C. Peratifikasian Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas di Indonesia
Indonesia ikut menandatatangani Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas pada tanggal 30 Maret 2007 saat dibuka pertama kali penandatangan
oleh PBB, dengan urutan ke-9. Pada waktu itu Negara Indonesia diwakili olehMenteri Sosial Bachtiar Chamsyah. Sesuai dengan Pasal 43 Konvensi,
Indonesia sebagai penandatangan Konvensi wajib meratifikasi mengikat diri dengan Konvensi. Keinginan meratifikasi juga didorong oleh alasan filosofis,
sosiologis dan yuridis.
96
a. Masalah politik, perdamaain, pertahanan, dan keamanan negara;
Tujuan pengesahan Konvensi tersebut adalah untuk memperkuat penghormatan, perlindungan, pemenuhan dan pemajuan hak-hak
penyandang disabilitas di segala bidang. Menurut Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian
lnternasional ratifikasi atau pengesahan suatu perjanjian internasional dapat dilakukan dengan undang-undang atau Keputusan Presiden. Pengesahan
perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan:
b. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik
Indonesia; c.
Kedaulatan atau hak berdaulat negara; d.
Hak Asasi Manusia dan lingkungan hidup; e.
Pembentukan kaidah hukum baru;
96
Lihat Naskah Akademik RUU tentang Penyandang Disabilitas
f. Pinjaman danatau hibah luar negeri.
97
Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana disebut di atas, dilakukan dengan Keputusan Presiden.
98
Sementara itu, atas usulan berbagai instansi lembaga kementerian dan organisasi sosial penyandang cacat penyandang disabilitas, Kementerian Sosial
didesak untuk segera memulai proses Ratifikasi secara formal. Menteri Sosial mengajukan proses ratifikasi kepada Menteri Luar Negeri untuk selanjutnya
Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas adalah berkenaan tentang Hak Asasi Manusia,
oleh karenanya disahkan dengan Undang-Undang, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011.
Sesuai dengan ketentuan pembuatan peraturan perundang-undangan, Rancangan Undang-Undang Pengesahan Konvensi dibuat dengan disertai Naskah
Akademis dan terjemahan resmi Konvensi ke dalam Bahasa Indonesia. Upaya penerjemahan dimulai dengan meninjau ulang istilah “penyandang cacat” yang
selama ini berlaku di Indonesia, pada pertemuan yang dihadiri oleh berbagai instansi, organisasi penyandang cacat penyandang disabilitas, Komnas HAM
dan ahli bahasa pada bulan Januari 2009 di Cibinong, Bogor. Pertemuan ini digagas oleh Kementerian Sosial bekerjasama dengan Komnas HAM. Pertemuan
belum menyepakati secara penuh istilah terjemahan persons with disabilities dalam bahasa Indonesia, tetapi merekomendasi 6 usulan istilah untuk dibahas
lebih lanjut.
97
Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
98
Pasal 11, Ibid.
meminta ijin prakarsa kepada Presiden. Menteri Sosial memperoleh Persetujuan Izin Prakarsa proses ratifikasi Konvensi ini melalui Surat menteri Sekretaris
Negara No.B-72M.SesnegD-4022009 tanggal 17 Februari 2009. Proses terjemahan terus berlangsung bersamaan dengan pembuatan Naskah Akademik
dan Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities.
Hal ini dilakukan dengan konsultasi antarkementerian, lembaga dan organisasi penyandang cacat penyandang disabilitas, akademisi, disertai pula
dengan sosialisasi isi Konvensi di tingkat pusat dan daerah baik itu dilakukan oleh Kementerian Sosial, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM,
berbagai Organisasi penyandang cacat penyandang disabilitas maupun Komisi Nasional HAM serta instansi dan lembaga lainnya. Upaya finalisasi terjemahan
resmi naskah CRPD ke dalam bahasa Indonesia kembali dilanjutkan dengan difasilitasi oleh Komisi Nasional HAM dan Kementerian Sosial. Komisi Nasional
HAM mengundang para pakar di bidang filsafat, komunikasi, psikologi, hukum Hak Asasi Manusia, linguistik, bidang kecacatan disabilitas, dan praktisi dan
penggiat bidang kecacatan disabilitas untuk mendapatkan satu kesepakatan terminologi terjemahan resmi person with disability ke dalam bahasa Indonesia.
Pada waktu itu ditetapkan kriteria yang termuat dalam terminologi baru yang diinginkan sebagai berikut :
a. Mendeskripsikan secara jelas subyek yang dimaksud dengan istilah
tersebut deskriptif maksimalis.
b. Mendeskripsikan fakta nyata.
c. Tidak mereinkarnasikan atau melembagakan unsur negatif tidak
melecehkan. d.
Menumbuhkan semangat pemberdayaan. e.
Memberikan inspirasi hal-hal positif menonjolkan hal-hal positif. f.
Istilah belum digunakan pihak lain untuk mencegah kerancuan istilah g.
Memperhatikan ragam pemakai dan ragam pemakaian h.
Dapat diserap dan dimengerti oleh pelbagai kalangan secara cepat i.
Bersifat representatif-akomodatif-baku untuk kepentingan ratifikasi Konvensi
j. Bukan istilah yang mengandung kekerasan bahasa atau mengandung
unsur pemanis k.
Mempertimbangkan keselarasan istilah dengan istilah internasional l.
Memperhatikan perspektif linguistik. m.
Mengandung penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia n.
Menggambarkan kesamaan atau kesetaraan. o.
Enak bagi yang disebut dan enak bagi yang menyebutkan. p.
Memperhatikan dinamika perkembangan masyarakat. Dari berbagai istilah yang diajukan akhirnya disetujui untuk menggunakan
istilah Penyandang Disabilitas. Istilah “penyandang disabilitas” yang disetujui dalam pertemuan para pakar dalam perumusan terminologi istilah pengganti
“penyandang cacat” yang digagas Komisi Nasional HAM pada bulan Maret 2010 di Jakarta itu kemudian dibahas kembali dalam pembahasan Naskah Akademis
dan RUU pengesahan CRPD dari lintas kementerian negara, instansi, lembaga, serta organisasi penyandang cacat penyandang disabilitas, akademisi dan
Komisi Nasional HAM di Bandung, April 2010 yang difasilitasi Kementerian Sosial. Pertemuan di Bandung menyepakati istilah “penyandang disabilitas”
sebagai terjemahan dalam bahasa Indonesia dari istilah person with disability. Setelah terjemahan resmi naskah Konvensi disepakati dan Naskah
Akademis serta RUU Pengesahan dibuat, pada tanggal 31 Desember 2010 dilakukan proses harmonisasi perundang-undangan dengan menghadirkan wakil
dari berbagai kementerian di bawah koordinasi Kementerian Hukum dan HAM. Pada waktu itu juga tersirat keinginan untuk meratifikasi semua pasal CRPD
kecuali Optional Protokol. Optional Protokol tidak dipilih karena Indonesia tidak menganut sistem pengaduan individual yang ada pada Komisi HAM
Internasional. Pembahasan terus berlanjut, hingga pada tanggal 12 Oktober 2011, dalam
rapat kerja Pemerintah yang diwakili Menteri Sosial, Menteri Luar Negeri dan Menteri Hukum dan HAM dengan Komisi VIII DPR, fraksi-fraksi memberikan
pendapat tentang RUU Pnegesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Pada saat itu, semua fraksi menyetujui pengesahan RUU Pengesahan Konvensi
Hak-hak Penyandang Disabilitas dan meneruskannya untuk di bawa dalam Sidang Paripurna DPR. Pada tanggal 18 Oktober 2011, Sidang Paripurna DPR RI
menyetujui RUU Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas. Undang-Undang ini tercatat dalam Lembaran Negara Nomor 107 Tahun 2011 dan
diundangkan pada tanggal 10 November 2011. Setelah melengkapi persyaratan
dan ketentuan PBB tentang proses ratifikasi, Indonesia tercatat di PBB sebagai negara ke 107 yang meratifikasi Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas pada
tanggal 30 November 2011.
99
Sebagai negara pihak, Indonesia berkewajiban melaksanakan isi Konvensi serta memelihara, memperkuat, menunjuk atau membentuk dalam wilayah Negara
Indonesia, suatu kerangka kerja, termasuk satu atau lebih mekanisme independen, sebagaimana diperlukan, untuk memajukan, melindungi dan mengawasi
implementasi dari Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.
100
Sebelum lahirnya Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas Tahun 2006, di Indonesia telah banyak peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk
memenuhi atau melindungi hak asasi penyandang disabilitas, misalnya dalam hal ketenagakerjaan, transportasi, peran politik, dan beberapa lagi sektor lainnya.
Namun disayangkan bahwa peraturan perundangan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum untuk membuat efek jera kepada pelanggarnya. Setelah lahirnya
Dapat diartikan bahwa Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas telah mengikat secara hukum,
baik secara nasional maupun internasional terhadap Indonesia.
D. Perlindungan Hukum Penyandang Disabilitas Menurut Hukum