Relatif Suatu Komoditi

Px/Py Pasar Negara 1 Pasar Internasional Pasar Negara 2

P2

Ekspor

Pw

Impor P1

Sumber: Salvatore (2006)

Qx Dx

Dx Sx

Sx

S

D

E1

Ew


(11)

11

Pada saat harga relatif di negara 1 (P1) lebih rendah daripada harga di pasar internasional (Pw), negara 1 mengalami kelebihan penawaran komoditi X dan kurva penawaran ekspornya (S) mengalami peningkatan. Sementara di negara 2, harga relatif komoditi X (P2) lebih tinggi dari pada harga di pasar internasional sehingga terjadi kelebihan permintaan atas komoditi X dan kurva permintaan impornya (D) mengalami peningkatan.

Kurva permintaan dan penawaran di pasar internasional menunjukkan pada tingkat harga Pw kuantitas impor komoditi X yang diminta oleh negara 2 persis sama dengan kuantitas ekspor komoditi X yang ditawarkan negara 1. Dengan demikian Pw adalah harga relatif kesetimbangan atas komoditi X setelah terjadi perdagangan internasional antara negara 1 dan negara 2.

2.1.2 Teori Perdagangan Internasional

Beberapa teori mengenai perdagangan internasional dijelaskan sebagai berikut.

2.1.2.1 Teori Keunggulan Absolut

Teori ini dikemukakan oleh Adam Smith yang menyatakan bahwa perbedaan kemampuan memproduksi antar negara disebabkan oleh perbedaan efisiensi dalam penggunaan input produksi. Suatu negara akan memproduksi dan mengekspor suatu barang yang mampu dibuat dengan efisiensi input yang lebih tinggi dibandingkan negara lain. Sementara suatu negara akan mengimpor jika negara tersebut tidak mampu memproduksi barang tersebut dengan efisiensi input yang lebih tinggi dibandingkan negara lain.


(12)

Asumsi yang berlaku pada teori ini adalah hanya ada dua negara dan dua barang yang diproduksi. Teori keunggulan absolut memiliki kelemahan, yaitu tidak mampu menjelaskan bagaimana proses perdagangan internasional dapat terjadi jika suatu negara memiliki keunggulan absolut atas semua barang.

2.1.2.2 Teori Keunggulan Komparatif

Teori ini dikemukakan oleh David Ricardo sebagai jawaban atas kelemahan teori keunggulan absolut Adam Smith. Menurut David Ricardo, perdagangan internasional akan timbul sebagai akibat perbedaan efisiensi relatif antara dua negara dalam memproduksi dua (atau lebih) jenis barang.

Suatu negara akan melakukan ekspor barang jika mampu memproduksi dengan kerugian absolut terkecil atau memiliki keunggulan komparatif atas barang tersebut. Sebaliknya suatu negara akan mengimpor suatu barang ketika tidak memiliki keunggulan komparatif atas barang tersebut.

2.1.2.3 Teori Heckscher-Ohlin (Teori H-O)

Menurut teori ini dasar terjadinya perdagangan internasional adalah perbedaan opportunity cost masing-masing negara karena adanya perbedaan dalam jumlah faktor produksi (tanah, tenaga kerja, dan modal) yang dimiliki oleh masing-masing negara. Teori H-O menekankan bahwa struktur perdagangan internasional suatu negara tergantung pada ketersediaan dan intensitas penggunaan faktor-faktor produksi yang dimiliki oleh negara tersebut.

Suatu negara akan berspesialisasi dan mengekspor suatu barang ketika negara tersebut memiliki faktor produksi utama yang relatif banyak dan akan


(13)

13

mengimpor ketika faktor produksi utama yang diperlukan untuk memproduksi barang hanya sedikit atau tidak dimiliki oleh negara tersebut.

2.1.3 Hambatan Perdagangan Internasional

Berdasarkan teori perdagangan internasional dinyatakan bahwa perdagangan bebas mamberikan keuntungan maksimal bagi kesejahteraan negara yang terlibat didalamnya. Perdagaangan bebas memberikan peningkatan surplus konsumen dan keuntungan yang diterima produsen lebih besar dibandingkan tanpa perdagangan bebas. Namun demikian hampir setiap negara masih menerapkan berbagai hambatan dalam perdagangan bebas. Argumen yang dikemukakan terkait penerapan hambatan atas perdagangan bebas diantaranya adalah kepentingan untuk melindungi industri dan tenaga kerja dalam negeri, contohnya proteksi atas produk pertanian untuk melindungi petani dari penurunan harga produk pertanian akibat masuknya produk impor yang lebih murah. Bentuk hambatan perdagangan dapat berupa tarif maupun non tarif (Salvatore, 1996). 2.1.3.1 Hambatan Tarif

Tarif adalah pajak atau cukai yang dikenakan untuk suatu komoditi yang diperdagangkan lintas batas teritorial. Kesepakatan perdagangan bebas antar negara telah menyetujui pengurangan dan penghapusan hambatan tarif perdagangan barang antar negara di dunia. Berdasarkan aspek asal komoditi tarif terdiri atas :


(14)

a. Tarif impor, yaitu tarif yang dikenakan terhadap komoditi-komoditi yang diimpor dari negara lain. Tujuan utama penerapan tarif impor adalah melindungi produk dalam negeri.

b. Tarif ekspor, yaitu pajak untuk komoditi yang diekspor ke luar negeri. Tujuan utama pengenaan tarif ekspor adalah untuk melindungi industri dalam negeri. Berdasarkan mekanisme penghitungannya tarif dibedakan menjadi :

a. Tarif ad valorem, yaitu pajak yang dikenakan berdasarkan persentase tertentu atas nilai barang yang diperdagangkan secara internasional.

b. Tarif spesifik, yaitu pajak berupa beban tetap unit barang yang diimpor tanpa memperhatikan nilainya.

c. Tarif campuran, yaitu gabungan antara tarif ad valorem dan tarif spesifik. 2.1.3.2 Hambatan Non Tarif

Ketika hambatan tarif di seluruh dunia diturunkan melalui berbagai kesepakatan perdagangan bebas, hambatan non tarif justru mengalami peningkatan yang signifikan. Beberapa jenis hambatan non tarif yang sering diterapkan adalah :

a. Kuota

Kuota adalah pembatasan secara langsung terhadap jumlah komoditi, unit maupun nilai, yang diimpor atau diekspor. Mekanisme penerapan kuota umumnya melalui pemberian lisensi kepada importer/eksportir tertentu.

b. Persyaratan teknis dan kandungan lokal

Negara pengimpor menerapkan aturan standard teknis dan kesehatan yang terlalu ketat atas produk-produk yang masuk ke negara tersebut. Instrument


(15)

15

proteksi juga dapat berupa persyaratan bahwa bagian-bagian tertentu dari produk yang diimpor harus dibuat di dalam negeri atau menggunakan bahan baku setempat.

c. Subsidi ekspor

Subsidi ekspor adalah pembayaran langsung atau pemberian keringanan pajak dan bantuan subsidi kepada para eksportir atau calon eksportir nasional, atau pemberian pinjaman lunak kepada importir asing. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan ekspor suatu negara.

2.1.4 Perdagangan Bebas dan Pembangunan Di Negara Berkembang Di era globalisasi di mana perekonomian dunia semakin menyatu, negara-negara didorong untuk semakin terbuka dan menghapuskan berbagai hambatan dalam hubungan internasional. Menurut Todaro (2006), arti ekonomi dari globalisasi adalah meningkatnya keterbukaan perekonomian suatu negara terhdap perdagangan internasional, aliran dana internasional dan investasi langsung. Keterbukaan perdagangan internasional atau perdagangan bebas membawa peluang dan resiko bagi negara berkembang sehingga menimbulkan kelompok yang mendukung dan menentang perdagangan bebas.

Berdasarkan teori-teori tradisional perdagangan neoklasik, pihak yang mendukung perdagangan bebas menyatakan bahwa keterbukaan perdagangan bebas mendatangkan keuntungan bagi negara berkembang sebagai berikut :


(16)

a. Perdagangan bebas meningkatkan persaingan, memperbaiki alokasi sumberdaya dan menciptakan skala ekonomi pada sektor-sektor yang memiliki keunggulan komparatif maupun kompetitif.

b. Tekanan-tekanan yang timbul akibat persaingan dalam perdagangan bebas akan meningkatkan efisiensi, perbaikan kualitas produk dan menyempurnakan teknologi produksi.

c. Perdagangan bebas memacu pertumbuhan ekonomi, meningkatkan nilai laba dan merangsang tabungan serta investasi yang semakin memacu pertumbuhan di masa mendatang.

d. Perdagangan bebas membuka kesempatan masuknya aliran modal, keahlian dan teknologi dari negara maju yang sangat diperlukan oleh negara berkembang.

e. Perdagangan bebas mendatangkan devisa melalui kegiatan ekspor yang kemudian dapat digunakan untuk membiayai impor.

f. Perdagangan bebas cenderung menghapuskan distorsi harga yang mahal akibat ketidaktepatan kebijakan dan intervensi pemerintah.

g. Perdagangan bebas meningkatkan pemerataan untuk mendapatkan akses ke setiap sumberdaya yang langka, serta memperbaiki kualitas alokasi sumberdaya secara keseluruhan.

Kelompok yang menentang perdagangan bebas berpendapat bahwa negara berkembang tidak memperoleh keuntungan optimal dari perdagangan bebas. Hal tersebut ditunjukkan oleh laju pertumbuhan permintaan produk primer yang rendah dan penurunan nilai tukar perdagangan atas produk-produk primer,


(17)

17

sementara produk primer merupakan komoditas unggulan ekspor bagi negara berkembang.

Penyebab dari lambatnya pertumbuhan permintaan ekspor produk-produk primer dari negara berkembang adalah :

a. Adanya pergeseran pola produksi di negara maju dari teknologi rendah ke teknologi tinggi, padat keterampilan dan hemat bahan baku sehingga menurunkan permintaan bahan mentah dari negara berkembang.

b. Peningkatan efisiensi pemakaian bahan baku dalam berbagai sektor industri. c. Pesatnya penemuan dan pengembangan produk dan bahan sintetis pengganti

yang lebih murah dari bahan mentah alamiahnya.

d. Rendahnya elastisitas permintaan untuk produk primer dan olahan sederhana. e. Meningkatnya produktivitas pertanian secara pesat di negara maju.

f. Meningkatnya gejalan proteksionisme baru di negara-negara maju terutama untuk produk pertanian serta industri padat karya.

Menurunnya nilai tukar perdagangan negara berkembang disebabkan oleh :

a. Kontrol oligopolistik dalam pasar produk maupun faktor produksi di negara-negara maju dan munculnya sumber-sumber pemasok baru yang menjadi pesaing bagi negara berkembang.

b. Produk ekspor negara berkembang memiliki elastisitas permintaan yang rendah.


(18)

Kelompok penentang perdagangan bebas menyimpulkan bahwa perdagangan bebas merugikan negara berkembang berdasarkan alasan sebagai berikut :

a. Pertumbuhan permintaan terhadap produk ekspor tradisional negara berkembang relatif rendah sehingga peningkatan kuantitas ekspor hanya akan mengakibatkan penurunan harga dan meningkatnya transfer pendapatan dari negara berkembang ke negara maju.

b. Elastisitas permintaan terhadap produk impor di negara berkembang lebih tinggi dibandingkan elastisitas permintaan atas produk ekspornya. Dengan demikian, tanpa proteksi impor negara berkembang akan terus kesulitan menyeimbangkan neraca pembayarannya.

c. Keunggulan komparatif negara berkembang dalam komoditi primer relatif statis sehingga kebijakan promosi ekspor hanya akan menghambat proses industrialisasi di negara berkembang.

d. Negara berkembang memiliki keterbatasan dalam melakukan lobi untuk membuka pasar di negara-negara maju.

2.1.5 Teori Permintaan

Menurut Lipsey (1987) kuantitas permintaan adalah jumlah suatu komoditi yang ingin dibeli oleh suatu rumah tangga. Permintaan seluruh rumah tangga atas suatu komoditi dipengaruhi oleh harga komoditi itu sendiri, rata-rata pendapatan rumah tangga, harga komoditi yang berkaitan, selera, distribusi antar rumah tangga dan besarnya populasi. Sementara menurut Mankiw (2001) kuantitas


(19)

19

permintaan adalah jumlah barang yang ingin dan mampu dibeli oleh individu atau rumah tangga. Faktor-faktor yang mempengaruhi kuantitas permintaan adalah harga barang itu sendiri, pendapatan, harga barang lain yang berkaitan, selera dan ekspektasi atas kondisi di masa mendatang.

Hukum permintaan menyatakan bahwa kuantitas yang diminta akan meningkat apabila harga menurun dengan asumsi kondisi selain harga tetap (ceteris paribus). Perubahan harga menyebabkan pergerakan jumlah yang diminta di sepanjang kurva yang sama sementara perubahan pada variabel selain harga akan menyebabkan pergeseran kurva permintaan (Lipsey, 1987). Peningkatan pendapatan rata-rata rumah tangga akan meningkatkan permintaan meskipun harga tidak berubah, perubahan ini digambarkan dengan pergeseran kurva permintaan ke kanan. Perubahan harga barang yang berkaitan akan mempengaruhi jumlah barang yang diminta tergantung pada sifat barang tersebut, apakah subtitutif atau komplementer. Kenaikan harga barang subtitusi akan meningkatkan permintaan, sebaliknya kenaikan harga barang komplemen akan menurunkan permintaan. Pertumbuhan penduduk tidak secara langsung menciptakan permintaan baru, hanya tambahan penduduk yang memiliki daya beli yang akan merubah permintaan. Peningkatan jumlah penduduk usia produktif yang bekerja akan meningkatkan pendapatan agregat sehingga permintaan meningkat. Dengan demikian pertumbuhan penduduk akan meningkatkan permintaan pada berbagai tingkat harga (Lipsey,1987).

Permintaan pasar adalah jumlah dari seluruh permintaan individu atas suatu barang atau jasa. Permintaan pasar diturunkan dari permintaan individu


(20)

maka permintaan pasar juga dipengaruhi faktor-faktor yang sama dengan permintaan individu dan tergantung pula pada jumlah penduduk, karena permintaan agregat merupakan jumlah dari seluruh permintaan individu (Mankiw, 2001). Faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan internasional, termasuk permintaan impor agregat, pada prinsipnya sama dengan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan individu maupun permintaan pasar. Dengan anggapan bahwa harga dan tingkat bunga tetap, maka impor akan tergantung (secara positif) pada pendapatan, makin tinggi pendapatan makin tinggi pula impor (Nopirin, 1997).

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai Dayasaing Produk Pertanian Indonesia oleh Daryanto (2009) melalui pengukuran indeks Revealed Comparative Advantage (RCA),

Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) dan Private Cost Ratio (PCR) memberikan kesimpulan bahwa secara umum dayasaing komoditas petanian ditinjau dari keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan terutama untuk komoditas padi, kedelai dan tebu. Komoditas padi masih memiliki keunggulan kompetitif maupun komparatif tetapi keunggulan yang dimiliki semakin rendah dan rentan terhadap perubahan kondisi eksternal. Keunggulan komparatif padi masih dapat diwujudkan menjadi keunggulan kompetitif karena adanya proteksi dari pemerintah berupa subsidi input dan tarif impor beras.


(21)

21

Azziz (2006) dalam penelitian mengenai Analisis Impor Beras serta Pengaruhnya terhadap Harga Beras Dalam Negeri dengan metode regresi linier berganda menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang signifikan dalam mempengaruhi impor beras adalah kebijakan perdagangan, harga beras impor dan dalam negeri, nilai tukar rupiah dan produksi beras dalam negeri.

Nastiti (2007) menganalisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Impor Beras di Indonesia Pada Kurun Waktu 1984-2004 dengan metode Error Correction Model (ECM). Dari penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa produksi beras domestik, GDP dan impor tahun sebelumnya berpengaruh secara signifikan terhadap volume impor beras. Selama kurun waktu pencapaian swasembada beras, volume impor beras mengalami penurunan.

Ruatiningrum (2011) melakukan penelitian mengenai Dampak Kebijakan Pemerintah dan Perubahan Faktor Lain Terhadap Permintaan dan Penawaran Beras dengan menggunakan metode regresi persamaan simultan. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa impor beras dipengaruhi secara signifikan oleh produksi beras, jumlah penduduk, impor tahun sebelumnya dan stok beras tahun sebelumnya.

Dutta dan Ahmed (2006) dalam penelitiannya tentang Analisis Kointegrasi Fungsi Permintaan Impor Agregat untuk India dengan Error Correction Model

(ECM). Hasil penelitian menyatakan bahwa permintaan impor agregat dipengaruhi oleh harga relatif dan pendapatan riil.

Jamhari (2004) meneliti tentang Liberalisasi Perdagangan dan Stabilitas Harga Beras di Indonesia dengan mengukur koefisien variasi harga beras.


(22)

Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa liberalisasi pasar beras di Indonesia meningkatkan stabilitas harga di tingkat petani dan pedagang besar tetapi membuat harga di tingkat konsumen menjadi tidak stabil.

Penelitian Rachman, et.al (2007) tentang Prospek Ketahanan Pangan Nasional dengan metode statistik sederhana melalui pengamatan terhadap trend

dan pengukuran variabilitas antar waktu menyimpulkan bahwa pertumbuhan ketersediaan beras relatif rendah karena stagnasi pertumbuhan produksi padi akibat makin menyusutnya lahan pertanian padi. Meskipun kondisi ketahanan pangan nasional relatif terjamin keberlanjutannya namun aksesibilitas rumah tangga terhadap bahan pangan masih menjadi masalah serius terkait dengan masalah stabilitas harga pangan dan kemiskinan.

Penelitian oleh Warr (2005) mengenai Kebijakan Pangan dan Kemiskinan di Indonesia menggunakan analisis keseimbangan umum (general equilibrium analysis) menunjukkan bahwa larangan atau pembatasan impor menaikkan harga beras di dalam negeri dan meningkatkan kemiskinan baik di perkotaan maupun pedesaan. Diantara para petani hanya petani kaya yang menikmati keuntungan dari proteksi ini.

Mengamati volume impor beras yang fluktuatif setiap tahun dan dampak negatif impor beras terhadap usaha kemandirian pangan dan peningkatan kesejahteraan petani, penelitian ini difokuskan pada impor beras dan variabel-variabel yang mempengaruhi dalam jangka panjang. Selain variabel-variabel-variabel-variabel harga beras domestik dan internasional, produksi domestik, GDP serta nilai tukar riil sebagaimana telah digunakan dalam penelitian-penelitian sebelumnya,


(23)

23

penelitian ini akan memasukkan variabel konsumsi beras, pertumbuhan penduduk dan rasio ketergantungan impor sebagai faktor-faktor yang diduga mampu menjelaskan variabilitas impor beras dalam jangka panjang. Pengaruh kebijakan liberalisasi perdagangan akan ditunjukkan melalui variabel dummy sebelum liberalisasi dan setelah liberalisasi yang mulai berlaku efektif pada tahun 1999.

2.3 Kerangka Pikir

Dalam rangka memenuhi kebutuhan beras dalam negeri dan menjaga stabilitas harga, pemerintah menerapkan kebijakan impor beras dan liberalisasi perdagangan beras. Akan tetapi kebijakan ini berlawanan dengan usaha pemerintah untuk mencapai kemandirian pangan dan kesejahteraan petani. Untuk mengetahui sejauh mana ketergantungan persediaan beras terhadap impor, penelitian ini menggunakan ukuran rasio ketergantungan impor. Ketergantungan yang semakin besar terhadap impor beras menunjukkan dayasaing beras domestik yang semakin rendah dan akan membahayakan ketersediaan dan stabilitas harga dalam negeri karena pasar beras internasional sangat fluktuatif.

Untuk menganalisis hubungan jangka panjang antara impor beras dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya digunakan analisis time series dengan

Vector Error Correction Model (VECM), Impulse Response Function (IRF) dan

Forecast Error Variance Decomposition (FEVD). Hasil analisis tersebut dapat menjadi dasar penyusunan strategi kebijakan untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor beras. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini ditunjukkan dalam Gambar 2.2.


(24)

Gambar 2.2 : Kerangka Pikir

Indonesia memiliki potensi dalam menghasilkan beras dari sisi SDA maupun SDM dan produksi beras terus meningkat tetapi menjadi net importir beras

Ketergantungan terhadap impor mengancam kemandirian pangan, upaya pencapaian swasembada beras tahun 2014 dan stabilitas harga beras dalam

negeri

Seberapa besar rasio ketergantungan impor beras Indonesia?

Bagaimana pengaruh produksi dan konsumsi beras, harga beras di pasar domestik dan internasional, rasio ketergantungan impor, kebijakan liberalisasi perdagangan beras, PDB, pertumbuhan penduduk serta nilai tukar riil terhadap

volume impor beras dalam jangka panjang?

Analisis deskriptif dan analisis time series dengan VECM


(25)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai sumber yaitu Badan Pusat Statistik (BPS), Food and Agriculture Agency (FAO), Bank Dunia, United Nation Statistics Division, dan

International Rice Research Institution (IRRI).

Data yang digunakan adalah data time series (tahunan) periode tahun 1960-2010 yang meliputi data volume impor beras, produksi beras dalam negeri, harga beras di pasar domestik dan pasar internasional, Produk Domestik Bruto (PDB), jumlah populasi penduduk, nilai tukar rupiah riil, konsumsi beras dalam negeri dan indeks harga konsumen. Secara umum variabel yang digunakan dalam penelitian ini dirangkum dalam Tabel 3.1.

Tabel 3.1 : Variabel dalam Penelitian

Variabel Sumber

(1) (2)

Volume Impor Beras FAO

Produksi Beras Dalam Negeri FAO, BPS

Konsumsi Beras Dalam Negeri BPS

Harga Rata-rata Eceran Beras Dalam Negeri IRRI, BPS

Harga Rata-rata Eceran Beras Dunia World Bank

Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan (2005=100) UN

Jumlah Penduduk UN

Nilai Tukar Rupiah Riil UN


(26)

3.2 Metode Analisis Data

Vector Autoregressive (VAR) adalah suatu sistem persamaan yang terdiri atas n-variabel yang merupakan fungsi linier dari konstanta dan nilai lag variabel itu sendiri serta lag dari variabel lainnya yang ada dalam sistem. Peubah penjelas dalam VAR meliputi nilai lag seluruh peubah tak bebas dalam sistem. Pada metode VAR, variabel eksogen dan endogen tidak dapat dibedakan secara apriori. Menurut Sims (1972) dalam Enders (2004) hanya variabel endogen yang masuk analisis.

Model VAR dikembangkan sebagai solusi atas kritikan terhadap model persamaan simultan yaitu bahwa persamaan simultan terlalu berdasarkan pada agregasi dari model keseimbangan parsial, tanpa memperhatikan pada hasil hubungan yang hilang dan struktur dinamis dalam model seringkali dispesifikasikan untuk memberikan restriksi yang dibutuhkan dalam mendapatkan identifikasi dari bentuk struktural. Menurut Firdaus (2011) keunggulan metode VAR dibandingkan metode ekonometrika konvensional adalah:

1. Mengembangkan model secara bersamaan di dalam suatu sistem multivariate sehingga dapat menangkap hubungan keseluruhan variabel di dalam persamaan.

2. Uji VAR yang multivariate bias menghindarkan parameter yang bias akibat tidak dimasukkannya variabel yang relevan.

3. Uji VAR dapat mendeteksi hubungan antar variabel di dalam sistem persamaan dengan menjadikan seluruh variabel sebagai endogen.


(27)

27

4. Karena bekerja berdasarkan data, metode VAR terbebas dari berbagai batasan teori ekonomi yang sering muncul, termasuk gejala perbedaan palsu (spurious variable) di dalam model ekonometrika konvensional terutama pada persamaan simultan, sehingga menghindari penafsiran yang salah.

Model VAR juga memiliki beberapa kelemahan, menurut Gujarati (1987) kelemahan metode VAR diantaranya:

1. Model VAR lebih bersifat teori karena tidak memanfaatkan informasi dari teori-teori terdahulu.

2. Karena lebih menitikberatkan pada peramalan, maka model VAR dianggap tidak sesuai untuk implikasi kebijakan.

3. Tantangan terberat VAR adalah pemilihan panjang lag yang tepat. 4. Semua variabel yang digunakan dalam model VAR harus stasioner. 5. Koefisien estimasi VAR sulit diintreprestasikan.

Vector Correction Model (VECM) adalah VAR yang terbatas dan dirancang untuk digunakan pada data yang tidak stasioner dan memiliki hubungan kointegrasi. Enders (2004) menyatakan bahwa variabel dalam VECM merupakan variabel turunan pertama dalam model VAR atau dengan kata lain bahwa variabel dalam VECM terkointegrasi pada orde pertama. Analisis VECM juga dapat memecahkan persoalan pada data time series yang tidak stasioner yang mengakibatkan terjadinya regresi lancung (spurious regression).

Model VECM dapat ditulis sebagai berikut :


(28)

dimana :

Dalam hal ini koefisien adalah koefisien jangka pendek sedangkan adalah koefisien jangka panjang. Koefisien koreksi ketidakseimbangan dalam bentuk nilai absolut menjelaskan seberapa cepat waktu diperlukan untuk mendapatkan nilai keseimbangan. Nilai yang negatif menunjukkan perbedaan antara keadaan yang diinginkan dalam jangka panjang dan keadaan yang sebenarnya dalam jangka pendek akan disesuaikan dalam beberapa periode.

3.3 Pengujian Asumsi 3.3.1 Uji Stasioneritas Data

Asumsi pada analisis data time series adalah data bersifat konstan dan independen dari waktu ke waktu sehingga data yang digunakan dapat memberikan hasil yang terhindar dari kemungkinan adanya bias terhadap estimasi. Sebagian besar metode yang digunakan dalam analisis data time series mengasumsikan stasioneritas dari data yang digunakan. Data yang tidak stasioner akan memberikan hasil regresi yang semu atau meragukan (spurious regression). Pada data yang non stasioner hasil estimasi mungkin memberikan nilai koefisien determinasi (R2) yang tinggi dan meyakinkan seolah-olah hubungan antar variabel dependen dan independen dalam model sangat kuat tetapi nilai statistik Durbin Watson yang rendah mengindikasikan adanya autokorelasi. Data dikatakan stasioner ketika rata-rata dan varians bernilai konstan antar waktu dan nilai


(29)

29

kovarians antara dua periode waktu hanya tergantung pada jarak atau kelambanan antara kedua periode tersebut bukan pada waktu aktual perhitungan kovarians.

Jika Yt adalah data time series yang stokhastik maka data tersebut stasioner ketika memenuhi kondisi-kondisi berikut :

Rata-rata Y pada periode t : Varianns Y pada periode t :

Kovarians Y antar dua periode waktu : [ ] dimana :

Yt = nilai observasi Y pada periode t

Yt+k = nilai observasi Y pada periode (t+k)

µ = rata-rata dari data Y

2 = varians dari data Y

k = kovarians Y pada saat lag k

Pengujian atas stasioneritas suatu data time series dapat dilakukan secara informal maupun formal. Pengujian informal dilakukan melalui pengamatan pola grafik dan correlogram-nya, suatu data dikatakan stasioner ketika ada kecenderungan fluktuasinya berada di sekitar rata-rata dengan gerakan yang relatif tetap atau tidak tampak adanya trend naik atau turun. Pengujian melalui grafik ini sangat subjektif dan tergantung pada pengalaman peneliti. Pengujian formal yang digunakan yang sering digunakan adalah uji akar-akar unit (unit roots test) dengan metode Augmented Dickey Fuller (ADF) Test dan Phillips Perron


(30)

a. Augmented Dickey Fuller (ADF) Test

ADF Test merupakan koreksi terhadap Dickey Fuller (DF) Test dengan menambahkan lag pada variabel dependen untuk menghilangkan korelasi antar residual. Misalkan terdapat persamaan

……… (2)

Dimana  adalah koefisien autoregresif, µt adalah white noise error term yang

memiliki rata-rata sama dengan nol dan varians konstan serta tidak mengandung autokorelasi. Jika  = 1, maka dapat dinyatakan bahwa variabel Yt mempunyai

akar unit atau dengan kata lain series data tersebut merupakan random walk. Hipotesis untuk pengujian ini dinyatakan dengan :

Ho : = 1, atau series mengandung akar unit (tidak stasioner) H1 : ≠ 1, atau data tidak mengandung akar unit (stasioner)

Persamaan (2) dapat dinyatakan dalam bentuk turunan pertama (first difference) yaitu :

………..………… (3)

……….. (4)

Dimana dan yang menunjukkan turunan pertama dari persamaan (2). Hipotesis untuk pengujian ini dinyatakan dengan :

Ho : = 0, atau series mengandung akar unit (tidak stasioner) H1 : ≠ 0, atau data tidak mengandung akar unit (stasioner)

Jika maka persamaan di atas dapat ditulis menjadi Persamaan ini menunjukkan bahwa turunan pertama dari series yang


(31)

31

ramdom. Langkah berikutnya adalah menentukan nilai statistik ADF yang merupakan nilai koefisien autoregresifnya. Dengan membandingkan nilai statistik ADF dengan nilai kritis tabel MacKinnon maka akan diketahui apakah series

mengandung akar unit atau tidak. Jika nilai absolut statistik ADF lebih besar dari nilai kritis MacKinnon maka Ho ditolak dan kesimpulannya series tersebut telah stasioner, jika sebaliknya maka dapat disimpulkan series tersebut tidak stasioner

Jika data asli dari sebuah series telah stasioner maka dikatakan data tersebut stasioner pada order 0 atau pada level dan dilambangkan dengan I(0). Selanjutnya, jika data stasioner pada turunan pertama maka dikatakan bahwa data tersebut stasioner pada order 1 atau I(1). Demikian seterusnya sampai didapatkan data yang stasioner pada order d atau I(d).

b. Phillips-Perron (PP) Test

Kelemahan dari ADF test adalah memberikan hasil yang bias pada saat terjadi perubahan struktural selama periode yang diteliti. Perubahan struktural akan membuat data berubah secara permanen yaitu adanya perubahan dalam konstanta, trend maupun trend dan konstanta sekaligus. Model yang digunakan dalam PP test adalah :

……….………. (5)

……….…. (6)

……….. (7)

Persamaan (5) tidak mempertimbangkan adanya konstanta maupun trend,

persamaan (6) memperhitungkan konstanta dan persamaan (7) memperhitungkan konstanta dan trend dalam penghitungan akar unitnya.


(32)

Misalkan terdapat persamaan

………...…………. (8) Dimana  adalah koefisien autoregresif, µt adalah white noise error term yang

memiliki rata-rata sama dengan nol dan varians konstan serta tidak mengandung autokorelasi. Jika  = 1, maka dapat dinyatakan bahwa variabel Yt mempunyai

akar unit atau dengan kata lain series data tersebut merupakan random walk. Hipotesis untuk pengujian ini dinyatakan dengan :

Ho : = 1, atau series mengandung akar unit (tidak stasioner) H1 : < 1, atau data tidak mengandung akar unit (stasioner)

Persamaan (8) dapat dinyatakan dalam bentuk turunan pertama (first difference) yaitu :

………..… (9)

……… (10)

Dimana dan yang menunjukkan turunan pertama dari persamaan (8). Hipotesis untuk pengujian ini dinyatakan dengan :

Ho : = 0, atau series mengandung akar unit (tidak stasioner) H1 : < 0, atau data tidak mengandung akar unit (stasioner)

Untuk menentukan apakah suatu data stasioner atau tidak, nilai statistik

Phillips-Perron test harus dibandingkan dengan nilai kritis tabel MacKinnon. Jika nilai mutlak statistik Phillips-Perron test lebih besar dari nilai kritis tabel MacKinnon, maka dapat Ho ditolak dan dapat disimpulkan data telah stasioner.


(33)

33

3.3.2 Uji Lag Optimum

Uji lag merupakan prosedur penting dalam analisis data time series karena uji kointegrasi dan uji lanjutan lainnya sangat sensitif terhadap panjang lag. Penentuan panjang lag seringkali dilakukan secara arbitrer atau melalui trial and error untuk mendapatkan hasil yang optimal. Dalam pemilihan panjang lag, selain mempertimbangkan optimalitas juga perlu mempertimbangkan adanya kemungkinan korelasi antar residual dan penurunan degree of freedom. Pemilihan

lag yang terlalu pendek biasanya menghasilkan korelasi serial sedangkan pada pemilihan lag yang terlalu panjang mengakibatkan penurunan degree of freedom

dari persamaan yang dihasilkan dan jumlah parameter yang diestimasi menjadi semakin banyak sehingga menjadi tidak efisien (Enders, 2004).

Secara umum parameter yang dapat digunakan untuk menentukan panjang lag optimal antara lain Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SIC), Likelihood Ratio (LR), Final Prediction Error (FPE) dan Hannan Quin Information Criterion. Dalam penelitian ini digunakan semua kriteria informasi untuk menentukan lag optimal. Model VAR diestimasi dengan lag yang berbeda-beda kemudian dibandingkan nilai kriterianya. Nilai lag yang optimum adalah nilai kriteria yang terkecil.

3.3.3 Uji Kointegrasi

Uji kointegrasi berfungsi untuk mengetahui keseimbangan hubungan jangka panjang di antara variabel-variabel dalam model. Jika terdapat dua variabel yang tidak stasioner dan memiliki kombinasi linier dimana residualnya bersifat


(34)

stasioner, maka dapat dikatakan bahwa kedua variabel tersebut saling terkointegrasi.

Engel Granger (1987) dalam Enders (2004) mendifinisikan kointegrasi sebagai berikut: komponen dari vektor peubah memiliki hubungan kointegrasi pada orde atau derajat d, b dimana d ≥ b ≥ 0 dinyatakan dengan jika :

1. Semua komponen xt berintegrasi pada derajat yang sama dengan I(d)

2. Terdapat sebuah vektor yang merupakan salah satu kombinasi linier berintegrasi pada derajat (d - b) dimana b ≥ 0. Vektor β disebut vektor kointegrasi.

Setelah persyaratan diatas terpenuhi, selanjutnya dilakukan estimasi persamaan regresi linier sederhana dengan metode OLS. Persamaannya adalah sebagai berikut :

...(11)

...(12)

Dari residual ini kemudian diuji stasioneritasnya menggunakan ADF dengan persamaan uji sebagai berikut ∑

Dari hasil estimasi nilai statistik ADF kemudian dibandingkan dengan nilai kritisnya. Jika nilai statistik ADF lebih besar dari nilai kritisnya maka variabel-variabel yang diamatai saling terkointegrasi atau memiliki hubungan jangka panjang.

Untuk menguji adanya vektor kointegrasi dapat digunakan Trace Test atau


(35)

35

∑ ………..…………... (13)

Dimana k = 0,1,….,m-1 dan adalah nilai eigen value ke i. Lambang T

menyatakan banyak angka dalam periode waktu tersedia dalam data.

………. (14)

Hipotesis null yang digunakan untuk Trace Test dan Maximum Eigen Value Test adalah Ho : k = 0, tidak terdapat hubungan kointegrasi atau Ho : k=1, terdapat satu hubungan kointegrasi sampai Ho : k = (n-1), terdapat (n-1) persamaan kointegrasi antar variabel. Banyaknya persamaan kointegrasi menunjukkan banyaknya kombinasi linier antar variabel yang stasioner.

Nilai Trace Test atau Maximum Eigen Value Test yang diperoleh dibandingkan dengan nilai kritis tabel Osterwald-Lenum (1992). Jika nilainya lebih besar dari nilai kritis tabel maka Ho ditolak

3.3.4 Uji Stabilitas VAR

Uji stabilitas VAR dilakukan dengan menghitung akar-akar dari fungsi polinomial atau dikenal dengan roots of characteristic polynomial. Model VAR tersebut dianggap stabil jika semua akar dari fungsi polynomial tersebut berada dalam unit circle atau nilai absolutnya lebih kecil dari 1 sehingga IRF dan FEVD yang dihasilkan dianggap valid.


(36)

3.3.5 Impuls Response Function (IRF)

IRF menunjukkan bagaimana respon dari setiap variabel endogen sepanjang waktu terhadap kejutan dari variabel itu sendiri dan variabel endogen lainnya. IRF digunakan untuk melihat pengaruh kontemporer dari sebuah variabel dependen jika mendapatkan guncangan atau inovasi dari variabel independen sebesar satu standar deviasi. Vector autoregression dapat pula direpresentasikan sebagai suatu

vector moving average (VMA)

...(15)

Di mana : [

]

Keempat koefisien Ø11 (i), Ø12 (i), Ø21 (i), dan Ø22 (i) merupakan impuls

response function. Hasil IRF tersebut sangat sensitif terhadap pengurutan (ordering) variabel yang digunakan dalam perhitungan. Pengurutan variabel yang didasarkan pada faktorisasi cholesky. Variabel yang memiliki nilai prediksi terhadap variabel lain diletakkan di depan berdampingan satu sama lainnya. variabel yang tidak memiliki nilai prediksi terhadap variabel lain diletakkan paling belakang

3.3.5 Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)

FEVD adalah metode yang dapat digunakan untuk melihat bagaimana perubahan dalam suatu variabel makro ditunjukkan oleh perubahan variance error


(37)

37

menunjukkan kekuatan dan kelemahan dari masing-masing variabel dalam mempengaruhi variabel lainnya pada kurun waktu yang panjang (how long/how persistent). Dekomposisi varians merinci varians dari error peramalan (forecast) menjadi komponen-komponen yang dapat dihubungkan dengan setiap variabel endogen dalam model. Melalui perhitungan persentase squared prediction error

k-tahap ke depan dari sebuah variabel akibat inovasi dalam variabel-variabel lain, dapat dilihat seberapa besar error peramalan variabel tersebut disebabkan oleh variabel itu sendiri dan variabel-variabel lainnya.

3.4 Spesifikasi Model

Dalam penelitian ini, variabel yang diduga memiliki pengaruh jangka panjang terhadap volume impor beras (Qm) di Indonesia adalah:

1. Rasio harga beras dalam negeri terhadap harga beras dunia (RPrice) yang menunjukkan kesenjangan antara harga dalam negeri dan harga dunia.

2. Rasio produksi terhadap konsumsi beras (RProd) yang menunjukkan kemampuan produksi beras dalam memenuhi kebutuhan konsumsi.

3. Rasio ketergantungan impor beras (Im) yang menunjukkan besarnya ketergantungan penyediaan beras dalam negeri terhadap impor

4. Variabel dummy yang menunjukkan perbedaan periode sebelum dan setelah diberlakukannya kebijakan liberalisasi perdagangan beras di Indonesia pada tahun 1998.

5. Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga konstan dengan tahun dasar 2005 dalam miliar rupiah.


(38)

6. Pertumbuhan penduduk (Pop) dalam persen.

7. Nilai tukar riil (RER) yaitu nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat dengan menggunakan tahun dasar 2005.

Model VAR untuk persamaan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Dimana : Yt : vektor variabel endogen (Qm, RProd, RPrice, Im, Dummy, PDB, Pop dan RER)

α : konstanta

β : koefisien matriks untuk lag-i

ε : residual

Selanjutnya dilakukan transformasi data yaitu untuk variabel nominal diubah dalam nilai riil dan semua variabel diubah dalam bentuk logaritma kecuali untuk variabel dummy, rasio ketergantungan impor beras dan pertumbuhan penduduk yang sudah dalam bentuk persentase. Sesuai dengan pendapat Sims dalam Enders (2004) bahwa semua data estimasi yang dipergunakan dalam VAR dan VECM adalah dalam bentuk logaritma kecuali data yang sudah dalam bentuk persen atau data tersebut memiliki koefisien yang negatif (sangat kecil) yang tidak mungkin diubah dalam bentuk logaritma natural. Salah satu alasannya adalah untuk mempermudah analisis, karena baik dalam impulse response maupun

variance decomposition, pengaruh shock dilihat dalam standar deviasi yang dapat dikonversi dalam bentuk persentase.


(39)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Deskriptif

4.1.1 Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi

Produksi padi Indonesia meskipun mengalami fluktuasi namun masih menunjukkan pertumbuhan yang meyakinkan yaitu rata-rata 2,52 persen per tahun selama kurun waktu tahun 1981-2010 sementara luas panen pada periode yang sama pertumbuhannya lebih lambat yaitu rata-rata 1,27 persen per tahun (Gambar 4.1). Pertumbuhan produksi padi yang signifikan terjadi pada periode 1981-1985 dan pada tahun 1984 Indonesia berhasil mencapai swasembada beras untuk pertama kalinya. Mulai tahun 1970-an pemerintah Indonesia mengadopsi sistem revolusi hijau melalui program Intensifikasi Khusus (INSUS) dan berhasil meningkatkan produksi padi.

5000 15000 25000 35000 45000 55000 65000 5000 15000 25000 35000 45000 55000 65000 1 9 8 1 1 9 8 2 1 9 8 3 1 9 8 4 1 9 8 5 1 9 8 6 1 9 8 7 1 9 8 8 1 9 8 9 1 9 9 0 1 9 9 1 1 9 9 2 1 9 9 3 1 9 9 4 1 9 9 5 1 9 9 6 1 9 9 7 1 9 9 8 1 9 9 9 2 0 0 0 2 0 0 1 2 0 0 2 2 0 0 3 2 0 0 4 2 0 0 5 2 0 0 6 2 0 0 7 2 0 0 8 2 0 0 9 2 0 1 0 Lu a s Pa n en , 0 0 0 H a Pro d u k si, 0 0 0 To n Tahun

Produksi Luas Panen Sumber: BPS dan Kementan, 1981-2010. (Diolah).


(40)

Produksi padi merupakan hasil perkalian antara luas panen dan produktivitas tanaman padi. Pertumbuhan produktivitas memegang peranan yang lebih penting dibandingkan pertambahan luas panen. Gambar 4.2 menunjukkan perkembangan produktivitas padi dari 3,5 ton per hektar pada tahun 1981 meningkat hingga 5 ton per hektar pada tahun 2010, peningkatan produktivitas ini mampu mendorong peningkatan produksi padi pada saat luas panen relatif stagnan. . Secara rata-rata produktivitas padi di Indonesia tumbuh 1,27 persen per tahun selama periode 1981-2010. Penurunan produktivitas yang signifikan terjadi pada tahun 1998 saat Indonesia dilanda kekeringan akibat El-Nino dan La-Nina, yang mengakibatkan gagal panen di beberapa wilayah. Produktivitas padi Indonesia saat ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata dunia yaitu 4,3ton/Ha, akan tetapi jika dibandingkan produktivitas sawah irigasi sebesar 12,5ton/Ha maka Indonesia masih dapat meningkatkan produktivitas padi terutama pada lahan sawah irigasi (FAO, 2011).

3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 5.5 1 9 8 1 1 9 8 2 1 9 8 3 1 9 8 4 1 9 8 5 1 9 8 6 1 9 8 7 1 9 8 8 1 9 8 9 1 9 9 0 1 9 9 1 1 9 9 2 1 9 9 3 1 9 9 4 1 9 9 5 1 9 9 6 1 9 9 7 1 9 9 8 1 9 9 9 2 0 0 0 2 0 0 1 2 0 0 2 2 0 0 3 2 0 0 4 2 0 0 5 2 0 0 6 2 0 0 7 2 0 0 8 2 0 0 9 2 0 1 0 To n /H a Tahun

Sumber: BPS dan Kementan, 1981-2010. (Diolah). Gambar 4.2: Produktivitas Padi di Indonesia, 1981-2010


(41)

41

4.1.2 Perkembangan Produksi, Konsumsi dan Impor Beras Indonesia

Rata-rata produksi beras di Indonesia tahun 1980-2010 adalah 31,1 juta ton/tahun dan menunjukkan trend meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 2,51 persen per tahun. Dari Gambar 4.3 tampak bahwa peningkatan yang cukup tinggi terjadi pada tahun 1992 dan 2009. Penurunan produksi yang signifikan terjadi pada tahun 1997 dimana pada periode tersebut Indonesia menghadapi banyak bencana alam dan krisis ekonomi yang mengakibatkan pemerintah mencabut subsidi untuk komoditi input pertanian seperti pupuk dan bibit.

Konsumsi beras dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan. Rata-rata konsumsi beras pada periode 1980-2010 adalah 32 juta ton/tahun dengan rata-rata pertumbuhan 0,59 persen per tahun. Secara rata-rata produksi beras lebih rendah dibandingkan konsumsinya. Dari Gambar 4.3 tampak bahwa produksi beras lebih tinggi dari konsumsi atau surplus produksi hanya terjadi pada periode 1980-1986. Pada

15000.0 20000.0 25000.0 30000.0 35000.0 40000.0 45000.0 1 9 8 0 1 9 8 1 1 9 8 2 1 9 8 3 1 9 8 4 1 9 8 5 1 9 8 6 1 9 8 7 1 9 8 8 1 9 8 9 1 9 9 0 1 9 9 1 1 9 9 2 1 9 9 3 1 9 9 4 1 9 9 5 1 9 9 6 1 9 9 7 1 9 9 8 1 9 9 9 2 0 0 0 2 0 0 1 2 0 0 2 2 0 0 3 2 0 0 4 2 0 0 5 2 0 0 6 2 0 0 7 2 0 0 8 2 0 0 9 2 0 1 0 0 0 0 T o n Tahun

Produksi Beras Konsumsi Beras Sumber: BPS dan Kementan, 1980-2010. (Diolah).


(42)

periode selanjutnya Indonesia hampir selalu mengalami defisit produksi beras kecuali pada tahun 1989, 1992, 2007 dan 2008. Kesenjangan antara produksi dan konsumsi ini menjadi dasar bagi Menteri Perdagangan untuk melakukan impor beras.

Gambar 4.4 menunjukkan impor beras serta selisih antara produksi dan konsumsi beras tahun 1980-2010. Impor beras seharusnya sama dengan defisit produksi, semakin tinggi defisit maka semakin tinggi pula volume beras yang diimpor akan tetapi realisasi impor beras tidak selalu sejalan dengan surplus atau defisit produksi beras yang terjadi pada tahun tersebut. Ketika impor tidak dapat memenuhi defisit produksi yang terjadi dapat memicu kenaikan harga beras di pasar domestik. -6000 -4000 -2000 0 2000 4000 6000 1 9 8 0 1 9 8 1 1 9 8 2 1 9 8 3 1 9 8 4 1 9 8 5 1 9 8 6 1 9 8 7 1 9 8 8 1 9 8 9 1 9 9 0 1 9 9 1 1 9 9 2 1 9 9 3 1 9 9 4 1 9 9 5 1 9 9 6 1 9 9 7 1 9 9 8 1 9 9 9 2 0 0 0 2 0 0 1 2 0 0 2 2 0 0 3 2 0 0 4 2 0 0 5 2 0 0 6 2 0 0 7 2 0 0 8 2 0 0 9 2 0 1 0 0 0 0 To n Tahun

Selisih Produksi dan Konsumsi Impor Beras

Sumber: BPS, Kementan dan FAO, 1980-2010. (Diolah).

Gambar 4.4: Impor serta Selisih Produksi dan Konsumsi Beras Indonesia, 1980-2010


(43)

43

Volume beras yang diimpor oleh Indonesia sepanjang periode 1980-2010 berfluktuasi dari tahun ke tahun, namun secara rata-rata mengalami kenaikan 160 persen per tahun. Impor beras tertinggi terjadi tahun 1999 yaitu sebesar 4,7 juta ton, pada akhir tahun 1998 kebijakan liberalisasi pasar beras mulai berlaku efektif di Indonesia. Periode tahun 1985-1988 merupakan periode impor beras terendah yaitu rata-rata 37,3 ribu ton per tahun dimana pada tahun 1984 Indonesia berhasil mencapai swasembada beras. Impor beras Indonesia terutama berasal dari Thailand, Vietnam dan Amerika Serikat (AS). Volume impor beras menurut negara asal ditunjukkan dalam Tabel 4.1.

Tabel 4.1: Impor Beras Indonesia Menurut Negara Asal Tahun 2005-2009 (Ton)

Negara Tahun

2005 2006 2007 2008 2009

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Thailand 126,408.90 157,983.30 363,640.10 157,007.30 221,372.60 Vietnam 44,772.50 272,832.70 1,022,834.60 125,070.50 0,970.50 AS 2,184.20 801.00 821.70 1,411.20 1,323.40 India 327.00 720.60 3,571.80 289.50 473.10 Pakistan - 904.30 4,603.60 751.30 501.50 Cina 1.30 100.00 901.40 3,341.70 5,167.60 Lainnya 15,922.70 4,766.60 10,473.80 1,817.90 664.50

Jumlah 189,616.60 438,108.50 1,406,847.00 289,689.40 250,473.20

Sumber: BPS, 2010

4.1.3 Perkembangan Harga dan Impor Beras di Indonesia

Pemerintah berusaha menjaga stabilitas harga beras untuk menjaga daya beli masyarakat. Harga beras tahun 1980-1997 cenderung stabil dengan kenaikan rata-rata 11,81 persen per tahun. Lonjakan harga beras di pasar dalam negeri terjadi pada tahun 1998, pada tahun ini Indonesia mengalami puncak krisis ekonomi dan politik yang membuat harga beras meningkat hingga 98,7 persen.


(44)

Kenaikan yang cukup signifikan juga terjadi pada tahun 2006-2007 yang dipicu oleh kenaikan harga beras dunia, pada periode ini harga beras naik sebesar 30,72 persen.

Kebijakan impor beras merupakan salah satu cara untuk menjaga stabilitas harga beras. Kenaikan harga beras dalam negeri menjadi sinyal adanya excess demand sehingga perlu dilakukan impor untuk menambah supply dan mencegah kenaikan harga. Gambar 4.5 menunjukkan perkembangan impor beras dan harga beras di pasar domestik. Pada tahun 1999 dan 2002 kenaikan impor beras diikuti oleh penurunan harga eceran beras di pasar domestik pada tahun berikutnya. Pada tahun 2007 terjadi peningkatan impor beras sebesar 208 persen yang dimaksudkan untuk mengatasi kenaikan harga di pasar domestik, akan tetapi kenaikan harga pangan dunia pada tahun yang sama membuat kebijakan menambah supply beras melalui impor tidak efektif untuk menurunkan harga.

0.00 1000.00 2000.00 3000.00 4000.00 5000.00 6000.00 7000.00 8000.00 9000.00 19 80 19 82 19 84 19 86 19 88 19 90 19 92 19 94 19 96 19 98 20 00 20 02 20 04 20 06 20 08 20 10 R ib u To n , R u p iah /K g Tahun

Impor Beras (000 Ton) Harga Rata-rata Eceran Beras (Rp/Kg)

Sumber: FAO, 1980-2010. (Diolah).

Gambar 4.5: Volume Impor dan Harga Rata-rata Eceran Beras di Indonesia, 1980-2010


(45)

45

Gambar 4.6 menunjukkan perkembangan harga gabah kering giling (GKG) di tingkat petani dan harga beras di tingkat konsumen tahun 1989-2010. Sebelum pemerintah menerapkan kebijakan liberalisasi pasar beras rata-rata selisih harga gabah dan harga beras adalah Rp 535,-. Setelah liberalisasi pasar beras mulai diberlakukan efektif pada tahun 1998 kesenjangan antara harga gabah di tingkat petani dan harga beras di tingkat konsumen terus meningkat. Data terakhir pada tahun 2010 menunjukkan harga beras di tingkat konsumen lebih mahal 2,3 kali dibandingkan rata-rata harga gabah pada tahun yang sama. Kondisi ini menunjukkan ketidakberpihakan kebijakan pemerintah kepada petani. Petani menerima harga yang murah atas produksi padi mereka sementara petani di Indonesia sebagian besar merupakan net-buyer beras sehingga harga beras yang mahal akan menurunkan daya beli dan meningkatkan kemiskinan.

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 19 89 19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 20 06 20 07 20 08 20 09 20 10 R p /K g Tahun

Harga GKG Harga Beras

Sumber: BPS dan FAO, 1989-2010. (Diolah).

Gambar 4.6: Harga Rata-rata Gabah kering Giling (GKG) dan Eceran Beras di Indonesia, 1980-2010


(46)

Hasil penghitungan Indeks Spesialisasi Produksi (ISP) menunjukkan bahwa untuk komoditi beras Indonesia sejak tahun 1994 merupakan net-importir beras yang berarti lebih banyak mengimpor daripada mengekspor beras. Sebagai net-importir harga beras dalam negeri dipengaruhi oleh harga beras di pasar internasional. Gambar 4.7 menunjukkan harga beras di pasar domestik cenderung mengikuti harga beras di pasar internasional, namun pergerakan harga beras domestik tampak lebih fluktuatif. Setelah kenaikan harga pangan dunia pada tahun 2007-2008 harga beras dunia kembali menurun pada tahun 2009 namun harga beras di pasar domestik justru terus meningkat. Kesenjangan antara harga beras di pasar domestik dan pasar internasional dapat menjadi pendorong terus meningkatnya impor beras.

0.00 200.00 400.00 600.00 800.00 1000.00 1200.00 1400.00 1600.00 1800.00 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 20 06 20 07 20 08 20 09 20 10 US $/Kg Tahun

Harga Beras Dunia Harga Beras Indonesia

Sumber: World Bank dan BPS, 1999-2010. (Diolah).


(47)

47

Gambar 4.8 menunjukkan perbandingan harga beras di pasar domestik dan harga ekspor beras negara-negara eksportir beras utama di Indonesia tahun 2000-2009. Pada tahun 2000-2005 harga beras Vietnam merupakan yang tertinggi dibandingkan harga beras di Indonesia, Thailand, Cina, Amerika Serikat dan Vietnam. Pada tahun 2006 harga eceran beras di pasar dalam negeri mengalami kenaikan dan hingga tahun 2010 harga beras di pasar dalam negeri lebih tinggi dibandingkan harga ekspor negara-negara tersebut, hal ini menunjukkan lemahnya daya saing Indonesia dibandingkan produsen-produsen beras dunia.

4.1.4 Rasio Ketergantungan Impor Beras

Rasio ketergantungan impor beras mengukur proporsi impor beras terhadap persediaan beras dalam negeri yaitu produksi dikurangi ekspor ditambah

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

US

D

/K

g

Tahun

Cina Thailand AS Vietnam Indonesia Sumber: BPS dan UN, 2010. (Diolah).

Gambar 4.8: Harga Beras Indonesia, Cina, Thailand, Amerika Serikat dan Vietnam, 2000-2009


(48)

impor. Hasil penghitungan rasio ketergantungan impor beras menunjukkan fluktuasi sepanjang tahun 1980-2010 dengan rata-rata 2,69 persen per tahun. Hal ini berarti rata-rata setiap tahun 2,69 persen persediaan beras dalam negeri dipenuhi dari impor. Meskipun produksi beras terus meningkat namun ketergantungan terhadap impor tidak menunjukkan penurunan, hal ini mengindikasikan bahwa produksi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi.

4.1.5 Jumlah Penduduk dan Persediaan Beras Nasional

Jumlah penduduk merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan agregat termasuk permintaan beras. Peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan permintaan beras sebagai bahan pangan pokok. Idealnya, pertumbuhan persediaan beras harus mampu mengimbangi laju pertumbuhan penduduk. Dari Gambar 4.9 tampak bahwa jumlah penduduk terus meningkat

0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 1 9 8 0 1 9 8 1 1 9 8 2 1 9 8 3 1 9 8 4 1 9 8 5 1 9 8 6 1 9 8 7 1 9 8 8 1 9 8 9 1 9 9 0 1 9 9 1 1 9 9 2 1 9 9 3 1 9 9 4 1 9 9 5 1 9 9 6 1 9 9 7 1 9 9 8 1 9 9 9 2 0 0 0 2 0 0 1 2 0 0 2 2 0 0 3 2 0 0 4 2 0 0 5 2 0 0 6 2 0 0 7 2 0 0 8 2 0 0 9 2 0 1 0 P er sen Tahun

Sumber: FAO dan BPS, 1980-2010. (Diolah).


(49)

49

sepanjang tahun sementara pertumbuhan persediaan beras relatif stagnan. Jumlah penduduk pada tahun 2010 meningkat 59,04 persen dibandingkan tahun 1980 sementara pada periode yang sama persediaan beras nasional hanya tumbuh sebesar 55,44 persen.

Sepanjang periode 1980-2010 produksi beras meningkat sebesar 66,3 persen lebih besar dibandingkan peningkatan jumlah penduduk. Kebijakan ekspor-impor yang kurang tepat mengakibatkan persediaan beras nasional justru tidak dapat mengimbangi pertumbuhan jumlah penduduk pada periode tersebut.

4.2 Hasil Uji Asumsi

Sebelum melakukan analisis lebih lanjut dengan VECM perlu dilakukan pengujian asumsi-asumsi yang meliputi uji stasioneritas data dengan uji akar unit, uji lag optimum, uji stabilitas VAR dan uji kointegrasi. Pengujian-pengujian ini

20000.00 25000.00 30000.00 35000.00 40000.00 45000.00 100000 120000 140000 160000 180000 200000 220000 240000 Per se d ia a n B er a s J u m la h Pen d u d u k Tahun

Jumlah Penduduk (000 Jiwa) Persediaan Beras (000 Ton) Sumber: FAO, 1980-2010. (Diolah).


(50)

penting karena dalam model multivariate time series kebanyakan data yang digunakan mengandung akar unit sehingga akan membuat hasil estimasi menjadi semu dan tidak valid (Gujarati 2006).

4.2.1 Hasil Uji Stasioneritas Data

a. Hasil uji stasioneritas data dengan ADF Test pada tingkat level

Metode yang digunakan untuk menguji stasioneritas data adalah ADF Test. Jika nilai t-statistik hasil ADF Test lebih kecil dari nilai kritis tabel MacKinnon pada taraf nyata α=10 persen maka dapat diambil kesimpulan data tersebut stasioner. Pada tabel 4.3 ditampilkan nilai t-statistik ADF Test dan nilai kritis tabel MacKinnon yang menunjukkan bahwa tidak semua data stasioner pada

level. Oleh karena itu pengujian akar unit perlu dilanjutkan pada tingkat first difference.

Tabel 4.2: Hasil ADF Test untuk Data pada Tingkat Level

Variabel

Augmented Dickey-Fuller test statistic

(Level)

Test critical values

Hasil t-Statistic Prob.* 1% level 5% level 10%

level

LNQM -3.6859 0.0073 -3.5713 -2.9224 -2.5992 Stasioner LNPRICE -3.8825 0.0042 -3.5713 -2.9224 -2.5992 Stasioner LNRPROD -5.0764 0.0001 -3.5713 -2.9224 -2.5992 Stasioner IM -3.1400 0.0305 -3.5812 -2.9266 -2.6014 Stasioner DUMMY -0.5340 0.8753 -3.5713 -2.9224 -2.5992

Tidak Stasioner LNPDB -0.4201 0.8974 -3.5713 -2.9224 -2.5992

Tidak Stasioner POP -1.4703 0.5395 -3.5812 -2.9266 -2.6014 Tidak Stasioner LNRER -1.1981 0.6681 -3.5713 -2.9224 -2.5992 Tidak Stasioner *MacKinnon (1996) one-sided p-values.


(51)

51

b. Hasil uji stasioneritas data dengan ADF Test pada tingkat first difference

Hasil pengujian stasioneritas data dengan menggunakan ADF Test pada

first difference menunjukkan bahwa semua data stasioner pada taraf nyata α=10 persen . Ditunjukkan pada Tabel 4.4 nilai t-statistik ADF test untuk semua data lebih besar dari nilai kritis tabel MacKinnon pada taraf nyata α=10 persen.

Karena data tidak stasioner pada tingkat level tetapi stasioner pada first difference maka selanjutnya perlu dilakukan uji kointegrasi untuk menentukan analaisis yang akan digunakan lebih lanjut. Jika hasil pengujian menunjukkan tidak terdapat kointegrasi maka analisis lanjutan yang dilakukan adalah analisis VAR sementara bila terdapat kointegrasi maka analisis lanjutan yang dilakukan adalah VECM.

Tabel 4.3: Hasil ADF Test untuk Data pada Tingkat First Difference

Variabel

Augmented Dickey-Fuller test

statistic (First Difference)

Test critical values

Hasil t-Statistic Prob.* 1% level 5% level 10% level

LNQM -8.677 0.0000 -3.5777 -2.9252 -2.6007 Stasioner LNPRICE -6.5097 0.0000 -3.5777 -2.9252 -2.6007 Stasioner LNRPROD -8.9221 0.0000 -3.5744 -2.9238 -2.5999 Stasioner IM -4.1997 0.0018 -3.5812 -2.9266 -2.6014 Stasioner DUMMY -6.9282 0.0000 -3.5744 -2.9238 -2.5999 Stasioner LNPDB -4.7772 0.0003 -3.5744 -2.9238 -2.5999 Stasioner POP -2.7632 0.0715 -3.5812 -2.9266 -2.6014 Stasioner LNRER -6.3288 0.0000 -3.5744 -2.9238 -2.5999 Stasioner *MacKinnon (1996) one-sided p-values.


(52)

4.2.2 Hasil Uji Lag Optimum

Penentuan lag optimum sangat penting dalam analisis VAR maupun VECM karena panjang lag dari variabel endogen dalam sistem persamaan akan digunakan sebagai variabel eksogen. Pengujian lag optimum juga berguna untuk mengatasi masalah autokorelasi yang biasanya muncul dalam analisis data time series.

Penetapan lag optimum menggunakan nilai dari Likelihood Ratio, Final Prediction Error, Akaike Information Criterion (AIC), Schwartz Information Criterion (SIC) dan Hannan Quin Criterion (HQ). Panjang lag optimum yang digunakan adalah lag yang terpendek. Hasil dari pengujian menunjukkan panjang

lag optimum yang digunakan adalah lag ketiga. Tabel 4.4: Hasil Uji Lag Optimum

Lag LogL LR FPE AIC SC HQ

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

0 -156.6809 NA 1.78e-07 7.1600 7.4780 7.2791 1 229.5075 621.2595 1.53e-13 -6.8481 -3.9859 -5.7759 2 388.3497 200.2793 3.18e-15 -10.9717 -5.5653 -8.9464 3 513.3916 114.1687* 4.77e-16 -13.6257 -5.6751 -10.647 4 659.2223 82.42602 9.16e-17* -17.1835* -6.6887* -13.252* Keterangan:

* menunjukkan lag terpilih berdasarkan kriteria

LR : sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE : Final prediction error

AIC : Akaike information criterion SC : Schwarz information criterion HQ : Hannan-Quinn information criterion

Sumber : Output hasil pengolahan dengan EViews 6.0

4.2.3 Hasil Uji Stabilitas VAR

Pengujian stabilitas VAR menggunakan roots characteristic polynomial, suatu sistem VAR dikatakan stabil jika roots-nya memiliki modulus lebih kecil


(53)

53

dari satu (Lukepohl dalam Eviews 6 Users Guide 2007). Pada lampiran 1 ditunjukkan bahwa persamaan VAR memiliki nilai modulus kurang dari satu sehingga dapat disimpulkan bahwa model VAR yang dibentuk sudah stabil.

4.2.4 Hasil Uji Kointegrasi

Konsep kointegrasi dikemukakan oleh Engel dan Granger (1987) dalam Enders (2004) sebagai fenomena kombinasi linier dari dua atau lebih variabel yang tidak stasioner akan menjadi stasioner. Kombinasi linier ini disebut dengan persamaan kointegrasi dan dapat diinterprestasikan sebagai hubungan keseimbangan jangka panjang diantara variabel. Pengujian kointegrasi dilakukan dengan pengujian Johansen Cointegration.

Terdapat lima asumsi deterministik trend dalam uji kointegrasi, untuk menentukan pilihan trend yang digunakan bias dilihat dari hasil summary pada pilihan lag optimal. Pemilihan asumsi didasarkan pada hasil criteria Akaike Information dan Schwartz dan dipilih salah satu. Hasil uji kointegrasi pada

summary model menunjukkan adanya kointegrasi pada model keempat yaitu model linier dengan intersep dan trend (Lampiran 2). Hal ini berarti secara

multivariate terjadi hubungan keseimbangan jangka panjang antar variabel dalam model.

Hasil uji kointegrasi pada asumsi terpilih menunjukkan adanya tujuh rank

kointegrasi yang ditunjukkan dengan nilai trace statistik yang lebih besar dari nilai kritis tabel MacKinnon-Haug-Michelis dengan taraf nyata 5 persen.


(1)

Lampiran 3: Hasil Uji Stabilitas VAR

Roots of Characteristic Polynomial

Endogenous variables: LNQM LNRPRICE LNRPROD IM DUMMY LNPDB POP LNRER

Exogenous variables: C Lag specification: 1 3 Date: 11/21/11 Time: 10:57

Root Modulus

0.983864 0.983864

0.930656 + 0.225694i 0.957631

0.930656 - 0.225694i 0.957631

0.720433 + 0.626961i 0.955041

0.720433 - 0.626961i 0.955041

0.829281 + 0.335843i 0.894705

0.829281 - 0.335843i 0.894705

0.851262 0.851262

-0.117194 + 0.836513i 0.844682

-0.117194 - 0.836513i 0.844682

0.603287 - 0.538296i 0.808528

0.603287 + 0.538296i 0.808528

0.087657 - 0.785406i 0.790282

0.087657 + 0.785406i 0.790282

-0.511576 + 0.548226i 0.749841

-0.511576 - 0.548226i 0.749841

0.201048 - 0.682178i 0.711187

0.201048 + 0.682178i 0.711187

-0.710958 0.710958

-0.605939 0.605939

-0.177522 + 0.554138i 0.581879

-0.177522 - 0.554138i 0.581879

-0.241215 0.241215

-0.197241 0.197241

No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.


(2)

Lampiran 4: Hasil Uji Kointegrasi

a.

Hasil

summary

Sample: 1961 2010 Included observations: 47

Series: LNQM LNRPRICE LNRPROD IM DUMMY LNPDB POP LNRER Lags interval: 1 to 2

Selected (0.05 level*) Number of Cointegrating Relations by Model

Data Trend: None None Linear Linear Quadratic

Test Type No Intercept Intercept Intercept Intercept Intercept

No Trend No Trend No Trend Trend Trend

Trace 7 8 8 7 6

Max-Eig 3 5 4 4 4

*Critical values based on MacKinnon-Haug-Michelis (1999) Information Criteria by Rank and Model

Data Trend: None None Linear Linear Quadratic

Rank or No Intercept Intercept Intercept Intercept Intercept

No. of CEs No Trend No Trend No Trend Trend Trend

Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns)

0 332.9086 332.9086 350.5550 350.5550 360.7597

1 367.2158 384.1201 401.3021 406.9913 416.9481

2 398.3464 416.7523 432.5226 443.9177 453.0662

3 421.0816 447.8724 456.6870 471.3252 479.6056

4 435.8532 470.5400 474.0589 492.6049 499.9422

5 449.3266 484.9542 487.4398 505.9869 511.6220

6 458.2160 495.8312 497.7783 516.7364 521.3413

7 464.9769 504.6012 505.7948 524.7597 528.7429

8 465.0006 511.1278 511.1278 530.5244 530.5244

Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns)

0 -8.719513 -8.719513 -9.130001 -9.130001 -9.223817

1 -9.498545 -10.17532 -10.60860 -10.80814 -10.93396

2 -10.14240 -10.84052 -11.25628 -11.65607 -11.79005

3 -10.42901 -11.44138 -11.60370 -12.09895 -12.23854

4 -10.37673 -11.68255 -11.66208 -12.28106 -12.42307*

5 -10.26922 -11.57252 -11.55063 -12.12710 -12.23923

6 -9.966640 -11.31197 -11.30972 -11.86112 -11.97197

7 -9.573485 -10.96175 -10.96999 -11.47914 -11.60608

8 -8.893642 -10.51608 -10.51608 -11.00104 -11.00104

Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns)

0 -3.680813 -3.680813 -3.776383 -3.776383 -3.555280

1 -3.830008 -4.467422 -4.625146 -4.785318 -4.635588

2 -3.844026 -4.463419 -4.642988 -4.964049* -4.861838

3 -3.500794 -4.395073 -4.360571 -4.737720 -4.680485

4 -2.818681 -3.967042 -3.789110 -4.250630 -4.235186

5 -2.081329 -3.187809 -3.047822 -3.427470 -3.421509

6 -1.148915 -2.258052 -2.177072 -2.492289 -2.524409

7 -0.125922 -1.238637 -1.207509 -1.441103 -1.528683


(3)

b.

Pada asumsi terpilih

Sample (adjusted): 1964 2010

Included observations: 47 after adjustments

Trend assumption: Linear deterministic trend (restricted) Series: LNQM LNRPRICE LNRPROD IM DUMMY LNPDB POP LNRER

Lags interval (in first differences): 1 to 2 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)

Hypothesized Trace 0.05

No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**

None * 0.909422 359.9388 187.4701 0.0000

At most 1 * 0.792233 247.0663 150.5585 0.0000

At most 2 * 0.688476 173.2134 117.7082 0.0000

At most 3 * 0.595667 118.3984 88.80380 0.0001

At most 4 * 0.434161 75.83910 63.87610 0.0036

At most 5 * 0.367089 49.07512 42.91525 0.0108

At most 6 * 0.289240 27.57610 25.87211 0.0304

At most 7 0.217534 11.52935 12.51798 0.0727

Trace test indicates 7 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)

Hypothesized Max-Eigen 0.05

No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**

None * 0.909422 112.8725 56.70519 0.0000

At most 1 * 0.792233 73.85286 50.59985 0.0001

At most 2 * 0.688476 54.81504 44.49720 0.0028

At most 3 * 0.595667 42.55929 38.33101 0.0154

At most 4 0.434161 26.76398 32.11832 0.1959

At most 5 0.367089 21.49902 25.82321 0.1682

At most 6 0.289240 16.04675 19.38704 0.1432

At most 7 0.217534 11.52935 12.51798 0.0727

Max-eigenvalue test indicates 4 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level


(4)

Lampiran 5: Grafik IRF

-1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Response of LNQM to LNQM

-1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Response of LNQM to LNRPRICE

-1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Response of LNQM to LNRPROD

-1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Response of LNQM to IM

-1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Response of LNQM to DUMMY

-1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Response of LNQM to LNPDB

-1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Response of LNQM to POP

-1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Response of LNQM to LNRER Response to Cholesky One S.D. Innovations

-0.4 0.0 0.4 0.8 1.2

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Response of LNQM to POP


(5)

-Lampiran 4: Hasil Estimasi VECM untuk Persamaan Jangka Panjang

Vector Error Correction Estimates

Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]

Cointegrating Eq: CointEq1

LNQM(-1) 1.000000

LNRPRICE(-1) -6.964623

(2.02477) [-3.43970]

LNRPROD(-1) 6.068460

(0.28304) [ 21.4400]

IM(-1) -1.065394

(0.12437) [-8.56664]

DUMMY(-1) -39.53399

(2.09645) [-18.8576]

LNPDB(-1) -98.54116

(4.63531) [-21.2588]

POP(-1) -19.70047

(2.27870) [-8.64548]

LNRER(-1) 2.081291

(0.48160) [ 4.32163]

@TREND(61) 5.748418

(0.28948) [ 19.8575]


(6)

SISWI PUJI ASTUTI.

Analisis Impor Beras di Indonesia Periode 1980-2010

(dibimbing oleh

TANTI NOVIANTI

).

Hampir seluruh negara di dunia melakukan hubungan perdagangan dengan

negara lain karena adanya perbedaan antarnegara dalam hal sumber daya alam,

sumber daya manusia maupun teknologi dan keuntungan yang dapat diperoleh

dari perdagangan internasional jika nilai impornya lebih kecil dari nilai ekspor.

Impor diperlukan untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa yang tidak dapat

diproduksi di dalam negeri atau memenuhi kelebihan permintaan yang tidak dapat

dipenuhi dengan produksi dalam negeri.

Ketahanan pangan merupakan masalah yang dihadapi seluruh negara di

dunia terkait dengan pertumbuhan penduduk dan perubahan iklim global yang

mengancam produksi pangan. Setiap warga negara berhak atas tercukupinya

pangan dengan harga yang terjangkau, oleh karena itu pemerintah perlu

menetapkan kebijakan yang dapat menjamin kecukupan dan keterjangkauan

pangan bagi seluruh masyarakat dan swasembada pangan menjadi kunci bagi

pencapaian ketahanan pangan. Beras merupakan komoditi pangan strategis bagi

Indonesia karena beras merupakan makanan pokok bagi sebagian besar

masyarakat dan sektor pertanian khususnya pertanian tanaman pangan sebagai

penghasil beras merupakan sektor penting dalam perekonomian ditinjau dari

peranannya dalam pembentukan PDB dan penyerapan tenaga kerja.

Ketergantungan terhadap impor beras dapat mengancam usaha

peningkatan kesejahteraan petani dan pencapaian swasembada beras pada tahun

2014. Penelitian ini bertujuan menganalisis perkembangan produksi, konsumsi,

harga dan impor beras. Penelitian ini juga mengukur ketergantungan penyediaan

beras terhadap impor dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi impor

beras dalam jangka panjang melalui metode ekonometrika

Vector Error

Correction Model

(VECM).

Luas panen, produktivitas dan produksi padi di Indonesia tahun 1991-2009

mengalami peningkatan. Peningkatan produktivitas padi memegang peranan yang

lebih penting dalam meningkatkan produksi padi dibandingkan peningkatan luas

panen. Secara rata-rata, produksi beras lebih rendah dibandingkan konsumsinya

pada periode yang sama. Impor beras sepanjang periode 1980-2010 berfluktuasi

dengan rata-rata 1,083 juta ton per tahun dan pertumbuhan impor rata-rata 160

persen setiap tahun. Pola pergerakan harga beras di pasar domestik mengikuti pola

harga beras di pasar dunia dan harga beras di pasar domestik lebih tinggi

dibandingkan harga di pasar internasional. Rasio ketergantungan impor beras

Indonesia periode 1980-2010 sangat berfluktuasi dengan rata-rata 2,69 persen per

tahun.

Variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap volume impor beras

dalam jangka panjang adalah rasio harga dalam negeri terhadap harga dunia, rasio