agak pipih, cangkang padat, dan mempunyai umbo pada tepi vertikal. Tipe alur cangkangnya konsentrik, bersinar, berwarna hijau, dan kadang-kadang tepinya
berwarna kebiruan. Kedua cangkangnya berukuran sama meskipun salah satu cangkang agak sedikit lebih cembung daripada yang lainnya.
Perna juga dicirikan hanya dengan satu atau dua gigi yang berkembang pada gigi hinge dan hilangnya otot aduktor interior. Pada jenis ini di cangkang bagian
kiri terdapat dua gigi kecil dan tumbuh satu gigi besar di sebelah kanan. Bagian interior cangkang keperak-perakan dan berkilau, bekas tempat otot terlihat sangat
jelas. Otot aduktor anteriornya menghilang, sedangkan otot aduktor posteriornya menipis dan memanjang terletak pada pertengahan bagian posterior. Pada Perna
viridis, tepi mantel berwarna hijau kekuningan, tidak memiliki tentakel dan papillae.
2.1.2 Habitat dan distribusi kerang hijau Perna viridis L.
Habitat alami dari biota ini adalah di daerah litoral dan sublitoral hingga kedalaman 15 m yang kaya akan plankton dan kandungan organik. Kerang hijau
umumnya hidup menempel pada dasar substrat yang keras seperti kayu, bambu, batu, bangunan beton, dan lumpur keras dengan bantuan byssus serabut
penempel. Kerang hijau dapat hidup subur di muara-muara sungai dan hutan- hutan bakau di Indonesia dengan kondisi dasar perairan lumpur berpasir,
pergerakan air dan cahaya cukup serta kadar garam tidak terlalu tinggi Kastoro, 1988. Untuk jenis P.viridis dapat ditemukan di daerah pesisir berbatu, di mulut
estuari atau sungai dengan salinitas yang hampir sama dengan laut. Selain itu, kerang hijau juga hidup di daerah yang memiliki kandungan sedimen
tersuspensinya rendah dengan pergerakan arus yang nyata Bayne, 1976.
Kelimpahan kerang ini besar sekali di daerah intertidal dan subtidal, menempel secara bergerombol pada batu-batu karang, tanggul-tanggul pelabuhan dan
tonggak-tonggak penangkapan Cheong dan Chein, 1980. Dalam penyebarannya, kerang hijau dapat ditemukan di hampir seluruh Benua
Asia, karena hewan tersebut termasuk spesies spesifik Benua tersebut. Kerang hijau dapat ditemukan di sepanjang wilayah Indo Pasifik, kemudian ke bagian
utara hingga Hongkong, Cina, Selatan Jepang, perairan India, Semenanjung Malaysia, Singapura, Laut Cina Selatan, Thailand, Philipina, Indonesia sampai
New Guinea Vakily, 1989. Kondisi perairan yang cocok untuk kehidupan kerang hijau adalah perairan
dekat estuaria yang subur dan pantai dengan dasar berlumpur. Habitatnya memiliki kisaran suhu antara 23-34 °C, salinitas 27-34‰, pH 6-8, kecerahan 2,6-
4,0 m dan kedalaman sampai 20 m. Pertumbuhan yang maksimal berada pada perairan dengan salinitas 27-35‰, suhu 26-32 °C, pH 6,2-8,2 dan kandungan
oksigen DO 6 mgl Sivalingam, 1977. Menurut Menzel 1990 P.viridis mampu mentolerir salinitas hingga mencapai 16‰. Pada salinitas ini ditemukan
bahwa P.viridis mengalami penurunan aktivitas pembentukan byssus. Kisaran salinitas bagi P.viridis 20,7‰ sampai 45,6‰. Salinitas optimum bagi aktivitas
dan ekskresi benang byssus dari 20,7‰ sampai 35,4‰ Walker, 1982 in Vakily, 1989. Menurut Sivalingam 1977 P.viridis lebih tahan lama terhadap perubahan
kadar garam, suhu, dan pH dibandingkan dengan Mytilus edulis. Selain suhu dan salinitas yang menjadi pembatas kehidupan kerang hijau
dalam suatu perairan, kedalaman dan arus juga memegang peranan penting. Kedalaman berhubungan langsung dengan penetrasi cahaya dan penetrasi cahaya
berpengaruh terhadap ketersediaan makanan dan penempelan larva Vakily, 1989. Dan menurut Bayne 1976 kecepatan arus adalah salah satu faktor yang
harus diperhitungkan karena berhubungan dengan penyebaran makanan dan bentuk substrat.
Kelas Bivalvia telah banyak digunakan oleh ahli ekologi dalam menganalisis pencemaran air. Hal ini disebabkan sifatnya yang menetap dan cara makannya
yang pada umumnya bersifat filter feeder, sehingga memiliki kemampuan untuk mengakumulasi bahan-bahan polutan. Apabila keadaan di sekitarnya tidak cocok
untuk hidupnya, kerang hijau akan melepaskan byssusnya, kemudian mengeluarkan gelembung dan terapung terbawa oleh arus. Jika ia mendapat
tempat yang cocok, maka ia akan kembali menempel Robert, 1976.
2.2 Pencemaran laut oleh senyawa PAH 2.2.1 Sumber PAH