Perbandingan kestabilan hubungan volatilitas nilai tukat dinar emas, dirham perak, dan dolar As dalam denominasi rupiah, Ringgit Malaysia, dan Dolar Singapura

(1)

v

PERBANDINGAN KESTABILAN DAN HUBUNGAN VOLATILITAS NILAI TUKAR DINAR EMAS, DIRHAM PERAK, DAN DOLAS AS

DALAM DENOMINASI RUPIAH, RINGGIT MALAYSIA, DAN DOLAR SINGAPURA

SKRIPSI

Disusun Oleh SYAIF MUHANNAD

NIM 105081002593

JURUSAN MANAJEMEN KEUANGAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

vi

“Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), Kerjakanlah dengan Sungguh-sungguh (urusan yang lain)” (QS. Al-Insyiroh:7)

Dengan ilmu, kehidupan menjadi enak,

dengan seni, kehidupan menjadi halus,

dan dengan agama hidup menjadi

terarah dan bermakna . . .

(Prof. Dr. H. A. Mukti Ali)

Kepersembahkan skripsi ini untuk kedua orang tuaku tercinta, Kakak-kakakku dan teman-temanku yang selalu Memberikan motivasi hidup . . .


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI:

Nama : Syaif Muhannad

Tempat/Tgl Lahir : Tangerang, 22 Desember 1986 Jenis Kelamin : Pria

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Kawin

Alamat Rumah : Jl. Maulana Hasanudin No. 69 Rt. 002/03, Kel. Cipondoh Makmur Kec. Cipondoh

Kota Tangerang, 15148 Indonesia.Telp: 91082528 Email: syaifmuhannad@rocketmail.com

RIWAYAT PENDIDIKAN:

1. Sekolah Dasar Islam YASIR, Tangerang, Tamat Th. 1998

2. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama YASIR, Tangerang, Tamat Th. 2001 3. Madrasah Aliyah Ibnu Rusydi, Tangerang, Tamat Th. 2004

PENGALAMAN ORGANISASI:

1. Ketua OSIS MA Ibnu Rusydi, selama 2 tahun

2. Koord. Divisi Agama Remaja Islam Masjid Al-jihad, selama 2 tahun 3. Anggota Divisi Agama LDK FEIS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(8)

vi

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk: (a) membuktikan manakah diantara dinar emas, dirham perak, dan dolar AS yang mempunyai nilai tukar paling stabil dalam denominasi rupiah, ringgit Malaysia, dan dolar Singapura; (b) menentukan arah dan bentuk hubungan volatilitas antara nilai tukar dinar emas, dirham perak, dan dolar AS dalam denominasi rupiah, ringgit Malaysia, dan dolar Singapura. Berdasarkan hasil perhitungan koefisien variasi (coefficient of variation) dapat dinyatakan bahwa secara rata-rata nilai tukar dinar emas lebih stabil dibandingkan dengan nilai tukar dirham perak dan dolar AS terhadap rupiah, ringgit Malaysia, dan dolar Singapura. Hasil uji kausalitas Granger menunjukkan bahwa hanya dinar emas dan dirham perak yang saling mempengaruhi, sedangkan terhadap dolar AS tidak berpengaruh. Sementara itu, estimasi model VAR menunjukkan: (a) volatilitas nilai tukar dinar emas terhadap rupiah dan dolar Singapura dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar dirham perak, namun nilai tukar dinar emas terhadap ringgit Malaysia hanya dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar dinar emas itu sendiri; (b) volatilitas nilai tukar dirham perak terhadap rupiah dan dolar Singapura hanya dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar dirham perak itu sendiri, sementara volatilitas nilai tukar dirham perak terhadap ringgit Malaysia dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar dinar emas; (c) volatilitas nilai tukar dolar AS lebih banyak dipengaruhi oleh pergerakan nilai tukarnya sendiri.

Kata Kunci: nilai tukar, volatilitas, dinar emas, dirham perak, dolar AS, rupiah, ringgit Malaysia, dolar Singapura


(9)

vii

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari sepenuhnya, tanpa bantuan-Nya semua ini tidak akan terwujud dengan baik.

Skripsi yang berjudul “Hubungan Kestabilan dan Pengaruh Volatilitas Nilai Tukar Dinar Emas, Dirham Perak, dan Dolar AS dalam Denominasi Rupiah, Ringgit Malaysia, dan Dolar Singapura”, penulis ajukan untuk melengkapi syarat -syarat guna memperoleh gelar sarjana Ekonomi Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada ibunda tercinta Hj. Saiyah dan ayahanda (alm) H. Romlih yang senantiasa menuntun, mendorong, memotivasi serta mendidik penulis, sehingga penulis berhasil menyelesaikan studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Khusus kepada Bapak. Prof. Dr. Ahmad Rodoni dan Bapak. Arief Mufraini, Lc, M.Si. yang dengan penuh kesabaran dan keikhlasan telah membimbing penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Untuk kesemuanya itu, penulis haturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya. Harapan penulis semoga Allah yang Maha Pengasih melimpahkan rahmat-Nya serta membalas amal dan perbuatan mereka.

Dalam kesempatan ini juga penulis ucapkan terima kasih yang mendalam, kepada yang terhormat:


(10)

viii

1. Bapak Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ketua Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Para dosen dan staff lainnya yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Kakak, adik dan rekan-rekan mahasiswa yang tidak penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan semangat dan motivasi bagi penulis. Semoga segala amal, budi baik dan bantuan yang telah diberikan mendapat karunia dan limpahan rahmat dari Allah SWT. Dan semoga, skripsi ini dapat bermanfaat.

Jakarta, Desember 2010 Penulis


(11)

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN BIMBINGAN SKRIPSI ……… i

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF ……... ii

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI ……… iii

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ………. iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ……… v

ABSTRAKSI ……… vi

KATA PENGANTAR ……….. vii

DAFTAR ISI ………... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ………... 1

1.2. Perumusan Masalah ………... 10

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……….. 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengantar ……… 12

2.2. Konsep Uang ………. 13

2.3. Perkembangan Sistem Moneter 1. Sistem Standar Emas 1870-1914 ……… 17

2. Sistem Bretton Woods ……… 19


(12)

x

2.4. Studi-studi Terkait dengan Kestabilan Nilai Tukar … 27

2.5. Kerangka Pemikiran ………... 35

BAB III METODOLOGI DAN DATA PENELITIAN 3.1. Ruang Lingkup Penelitian ….……… 38

3.2. Metode Penentuan Sampel ...……… 39

3.3. Metode Pengumpulan Data .………. 39

3.4. Metode Analisis dan Uji Hipotesis ……….. 41

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengantar ……….. 46

4.2. Perkembangan Nilai Tukar Dolar AS ………….. 47

4.3. Perkembangan Harga Dinar Emas ………... 50

4.4. Perkembangan Harga Dirham Perak ……… 55

4.5. Perbandingan Stabilitas Nilai Tukar ……….…... 57

4.6. Keterkaitan Volatilitas Nilai Tukar ……….…… 64

4.7. Interpretasi Terhadap Hasil ………. 81

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ……….. 84

5.2. Saran-saran ……….. 86

DAFTAR PUSTAKA ………. 88 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(13)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perdagangan merupakan aktivitas yang sangat penting dalam perekonomian. Dengan adanya perdagangan, kelebihan produksi yang dihasilkan satu pihak dapat disalurkan kepada pihak lain, sehingga sektor riil dapat bergerak lebih cepat. Banyak ahli ekonomi menganggap sektor perdagangan sebagai mesin penggerak pembangunan (engine of development) sehingga peranan perdagangan ini perlu dipacu untuk mencapai keberhasilan pembangunan ekonomi suatu bangsa. Sebagaimana dijelaskan Mankiw (2000:180), negara-negara maju pada umumnya menjadikan perdagangan internasional sebagai sentral perhatian dalam menganalisis pembangunan ekonomi dan merumuskan kebijakan-kebijakan yang akan diambil. Hal ini tentunya terkait dengan besarnya peranan sektor perdagangan dalam struktur perekonomian mereka. Misalnya di Kanada, Inggris, Jerman dan Perancis kontribusi ekspor dan impor sudah melebihi 30 persen dari PDB masing-masingnya pada tahun 1997. Bagi negara-negara berkembang perdagangan juga memainkan peranan yang cukup penting dalam upaya meningkatkan pendapatan nasional, penerimaan anggaran negara dan persediaan devisa. Perkembangan jumlah barang yang diperdagangkan dan penerimaan yang dihasilkan dari sektor ini akan berpengaruh langsung pada penciptaan kesempatan kerja produktif.


(14)

2 Semakin besarnya volume dan intensitas perdagangan baik domestik maupun luar negeri tidak terlepas dari faktor semakin cepatnya kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi dalam era globalisasi dewasa ini. Akan tetapi, pesatnya perkembangan perdagangan pada dasarnya terwujud berkat ditemukannya uang. Dapat dibayangkan bagaimana sulitnya untuk mengembangkan perdagangan jika masih menggunakan sistem tradisional berupa barter yaitu pertukaran barang dengan barang. Pertukaran barter ini mensyaratkan adanya keinginan yang sama pada waktu yang bersamaan (double coincidence of wants) dari pihak-pihak yang melakukan pertukaran ini. Namun, semakin beragam dan kompleks kebutuhan hidup manusia, maka semakin sulit menciptakan situasi yang dipersyaratkan dalam sistem barter ini. Sebaliknya, dengan menggunakan uang kegiatan perdagangan dapat dilakukan lebih mudah, cepat dan efisien. Selain berfungsi sebagai alat tukar (means of exchange), uang juga bermanfaat sebagai alat penyimpan nilai (store of value), satuan hitung (unit of account) dan ukuran untuk pembayaran masa depan (standard for deferred payments).

Peranan uang sebagai alat tukar mensyaratkan uang tersebut harus diterima oleh masyarakat sebagai alat pembayaran. Artinya, si penjual barang mau menerima uang sebagai pembayaran untuk barangnya karena ia percaya bahwa uang tersebut juga akan diterima oleh orang lain (masyarakat umum) sebagai alat pembayaran apabila ia nanti memerlukan untuk membeli barang yang dibutuhkannya. Unsur kepercayaan ini penting sekali dan melandasi


(15)

3 pemilihan barang apa yang bisa digunakan sebagai uang. Barang apapun bisa digunakan asal unsur kepercayaan ini bisa dilekatkan pada barang tersebut (Lihat Boediono, 1996:10-12).

Menurut Karnaen (2006:2), jauh sebelum ini, Ibn Miskawih (1030 M) telah menerangkan syarat-syarat agar sesuatu dapat dijadikan uang dan diterima masyarakat umum. Persyaratan itu adalah: tahan lama (durability); mudah (convenience) untuk dibawa; tidak dapat dikorup (incorruptibility); dikehendaki (desirability) semua orang; dan senang orang melihatnya. Selain itu, menurut Nasution (2006:240) ada kondisi lain yang diperlukan agar suatu barang bisa dijadikan uang antara lain: kelangkaan (scarcity) yaitu persediaan barang itu harus terbatas; dan nilai tinggi, maksudnya barang yang dijadikan uang harus bernilai tinggi, sehingga tidak memerlukan jumlah yang banyak untuk melakukan transaksi. Emas dan perak telah memenuhi berbagai persyaratan yang dikemukakan diatas.

Dalam sejarah Islam, uang merupakan sesuatu yang diadopsi dari peradaban Romawi dan Persia. Ini dimungkinkan karena penggunaan dan konsep uang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dinar adalah mata uang emas yang diambil dari Romawi dan dirham adalah mata uang perak warisan Persia. Dalam sejarah Islam, belum pernah terjadi krisis moneter dan ekonomi sebagaimana datang silih berganti pada masa sekarang ini. Mata uang memang relatif stabil manakala nilainya masih disandarkan pada emas. Sejak zaman Nabi Muhammad SAW, hingga Dinasti Ottoman atau kekhalifahan Utsmaniyah hanya


(16)

4 dikenal uang emas (dinar) dan uang perak (dirham). ( Lihat Nasution, 2006:242; dan Karim, 2001:146). Saat ini emas dan perak tidak lagi digunakan sebagai uang melainkan telah diganti dengan uang kertas, uang giral dan uang elektronik yang dijalankan dalam sistem uang fiat (fiat money) berbasis bunga dan cadangan terbatas (fractional reserve requirement). Menurut Rabb (2002:99) uang fiat adalah mata uang atau alat pembayaran yang sah (a legal tender) yang nilainya ditentukan oleh kekuatan ekonomi dan kapital negara yang mempergunakannya. Masyarakat menerima uang kertas dalam menukar barang-barang dan jasa-jasa karena pembatasan terhadap pilihan dan penggunaan alat tukar (medium of exchange).

Dari satu sisi penggunaan uang "modern" tersebut memang mempunyai beberapa keunggulan, namun dari sisi yang lain juga memiliki berbagai kelemahan yang dinilai banyak ahli ekonomi sangat merugikan. Misalnya Meera (2002:9-43) telah menjelaskan bahwa sistem moneter yang bertumpu pada penggunaan uang fiat berbasiskan bunga dan cadangan minimum terbatas telah menyebabkan penawaran uang selalu lebih besar dari nilai output yang dihasilkan oleh sektor riil, sehingga menimbulkan masalah peningkatan harga-harga. Terjadinya inflasi umum tidak akan jadi masalah bila pendapatan seseorang juga meningkat sebesar itu pada periode yang sama. Sekelompok kecil masyarakat akan mendapatkan keuntungan dengan peningkatan penawaran uang tersebut, sehingga peningkatan pendapatannya jauh diatas tingkat inflasi. Namun sayangnya, sebagian besar penduduk, terutama di negara-negara


(17)

5 berkembang, peningkatan upah dan gaji kurang dari angka inflasi umum tersebut sehingga daya beli mereka akan berkurang secara bertahap. Ketimpangan distribusi pendapatan inilah yang akan mengakibatkan berbagai masalah sosial ekonomi. Masyarakat yang tidak mempunyai pendapatan tetap, maupun yang pendapatan tetapnya tidak mengalami peningkatan yang cukup, lama-kelamaan akan terdorong menjadi masyarakat yang miskin absolut yaitu tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan yang paling pokok bagi kehidupan. Oleh karena itu, sistem moneter uang fiat yang berdasarkan pada bunga dapat dikatakan telah menciptakan kemiskinan secara otomatis dan berkelanjutan.

Dalam konteks perdagangan internasional, sistem pembayaran juga sudah meninggalkan standard emas. Sebagai gantinya, sebagian negara menerapkan nilai tukar bebas (flexible exchange rate) dan sebagian yang lain yang menerapkan nilai tukar tetap (fixed exchange rate). Sedangkan transaksi ekspor dan impor pada umumnya masih menggunakan dolar AS, walaupun sistem Bretton Wood telah lama runtuh. Artinya, ekspor kita dibayar dalam dolar AS oleh mitra dagang di luar negeri, dan jika ingin mengimpor kita harus menukar rupiah terlebih dahulu dengan dolar AS untuk selanjutnya dibayarkan kepada pedagang asing. Utang-piutang luar negeri serta aliran modal asing juga sebagian besar dalam bentuk dolar AS. Oleh karena itu, perubahan nilai tukar dolar AS akan sangat mempengaruhi kegiatan perdagangan dan perekonomian pada umumnya.


(18)

6 Perubahan kurs yang besar dan terjadi secara tiba-tiba terhadap mata uang kuat dunia tersebut dapat menyebabkan malapetaka bagi perekonomian suatu negara dan selanjutnya bisa pula menjalar ke negara lain. Contoh yang masih hangat dalam ingatan kita adalah terjadinya krisis di Asia pada akhir tahun 1990an. Stiglizt (2003:125) menjelaskan bahwa ketika mata uang Baht Thailand jatuh pada tanggal 2 Juli 1997, tak seorangpun tahu bahwa inilah awal dari krisis ekonomi terbesar sejak masa depresi besar (the great depression) yaitu krisis yang menyebar dari Asia hingga Rusia dan Amerika Latin serta mengancam seluruh dunia. Selama sepuluh tahun mata uang Baht diperjualbelikan sebesar 25 baht dibandingkan 1 dolar AS; kemudian dalam semalam, mata uang tersebut jatuh hingga 25 persen. Selanjutnya spekulasi mata uang menyebar dan menyerang Malaysia, Korea, Filipina, dan Indonesia. Akhir tahun tersebut merupakan awal mula bencana kurs yang mengancam perbankan, pasar saham, dan bahkan keseluruhan perekonomian di wilayah tersebut.

Dalam konteks Indonesia, krisis moneter yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi tersebut memiliki dampak yang sangat besar dan merugikan banyak pihak. Jika pada awal tahun 1990-an satu dolar AS setara dengan sekitar Rp 2.500-an, maka pada saat krisis kurs rupiah pernah menyentuh angka Rp 17.000 per dolar AS. Inflasi dan tingkat bunga juga melambung tinggi, industri banyak yang bangkrut, terutama yang bahan bakunya tergantung pada impor. Pertumbuhan ekonomi menjadi minus 13,8 persen pada tahun 1998, padahal sebelumnya angka pertumbuhan adalah 7-8 persen pertahun.


(19)

7 Meskipun perekenomian Indonesia dan negara-negara Asia Timur lainnya telah mulai pulih, namun tanpa ada perbaikan yang mendasar, krisis serupa bisa terjadi lagi. Banyak pihak yang berpendapat akan dari krisis tersebut adalah ketidakstabilan nilai tukar atau kerentanan nilai tukar terhadap serangan spekulan yang mempunyai dana besar. Oleh karena itu, sistem nilai tukar yang diterapkan sekarang ini perlu untuk dikaji ulang secara mendalam. Salah satu langkah alternatif untuk memperbaiki sistem moneter sekarang ini adalah penerapan dinar emas dan dirham perak untuk alat pembayaran perdagangan luar negeri.

Menurut Mahathir (2001), harga emas memang juga berfluktuasi, tetapi fluktuasinya minimal. Kemungkinan untuk mendevaluasi emas dengan seratus persen atau seribu persen sekalipun tidak ada, bahkan tidak mungkin direvaluasi dengan jumlah persentase yang sama.

Gagasan tentang Dinar Emas Islami sebenarnya, berasal dari Omar Ibrahim Vadillo, pendiri Organisasi Internasional Morabeteen tahun 1983 di Afrika Selatan yang dikenal luas sampai ke Eropa. Gagasan ini ditujukan untuk mengurangi dominasi dan hegemoni dolar AS sebagai suatu mata uang internasional yang nilainya terus merosot dan berfluktuasi. Sedangkan Dinar Emas Islami mempunyai keunggulan sebagai alat tukar terbaik yang dapat meredam terjadinya spekulasi dan manipulasi sehingga dapat dijadikan instrumen stabilitas moneter (Lihat Karnaen, 2003:9-10).


(20)

8 Menurut Majid (2005:140) dalam Darwis (2006), negara yang memiliki neraca perdagangan defisit mayoritas adalah negara-negara muslim. Artinya, jumlah dana negara-negara muslim lebih banyak mengalir ke luar ketimbang dana asing yang masuk ke negara-negara tersebut. Terjadinya capital flight yang tinggi menyebabkan devisa negara akan turun, kalaupun tidak minus. Bila ini terjadi, maka untuk menutupi defisit budget dan negara terpaksa harus didanai dengan utang luar negeri. Keterpaksaan berutang jelas telah memerangkapkan negara penghutang terhadap keharusan untuk memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan negara donor (pemberi hutang), yang sifatnya sangat mencekik leher negara pengutang. Keharusan menggunakan Dolar AS ketika membayar utang akan menyebabkan nilai uang negara pengutang semakin rendah.

Konsekwensinya, negara pengutang berada di pihak yang dirugikan karena harus membayar utang dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah utang yang sesungguhnya. Ini semata-mata, karena ketidakstabilan (appresiasi) nilai dolar AS.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, emas dan perak telah menjadi mata uang di berbagai bangsa pada masa yang lampau. Selanjutnya mata uang yang digunakan tidak lagi terbuat dari emas dan perak atau logam mulia lainnya, melainkan diganti dengan uang kertas yang tidak mempunyai nilai instrinsik. Walaupun demikian, sistem moneter internasional masih berbasiskan atau dikaitkan dengan emas sehingga kestabilan nilai tukar mata uang antar negara masih relatif stabil. Akan tetapi, dewasa ini yang digunakan adalah uang kertas


(21)

9 (fiat money) murni yang tidak mengandung nilai instrinsik serta uang-uang kredit yang tidak berwujud. Nilai tukar pada umumnya dibiarkan mengambang (floating exchange rate), baik yang mengambang secara bebas (freely floating exchange rate) ataupun mengambang terkendali (managed floating exchange rate).

Uang kertas memang mempunyai kelebihan dalam penggunaannya. Menurut Hasan (2004:82) kelebihan dari uang kertas antara lain: (1) mudah dibawa-bawa karena lebih ringan dari uang logam; (2) kemungkinan untuk menerbitkannya dalam tipe-tipe yang sesuai dengan volume interaksi dagang yang berbeda-beda; (3) membawa uang kertas dari satu tempat ke tempat lain berisiko lebih kecil terhadap bahaya-bahaya jalan; (4) biaya penerbitan lebih kecil dari biaya-biaya pencetakan logam; dan (5) sifat uang kertas lebih fleksibel dalam penerbitan daripada uang logam.

Akan tetapi, uang kertas juga memiliki berbagai kelemahan yang mendatangkan dampak negatif lebih besar terhadap perekonomian. Bentuk kelemahan dari uang kertas antara lain sebagai berikut: (1) resiko penerbitan yang berlebihan sehingga dapat menimbulkan inflasi dan kekacauan kondisi masyarakat; (2) buruknya kinerja uang fiat sebagai alat penyimpan nilai (store of value) karena biaya penciptaan uang yang hampir nol menyebabkan nilainya jatuh dengan cepat ketika penawaran uang meningkat melebihi kebutuhan-kebutuhan riil ekonomi; (3) memiliki resiko kekacauan dalam kegiatan keuangan dan transaksi internasional.


(22)

10 Sistem uang kertas tidak menjamin stabilitas nilai tukar seperti jaminan yang ada pada sistem uang emas yang memiliki nilai tukar relatif tetap (Lihat Hasan, 2002:83 dan Rab, 2002:99).

Menurut Arif (2004), penggunaan uang kertas juga menimbulkan efek samping bagi aktifitas ekonomi, dimana nilai uang (kertas) akan berubah setiap waktu karena nilainya mengalami penyusutan. Pada akhirnya, uang kertas dapat dipergunakan sebagai komoditi perdagangan, bukan sebagai alat pembayaran. Dampak digunakannya uang kertas sebagai komoditi perdagangan adalah kehancuran nilai mata uang yang dengan dijadikannya uang sebagai alat spekulasi, sehingga menyebabkan nilai mata uang jatuh.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan didepan, maka perumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Manakah diantara Dinar Emas, Dirham Perak dan Dolar AS yang mempunyai nilai tukar lebih stabil dalam denominasi Rupiah, Ringgit Malaysia, dan Dolar Singapura?

2) Bagaimana arah dan bentuk hubungan volatilitas antara nilai tukar Dinar Emas, Dirham Perak dan Dolar AS dalam denominasi Rupiah, Ringgit Malaysia, dan Dolar Singapura?


(23)

11

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

a. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1) Menganalisa tingkat kestabilan nilai tukar Dinar Emas, Dirham Perak dan Dolar AS dalam denominasi Rupiah, Ringgit Malaysia, dan Dolar Singapura.

2) Menganalisa arah dan bentuk hubungan atau keterkaitan antara fluktuasi nilai tukar Dinar Emas, Dirham Perak dan Dolar AS dalam denominasi Rupiah, Ringgit Malaysia, dan Dolar Singapura.

b. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain:

1) Memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang ekonomi moneter.

2) Menjadi bahan pertimbangan ilmiah bagi para pengambil keputusan ataupun bagi stakeholder baik pemerintah, otoritas moneter, investor, maupun para praktisi perbankan.

3) Manfaat teoritis bagi dunia penelitian yaitu sebagai sumbangan pemikiran dengan dukungan kajian pustaka serta penggunaan model analisis dan model statistik diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya terutama dibidang ekonomi dan keuangan syariah.


(24)

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengantar

Kajian literatur adalah elemen penting dari suatu penelitian ilmiah, karena melalui tahapan inilah peneliti dapat memahami konsep-konsep yang diteliti dan mengetahui penelitian-penelitian yang telah dilakukan orang lain sebelumnya. Kajian literatur ini sering juga disebut dengan kajian kepustakaan. Sebagian besar dari data sekunder yang digunakan dalam suatu penelitian biasanya diperoleh melalui studi kepustakaan ini. Sebagaimana dijelaskan oleh Sekaran (2000:61), literatur survei adalah kajian menyeluruh (a comprehensive review) terhadap bahan-bahan kajian, baik yang sudah dipublikasikan ataupun belum, dalam bidang yang diminati (sedang dikerjakan) oleh peneliti bersangkutan. Tujuan utama dari studi literatur itu adalah untuk memastikan bahwa tidak ada variabel-variabel penting yang terlewatkan dari penelitian sebelumnya.

Bab ini akan memaparkan hasil tinjauan kepustakaan terhadap bahan-bahan yang terkait dengan sistem moneter uang fiat maupun dinar emas dan dirham perak. Pada bagian awal akan diuraikan terlebih dahulu tentang konsep uang dan sejarah perkembangannya, perkembangan sistem moneter, dan teori nilai tukar yang sangat penting dalam menganalisis pordagangan internasional.


(25)

13

2.2. Konsep Uang

Menurut Sanusi (2002:75) uang adalah segala sesuatu yang secara umum diterima sebagai alat tukar (medium of exchange) untuk barang-barang dan jasa-jasa dan untuk pembayaran utang. Imam Malik mendefinisikan uang sebagai suatu komoditas yang diterima sebagai alat tukar. Artinya, segala sesuatu yang tidak mempunyai nilai sebagai suatu komoditas tidak diperbolehkan untuk dijadikan sebagai alat tukar. Secara agama, uang dilarang untuk dibungakan, diperlakukan sebagai komoditas yang diperjualbelikan, ataupun dijual maupun dibeli secara kredit (Sanusi, 2002:76).

Uang sangat besar arti dan manfaatnya bagi perekonomian karena memiliki beberapa fungsi. Penjelasan ringkas tentang fungsi-fungsi tersebut akan dijelaskan berikut ini:

a. Sebagai standar ukuran harga dan unit hitungan.

Fungsi yang paling utama dan. terpenting dan beberapa fungsi uang adalah sebagai media pengukur nilai harga komoditas dan jasa, dan perbandingan harga setiap, komoditas dengan komoditas lainnya. Uang sebagai standar ukuran umum harga berlaku untuk ukuran nilai dan harga dalam ekonomi, seperti berlakunya standar meter untuk ukuran jarak, ampere untuk ukuran tegangan listrik, atau kilogram sebagai standar timbangan. Demikianlah uang sebagai alat yang mesti diperlukan untuk setiap hitungan ekonomi baik oleh produsen maupun konsumen.


(26)

14 b. Sebagai Media Pertukaran (medium of exchange)

Uang adalah alat tukar yang digunakan setiap individu untuk pertukaran komoditas dan jasa. Misalnya orang yang memiliki apel dan membutuhkan beras, kalau dalam sistem barter pemilik apel berangkat ke pasar untuk menemukan orang yang memiliki beras dan membutuhkan apel sehingga bisa terjadi pertukaran diantara keduanya. Akan tetapi, setelah orang-orang membuat uang, pemilik apel dapat menjual barangnya dengan imbalan uang dan dengan uang itu dia dapat membeli beras serta barang dan jasa apa saja yang dia kehendaki.

c. Sebagai Media Penyimpanan Nilai

Maksud ahli ekonomi dengan ungkapan "uang sebagai media penyimpan nilai" adalah orang yang mendapatkan uang kadang tidak mengeluarkan seluruhnya dalam satu waktu, tapi dia sisihkan sebagian untuk membeli barang atau jasa yang dia butuhkan pada waktu yang dia inginkan, atau disimpan untuk hal-hal yang tidak terduga seperti sakit mendadak, kerugian tiba-tiba dan lain sebagainya. (lihat Hasan, 2005:12).

Setelah memperhatikan fungsi-fungsi uang tersebut, maka tidaklah berlebihan bila sebagian orang mengisyaratkan bahwa penemuan uang merupakan salah satu penemuan besar yang dicapai oleh manusia yang tidak kalah penting dengan ditemukannya sistem tulis-menulis, sistem pengolahan tanah dan pemanfaatan energi.


(27)

15

2.3. Perkembangan Sistem Moneter

Sebelum membahas sistem moneter yang pernah berlaku, terlebih dahulu akan dijelaskan tentang konsep nilai tukar karena hal ini akan sering disebut pada bagian berikutnya. Nilai tukar (exchange rate) adalah harga satu mata uang (currency) dalam mata uang negara lain. Nilai tukar ini mempengaruhi ekonomi dan kehidupan sehari-hari misalnya, ketika dolar AS menjadi lebih berharga secara relatif terhadap mata uang asing (appreciation), maka barang-barang asing menjadi lebih murah bagi orang Amerika dan barang-barang-barang-barang Amerika menjadi lebih mahal bagi orang asing. Sebaliknya, ketika nilai dolar AS jatuh (depreciation), maka barang-barang asing menjadi mahal bagi orang Amerika dan barang-barang Amerika akan menjadi murah bagi pihak asing (Mishkin, 2006:435).

Dengan kata lain naik turunnya nilai tukar (kurs) akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan perdagangan luar negeri pada khususnya, dan perekonomian pada umumnya. Istilah apresiasi dan depresiasi digunakan apabila suatu negara menerapkan sistem nilai tukar mengambang atau bebas (floating or flexible exchange rate). Sedangkan dalam sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) digunakan istilah revaluasi (revaluations) dan devaluasi (devaluations). Setelah mengetahui apa yang dimaksud dengan nilai tukar, maka pembahasan akan dilanjutkan dengan sistem moneter. Disamping sistem moneter (monetary system) dikenal pula istilah order moneter (monetary order).


(28)

16 Menurut Robert Mundell, sebagaimana dikutip oleh McKinnon (1993:7), ketika kita membicarakan sistem moneter, kita sebenarnya sedang memperhatikan tentang interaksi perdagangan bangsa-bangsa dan khususnya berkaitan dengan uang dan instrumen kredit masyarakat suatu bangsa dalam bentuk kurs, kapital dan pasar komoditas. Pengontrolannya dilakukan melalui kebijakan-kebijakan pada tingkat nasional yang berkaitan satu dengan yang lain dalam bentuk kerjasama. Sedangkan order, dalam perbedaannya dengan sistem, merupakan kerangka atau seting dimana sistem beroperasi. Hal ini adalah kerangka hukum, kesepakatan, peraturan, dan lain sebagainya yang membentuk sistem dan sudah saling dimengerti oleh pihak-pihak yang ikut berpartisipasi dalam sistem yang bersangkutan. Secara informal, order moneter ini lebih sering disebut sebagai aturan main (the rule of the game). Terminologi ini pada awalnya digunakan tahun 1920-an untuk menjelaskan diterimanya aturan tentang standar emas internasional sebelum 1914.

Sistem dan order moneter internasional ini telah mengalami perubahan seiring perjalanan waktu, tempat, lingkungan politik, dan teknologi keuangan. Menurut McKinnon (1993:8) aturan-aturan main tentang moneter ini secara kronologis dapat dibedakan menjadi: (a) the International Gold Standard, 1879-1913; (b) the Bretton Woods Agreement in 1945; (c) the Fixed-Rate Dollar Standard, 1950-1970; (d) the Floating-Rate Dollar Standard, 1973-1984; (e) the Palza-Louvre Intervention Accords for the Dollar Exchange Rate, 1985-1992; (f) the European Monetary System in 1979; (g) the European Monetary System as a


(29)

17 Greater deutsche Mark Area, 1979-1992. Akan tetapi dalam tulisan berikut ini hanya akan dikemukakan aturan-aturan main dalam bentuk pengelompokan yang lebih umum yaitu sistem standar emas, sistem Bretton Woods dan sistem modern.

1) Sistem Standar Emas 1870-1914

Sistem standar emas internasional muncul pada tahun 1870 di lnggris. Pemerintah Inggris menetapkan/mengikatkan nilai poundsterling dengan emas. Perkembangan industri yang terjadi di Inggris serta perdagangan dunia yang makin berkembang pada abad ke-19 menambah kepercayaan dunia terhadap emas. Kepercayaan ini diperkuat juga dengan ditemukannya tambang emas di Amerika dan Afrika Utara. Dengan kejadian-kejadian tersebut sistem standar emas merupakan suatu sistem yang dipakai oleh banyak negara semenjak 1870 hingga perang dunia I, keadaan ekonomi dan perdagangan yang relatif stabil selama periode tersebut merupakan faktor utama keberhasilan sistem standar emas (Lihat Nopirin, 1999:225). Dari sudut pandang yang lain tentunya dapat pula dikatakan bahwa standar emas telah mampu menciptakan atau paling tidak mendorong terwujudnya stabilitas perdagangan dan perekonomian bagi negara-negara yang menerapkannya. Menurut Mc.Kinnon (1993:3), sistem standar emas ini berakhir pada tahun 1914 yaitu setelah negara-negara Eropa


(30)

18 mendeklarasikan bahwa mata uang mereka tidak dapat ditukarkan kedalam bentuk emas, dan demikian pula sebaliknya.

Suatu negara dikatakan memakai standar emas apabila: (a) nilai mata uangnya dijamin dengan nilai seberat emas tertentu; (b) setiap orang boleh membuat serta melebur uang emas; (c) pemerintah sanggup membeli atau menjual emas, dalam jumlah yang tidak terbatas pada harga tertentu (yang sudah ditetapkan oleh pemerintah). Selain memiliki keunggulan, sistem standard emas ini juga banyak mendapat kritikan. Misalnya Temim (1989), sebagaimana dikutip oleh Shah (2007:9), menyebutkan dua kelemahan dari sistem standar emas yaitu:

a) akan menyebabkan hilangnya koordinasi diantara organisasi-organisasi internasional; dan

b) akan menimbulkan ketidakseimbangan neraca pembayaran dalam bentuk surplus dan defisit.

Banyak ekonom berpendapat bahwa jatuhnya standar emas disebabkan oleh disiplin keuangan yang terlalu keras terhadap ekonomi domestik sehingga output dan kesempatan kerja dikorbankan untuk keseimbangan eksternal. Pandangan ini, bersamaan dengan pengalaman yang tidak menggembirakan dari penerapan nilai tukar mengambang (floating exchange rate) dalam periode 1920-an, telah menjadi motivasi setelah Perang Dunia Kedua untuk mempertimbangkan sistem moneter


(31)

19 internasional baru, tetapi masih mengaitkannya terhadap emas untuk menjaga kestabilan harga (lihat Hallwood and MacDonald, 2000:353).

2) Sistem Bretton Woods

Perjanjian Bretton Woods tahun 1944 ditujukan untuk menciptakan stabilitas dalam nilai tukar antara mata uang penting dunia. Dalam mengejar tujuan ini, Amerika Serikat berpatokan pada harga emas sebelum perang $35 per ons yang telah ditetapkan berdasarkan Gold Reserve Act tahun 1934. Dapat diperhatikan proses devaluasi dolar AS dari sebelumnya sebesar $20.67 per ons. Dengan implementasi nilai tukar yang disepakati antara mata uang yang terkait dan dolar AS, emas secara tidak langsung akan bersifat sebagai jangkar (patok) untuk menguatkan uang beredar internasional. Sebagai bagian dari perjanjian Bretton Woods, didirikanlah International Bank for Reconstruction and Development (World Bank) dan International Monetary Fund (IMF). Tujuan utama dari World Bank jelas untuk menyediakan dana-dana bagi negara sedang berkembang dengan suku bunga subsidi. Sementara itu, tujuan keberadaan IMF adalah untuk mempertahankan cadangan emas dan mata uang asing yang mencakup kontribusi negara-negara anggota IMF. Cadangan ini bisa dipinjamkan atas permintaan negara peminjam dan dengan pertimbangan IMF, dan digunakan untuk mempertahankan nilai tukar antara negara-negara terkait (El-Diwany, 2003:112).


(32)

20 Secara lebih rinci, sesuai dengan ayat-ayat persetujuan Bretton Woods, tujuan dari sistem moneter internasional yang baru tersebut adalah untuk:

a) meningkatkan stabilitas nilai tukar (kurs);

b) memberikan kepercayaan diri kepada negara-negara anggota dengan menyediakan sumber-sumber oleh IMF dengan jaminan yang seimbang;

c) meningkatkan kerjasama moneter internasional dengan konsultasi dan kolaborasi atas permasalahan moneter internasional;

d) memfasilitasi terciptanya pertumbuhan yang seimbang dari perdagangan internasional, kesempatan kerja dan pendapatan riil; e) membentuk sistem pembayaran multilateral transaksi berjalan; f) memperpendek jangka waktu dan mengurangi tingkat

ketidakseimbangan dalam neraca pembayaran; (Hallwood and MacDonald, 2000:353).

Sistem kurs valuta asing yang dipakai IMF menurut peraturan mula-mulanya adalah kurs tetap dan tidak memperbolehkan negara anggota melakukan pengawasan devisa (exchange control) kecuali kalau suatu negara mengalami krisis moneter yang hebat atau defisit neraca pembayaran yang cukup besar. Kemudian semenjak 1944-1973 sistem ini menjadi apa yang disebut dengan adjustable peg dimana satu mata uang nilainya ditetapkan dalam perbandingan dengan mata


(33)

21 uang negara anggota lainnya. Perbandingan ini hanya boleh diubah apabila negara tersebut mengalami ketidakseimbangan neraca pembayaran setelah konsultasi dengan IMF (Nopirin, 1999:227).

Selama periode 1944-1973 tersebut dolar AS merupakan mata uang yang sangat penting dalam lalu lintas pembayaran internasional. Peranan dolar AS ini timbul sejak berakhirnya Perang Dunia II, dimana pada saat itu terjadi kekurangan dana. Negara-negara Eropa sangat memerlukan dana untuk memulihkan keadaan ekonominya. Satu-satunya sumber adalah Amerika Serikat, sehingga dolar AS banyak diminta konsekwensinya, emas menjadi tergeser oleh dolar AS karena disamping mempunyai daya beli yang kuat di Amerika, cadangan (reserves) dalam bentuk dolar akan menghasilkan bunga. Dengan makin pentingnya fungsi dolar, maka setiap negara anggota menetapkan perbandingan mata uangnya terhadap dolar, yang kemudian apabila perlu dapat ditukarkan dengan emas dengan perbandingan dolar:emas tertentu (ibid. 1999:227).

Dengan makin berkembangnya perdagangan internasional, maka makin besar pula kebutuhan alat-alat liquid untuk pembayaran transaksi. Untuk memenuhi tujuan ini IMF menciptakan apa yang disebut dengan surat emas (Special Drawing Rights, SDR). Penggunaan SDR diatur dengan menggunakan suatu rekening di IMF. Pada permulaannya SDR yang diciptakan sebesar US$ 10 milyar dan


(34)

22 dibagikan kepada negara anggota sesuai dengan kuota masing-masing. 1 SDR dinilai sama dengan US$ 1. Kemudian dilakukan devaluasi tahun 1971-1973, sehingga nilai SDR meningkat menjadi US$ 1,20. Pada pertengahan tahun 1974 SDR dinilai berdasarkan rata-rata tertimbang dari sejumlah 16 mata uang. Setiap negara anggota dapat menggunakan SDR untuk tujuan berikut:

a. Memperoleh mata uang asing untuk mengatasi kesulitan neraca pembayaran. Caranya dengan mentransfer rekening SDR kepada negara yang ditunjuk oleh IMF untuk menerimanya.

b. Memperoleh kembali mata uangnya yang dipegang oleh negara lain.

c. Membeli kembali mata uangnya yang ada pada IMF.

Dibawah sistem Bretton Woods, nilai tukar (kurs) diperkirakan akan berubah hanya ketika suatu negara mengalami "ketidakseimbangan yang fundamental" yaitu ketika terjadi defisit atau surplus neraca pembayaran dalam waktu yang lama. Untuk menjaga nilai tukar tetap ketika suatu negara mengalami defisit neraca pembayaran dan kehabisan cadangan internasionl, maka IMF akan meminjamkan cadangan internasional yang diambilkan dari negara anggota lainnya. Sebagai hasil dari kekuasannya untuk menentukan pinjaman, IMF dapat menekan negara-negara yang mengalami defisit untuk menjalankan kebijakan


(35)

23 moneter yang bersifat kontraksi yang dapat memperkuat mata uang mereka atau menghilangkan defisit neraca pembayaran. Apabila pinjaman IMF tidak cukup untuk menahan depresiasi dari mata uang bersangkutan, maka negara tersebut diperbolehkan untuk mendevaluasi nilai mata uangnya pada tingkat yang baru yaitu kurs yang makin rendah (Mishkin, 2006:437).

Meskipun defisit negara-negara yang kekurangan cadangan internasional dapat ditekan dengan cara mendevaluasi mata uangnya atau menjalankan kebijakan kontraksi, namun IMF tidak memiliki cara untuk mendorong negara-negara yang memiliki surplus untuk meningkatkan nilai tukar mata uang mereka atau menjalankan kebijakan yang lebih bersifat ekspansi. Hal ini menurut Mishkin (ibid), adalah kelemahan utama dari sistem Bretton Woods. Fakta yang sangat mengganggu dalam hal ini adalah negara yang mata uangnya menjadi cadangan mata uang dunia yaitu Amerika Serikat tidak dapat mendevaluasi mata uangnya dalam sistem Bretton Woods, walaupun dolar sudah dinilai terlalu tinggi (overvalued). Ketika Amerika Serikat mencoba untuk mengurangi tingkat pengangguran domestik pada tahun 1960-an dengan menjalankan kebijakan moneter yang bersifat inflasioner, maka terjadi ketidakseimbangan yang fundamental akibat overvalued dolar. Akibat surplus negara-negara tidak dapat mendorong peningkatan nilai tukar, maka penyesuaian dalam sistem Bretton Woods


(36)

24 tidak terlaksana, sehingga sistem ini jatuh pada tahun 1971. Upaya tambal sulam terhadap Sistem Bretton Woods dengan Smithsonian Aggreemen pada bulan Desember 1971 terbukti tidak sukses, dan semenjak 1973 Amerika Serikat dan negara-negara partner dagangnya telah sepakat untuk mengambangkan nilai tukar mata uang mereka.

3) Sistem Moneter Modern

Sejak tahun 1973 sistem moneter internasional telah ditandai oleh berbagai regim nilai tukar. Beberapa negara beroperasi dibawah nilai tukar bebas (flexible exchange rate); sebagian menerapkan nilai tukar tetap (fixed exchange standard); dan sebagian yang lainnya bolak balik diantara kedua regim nilai tukar tersebut.

Menurut Kindleberger (1983:278) sistem yang lebih sederhana adalah standar nilai tukar mengambang atau bebas tanpa adanya campur tangan pemerintah dan penguasa bank sentral. Tingginya volatilitas nilai tular dapat mengejutkan banyak orang. Tiga puluh tahun yang lalu atau lebih, para ekonom pada umumnya percaya bahwa menyerahkan nilai tukar kepada pasar bebas tidak akan menyebabkan fluktuasi yang besar.

Namun, pengalaman beberapa tahun belakangan ini telah membuktikan bahwa para ekonom tersebut salah. Nilai tukar sepanjang 1980-2002 ternyata sangat berfluktuasi. Harga kurs tukar ditentukan oleh berbagai faktor seperti ekspektasi apresiasi dan depresiasi nilai tukar, harga di dalam negeri dan di luar negeri dari barang-barang dan jasa-jasa,


(37)

25 hambatan perdagangan (trade barriers), permintaan impor, permintaan ekspor, produktivitas, perpindahan modal internasional, pengharapan sebelumnya dari kaum spekulan mengenai masa depan kurs-kurs tukar, dan penawaran uang (Mishkin, 2006:455; dan Kindleberger 1983:278).

Peningkatan penawaran uang dapat menyebabkan harga-harga domestik menjadi meningkat dalam jangka panjang yang pada gilirannya akan menyebabkan menurunnya ekspektasi nilai tukar. Akibat dari penurunan ekspektasi apresiasi nilai tukar akan menyebabkan meningkatnya ekspektasi pengembalian (expected return) memegang deposito asing pada tingkat nilai tukar tertentu.

Dalam contoh kasus AS yang dikemukakan dalam gambar 2.1 dibawah ini:

Nilai Tukar, (GBP/S)

E4

RD1 RD2 RF1

E1 1

RF2 E3 3

E2 2

ID2 ID1 Expected Return (dalam S)

Gambar 2.1


(38)

26 Perubahan tersebut akan menggeser kurva RF ke kanan bawah dari RF1 ke RF2. Sementara itu, peningkatan penawaran uang akan menyebabkan bertambahnya penawaran uang riil (M/P) karena tingkat harga tidak dapat segera meningkat dalam jangka pendek. Dengan demikian hasil dari peningkatan penawaran uang riil adalah jatuhnya tingkat bunga domestik, yaitu dari ID1 ke ID2 sehingga expected return deposito domestik (dolar AS) juga ikut turun. Hal ini akan menggeser kurva RD ke kanan bawah dari RD1 ke RD2 Akibatnya, dalam jangka pendek akan terjadi penurunan nilai tukar dari E1 ke E2. Namun dalam jangka panjang, bagaimanapun bunga akan meningkat ke ID1dan RD kembali ke RD1, sehingga nilai tukar akan meningkat kembali dari E2 ke E3. Kesimpulannya adalah peningkatan jumlah penawaran uang domestik akan menyebabkan nilai tukar mata uang domestik terdepresiasi. (Lihat Mishkin, 2006:454).

Stabilitas merupakan kriteria pertama yang perlu dimiliki oleh sebuah mata uang yang kuat. Menurut Mishkin (2001:456) stabilitas suatu mata uang bisa dilihat dari dua arah yaitu internal dan eksternal. Sisi internal didefinisikan sebagai nilai mata uang itu bila dihubungkan dengan harga barang dan jasa. Hal ini merefleksikan penggunaan mata uang tersebut dalam sebuah negara dengan tipe ekonomi tertutup (kegiatan ekspor dan impor diasumsikan tidak ada).


(39)

27 Dalam hal ini, konsep inflasi sering dikaitkan dengan keberadaan uang dengan barang dan jasa yang tersedia. Inflasi terjadi ketika jumlah uang beredar meningkat secara relatif terhadap barang dan jasa yang tersedia, yang mengakibatkan nilai uang atau daya belinya turun. Dengan kata lain, ada kecenderungan kenaikan harga-harga barang dan jasa.

Dari sisi eksternal, nilai mata uang suatu negara dibandingkan dengan nilai mata uang asing. Dalam kasus ini, apresiasi atau depresiasi suatu mata uang bisa terjadi tergantung dengan siklus bisnis dan kondisi ekonomi masing-masing. Mata uang akan terdepresiasi apabila mata uang itu nilainya turun terhadap mata uang asing lainnya. Sebaliknya mengalami apresiasi bila nilainya meningkat dari mata uang pembandingnya. (lihat Hamidi, 2007:33).

2.4. Studi -Studi Terkait dengan Kestabilan Nilai Tukar

Rashid, Siswanto & Brozovsky (2002) telah melakukan penelitian tentang perbandingan tingkat stabilitas serta korelasi antara uang berbasis emas (gold-based currency) dengan uang berbasis fiat (Fiat Based Currency). Alat uji yang digunakan untuk mengukur tingkat stabilitas adalah koefisien variasi (coefficient of variation). Model pengujian ini mengukur penyebaran absolut (standard deviation) terhadap nilai rata-rata (mean) dari distribusi data. Sedangkan untuk mengetahui hubungan (korelasi) diantara dinar, dirham dan SDR digunakan analisis korelasi (correlation analysis).


(40)

28 Proksi dari gold-based currency adalah harga emas per ons, Special Drawing Rights (SDR) dan harga perak per ons dalam Dolar AS. Nilai dinar emas dapat disesuaikan sebagai nilai intrinsiknya yang terdiri dari 4,25 gram dari Emas 22 karat. Nilai dari emas 24 karat dapat dikonversi dengan emas 22 karat dengan cara mengalikan 0.917 untuk tiap 1 gram emas 24 karat. Sementara, untuk nilai dirham dinilai dengan 3 gram logam perak murni. Sedangkan proksi dari fiat-based currency adalah Euro, poundsterling dan Yen dalam Dolar AS. Periode pengamatan adalah dari 1 Juli 1997 sampai 31 Desember 2001.

Penelitian Rashid, dkk ini bertolak dari dua hipotesa yaitu: (1) mata uang berbasis emas lebih stabil secara signifikan daripada nilai tukar uang berbasis fiat; (2) terdapat korelasi yang signifikan untuk tiga proksi mata uang berbasis emas (Dinar Emas, Dirham dan SDR IMF). Munculnya hipotesis yang kedua disebabkan adanya perbedaan penilaian terhadap mata uang berbasis emas.

Oleh karena itu, variasi pengukuran mata uang berbasis emas diperkirakan tidak bersifat substitusi sempurna antara yang satu dengan yang lainnya. Temuan penting dari penelitian Rashid, dkk. adalah nilai tukar mata uang berbasis emas (gold-based currencies) lebih stabil dari nilai tukar uang berbasis fiat (fiat-based currencies). SDR-IMF adalah yang paling stabil diantara enam nilai tukar dari hasil analisa dengan koefisien variasi (coefficient of variation) yang paling rendah, yakni 0.03453. Perbandingan seluruhnya antara uang berbasis emas dan uang berbasis fiat menunjukkan bahwa Dinar dan SDR IMF mempunyai koefisien variasi yang lebih rendah dibandingkan dengan koefisien variasi dari


(41)

29 tiga proksi mata uang berbasis fiat. Koefisien variasi rata-rata untuk proksi uang berbasis emas adalah 0.06678 yang secara signifikan lebih rendah daripada koefisien variasi rata-rata untuk proksi uang berbasis fiat sebesar 0.08315. Diantara ketiga sampel uang fiat, terlihat poundsterling memiliki stabilitas yang lebih baik karena koefisien variasinya paling kecil, selanjutnya diikuti secara berturut-turut oleh yen Jepang dan euro.

Berkenaan dengan hipotesa kedua, hubungan antara tiga proksi gold-based currencies (dinar, dirham dan SDR-IMF) secara signifikan berhubungan. Walaupun hubungannya tidak begitu kuat (kurang dari 50%), kecuali untuk dinar dan SDR-IMF. Hal ini dapat disimpulkan walaupun ada hubungan yang signifikan antara tiga proksi dari gold-based currencies tetapi tidak dapat disubtitusikan secara sempurna untuk dinar emas diantara tiga proksi tersebut karena persentase hubungannya di bawah 50%, kecuali hubungan antara dirham dan SDR-IMF. Salah satu alasan terhadap fenomena ini disebabkan kesulitan menetapkan nilai yang sebenarnya dari dinar emas. Sekarang ini, nilai dinar emas masih di bawah nilai intrinsik. 1 Dinar Emas sama dengan 30 SDR-IMF. Sebaliknya, dinar mempunyai distribusi normal dari SDR-IMF. Jika dinar digunakan maka rasio antara dinar-dirham menjadi 1 : 15, berarti nilai dirham di atas nilai intrinsik.

Sementara itu, Hamidi (2007) melakukan penelitian tentang gold dinar dalam. perdagangan internasional. Ada tiga pertanyaan penting yang diajukan dalam penelitian tersebut yaitu: (a) apakah volatilitas dolar terhadap emas relatif


(42)

30 tinggi? Atau dengan kata. lain, manakah yang lebih stabil antara dolar dan emas?; (b) apakah penerapan gold dinar akan menciptakan peluang ekonomi yang lebih luas (trade creating effect)?; (c) apakah pelaksanaan gold dinar feasible dan applicable?

Untuk menjawab pertanyaan penelitian yang pertama, (Hamidi, 2007:200-201) juga menggunakan metode coefficient of variation (CV). Penerapan metode ini menggunakan. data nilai tukar dolar terhadap emas. Sebagai pembanding, Hamidi menggunakan nilai tukar deutsche mark (DM) dan yen terhadap dolar. Hasil pengujian yang dilakukan Hamidi memperlihatkan volatilitas dolar terhadap emas mendekati 60 persen di titik tertinggi dan 10 persen di titik terendah antara tahun 1972-1980. Periode berikutnya, 1980-1996, volatilitas mulai mengalami penurunan yaitu antara 5-10 persen, dan selanjutnya menurun lagi di bawah 5 persen sampai tahun 2002.

Selanjutnya, Hamidi (2007:111) menjelaskan bahwa volatilitas dolar terhadap emas boleh dikatakan paling tinggi dibandingkan dengan volatilitas DM dan yen terhadap dolar. Tingkat volatilitas dolar terhadap emas semakin mendekati titik nol ketika memasuki tahun 1999. Hal ini berarti dolar semakin stabil terhadap emas. Temuan ini menurut Hamidi adalah suatu hal yang aneh karena pada tahun itu dan sesudahnya, Amerika memikul beban defisit perdagangan yang kian tak tertanggungkan, sehingga mustahil dibayar kecuali dengan menciptakan debt instrument dan mencetak lebih banyak dolar yang berarti akan meningkatkan inflasi. Tapi mengapa, harga emas justru lebih stabil?


(43)

31 Menurut Speck (2003) hal ini terkait dengan diratifikasinya Washington Agreement pada tahun 1999 yang mempunyai maksud terselubung untuk menekan harga emas. Hal ini dilakukan supaya emas tidak menjadi pesaing bagi dolar dan debt instrument lain yang diterbitkan oleh pemerintah Amerikat Serikat.

Akhirnya Hamidi (2007:131) menyimpulkan bahwa gold dinar lebih stabil dibandingkan dengan fiat money manapun, termasuk dolar AS. Istilah stabil di sini merujuk pada alasan praktis, yaitu rendahnya tingkat volatilitasnya, dimana fiat money dibandingkan dengan emas terbukti lebih volatil. Hasil empiris yang ditemukan dalam studi ini menunjukkan bahwa dolar terhadap emas cenderung terus terdepresiasi dan nilai tukar riilnya berpengaruh pada menurunnya ekspor dari negara-negara berkembang.

Berkaitan dengan pertanyaan penelitiannya yang kedua, Hamidi (2007:102) menyimpulkan bahwa implementasi gold dinar dalam perdagangan internasional diproyeksikan akan mendatangkan banyak manfaat, Bentuk manfaat yang dimaksud antara lain:

a) mengurangi dampak volatilitas yang disebabkan oleh fluktuasi mata uang; b) trader tidak perlu lagi melakukan hedging;

c) transaksi semakin efisien karena semakin banyak negara yang bergabung, hanya diperlukan gold dinar relatif kecil untuk volume perdagangan yang difasilitasi;


(44)

32 d) gold dinar akan berperan sebagai mata uang bersama (common currency)

yang berimplikasi pada pengurangan biaya transaksi; dan

e) keuntungan politis dimana para pendukung gold dinar akan menjadi blok yang solid sehingga diperhitungkan kiprahnya dalam percaturan perdagangan internasional.

Apakah volatilitas mata uang (currency volatility) berdampak pada perdagangan internasional. Tidak sederhana untuk menjawabnya. Penelitian tentang dampak dari volatilitas nilai tukar terhadap perdagangan internasional telah banyak dilakukan baik dari sisi teori maupun empiris. Akan tetapi, tidak ada konsensus yang jelas tentang dampak resiko nilai tukar terhadap volume perdagangan. Meskipun banyak model-model perdagangan menyimpulkan bahwa semakin besar ketidakpastian dalam pergerakan nilai tukar akan mengurangi volume perdagangan, namun ada pula pihak yang memperkirakan dampak sebaliknya (Pozo, 1992:1). Berikut ini akan dikemukakan beberapa penelitian terkait dengan volatilitas nilai tukar dengan perdagangan dan permasalahan ekonomi lainnya.

Grauwe (1998:240) sebagaimana dikutip Hamidi (2007:40-41), menjelaskan bahwa semenjak tahun 1973, banyak negara maju yang menerapkan sistem kurs mengambang (floating rate rezim) pada mata uang nasional mereka. Hal yang paling mencolok dari pemberlakuan sistem baru itu adalah kecenderungan tingginya volatilitas mata uang yang menyebabkan ketidakpastian (uncertainty) dalam usaha. Karena itu, importir atau eksportir


(45)

33 cenderung menghindari resiko dengan mengurangi transaksi perdagangan internasional (yang menggunakan mata uang dengan tingkat uncertainty yang tinggi) dan mengalihkan kegiatan dengan berkonsentrasi dalam perdagangan lokal (yang resikonya lebih rendah). Langkah ini pada akhirnya memukul perdagangan internasional secara keseluruhan dan pada gilirannya berakibat pada melambatnya laju pertumbuhan ekonomi. Setelah pemberlakuan kurs mengambang ini, negara-negara industri itu mulai menuai perlambatan pertumbuhan ekonomi. Sebelum pemberlakuan sistem baru itu, antara tahun 1960-1973 pertumbuhan ekonomi tahunan mereka rata-rata mencapai 4,4 persen pertahun. Namun begitu sistem kurs mengambang itu diterapkan, selama periode 1973-1990 pertumbuhan ekonomi mereka merosot menjadi hanya sekitar 1.3 persen.

Orang mungkin bisa berkilah semestinya baik importir atau eksportir itu tidak perlu mengurangi kegiatan ekspor-impornya karena mereka bisa mengurangi resiko dengan melakukan hedging untuk melindungi dari risiko naik dan turunnya kurs. Namun, upaya hedging itu tentu bukan sesuatu yang gratis. Hedging bagi eksportir dan importir berarti mengeluarkan tambahan biaya (additional cost) yang berarti benefit yang mereka peroleh dari perdagangan itu akan berkurang karena sebagian dari keuntungan harus dialihkan untuk menutup biaya hedging.

Dalam kaitan dengan kestabilan nilai tukar, Meera (2002) telah mengusulkan untuk menerapkan kembali sistem Dinar Emas Islam. Penulis ini


(46)

34 meyakini langkah tersebut dapat dijadikan solusi atas kelemahan sistem moneter yang berbasis uang fiat dan bunga serta berbagai dampak negatif ikutannya. Walaupun dalam sejarah Islam dinar dan dirham adalah uang logam, namun sistem dinar Islam yang dimaksud dalam era modern sekarang ini pada dasarnya adalah suatu sistem pembayaran elektronik yang disokong oleh emas. Transaksi yang dilakukan memang melalui internet dengan peralatan transfer elektronik, namun semua transaksi tersebut disandarkan pada emas. Inovasi dari bentuk tradisional ini adalah untuk menghindari membawa emas dalam jumlah yang banyak, untuk kenyamanan dan keamanan, Sistem kartu (seperti kartu debit dan kartu kredit) juga dapat dimasukkan dalam sistem pembayaran. Dibandingkan dengan uang fiat berbasis bunga, implementasi sistem dinar Islam akan mempunyai implikasi sebagai berikut:

a) Penciptaan dan penghancuran uang sebagaimana terjadi pada sistem yang sekarang ini tidak mungkin terjadi karena dinar adalah emas yang mempunyai nilai intrinstik. Oleh karena itu, sistem moneter dan mata uang akan menjadi stabil. Pertumbuhan penawaran uang emas diperkirakan tidak akan melebihi pertumbuhan sektor riil, sehingga dapat menghilangkan tekanan inflasi.

b) Dinar adalah alat tukar (Medium of Exchange) yang baik karena emas dihargai dan berputar secara global. Dengan peningkatan jumlah penduduk dan aktivitas ekonomi, tetapi penawaran emas yang relatif terbatas, maka dampak jangka panjangnya harga emas akan meningkat.


(47)

35 c) Sistem dinar Islam akan meminimalisasi spekulasi, manipulasi dan

arbitrase.

d) Dampak-dampak dari siklus bisnis akan diminimalkan. Dengan pertumbuhan penawaran uang dalam sistem dinar, maka pertumbuhan harga-harga agregat dan utang akan sangat terbatasi. Dengan demikian, aktivitas bisnis dan ekonomi akan menjadi lebih stabil.

e) Dinar akan mengurangi risiko nilai tukar dan mendorong perdagangan. Hal ini terjadi bila dinar digunakan sebagai mata uang tunggal bagi negara-negara muslim, sebagaimana Euro. Penyatuan mata uang tersebut juga akan mengurangi biaya transaksi secara signifikan, karena ketika seseorang mengimpor atau mengekspor barang, dia tidak lagi perlu menukar mata uang yang menjadi bagian biaya transaksi.

2.5. Kerangka Pemikiran

Kestabilan nilai tukar sangat diperlukan bagi kelancaran perdagangan internasional. Apabila nilai tukar selalu mengalami fluktuasi dari waktu ke waktu, maka kepastian dalam bisnis dan perdagangan akan sangat terganggu. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi dan berkurangnya kesempatan kerja, sehingga angka pengangguran dan kemiskinan akan meningkat.

Dolar AS adalah mata uang yang banyak digunakan untuk pernbayaran transaksi atau perdagangan luar negeri. Hal ini disebabkan oleh relatif besarnya


(48)

36 peranan ekonomi dan politik Amerika Serikat dalam percaturan internasional. Akan tetapi, dolar AS adalah uang fiat yang tidak mempunyai nilai instrinsik sehingga nilai tukarnya relatif tidak stabil.

Disamping itu, nilai tukar dolar AS telah mengalami penurunan atau terdepresiasi terhadap mata uang kuat dunia lainnya. Hal ini berpotensi mengganggu dan merugikan para pelaku bisnis yang menggunakan dolar AS. Ketika nilai tukar dolar AS kembali mengalami penguatan (terapresiasi), maka investor mungkin akan beralih kembali menanamkan dananya dalam bentuk dolar AS. Penggunaan dolar AS sebagai standar global, mengakibatkan setiap kegiatan ekonomi global seperti perdagangan, ekspor-impor, atau hutang-piutang akan mengakibatkan dolar AS sebagai standar utama dalam sistem keuangannya. Dalam tatanan praktis, ternyata dolar sangat rawan terhadap gejolak ekonomi dan memiliki dampak yang signifikan terhadap dinamika ekonomi secara luas dan cepat. Dinamika dan fluktuasi dolar AS yang demikian cepat semakin menjadikan perekonomian global sangat sulit diprediksi.

Dengan demikian, terlihat adanya keterkaitan antara perubahan nilai tukar dolar AS dengan perkembangan permintaan dan harga emas maupun perak. Sebaliknya, perubahan nilai tukar atau tingkat harga emas dan perak juga berpeluang untuk mempengaruhi keputusan investor untuk berinvestasi diantara kedua jenis komoditas logam mulia ini dan keputusan untuk menanamkan uangnya dalam bentuk valuta asing (dolar AS).


(49)

37

Gambar 2.2. Tahapan Proses Penelitian

Studi Literatur

Pengumpulan Data

Melalui Situs Terkait

Pengolahan Data Harian

Menjadi Bulanan

Perhitungan

Koefisien

Variasi

Uji Granger

Uji VAR

Pembahasan Hasil

Penarikan

Kesimpulan dan

Penyusunan

Saran


(50)

38

BAB III

METODOLOGI DAN DATA PENELITIAN

3.1. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini yaitu nilai tukar dolar AS, nilai tukar dinar emas dan nilai tukar dirham perak. Ketiga variabel tersebut diukur dalam Rupiah, Ringgit Malaysia, dan Dolar Singapura. Penggunaan Rupiah, Ringgit, dan dolar singapura didasarkan pada pertimbangan pengaruh dan penggunaannya dalam transaksi perdagangan internasional khususnya wilayah Asia Tenggara, sehingga termasuk kedalam kelompok hard currency. Dolar AS merupakan proksi dari nilai tukar uang kertas (fiat money). Sedangkan dinar emas dan dirham perak adalah proksi dari uang komoditas (commodity money).

Sehubungan dengan dinar emas dan dirham perak saat ini tidak lagi digunakan sebagai mata uang secara resmi, maka nilai tukarnya adalah harga yang berlaku untuk memperoleh keduanya di bursa komoditas. Proksi dinar emas sesuai dengan apa yang digunakan dalam penelitian Rashid, dkk (2002), Darwis (2006) dan Hamidi (2007) yaitu emas murni 22 karat seberat 4,25 gram. Akan tetapi, karena pada umumnya emas yang diperjualbelikan di pasar adalah emas 24 karat, maka dilakukan penyetaraan dengan cara mengalikan nilai emas 24 karat dengan 0.917. Sedangkan untuk dirham perak digunakan nilai perak seberat 3 gram.


(51)

39

3.2. Metode Penentuan Sampel

Penentuan sampel dalam penelitian dilakukan secara porposive sampling, yaitu pengambilan sampel berdasarkan tujuan dan kriteria (Sugiyono, 1999). Sampel yang dipilih adalah sebagai berikut:

1. Nilai tukar yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah nilai tukar dinar emas dan dirham perak yang terdapat dalam data perkembangan harga emas dan perak dari situs internet http://www.kitco.com.

2. Data nilai tukar atau kurs dolar AS terhadap rupiah didapatkan dari data historis harian yang dilaporkan oleh Bank Indonesia dalam situs resminya (www.bi.go.id), data nilai tukar ringgit Malaysia dan dolar Singapura terhadap dolar AS didapat dari hasil konversi nilai tukar mata uang tersebut yang didapat dari (http://www.oanda.com/historical-rates) dan juga Data Indeks Harga Konsumen (IHK) Amerika Serikat juga diperoleh dari situs resmi Bank Sentral (the FED).

3.3. Metode Pengumpulan Data

Data dasar nilai tukar (kurs) dolar AS terhadap rupiah, ringgit Malaysia, dan dolar Singapura adalah dalam bentuk harian. Untuk keperluan pengujian, data tersebut dirata-ratakan terlebih dahulu kedalam bentuk bulanan, agar series yang digunakan tidak terlalu panjang. Sementara itu, data dasar harga emas dan perak adalah dalam ukuran dolar AS per ounce yang juga dalam runtun


(52)

40 waktu harian. Oleh karena itu, data tersebut perlu diolah terlebih dahulu mengikuti langkah-langkah berikut:

a) Data harian dirubah menjadi data rata-rata bulanan;

b) Data harga emas dan perak secara bulanan tersebut dikalikan dengan nilai tukar bulanan dolar AS terhadap rupiah, ringgit, dan dolar singapura untuk mendapatkan proksi dinar emas, harga rata-rata bulanan emas dikalikan dengan 0.14991. Angka pengali ini didapatkan dari pembagian jumlah gram emas untuk mendapatkan satu dinar emas (4.25 gram) dengan jumlah gram emas dalam ukuran 1 ounce (28.35 gram). Hasil yang didapatkan masih dalam nilai emas 24 karat, sehingga perlu dikalikan lagi dengan 0.917 untuk mengkonversi ke dinar emas yang mempunyai nilai intrinsik 22 karat. (c) untuk mendapatkan proksi dirham perak, harga rata-rata bulanan perak dikalikan dengan 0.10582. Angka pengali ini didapatkan dari pembagian jumlah gram perak untuk satu dirham (3 gram) dengan jumlah gram perak dalam ukuran 1 ounce (28.35 gram). Untuk mendapatkan nilai tukar riil semua variabel yang masih dalam bentuk nominal dideflasi dengan indeks harga konsumen (IHK) AS.

Data nilai tukar dinar emas, dirham perak dan dolar AS yang digunakan dalam penelitian ini tergolong sebagai data sekunder (secondary data). Sedangkan rentang waktu atau lamanya pengamatan ini adalah selama 52 bulan yaitu dari bulan Januari 2006 sampai dengan bulan April 2010.


(53)

41

3.4. Metode analisis dan Uji Hipotesis

Untuk mengetahui manakah yang lebih stabil diantara nilai tukar dolar AS, dinar emas dan dirham perak terhadap rupiah, ringgit Malaysia dan dolar Singapura digunakan metode perhitungan koefisien variasi (coefficient of variation) dari nilai tukar ketiga mata uang yang diuji.

Menurut Levin dan Rubin (1998:126), pengukuran koefisien variasi memberikan gambaran tentang jarak dari penyimpangan (deviation) secara relatif terhadap jarak nilai rata-rata (mean). Jika varians (the variance) dan standar deviasi (the standard deviation) menceritakan tentang suatu jarak rata-rata antara observasi dengan rata-rata-rata-rata distribusi dari sekelompok data, maka koefisien variasi (coefficient of variation) adalah pengukuran relatif dari penyebaran beberapa kelompok atau distribusi data.

Formula penghitungan koefisien variasi dalam penelitian ini merujuk pada formula yang digunakan oleh Esquivel dan Larrain (2002:5) yaitu:

dimana X adalah nilai tukar riil pada bulan t+i-1; X adalah rata-rata nilai tukar riil bilateral selama periode pengamatan; dan m adalah jumlah total sampel diantara bulan t dan t+m-1. X dalam hal ini adalah nilai tukar riil dinar emas; nilai tukar riil dirham perak; dan nilai tukar riil dolar AS yang diukur dalam rupiah,


(54)

42 ringgit Malaysia, dan dolar Singapura. Sedangkan m atau jumlah 52 yaitu data bulanan dari Januari 2006 - April 2010.

Semakin kecil angka koefisien variasi (coefficient of variation) yang didapatkan berarti semakin kecil tingkat volatilitas atau gerak naik dan turunnya data yang diukur sehingga dapat dikatakan pergerakan data tersebut semakin stabil. Demikian pula sebaliknya, semakin besar angka koefisien variasi maka semakin tidak stabil pergerakan data yang diukur.

Selanjutnya, untuk menjawab perumusan masalah tentang hubungan antara fluktuasi antara nilai tukar dolar AS, dinar emas dan dirham terhadap rupiah, ringgit Malaysia, dan dolar Singapura, maka dilakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan metode pengujian Kausalitas Granger (Granger Causality) dan model estimasi Vektor Otoregresi (Vektor Autoregression). Disamping untuk mengukur lemah kuatnya hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat atau sebaliknya, uji kausalitas Granger juga digunakan untuk mengetahui apakah dalam hubungan tersebut variabel bebas (independence variable) yang memicu terjadinya perubahan variabel terikat (dependence variable), atau sebaliknya. Operasional pengujian-pengujian menggunakan komputer dengan software Eviews 5.1.

Alasan penggunaan model pengujian Kausalitas Granger dan Vektor Otoregresi (VAR) adalah karena secara teori belum diketahui apakah diantara volatilitas nilai tukar dinar emas, dirham perak dan dolar AS terhadap rupiah, ringgit Malaysia, dan dolar Singapura saling mempengaruhi atau tidak. Dengan


(55)

43 kata lain belum ada model struktural yang baku yang menjelaskan hubungan atau keterkaitan dari ketiga variabel yang diuji.

Uji Kausalitas Granger ini pada intinya dapat mengindikasikan apakah suatu variabel mempunyai hubungan dua arah, atau hanya satu arah saja. Namun perlu diingat bahwa pada Uji Granger Kausalitas yang dilihat adalah pengaruh masa lalu terhadap kondisi sekarang, sehingga data yang digunakan adalah data time series (Lihat Nachrowi dan Usman, 2006:262-263).

Selanjutnya sebelum melakukan uji kausalitas Granger sebagai syarat utama adalah data harus stasioner. Maka harus dilakukan uji stasioneritas data. Permasalahan yang sering muncul dalam regresi runtun waktu pada pembentukan ekonometrika adalah sporious atau regresi lancung. Suatu regresi dianggap lancung jika tidak lolos uji stasioneritas dan kointegrasi. Indikasi adanya regresi lancung dapat ditunjukkan dengan tingginya nilai R2 serta rendahnya nilai statistik Durbin-Watson. Akibatnya, koefisien regresi penaksir tidak efisien dan peramalan berdasarkan regresi tersebut akan meleset sehingga uji baku yang umum untuk koefisien regresi tersebut menjadi tidak benar (invalid). Oleh sebab itu, uji stasioneritas data dipandang sebagai uji pemula bagi suatu regresi linear. (Granger, 1986).

Unit Root Test dapat dipandang sebagai uji stasioneritas karena pada prinsipnya uji tersebut dimaksudkan untuk mengamati apakah koefisien tertentu dari model autoregresif memiliki distribusi yang baku, sehingga uji statistik


(56)

44 seperti uji t dan uji F tidak cukup layak dipakai guna menguji hipotesa yang diketengahkan (Kuncoro, 1997).

Menurut Gujarati (2003:697), Kausalitas Granger mempostulasikan bahwa suatu variabel X dikatakan menyebabkan variabel lain Y, apabila saat ini diprediksi lebih baik dengan menggunakan nilai-nilai masa lalu X. Hal ini sebagaimana ditulisnya sebagai berikut: A varia le X is said to ause a other variable Y, with respect to given information set that include X and Y, if current Y can be predicted better by using just value of X then by not doing so, given all

other past i for atio i the i for atio set it used . Oleh karena itu:

Dimana (1t, 2t) diasumsikan tidak saling berkorelasi.

Dari regresi persamaan (3.2) dan (3.3) dapat dibedakan empat hasil, yaitu (Gujarati, 2003:697):

a) Kausalitas satu arah dari Y ke X (unidirectional causality from Y to X). Hasil ini terjadi bila koefisien yang diestimasi pada nilai masa lalu X pada persamaan (3.2) signifikan secara statistik tidak sama dengan nol (1 ≠

0) dan jika koefisien nilai masa lalu Y dalam persamaan (3.3) secara statistik sama dengan nol (d = 0).


(57)

45 b) Kausalitas satu arah X ke Y (unidirectional causality from X to Y). Keadaan ini terjadi jika koefisien yang diestimasi pada masa lalu Y pada persamaan (3.2) signifikan secara statistik tidak sama dengan nol (1≠ 0) dan jika

koefisien nilai masa lalu X dalam persamaan (3.3) secara statistik tidak sama dengan nol (d ≠ 0).

c) Kausalitas dua arah (feedback atau bilateral causality), terjadi apabila koefisien masa lalu Y dan X di kedua persamaan (3.2) dan (3.3) secara statistik tidak sama dengan nol.

d) Tidak terdapat saling ketergantungan (independence), terjadi apabila koefisien masa lalu X dan Y di kedua persamaan (3.2) dan (3.3) secara statistik sama dengan nol.

Oleh karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan sebelum membentuk model VAR adalah melihat hubungan kausalitas antar variabel. Untuk tujuan inilah digunakan uji Kausalitas Granger (Granger Causality). Apabila berdasarkan uji kausalitas variabel-variabel yang dimasukkan menunjukkan

hubu ga ya g sali g e yebabka , barulah dapat dibentuk model VAR Modelnya sama dengan persamaan 3.2. dan 3.3 diatas, hanya saja perlu ditambahkan intercept (Lihat Nachrowi dan Usman, 2006:289-291).


(58)

46

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pengantar

Uang merupakan alat ukur yang penting dalam kehidupan karena penurunan nilai riil pada uang akan memiliki efek yang buruk bagi kehidupan sosial ekonomi dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Stabilitas nilai mata uang merupakan prioritas utama dalam kegiatan manajemen moneter, karena stabilitas tersebut yang tercermin dari stabilitas tingkat harga sangat berpengaruh terhadap realisasi pencapaian tingkat pembangunan ekonomi suatu negara, seperti pemenuhan kebutuhan dasar, pemerataan distribusi kekayaan dan pendapatan. (Siregar, 2002:141).

Bab ini diawali dengan pembahasan tentang perkembangan nilai tukar dolar AS, setelah itu akan dianalisis perkembangan nilai tukar dinar emas dan dirham perak yang diajukan sebagai alternatif pengganti dolar AS, khususnya untuk transaksi perdagangan luar negeri. Mengingat dinar dan dirham adalah emas dan perak yang saat ini masih berfungsi sebagai komoditas. Selanjutnya akan dianalisis hasil pengujian data empiris perbandingan stabilitas nilai tukar dinar emas, dirham perak, dan dolar AS berdasarkan perhitungan koefisien variasi (coefficient of variation), kausalitas Granger (Granger Causality) dan model VAR (Vector Auto regression).


(59)

47

4.2. Perkembangan Nilai Tukar Dolar AS

Dalam perkembangan ekonomi tertentu, terbuka kesempatan bagi mata uang suatu negara untuk dijadikan sebagai cadangan devisa bagi negara lain (reserve center country) seperti halnya dolar AS. Bila mata uang nasional itu adalah mata uang yang penting dalam transaksi internasional, sekalipun transaksi yang terjadi tidak melibatkan negara yang mengedarkan uang tersebut, maka penggunaannya oleh negara lain akan menciptakan permintaan yang meningkat atas mata uang tersebut (Kindleberger, 1983:375). Oleh karena itu, nilai tukar dolar AS cukup kuat dalam jangka waktu yang cukup lama. Faktor pendorong penting lainnya bagi penguatan nilai tukar dolar AS adalah relatif besarnya peranan perekonomian Amerika Serikat terhadap perekonomian dunia sehingga negara-negara lain banyak tergantung pada pada negara paman Sam ini.

Akan tetapi, perkembangan yang terjadi beberapa tahun terakhir telah menunjukkan perubahan yang cukup penting. Nilai tukar dolar AS cenderung melemah (terdepresiasi) terhadap mata uang kuat lainnya. Menurut World Outlook Report yang disiapkan oleh IMF, sejak masa keemasannya di tahun 2002, nilai efektif dolar AS terus merosot dan terpangkas hingga 20 persen hal ini merupakan pukulan depresiasi terhebat dolar AS tehadap mata uang negara industri lainnya sepanjang dekade terakhir (IMF, 2003:16). Kenyataan ini telah mempengaruhi konstelasi pasar uang dan perekonomian dunia karena banyak negara yang menyimpan cadangan devisanya dalam bentuk dolar AS. Selain itu,


(60)

48 utang luar negeri terutama negara-negara berkembang, juga banyak dalam mata uang dolar AS. Dengan kejatuhan nilai tukar dolar AS, maka beban utang tersebut tentunya akan menjadi membengkak.

Menurut Hamidi (2007:51-52), memudarnya masa keemasan dolar AS disebabkan oleh munculnya euro pada akhir 1990-an. Pada tahun 2000 komposisi dolar AS dalam bentuk cadangan devisa yang disimpan oleh negara-negara dunia mencapai 66,6 persen. Angka ini mulai mengalami penurunan menjadi 63,8 persen tahun 2003. Sebaliknya, euro yang mulai dikenalkan pada tahun 1999 mulai meraih popularitasnya. Komposisi euro dalam cadangan resmi dunia baru mencapai 16,3 persen di tahun 2000, kemudian merangkak naik menjadi 19,7 persen tahun 2003. Penggunaan euro telah memperkuat integrasi pasar keuangan Eropa yang dapat membantu mereka untuk melawan dolar AS. Hasil dari peningkatan penggunaan euro dalam pasar keuangan telah meningkatkan kemungkinan transaksi internasional dilakukan dengan euro. Pengaruh ekonomi Uni Eropa telah menyaingi pengaruh Amerika Serikat yaitu memiliki porsi yang hampir sama dalam GDP dunia (sekitar 20 persen) dan ekspor dunia (sekitar 15 persen). Apabila Bank Sentral Eropa dapat mempertahankan inflasi tetap rendah, maka euro akan menjadi mata uang yang kuat dan hal itu merupakan pertanda yang baik bagi euro (Mishkin, 2006:471). Akan tetapi, penguatan nilai tukar tersebut dapat pula mendatangkan kerugian karena akan mempengaruhi daya saing produk yang dihasilkan di luar negeri karena harganya akan menjadi lebih mahal.


(1)

85 tukar dirham perak ikut mempengaruhi volatilitas nilai tukar dinar emas, namun tidak sebaliknya. (2) sedangkan volatilitas nilai tukar dinar emas dan dirham perak tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap volatilitas dolar AS, begitu juga sebaliknya. b) Dalam penggunaan denominasi ringgit Malaysia hanya volatilitas

nilai tukar dinar emas yang mempengaruhi volatilitas nilai tukar dirham perak dan tidak berlaku sebaliknya. Sementara itu, volatilitas nilai tukar dolar AS dan dirham perak tidak saling mempengaruhi atau saling menyebabkan satu sama lain.

3. Dari hasil estimasi model vektor otoregresi (VAR) dapat diambil beberapa kesimpulan yang cukup penting, yaitu:

 Volatilitas nilai tukar dinar emas terhadap rupiah dan dolar singapura dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar sebulan yang lalu dinar emas itu sendiri serta perubahan nilai tukar dirham perak sebulan dan dua bulan sebelumnya dengan koefisien variasi yang lebih besar. Artinya, volatilitas nilai tukar dirham perak lebih dominan pengaruhnya terhadap volatilitas dinar emas dalam denominasi rupiah dan dolar Singapura. Sementara itu, dalam denominasi ringgit Malaysia volatilitas nilai tukar dinar emas hanya dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar dinar emas itu sendiri pada sebulan dan dua bulan sebelumnya dengan arah positif.


(2)

86  Volatilitas nilai tukar dirham perak terhadap rupiah dan dolar singapura pada umumnya hanya dipengaruhi oleh volatilitas nilai tukar dirham itu sendiri sebulan sebelumnya. Artinya, dalam denominasi rupiah dan dolar singapura nilai tukar dirham perak lebih memiliki keunggulan dibandingkan dengan nilai tukar dinar emas dan dolar AS dalam denominasi rupiah dan dolar Singapura. Sementara itu, dalam denominasi ringgit Malaysia volatilitas nilai tukar dirham perak dipengaruhi oleh volatilitas nilai tukar dirham perak itu sendiri dengan koefisien regresi positif, dan juga dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar dinar emas terhadap ringgit Malaysia pada sebulan dan dua bulan sebelumnya dengan koefisien regresi yang cukup signifikan pada alfa 5%.

 Volatilitas nilai tukar dolar AS untuk semua denominasi baik itu rupiah, ringgit Malaysia, maupun dolar Singapura memiliki bentuk volatilitas yang sama dimana volatilitas nilai tukar dolar AS hanya dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar dolar AS itu sendiri pada satu dan dua bulan sebelumnya.

5.2. Saran-saran

Berdasarkan pada kesimpulan diatas, maka dapat diajukan saran kepada pemerintah dan para pelaku perdagangan internasional sebagai berikut:

 Usaha-usaha untuk kembali menggunakan dinar emas sebagai alat tukar dalam perdagangan internasional perlu didukung dan dilanjutkan karena


(3)

87 telah terbukti secara cukup meyakinkan bahwa perkembangan nilai tukar dinar emas lebih stabil dibandingkan dengan nilai tukar dirham perak dan dolar AS bila diukur dalam denominasi rupiah, ringgit malaysia, dan dolar singapura.

 Untuk memperkuat temuan bahwa nilai tukar dinar emas lebih stabil dibandingkan dengan nilai tukar mata uang fiat lainnya, maka perbandingan kestabilan tersebut perlu dilakukan dengan mata uang lain, seperti: (a) mata uang negara-negara Timur Tengah yang terkenal kaya dengan sumber daya minyaknya; (b) mata uang negara-negara Eropa lainnya seperti Lira (Italia), Krona (Swedia), dan Gulden (Belanda);

 Penelitian yang dilakukan juga perlu memperdalam faktor-faktor yang mendorong dan atau menurunkan tingkat stabilitas mata uang yang diuji dan bagaimana proses bekerjanya faktor-faktor tersebut dalam sistem moneter yang dijalankan.


(4)

88 Daftar Pustaka

Agung, I Gusti Ngurah, 2009, “Time Series Data Analysis Using Eviews”, Singapore, John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd.

Boediono, 1996, “Ekonomi Moneter”, Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.

El-diwany, Tarek, 2003, “The Problem of Interest (System Bunga dan Permasalahannya)”, Jakarta, Akbar Media Eka Sarana.

Esquivel, Gerardo and Larrain, B. Felipe, 2002, “The Impact of G-3 Exchange Rate Volatility on Developing Countries”, G-3 Discussion paper, Bo, 16 January (United Nations Conference on Trade and Development, and Centre of International Development Harvard University).

Granger, CWJ, 1986, Development in the Study of Co-integrated Economic Variables”, Oxford Bulletin of Economic and Statistic, Vol.48

Gujarati, Damodar N., 2003, “Basic Econometrics”, Third Edition, Singapore, Mc. Graw-Hill, Inc.

Hamidi, M. Lutfhi, 2007, “Gold Dinar: Sistem Moneter Global yang Stabil dan Berkeadilan”, Jakarta Senayan Abadi Publishing.

Hasan, Ahmad, 2005, “Mata Uang Islami, (Telaah Komprehensif System Keuangan Islami)”, Jakarta, Rajawali Press.

Iqbal, Muhaimin, 2008, “Dinar Solution: Dinar sebagai Solusi”, Jakarta, Gema Insani Press.

Karim, Adiwarman Azwar, 2004, “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam”, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.

Karnaen, Purwataatmadja A., “Dinar dan Dirham sebagai Alternatif Mata Uang Internasional”, (paper yang disajikan pada seminar nasional hukum ekonomi, menggagas ekonomi syariah yang mantap dengan peraturan perundang-undangan yang baik) pada 25-27 Februari 2003 di kampus UI, Depok).

Kindleberger, 1983, “Ekonomi Internasional”, Jakarta, Penerbit Erlangga.

Levin, Richard I., And Rubin, David S., 1998, “Statistic for Management”, New Jersey, Prentice-Hall, Inc.

Majid, M. Sabri, 2004, Makalah Seminar Ikatan Ahli Ekonomi Islam di Medan, IIUM, Malaysia.


(5)

89 Mankiw, N. Gregory, 2000, “Teori Ekonomi Makro”, Jakarta, Penerbit Erlangga. Marzuki, 2005, “Analisis Perekonomian Nasional dan Internasional”, Jakarta, Mitra Wacana Media.

McKinnon, Ronald L., 1993, “The Rules of the Games: International Money in Historical Perspective”, the Journal of Literature, Vol.31, No.1

Meera, Ahamed Kameel Mydin, 2002, “The Islamic Gold Dinar”, Selangor, Pelanduk Publication.

Mishkin, Frederic S., 2006, “The Economic of Money, Banking and Financial Markets”, New York, Harper Collins publishers.

Mohamad, Mahathir, 2001, “The 20th

Al-Baraka Symposium for Islamic Economics, an Opening Remark”, (www.islamicmint.com).

Nachrowi, Djalal dan Ustman, Hardius, 2006, “Penggunaan Teknik Ekonometrika”, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.

Nasution, Mustafa Edwin, dkk., 2006, “Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam”, Jakarta, Kencana Perdana Media Group.

Nopirin, 2000, “Ekonomi Moneter”, Buku 1, BPFE Yogyakarta.

Pujiyono, Arif, 2004, “Dinar dan Sistem Standar Tunggal Emas Ditinjau Menurut Sistem Moneter Islam”, Jakarta, Jurnal Dinamika Pembangunan Vol.1 No.2

Rabb, Hifzur, 2002, “Problems Creative by the Fiat Money, Islamic Dinar and Other Available Alternative”, Hasil Seminar Stable and Just Global Monetary System, Liability of Dinar the Islamic Dinar, Malaysia, IIUM.

Rashid, Hafiz Majdi, Siswantoro Dodik, dan Brozovsky, John A., 2002, “The Stability of Gold Dinar and Accounting Implication: an Empirical Study”, Hasil Seminar Stable and Just Global Monetary System, Liability of Dinar the Islamic Dinar, Malaysia, IIUM.

Rosnah, Mohd. Sham, 2003, “Dinar Emas VS Wang Fiat Dalam Perdagangan

Antara Bangsa Dikalangan Negara-Negara Islam OIC”, Malaysia, UPM.

Saidi, Zaim, 2003, “Lawan Dolar dengan Dinar: Kiat Jitu Bebas Krismon dan Merosotnya Nilai Uang”, Jakarta, Pustaka Adina.

Sanusi, Mahmood M., 2002, “Gold Dinar, Paper Currency and Monetary Stability: an Islamic View”, (Proceeding of the 2002 International Conference on


(6)

90 Stable and Just Global Monetary System International Islamic University Malaysia).

Siregar Mulya,2002, “Ekonomi dan Bank Syariah pada Milenium Ketiga”, Medan, IAIN Press.

Siswantoro, Dodik, 2002, “Kecukupan Emas untuk Dinar dan Rasionya dengan Dirham: Studi Kasus Indonesia”, Malaysia, ISEFID review, Vol.1 No.1, (Journal of the Islamic Economic Forum for Indonesian Development).

Stiglitz, Joseph E., 2003, “Globalisasi dan Kegagalan Lembaga Keuangan Internasional”, Jakarta, PT. Ina Publikatama.

Winarno, Wing Wahyu, 2009, “Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews”, Edisi Kedua, Yogyakarta, Penerbit Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN.