Sebagaimana Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 dan Undang- undang Nomor 22 Tahun 1999, yaitu kepala daerah dipilih secara murni
oleh lembaga DPRD tanpa adanya intervensi dari pemerintah pusat. 5. Sistem pemilihan langsung
Hal ini sebagaimana Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yaitu kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Artinya, setiap warga
negara di daerah yang bersangkutan berhak memilih calon kepala daerah secara langsung dengan asas one man, one vote, one value satu orang,
satu pilihan, satu nilai Perkembangan yang terjadi, sistem pemilihan langsung dengan is
tilah „pilkada’ menjadi „pemilukada’, yaitu pemilihan kepala daerah merupakan bagian dari rezim pemilu sebagaimana
ketentuan pasal 22E UUD 1945.
B. Kedudukan Pemilukada Sebagai dalam Rezim Pemerintahan Daerah
Dalam negara demokrasi rezim pemilihan memiliki fungsi untuk membuat akses untuk mendapatkan jabatan publik ditentukan oleh hasil
pemilihan yang terbuka dan kompetitif. Rezim pemilihan merupakan unsur inti dari Iima rezim parsial dari demokrasi yang mengakar karena
merupakan perwujudan yang paling nyata dari kedaulatan rakyat, partisipasi rakyat dan bobot yang sama diberikan kepada preferensi
mereka. Lebih dari itu, persaingan yang terbuka dan jamak untuk mendapatkan jabatan publik yang sentral adalah perbedaan yang utama
antara demokrasi dan otokrasi. Hak politik yang sama adalah syarat minimal untuk rezim pemilihan demokratis pemilihan yang teratur,
bebas, umum, setara, dan adil. Dua rezim parsial yang saling terkait yang disebutkan di atas mewujudkan esensi pertanggungjawaban vertikal
dalam demokrasi. Pengaturan tentang pilkada langsung diatur melalui undang-
undang Pemerintahan Daerah, yaitu UU No. 32 tahun 2004, undang- undang ini selain mengatur tentang otonomi daerah juga mengatur
mekanisme pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung. Pengaturan mekanisme pemilihan kepala daerah menjadi satu paket
dengan pengaturan otonomi daerah dalam satu wadah undang-undang tentang pemerintahan daerah membawa konsekuensi bagi pilkada itu
sendiri. UU No. 32 Tahun 2004 menganggap bahwa pilkada bukan bagian
dari pemilihan umum pemilu tetapi bagian dari penyelenggaraan pemerintahan daerah, sehingga kemudian pilkada bukan bagian dari rezim
pemilu tetapi bagian dari rezim Pemerintahan Daerah. Ini berarti pilkada dianggap bukan pemilu.
pada pasal 18 ayat 4 UUD NRI pemilukada lebih di masukkan kepada rezim pemilihan umum namun jika menurut pasal 22 huruf E
pemilukada lebih kepada rezim pemerintahan daerah, karena tidak adanya kata-kata yang menyebutkan pemilihan umum. K
lausul “demokratis” yang disebut dalam pasal 18 ayat 4 adalah pemilu yang secara umum, baik
secara langsung ataupun tidak langsung.
Memang bila
menyangkut pilkada,
hubungan garis
pertanggungjawaban KPUD dan DPRD dapat dikatakan aneh. Keberadaan KPUD adalah bagian dari KPU, dengan pengawasan dan pembinaan
langsung oleh KPU. Ketika KPU dipotong peranannya karena pilkada bukan pemilu sehingga tidak menjadi urusan KPU, maka DPRDlah yang
dianggap mewakili daerah, sebagaimana kehendak otonomi daerah yang menyerahkan urusan pemilihan pimpinan daerah kepada daerah
bersangkutan.
85
Namun menganggap pilkada bukan pemilu juga bertentangan dengan konstitusi atau UUD 1956. Dalam konstitusi dijelaskan bahwa
antara pemilu dan Pemerintahan Daerah merupakan dua hal yang terpisah, yakni Pemerintahan Daerah diatur dalam pasal 18 dan Pemilu diatur dalam
Pasal 22.
86
Tetapi kedua pasal tersebut dipertentangkan sehingga kemudian pemerintah menganggap pilkada bukan bagian dari pemilu
tetapi bagian dari penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pasal 22 UUD 1945 menyebutkan, prinsip penyelenggaraan pemilu
berlaku untuk semua pemilu termasuk pilkada. Dengan demikian tidak masuk akal bila ada orang yang berpendapat bahwa pilkada bukan bagian
dari rezim pemilu. Namun hal yang mempertegas bahwa pilkada adalah
85
Donni Edwin, dkk. Pilkada Langsung Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance, Jakarta: Pusat Kajian Politik Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005,
h. 59
86
Ibid, h. 64
bagian dari pemilu adalah dengan berbagai alasan antara lain bahwa, mekanisme dan proses penyelenggaraan pemilihan umum.
87
Acuan undang-undang yang akhirnya menunjuk KPUD sebagai organ penyelenggara pilkada, secara hukum menyalahi aturan, karena sifat
KPU yang bersifat nasional. KPUD sebagai penyelenggara pilkada, yang tidak perlu mempertanggungjawabkan kegiatannya kepada KPU,
menyalahi hierarki kewenangan dalam KPU. Oleh sebab itu, pilkada lebih kepada urusan pemilu.
Persoalan lain adalah dalam hal regulasi pilkada yaitu dimana KPUD harus bertanggung jawab kepada DPRD. Pasal 57 ayat 2 UU No.
32 Tahun 2004 mengatakan, “Dalam melaksanakan tugasnya, KPUD menyampaikan laporan penyelenggraan pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah kepada DPRD”. Perdebatan mengenai apakah pilkada masuk rezim Pemerintahan
Daerah ataukan masuk dalam rezim pemilu, berakhir dengan keluarnya UU No. 22 tahun 2007 tentang penyelenggaraan pemilu. Dalam UU
penyelenggaraan pemilu, pilkada masuk dalam rezim pemilu dan posisi KPUD dibawah KPU. Jadi antara KPUD dengan KPU ada hubungan yang
hierarkis. Bahkan dalam UU ini disebutkan, apabila KPUD tidak bisa melaksanakan tahapan pemilu, KPU akan mengambil alih kewenangan
tersebut.
87
Ibid, h. 65
Pada awalnya pemilukada masuk dalam rezim Pemilu. Pada akhirnya setelah keluarnya UU No. 32 Tahun 2004 pemilukada masuk
dalam rezim pemerintahan daerah. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 pemilukada masuk dalam rezim pemilu, maka penyelesaian sengketanya
di tangani oleh Mahkamah Konstitusi maka rezim pemilukada masuk dalam rezim pemilu, namun jika diselesaikan melalui Mahkamah Agung
maka pemilukada rezimnya adalah rezim pemerintahan daerah. UU No. 32 mengarahkan pemilukada masuk dalam rezim pemilu,
maka dari itu dibuatlah KPUD dan lain sebagainya, namun jika dilihat sekarang Mahkamah Konstitusi menolak untuk menyelesaikan sengketa
pemilu maka pemilukada masuk dalam pemerintahan daerah dan penyelesaian sengketanya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Terkait dengan tingginya kuantitas sengketa hasil pemilukada yang dijukan ke MK. Seperti dikemukakan sebelumnya, MK memiliki
kewenangan memutuskan sengketa hasil pemilukada. Sejak saat, jumlah perkara perselisihan pemilukada deras mengalir sebanding dengan
diselenggarakannya Pemilukada. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pemilkada melahirkan persoalan atau sengketa hukum.
Pada hakikatnya UUD 1945 telah mendesain sedemikian rupa dari hulu ke hilir agar Pemilu termasuk pemilukada dilaksanakan secara
demokratis berdasarkan asas luber dan jurdil. Dalam hal ini, MK hanya menjadi ujung dari hilir terwujudkanya pemilu dan pemilukada yang
demokratis . kalau saja sistem penyelenggaraan demokrasi sudah kuat dan
baik, tentu semua pelanggaran pidana dan administratif akan tuntas sebelum perkara diajukan ke MK. Akan tetapi, pada kenyataannya, hampir
semua perkara diarahkan ke MK. Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi memiliki
kewajiban untuk memastikan bahwa pelaksanaan pemilukada tidak melanggar asas konstitusional pemilu yaitu Luber dan Jurdil. Karena itu,
dalam persidangan,
88
Mahkamah Konstitusi tidak hanya memeriksa dan mempertimbangkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Pada saat
pelanggaran mencederai dan merusak asas luber dan jurdil, Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban konstitusional dan melurusknnya.
Mahkamah Konstitusi tidak lagi hanya memutuskan penghitungan suara atas siapa yang benar, tetapi juga melahirkan amar putusan
penyelenggaraan pemungutan suara ulang, memasukkan bakal calon tertentu yang semula dinyatakan tidak lolos, mendiskualifikasi calon
tertentu, melakukan penghitungan suara ulang, bahkan menetapkan pemohon sebagai pemenang pemilukada.
Dalam memutuskan perkara pemilukada, Mahkamah Konstitusi tidak pernah menjatuhkan putusan pidana. Mahkamah Konstitusi tidak
pernah pula menjadikan dokumen palsu atau kesaksian palsu sebagai dasar putusan, karena di dalam putusan hanya dituliskan sebagai fakta
persidangan. Secara independen Mahkamah Konstitusi bekerja dalam
88
ibid, Demokrasi Lokal Evaluasi Pemilukada di Indonesia, h. 15
memutuskan perkara penyelenggaraan pemilu, dan tidak mau mencampuri wilayah kerja instansi lain.
Hal yang patut ditegaskan pula adalah, bahwa Mahkamah Konstitusi tidak pernah memutuskan pembatalan Pemilukada karena
pertimbangan terjadi praktik politik uang. Karena dalam pemilukada, politik uang tidak bisa dibuktikan pengaruhnya terhadap hasil suara.
Tetapi, pemilukada bisa dibatalkan jika terjadi money politics secara sistematis, dan terstruktur.
Pasal 22E
jelas menyebutkan
bahwa KPU
merupakan penyelenggara pemilu. Sedangkan dalam pasal tersebut dinyatakan pula
bahwa pilkada tidak termasuk dalam pemilu. Mahkamah Konstitusi dalam keputusannya menyatakan tidak berwenang mengadili sengketa pilkada
karena bukan merupakan rezim pemilu., Dengan begitu otomatis KPU tidak berwenang menyelenggarakan Pilkada.
Jalan yang terbaik adalah menjadikan pilkada langsung sebagai bagian dari rezim pemilu, sehingga kita akan memiliki satu sistem peilihan
pejabat-pejabat publik dalam lingkungan kekuasaan legislative dan eksekutif, baik tingkat nasional maupun tingkat lokal. Oleh karena itu,
pengaturan Pilkada langsung harus dipisahkan dari UU Pemerintahan Daerah. Sebagai konsekuensinya, maka perlu penyempurnaan peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan Pemilu, Pilpres, dan Pilkada.
89
Sebaiknya peraturan perundang-undangan tersebut terkodifikasikan
89
Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, h. 105
menjadi satu undang-undang mengenai pemilu mencakup pengaturan mengenai:
a. Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD;
b. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
c. Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Penyelenggaraan pemilu-pemilu tersebut tetap Komisi Pemilihan Umum KPU yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri, sesuai dengan
ketentuan pasal 22E, ayat 5 UUD 1945, tetapi tidak perlu ada KPUD. Untuk operasionalnya KPU membentuk panitia pemilihan nasional dan
lokal yang bersifat ad hoc yang keanggotaannya mencakup unsur-unsur pemerintah, parpol, dan kalangan masyarakat yang independen.
Isntitusi penyelesai sengketa hasil pemilu-pemilu tersebut diatas, sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat 1 UUD 1945 adalah lembaga
peradilan di bidang ketatanegaraan, yaitu Mahkamah Konstitusi. Sedangkan pemaksulan impeachment terhadap kepala daerah danatau
wakil kepala daerah sebaiknya mengacu ketentuan mengenai pemakzulan Presiden danatau Wakil Presiden, sehingga mekanisme dan prosesnya
juga melalui Mahkamah Konstitusi.
BAB IV TERMINOLOGI DEMOKRASI DALAM PEMILUKADA MENURUT
PASAL 18 AYAT 4 1945 A.
Multitafsir Makna Hukum Frasa “dipilih secara demokratis”
90
Sebagai formalitas politik, pemilu hanya dijadikan alat legilasi pemerintahan nondemokratis. Pemilunya sendiri dijalankan secara tidak
demokratis. Kemenangan satu kontestan lebih merupakan hasil rekayasa kekuasaan ketimbang hasil pilihan politik rakyat. Pemenang pemilu
terkadang sudah diketahui sebelum pemilunya sendiri berlangsung. Tentu saja, sistem politik yang menjalankannya sulit dikategorikan demokratis.
Hampir semua sarjana politik sepakat bahwa pemilu merupakan satu kriteria penting untuk mengukur kadar demokrasi sebuah sistem politik.
91
Kadar demokrasi sebuah pemerintahan dapat diukur, antara lain, dari ada atau tidaknya pemilu yang mengabsahkan pemerintahan itu.
Sebaliknya, sebagai alat demokrasi, pemilu dijalankan secara jujur, bersih, bebas, kompetitif dan adil. Pemerintahan yang menyelenggarakan
pemilu bahkan kerap mesti menerima kenyataan bahwa pemilu yang mereka adakan justru menjatuhkan mereka dari kursi pemerintahan dan
mamakzulkan kelompok politik lain yang dikehendaki rakyat. Dalam keadaan ini, pemilu benar-benar bisa menjadi alat ukur yang valid untuk
menentukan kualitas demokrasi sebuah sistem politik.
90
Nur Rohim Yunus, Gagasan Pemilukada Serentak Implikasinya Terhadap Pesta Demokrasi Yang Efektif Dan Efisien, Jakarta: UIN FSH Press, 2014, h. 46
91
Evaluasi Pemilu Orde Baru, Cetakan Pertama Bandung: Mizan, 1997, h. 14
61