Analisis Pengaruh Belanja Pegawai Pemerintah, Investasi Dan Jumlah Uang Beredar Terhadap Inflasi Di Indonesia

(1)

ANALISIS PENGARUH BELANJA PEGAWAI PEMERINTAH,

INVESTASI DAN JUMLAH UANG BEREDAR TERHADAP

INFLASI DI INDONESIA

TESIS

Oleh

JAMILA LESTYOWATI

077018037/EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

Jamila Lestyowati : Analisis Pengaruh Belanja Pegawai Pemerintah, Investasi Dan Jumlah Uang Beredar Terhadap Inflasi Di Indonesia, 2009


(2)

ANALISIS PENGARUH BELANJA PEGAWAI PEMERINTAH,

INVESTASI DAN JUMLAH UANG BEREDAR TERHADAP

INFLASI DI INDONESIA

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains

dalam Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Pembangunan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

JAMILA LESTYOWATI

077018037/EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

Jamila Lestyowati : Analisis Pengaruh Belanja Pegawai Pemerintah, Investasi Dan Jumlah Uang Beredar Terhadap Inflasi Di Indonesia, 2009


(3)

Judul Tesis : ANALISIS PENGARUH BELANJA PEGAWAI PEMERINTAH, INVESTASI DAN JUMLAH UANG BEREDAR TERHADAP INFLASI DI INDONESIA

Nama Mahasiswa : Jamila Lestyowati Nomor Pokok : 077018037

Program Studi : Ekonomi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Murni Daulay, S.E.M.Si.) (Kasyful Mahalli, S.E.M.Si.) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Dr. Murni Daulay, S.E. M.Si) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc.)


(4)

Telah Diuji Pada

Tanggal : 23 Februari 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Murni Daulay, S.E.M.Si. Anggota : 1. Kasyful Mahalli, S.E.M.Si.

2. Dr Jonni Manurung, M.S. 3. Drs Rahmat Sumanjaya, M.Si. 4. Drs Rujiman, M.A.


(5)

ABSTRAK

Inflasi merupakan salah satu penyakit ekonomi yang banyak mendapat perhatian dari para semua pihak. Oleh karena itu, inflasi sering menjadi target kebijakan pemerintah mengingat dampaknya yang luas bagi perekonomian. Salah satu hal yang sering disorot ketika membahas masalah inflasi adalah kenaikan gaji PNS.

Penelitian ini merupakan kajian tentang inflasi melalui metode analisis Ordinary Least Square (OLS) dengan mengidentifikasi faktor-faktor penyebab inflasi di Indonesia. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa data time series tahun 1985 – 2007, yaitu data inflasi, belanja pegawai pemerintah, investasi dan jumlah uang beredar. Data – data tersebut bersumber dari Badan Pusat Statistik, Departemen Keuangan dan Bank Indonesia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara bersama-sama belanja pegawai pemerintah, investasi dan jumlah uang beredar berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi di Indonesia. Sedangkan secara parsial, belanja pegawai pemerintah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap inflasi. Investasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap inflasi. Jumlah uang beredar berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi. Dengan membandingkan besaran koefisien dari masing-masing variabel bebas, terlihat bahwa jumlah uang beredar merupakan variabel utama yang memberikan kontribusi paling besar dalam hubungannya dengan inflasi di Indonesia. Kata kunci : inflasi, belanja pegawai pemerintah, investasi dan jumlah uang beredar


(6)

ABSTRACT

Inflation is an economic disease that gets much attention from all parties. Therefore, it is often becomes a target of government policy for its broad impact in economy. One of the most frequently discussed issue on inflation is the increase of civil servant’s salary.

This research is a study on inflation using Ordinary Least Square (OLS) method of analysis by identifying factors that cause inflation in Indonesia. Data used is secondary data namely by time series from 1985 – 2007. They are inflation, government official spending, investment and money supply. Data is got from the Central Statistics Agency, Ministry of Finance and Bank Indonesia.

Results of the research show that simultaneously, government official spending, investment and the money supply have a significant effect on inflation in Indonesia. While partially, government official spending have a significant negative effect on inflation. Investment have a significant negative effect on inflation. Money supply have a significant and positive effect on inflation. By comparing the coefficients of each dependent variable, money supply is the main variable that gives the biggest contribution related to inflation in Indonesia.


(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji kepada Allah SWT yang telah memberikan kekuatan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Dalam penyelesaian penulisan tesis ini, penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak, baik dalam bentuk moril, bimbingan maupun arahan, sehingga sesuai dengan aturan yang telah ditentukan. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada :

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, D.M.T.&H., Sp.A (K). selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc. selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

3. Ibu Dr. Murni Daulay, M.Si. selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara dan sekaligus sebagai Ketua Pembimbing atas arahan dan bimbingannya selama masa perkuliahan dan pengerjaan tesis ini.

4. Bapak Kasyful Mahalli, S.E.M.Si. selaku Anggota Pembimbing yang telah meluangkan waktu dan mengarahkan penulis dalam penulisan tesis ini.

5. Bapak Dr. Jonni Manurung, M.S, Drs. Rahmat Sumanjaya, M.Si. dan Drs

Rujiman, M.A. sebagai pembanding yang telah memberikan masukan dan saran atas penulisan tesis ini.

6. Bapak dan Ibu dosen pada Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan

Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak dan Ibu Staf Administrasi Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara.

8. Teman-teman mahasiswa pada Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara Angkatan 13 OK.

9. Para pejabat dan teman- teman di Balai Diklat Keuangan I Medan, yang rela berbagi pekerjaan selama penulis menyelesaikan tesis ini.


(8)

10.Dan terutama kepada suami dan anak-anak penulis yang telah memberikan perhatian, semangat dan motivasi serta doa sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini tepat pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih banyak terdapat kekurangan. Semoga tesis ini dapat memberikan kontribusi bagi kita semua. Amin.

Medan, Februari 2009

Penulis,


(9)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Jamila Lestyowati

Tempat/Tanggal Lahir : Lamongan, 16 April 1975

Alamat : Jl Eka Suka Gg Eka Suka VII

Pekerjaan : PNS

Status : Menikah, 4 anak

Nama Suami : Harun Rosit

Nama Anak : 1. Abdurrasyid Dzaki Tsaqofi

2. Salwa Ar-Royyan 3. Ahmad Fathan Ar-Refah 4. Umair Muhammad Tamam Nama Orang Tua

Ayah : Sudjono

Ibu : Sunarti

Nama Mertua

Ayah : Ahmad Qomari

Ibu : Sumarmi

Pendidikan :

a. SD : SDN Tugu

b. SMP : SMPN Mantup

c. SMA : SMAN 2 Lamongan

d. DIII : STAN Prodip Keuangan

e. S1 : Fak Ekonomi USU


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 6

2.1. Pengeluaran Pemerintah ... 6

2.2. Announcement Effect... 11

2.3. Investasi ... 12

2.4. Jumlah Uang Beredar... 16


(11)

2.6. Penelitian Sebelumnya ... 36

2.7. Kerangka Pemikiran ... 39

2.8. Hipotesis Penelitian... 40

BAB III METODE PENELITIAN... 42

3.1. Ruang Lingkup Penelitian ... 42

3.2. Jenis dan Sumber Data Penelitian ... 42

3.3. Model Analisis ... 42

3.4. Metode Analisa ... 43

3.5. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 44

3.6. Definisi Variabel Operasional ... 46

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 48

4.1. Perkembangan Variabel Yang Diteliti ... 48

4.2. Hasil Estimasi ... 55

4.3. Pembahasan Hasil Estimasi ... 62

4.4. Uji Asumsi Klasik ... 65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 67

5.1. Kesimpulan . ... 67

5.2. Saran ... 68


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 1.1 Besar Kenaikan Gaji PNS Tahun 2006 – 2008 ... 2

2.1. Struktur APBN ... 8 4.1. Hasil Estimasi Pengaruh Belanja Pegawai Pemerintah,

Investasi dan Jumlah Uang Beredar Terhadap Inflasi Indonesia (Model Linier) ...

56

4.2. Hasil Estimasi Uji Multikolinieritas (Model Linier) ... 56 4.3. Hasil Estimasi Pengaruh Belanja Pegawai Pemerintah,

Investasi dan Jumlah Uang Beredar Terhadap Inflasi di Indonesia (Model Log) ...

57

4.4. Hasil Estimasi Uji Multikolinieritas (Model Log) ... 57 4.5. Hasil Estimasi Pengaruh Belanja Pegawai Pemerintah,

Investasi dan Jumlah Uang Beredar Terhadap Inflasi di Indonesia (Model Bentuk Perbedaan Pertama) ...

60

4.6. Hasil Estimasi Uji Multikolinieritas (Model Bentuk Perbedaan Pertama) ...

60

4.7. Hasil Uji Breusch – Godfrey Serial Correlation LM Test...


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Fungsi Investasi ... 14

2.2. Demand Full Inflation ... 31

2.3. Cosh Push Inflation ... 32

2.4. Kerangka Pemikiran ... 40

4.1. Perkembangan Inflasi Indonesia Tahun 1985 – 2007 .... 49

4.2. Perkembangan Belanja Pegawai Pemerintah Tahun 1985 – 2007 ... 52 4.3. Perkembangan Investasi Tahun 1985 – 2007 ... 54

4.4. Perkembangan Jumlah Uang Beredar Tahun 1985 –

2007 ...


(14)

1

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Data Analisis Inflasi (INF), Belanja Pegawai

Pemerintah (BPP), Investasi (INV) dan Jumlah Uang Beredar (JUB) ...

72

2 Data Analisis Bentuk Perbedaan Pertama Inflasi

(DINF), Belanja Pegawai Pemerintah (DBPP), Investasi (DINV) dan Jumlah Uang Beredar (DJUB) ...

73

3 Hasil Estimasi Regresi (Model Linear) ... 74

4 Hasil Uji Multikolinieritas (Model Linear) ... 75

5 Hasil Estimasi Regresi Bentuk Log ………... 77

6 Hasil Uji Multikolinieritas (Model Log) ………. 78

7 Hasil Uji Breusch – Godfrey (Model Log) ... 80

8 Hasil Estimasi Regresi (Model Bentuk Perbedaaan

Pertama) ………...

81

9 Hasil Uji Multikolinieritas (Model Bentuk Perbedaan

Pertama) ...

82

10 Hasil Uji Hasil Uji Breusch – Godfrey (Model Bentuk Perbedaan Pertama) ...

84

11 Mean Perkiraan Variabel Inflasi 85


(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu tahap dalam siklus anggaran (budget cycle) di Indonesia adalah tahap penetapan anggaran. Tahapan ini dimulai ketika presiden menyampaikan pidato kenegaraan di depan sidang DPR/ MPR sekaligus menyampaikan Nota Keuangan (NK) dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) untuk tahun yang akan datang.

Dalam pidatonya, presiden menyampaikan pokok-pokok kebijakan yang akan diambil pemerintah dalam rangka pelaksanaan visi misinya. Selain itu presiden juga menyampaikan peran strategis kebijakan fiskal, perkembangan perekonomian Indonesia, regional, dunia dan perubahan-perubahan mendasar yang akan dilaksanakan ke depan.

Salah satu materi dalam NK adalah asumsi-asumsi yang akan dipakai ketika menyusun RAPBN. Asumsi tersebut antara lain tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, suku bunga SBI tiga bulan dan harga minyak per barel. Selain asumsi RAPBN, presiden juga menyampaikan besaran RAPBN yang akan dipakai sebagai dasar pelaksanaan APBN tahun berikutnya.

Diantara materi-materi krusial yang disampaikan presiden adalah mengenai besaran belanja pegawai dalam RAPBN. Karena hal ini menyangkut hajat hidup


(16)

sebagian besar Pegawai negeri Sipil (PNS) di Indonesia. Biasanya dengan mengetahui besaran belanja pegawai tersebut, presiden mengumumkan bahwa akan ada kenaikan gaji dengan besaran yang bervariasi setiap tahunnya. Pada setiap tahun pemerintah berusaha untuk meningkatkan kinerja dan kesejahteraan PNS . Tabel berikut memperlihatkan kepada kita besaran kenaikan gaji pegawai selama tiga tahun terakhir.

Tabel 1.1. Besar Kenaikan Gaji PNS Tahun 2006 - 2008

No Tahun Besarnya Kenaikan gaji pegawai

1 2 3

2006 2007 2008

15 % 15% 20% Sumber : NK & RAPBN 2009, Departemen Keuangan

Berdasarkan prinsip-prinsip keuangan negara, maka negara mempunyai kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Salah satu diantaranya adalah membayar gaji PNS. Hal ini kemudian diimplementasikan dengan dimasukkannya belanja pegawai dalam APBN Indonesia. Melihat besaran nilai belanja pegawai dalam APBN setiap tahunnya, selalu mengalami peningkatan. Hal ini sejalan dengan keinginan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan PNS.

Namun kenyataannya di lapangan justru tidak seperti yang diharapkan. Efek yang mencuat ialah announcement effect, yang boleh jadi lebih besar daripada efek kenaikan permintaan riil atas barang dan jasa akibat kenaikan gaji. Sudah lazim,


(17)

harga-harga merangkak lebih dulu, sementara kenaikan gaji baru diumumkan.

Announcement effect juga perlu perhatian secara serius. Hal serupa terjadi saat ada permintaan tambahan akibat kenaikan gaji.

Saat presiden mengumumkan akan ada kenaikan gaji PNS, harga barang-barang kebutuhan pokok sudah meningkat lebih dulu. Bahkan kenaikan harga ini lebih besar dari pada kenaikan gaji PNS.

Salah satu indikator makroekonomi adalah inflasi. Inflasi merupakan salah satu penyakit ekonomi yang tidak bisa diabaikan, karena dapat menimbulkan dampak yang sangat luas. Oleh karena itu inflasi sering menjadi target kebijakan pemerintah. Inflasi yang tinggi bisa menimbulkan pertumbuhan ekonomi yang lambat dan pengangguran yang meningkat. Dengan inflasi yang meningkat maka PNS makin tidak berdaya. Kenaikan gaji yang diharapkan bisa membantu kondisi perekonomiannya malah menjadi bumerang bagi mereka.

Berawal dari fenomena tersebut, penulis berkeinginan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh kenaikan belanja pegawai pemerintah terhadap kenaikan harga barang atau inflasi di Indonesia. Untuk menganalisis pengaruh ini disertakan variabel lain yang mempengaruhi inflasi yaitu investasi dan jumlah uang beredar. Karena dengan investasi yang meningkat akan meningkatkan permintaan agregat dan dengan kenaikan permintaan agregat dapat menyebabkan kenaikan harga. Demikian juga sebaliknya. Hal ini juga berlaku pada variabel jumlah uang yang beredar dengan mekanisme yang sama. Jumlah uang beredar merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya inflasi di Indonesia. Penelitian ini berjudul ”Analisis Pengaruh Belanja


(18)

Pegawai Pemerintah, Investasi dan Jumlah Uang Beredar Terhadap Inflasi di Indonesia”

1.2. Perumusan Masalah

Bergerak dari latar belakang yang telah diuraikan di atas dapat dirumuskan beberapa masalah, yaitu:

1. Bagaimana pengaruh belanja pegawai pemerintah terhadap inflasi Indonesia? 2. Bagaimana pengaruh jumlah uang beredar terhadap inflasi Indonesia?

3. Bagaimana pengaruh investasi terhadap inflasi Indonesia?

1.3. Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Untuk menganalisis dan mengetahui pengaruh belanja pegawai pemerintah terhadap inflasi Indonesia

2. Untuk menganalisis dan mengetahui pengaruh jumlah uang beredar terhadap inflasi Indonesia

3. Untuk menganalisis dan mengetahui pengaruh investasi terhadap inflasi Indonesia

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk :


(19)

2. Sebagai masukan kepada pemerintah dalam perencanaan, penganggaran dan pembuatan kebijakan di Indonesia.

3. Sebagai tambahan referensi bagi peneliti selanjutnya yang berminat meneliti masalah inflasi.


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengeluaran Pemerintah

Murni (2006) mengatakan pemerintah sebagai salah satu pelaku ekonomi suatu negara mempunyai peran sebagai berikut:

a. Mengatur kegiatan ekonomi melalui perundang-undangan dan peradilan. b. Mengendalikan kestabilan ekonomi dalam arti mengendalikan ketersediaan

barang kebutuhan masyarakat.

c. Menjaga keamanan dan ketahanan suatu negara baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

d. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Agar peranan pemerintah tersebut dapat terwujud, pemerintah harus menyelenggarakan beberapa fungsi yaitu berupa fungsi alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi. Fungsi alokasi berkaitan dengan tugas pemerintah untuk mengalokasikan sumber daya yang ada dalam suatu negara agar ketersediaan barang kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi. Fungsi distribusi merupakan tugas pemerintah mengadakan penataan dan penyesuaian terhadap distribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat pada suatu keadaan yang adil dan merata. Fungsi stabilisasi merupakan tugas pemerintah untuk menjaga kondisi perekonomian yang stabil. Misalnya tingkat harga yang relatif stabil, ketersediaan barang kebutuhan dan kesempatan kerja yang berimbang sesuai dengan kebutuhan.


(21)

Muana Nanga (2005) mengatakan dalam perekonomian pengeluaran pemerintah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan agregat. Permintaan agregat adalah jumlah barang dan jasa akhir yang dihasilkan di dalam perekonomian yang diminta pada berbagai tingkat harga. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan agregat dalam suatu perekonomian adalah :

a. Pendapatan disposabel (Yd) atau pengeluaran konsumsi (C) b. Tingkat bunga (i)

c. Kepercayaan dunia bisnis atau investasi (I) d. Jumlah uang beredar (Ms)

e. Pengeluaran pemerintah (G) f. Pajak (T)

g. Pendapatan luar negeri (Yf) h. Harga luar negeri (Pf) i. Nilai tukar riil (ER)

Kenaikan dalam pendapatan disposabel, pengeluaran konsumsi, pengeluaran investasi, penawaran uang riil, pengeluaran pemerintah, pendapatan luar negeri, tingkat harga luar negeri dan penurunan dalam tingkat bunga, pajak, nilai tukar akan membawa kenaikan dalam permintaan agregat. (Muana Nanga, 2005)

Pengeluaran pemerintah di Indonesia dilakukan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara 8


(22)

selama satu tahun anggaran (1 Januari - 31 Desember). APBN merupakan instrumen untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan negara dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, mencapai pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan nasional, mencapai stabilitas perekonomian, dan menentukan arah serta prioritas pembangunan secara umum.

Sejak tahun 2000 struktur APBN terdiri dari tiga bagian besar yaitu pendapatan negara , belanja negara dan pembiayaan. Hal ini karena Indonesia masih menganut prinsip anggaran defisit sehingga diperlukan pembiayaan untuk menutup defisitnya.

Struktur APBN adalah sebagai berikut :

Tabel 2.2. Struktur APBN A. Pendapatan Negara dan Hibah

I. Penerimaan Dalam Negeri

1. Penerimaan Perpajakan

a. Pajak Dalam Negeri

i. Pajak Penghasilan

1. Migas

2. Non Migas

ii. Pajak Pertambahan Nilai

iii. PBB

iv. BPHTB

v. Cukai

vi. Pajak Lainnya

b. Pajak Perdagangan Internasional

i. Bea Masuk

ii. Pajak Ekspor

2. Penerimaan Negara Bukan Pajak

a. Penerimaan SDA

i. Minyak Bumi

ii.GasAlam


(23)

Lanjutan Tabel 2.2. Struktur APBN

iii. Pertambangan Umum

iv. Kehutanan

v. Perikanan

b. Bagian Pemerintah Atas Laba BUMN

c. PNBP Lainnya

II. Hibah

B. Belanja Negara

I. Belanja Pemerintah Pusat 1. Belanja Pegawai 2. Belanja Barang

3. Belanja Modal

4. Pembayaran Bunga Hutang

a. Hutang Dalam Negeri

b. Hutang Luar Negeri

5. Subsidi

a. Subsidi BBM

b. Subsidi non BBM

6. Belanja Hibah

7. Bantuan Sosial

8. Belanja Lain-lain II. Transfer ke Daerah

1.Dana Perimbangan

a. Dana Bagi Hasil

b. Dana Alokasi Umum

c. Dana Alokasi Khusus

2. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian C. Keseimbangan Primer

D. Surplus/ Defisit Anggaran (A-B) E. Pembiayaan

I. Pembiayaan Dalam Negeri 1. Perbankan Dalam Negeri 2. Non Perbankan Dalam Negeri

a. Privatisasi

b. Penjualan Aset Program Restrukturisasi Perbankan

c. Obligasi Negara (Neto)

i. Penerbitan Obligasi Pemerintah

ii. Pembiayaan Cicilan Hutang

Pokok/ Obligasi DalamNegeri


(24)

Lanjutan Tabel 2.2. Struktur APBN

II. Pembiayaan Luar Negeri (Neto) 1. Penarikan Pinjaman Luar Negeri

a. Pinjaman Program

b. Pinjaman Proyek

2. Pembayaran Cicilan Pokok Hutang Luar Negeri Sumber : RAPBN 2009

Belanja negara adalah semua pengeluaran negara yang digunakan untuk membiayai belanja pemerintah pusat dan belanja daerah. Belanja pemerintah pusat menurut jenis adalah semua pengeluaran negara yang digunakan untuk membiayai belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, pembayaran bunga utang, subsidi, belanja hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain.

Belanja pegawai merupakan salah satu jenis pengeluaran pemerintah yang tertuang dalam APBN. Setiap tahun jenis pengeluaran ini selalu ada dalam APBN. Dalam APBN belanja pegawai termasuk dalam kategori belanja pemerintah pusat dari jenis belanja negara.

Belanja pegawai adalah semua pengeluaran negara yang digunakan untuk membiayai kompensasi dalam bentuk uang atau barang yang diberikan kepada pegawai pemerintah pusat, pensiunan, anggota Tentara Nasional Indonesia/ Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan pejabat negara, baik yang bertugas di dalam negeri maupun di luar negeri, sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal.

Belanja pegawai dapat berupa : a. gaji


(25)

b. pensiun

c. tunjangan beras, uang makan d. lain-lain belanja pegawai.

Dalam belanja pegawai ini termasuk juga pengeluaran dalam rangka meningkatkan kualitas aparatur pemerintahan, agar pegawai negeri dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.

2.2. Announcement Effect

Announcement effect adalah kejadian yang muncul akibat diumumkannya suatu peristiwa. Efek pengumuman ini bisa bersifat positif dan negatif. Misalnya ketika situasi perekonomian memanas akibat nilai tukar rupiah yang melemah dan pemeritah mengumumkan bahwa cadangan devisa dalam kondisi yang aman, maka masyarakat tidak terpancing untuk menukarkan rupiah yang mereka miliki dengan mata uang asing. Atau saat pemerintah mengumumkan akan ada kenaikan gaji PNS, maka saat itu juga harga barang dan jasa sudah melambung lebih dulu.

Announcement effect dalam teori ekonomi moneter menjelaskan perubahan ekspektasi masyarakat sebagai akibat dari diumumkannya kebijakan bank sentral. Pengumuman tersebut tidak hanya mempengaruhi masyarakat di sektor keuangan dan perbankan, tapi juga masyarakat secara keseluruhan.

Di Indonesia, gejala announcement effect dapat dilihat pada berbagai kesempatan pemerintah mengumumkan kebijakannya. Misalnya pengumuman kenaikan gaji pegawai negeri senantiasa diikuti dengan ekspektasi bahwa harga akan


(26)

meningkat, sebuah gejala moneter meskipun penyebabnya belum tentu dari sisi moneter (Burhanuddin Abdullah, 2006).

2.3. Investasi

2.3.1. Teori Akselerasi

Teori ini mula-mula dikembangkan oleh Bickerdike dan Clark tahun 1910 dan menjadi semakin popular setelah Keynes menerbitkan bukunya The General Theory, Hansen dan Saumelson telah mengembangkan lebih lanjut teori tersebut. ( Waluyo, 2004).

Teori akselerasi merupakan teori investasi yang didasarkan kepada hubungan yang rigid atau kaku antara jumlah barang modal (capital stock) dengan tingkat pendapatan nasional yang dapat diciptakannya. Menurut teori ini rasio diantara nilai stok modal dengan nilai produksi yang dapat diwujudkannya adalah tetap.

Waluyo (2004) mengatakan pandangan utama dari teori akselerasi adalah sebagai berikut:

a. Terdapat hubungan yang proporsional diantara jumlah barang modal yang tersedia dengan tingkat produksi nasional yang dapat diwujudkannya.

b. Kebutuhan untuk meningkatkan produksi di masa depan memerlukan

investasi yang beberapa kali nilainya dari peningkatan produksi yang perlu dilakukan.

Pandangan kedua inilah yang menyebabkan teori investasi ini lebih dikenal dengan prinsip akselerasi atau prinsip percepatan (acceleration principle). Dan rasio 13


(27)

antara nilai stok modal yang diperlukan dengan produksi nasional yang dapat diwujudkan disebut akselerator atau koefisien akselerasi.

Investasi merupakan suatu kegiatan untuk menambah barang modal dalam perekonomian. Walau bagaimanapun pada setiap periode investasi tidak akan menambah barang modal sebanyak nilai investasi tersebut. Sebagian dari investasi dilakukan untuk menggantikan barang modal yang telah didepresiasikan dan tidak digunakan lagi. Maka, pertambahan barang modal dalam suatu periode tertentu dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:

∆ Kt = It – Dt Dimana :

∆ Kt = pertambahan nilai modal pada tahun t It = nilai investasi pada tahun t

Dt = nilai barang modal yang didepresiasikan pada tahun t

Biasanya It > Dt. Akibatnya investasi yang dilakukan terus menerus pada masa lalu akan menyebabkan suatu akumulasi stok modal tertentu, yaitu pada tahun t nilai stok modal tersebut adalah Kt. Kemampuan stok modal ini akan menghasilkan produksi nasional ditentukan oleh rasio modal produksi, yaitu W. Dengan demikian hubungan diantara stok modal (Kt) dan produksi nasional yang dapat diciptakan (Ypt)

adalah sebagai berikut: Kt = W Ypt

Dimana Ypt adalah nilai maksimum dari pendapatan nasional yang dapat diciptakan

oleh barang modal yang bernilai Kt.


(28)

15 Bagaimana suatu perekonomian perlu melakukan investasi tergantung pada keinginan masyarakat untuk melakukan perbelanjaan di masa depan.

2.3.2. Pandangan Keynes

Keynes dalam Mankiw (2007) mengatakan hal yang sangat menentukan investasi adalah suku bunga, sehingga fungsi investasi adalah I = f (r).

Persamaan yang mengaitkan antara investasi I pada tingkat bunga riil r adalah sebagai berikut :

I = I (r)

Tingkat bunga riil (r)

Kuantitas investasi (I) Gambar 2.1. Fungsi Investasi

Fungsi investasi mengaitkan jumlah investasi pada tingkat bunga riil r. Investasi bergantung pada tingkat bunga riil karena tingkat bunga adalah biaya pinjaman. Fungsi investasi miring ke bawah, ketika tingkat bunga naik, semakin sedikit proyek investasi yang menguntungkan (Mankiw, 2007).


(29)

2.3.3. Investasi Dalam Konteks Ekonomi Makro

Pengertian investasi dalam teori ekonomi makro lebih banyak kepada investasi fisik, misalnya dalam bentuk barang modal (pabrik dan peralatan), bangunan dan persediaan barang (inventory). Investasi berarti pembelian (dan berarti juga produksi) dari kapital/modal barang-barang yang tidak dikonsumsi tetapi digunakan untuk produksi yang akan datang (barang produksi). Dengan pembatasan tersebut, maka definisi investasi dapat lebih dipertajam sebagai pengeluaran-pengeluaran yang meningkatkan stok barang modal (capital stock). Stok barang modal adalah jumlah barang modal dalam suatu perekonomian pada suatu saat tertentu. Untuk mempermudah penghitungan, umumnya stok barang modal dikalikan harga perolehan per unit barang modal. Dengan demikian barang modal merupakan konsep stok (stock concept) karena besarnya dihitung pada suatu periode tertentu (Rahardja dan Manurung, 2004).

Agar tidak terjadi kerancuan dengan kenyataan sehari-hari, perhitungan investasi harus konsisten dengan perhitungan pendapatan nasional. Yang dimasukkan dalam perhitungan investasi adalah barang modal, bangunan/konstruksi, maupun persediaan barang jadi yang masih baru. Jika seorang pengusaha membeli pabrik dan bangunan yang pernah dipakai orang, kegiatan tersebut tidak dapat dihitung sebagai investasi, sebab kegiatan tersebut tidak menambah stok barang modal yang baru.

Investasi merupakan konsep, karena besarnya dihitung selama satu interval periode tertentu. Tetapi investasi akan mempengaruhi jumlah barang modal yang


(30)

tersedia pada suatu periode tertentu. Tambahan stok barang modal adalah sebesar pengeluaran investasi satu periode sebelumnya.

Untuk lebih jelasnya, investasi juga adalah suatu komponen dari PDB dengan rumus PDB = C + I + G + (X-M). Fungsi investasi pada aspek tersebut dibagi pada investasi non-residential (seperti pabrik dan mesin) dan investasi residential (rumah baru). Investasi adalah suatu fungsi pendapatan dan tingkat bunga, dilihat dengan kaitannya I= (Y, i). Suatu pertambahan pada pendapatan akan mendorong investasi yang lebih besar, dimana tingkat bunga yang lebih tinggi akan menurunkan minat untuk investasi sebagaimana hal tersebut akan lebih mahal dibandingkan dengan meminjam uang. Walaupun jika suatu perusahaan lain memilih untuk menggunakan dananya sendiri untuk investasi, tingkat bunga menunjukkan suatu biaya kesempatan dari investasi dana tersebut daripada meminjamkan untuk mendapatkan bunga.

Investasi dapat berbentuk domestic investment yaitu investasi yang berasal dari dalam negeri dan foreign investment yaitu investasi yang berasal dari luar negeri.

2.4. Jumlah uang beredar 2.4.1. Fungsi Uang

Mankiw (2007) mengatakan ada tiga fungsi uang, yaitu: 1. Sebagai penyimpan nilai (store of value)

Uang adalah cara mengubah daya beli dari masa kini ke masa depan. Uang adalah penyimpan nilai yang tidak sempurna; jika harga meningkat, jumlah yang bisa dibeli dengan jumlah uang tertentu akan turun. Namun begitu, orang memegang 17


(31)

uang karena mereka bisa membelanjakannya untuk mendapatkan barang dan jasa pada suatu saat di masa depan.

2. Sebagai unit hitung (unit of account)

Uang memberikan ukuran dimana harga ditetapkan dan utang dicatat. Uang adalah ukuran yang digunakan untuk mengukur transaksi ekonomi.

3. Sebagai media pertukaran (medium of exchange)

Uang adalah apa yang kita gunakan untuk membeli barang dan jasa. Uang adalah alat tukar yang sah untuk seluruh transaksi, publik dan perorangan.

2.4.2.Kuantitas Uang

Jumlah uang yang tersedia disebut jumlah uang beredar ( money supply). Dalam perekonomian dewasa ini pemerintah mengendalikan jumlah uang beredar. Peraturan resmi memberi pemerintah hak untuk memonopoli pencetakan uang. Kontrol atas jumlah uang beredar disebut kebijakan moneter. Aset yang paling jelas dimasukkan dalam kuantitas uang adalah mata uang (currency) atau disebut juga uang kartal, yaitu jumlah uang kertas dan uang logam yang beredar. Sebagian besar transaksi harian menggunakan mata uang sebagai media pertukaran. Aset yang lain yang digunakan dalam transaksi adalah rekening giro (demand deposit), dana yang dipegang orang dalam rekening ceknya. Ketika demand deposit dimasukkan dalam persediaan uang, maka banyak aset lain yang juga bisa dimasukkan misalnya dana dalam rekening tabungan, pasar uang reksadana. Karena sulit menilai secara pasti aset mana yang seharusnya dimasukkan dalam persediaan uang, maka disediakan berbagai 18


(32)

ukuran. Dari yang terkecil sampai yang terbesar, aset itu disebut C, M1, M2 dan M3. C adalah mata uang. M1 adalah mata uang ditambah deposito penerimaan, traveller’s check, dan deposito yang dapat diuangkan dengan cek lainnya. M2 adalah M1 ditambah neraaca reksadana pasar uang, deposito tabungan dan deposito berjangka kecil. M3 adalah M2 ditambah deposito berjangka besar, kesepakatan pembelian ulang, dan neraca reksadana pasar uang institusi. Ukuran yang paling umum digunakan untuk mempelajari dampak uang terhadap perekonomian adalah M1 dan M2. Namun, tidak ada konsensus tentang ukuran persediaan uang mana yang terbaik. (Mankiw, 2007).

Di Indonesia, pengertian uang beredar dikenal dengan terminologi sebagai berikut: (Pohan, 2008)

1. Uang kartal yaitu uang kertas dan uang logam yang dikeluarkan oleh otoritas moneter.

2. Uang giral yaitu simpanan milik sektor swasta domestik pada Bank Pencipta Uang Giral yang setiap saat dapat ditarik untuk ditukarkan dengan uang kartal sebesar nominalnya. Uang giral terdiri dari rekening giro, kiriman uang (transfer), deposito berjangka yang sudah jatuh waktu dan kewajiban segera lainnya.

3. Uang kuasi yaitu simpanan milik sektor swasta domestik pada Bank Pencipta Uang Giral yang dapat memenuhi fungsi-fungsi uang, tetapi untuk sementara waktu kehilangan fungsinya sebagai alat tukar menukar, yaitu terdiri dari


(33)

Uang kartal ditambah uang giral disebut M1, sedangkan M2 adalah M1 ditambah uang kuasi.

Pengaturan jumlah uang beredar dalam masyarakat dilakukan melalui kebijakan moneter yang sejalan dengan perkembangan seluruh sektor ekonomi. Dengan mengatur pertambahan jumlah uang beredar di masyarakat, otoritas moneter akan dapat mempengaruhi nilai uang dan suku bunga sedemikian rupa sehingga perkembangannya akan mampu mendorong perekonomian ke arah yang diinginkan sesuai dengan tujuan pembangunan nasional.

2.4.3. Teori Kuantitas Uang

Fisher dalam Waluyo (2004) dalam teorinya mengenai kuantitas uang menyatakan bahwa aspek moneter adalah faktor yang mempunyai arti penting dalam proses terjadinya inflasi. Teori permintaan uang menurut Fisher memandang uang sebagai alat pertukaran. Menurut Fisher apabila terjadi transaksi diantara penjual dan pembeli maka terjadi pertukaran antara uang dengan barang/ jasa, sehingga nilai dari uang yang ditukarkan pastilah sama dengan nilai barang/ jasa yang ditukarkan. Teori kuantitas uang Fisher adalah sebagai berikut :

M V = P T ... (2.1) Dimana:


(34)

M = money (penawaran uang, jumlah uang beredar) V = velocity of money (kecepatan perputaran uang) P = price (harga barang dan jasa)

T = volume transaksi

Dalam setiap transaksi selalu ada pembeli dan penjual. Jumlah uang yang dibayarkan pembeli harus sama dengan jumlah uang yang diterima penjual. Hal ini berlaku pula untuk seluruh perekonomian dalam suatu periode tertentu, yaitu nilai barang dan jasa yang dibeli harus sama dengan nilai barang dan jasa yang dijual. Nilai barang yang dijual harus sama dengan nilai volume transaksi dikalikan dengan harga rata-rata dari barang tersebut (P). Di sisi lain, nilai dari barang yang ditransaksikan ini harus sama pula dengan volume uang yang ada pada masyarakat (M) dikalikan frekuensi rata-rata perputaran uang dalam periode tersebut (V).

Berdasarkan teori ini jumlah uang yang beredar dalam suatu perekonomian menentukan nilai uang, sementara pertumbuhan jumlah uang beredar merupakan sebab utama terjadinya inflasi.

2.4.4. Teori Netralitas Uang

Milton Friedman, tokoh moneteris dari Chicago mengatakan teori mengenai netralitas uang (money doesn’t matter). Uang tidak mempengaruhi roda perekonomian. Terdapat dua kelompok besar dari para filosof uang yang tidak percaya pada pentingnya arus dana (cash flow) dalam menggerakkan roda usaha. Kelompok yang satu percaya bahwa uang bisa mempengaruhi gerak roda


(35)

perekonomian jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang pengaruh uang akan netral. Mazhab yang satu lagi, yang paling banyak ditelan logikanya, mengatakan, dalam jangka pendek pun uang tidak berpengaruh.

Dalam literatur ekonomi, hipotesis tentang netralitas uang (money neutrality) lebih banyak digaungkan oleh ekonom dari aliran klasik. Walaupun aliran klasik tetap bersikukuh bahwa hipotesis ini berlaku baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, terdapat konsensus di antara semua aliran ekonomi bahwa money neutrality

adalah fenomena jangka panjang.

Adanya peningkatan peredaran uang dan aktivitas di sektor keuangan tidak lagi berkaitan dengan sektor riil. Di sinilah netralitas uang berlaku, kelebihan uang tidak mampu menggerakkan sektor riil.

2.4.5. Pengaturan Jumlah Uang beredar

Aulia Pohan (2008) mengatakan ada beberapa instrumen utama yang digunakan untuk mengatur jumlah uang beredar, yaitu:

1. Reserve Requirement (RR)

Reserve Requirement adalah ketentuan bank sentral yang mewajibkan bank-bank untuk memelihara sejumlah alat-alat likuid (reserve) sebesar presentase tertentu dari kewajiban lancarnya. Semakin kecil presentase tersebut, semakin

besar kemampuan bank memanfaatkan reserve- nya untuk memberikan

pinjaman dalam jumlah yang lebih besar kepada masyarakat. Sebaliknya semakin besar persentase, semakin berkurang kemampuan bank untuk


(36)

memberikan pinjaman. Oleh karena itu, pinjaman perbankan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi uang beredar. Disinilah posisi RR yang dapat menjadi alat untuk menambah atau mengurangi jumlah uang beredar. Saat ini ketentuan mengenai RR yang juga dikenal dengan cadangan wajib atau Giro Wajib Minimum (GWM) adalah sebesar 5% dari dana pihak ketiga yang diterima bank, yang wajib dipelihara dalam rekening bank yang bersangkutan di Bank Indonesia.

2. Operasi Pasar Terbuka

Operasi pasar terbuka adalah kegiatan jual beli surat-surat berharga oleh bank sentral. Dalam kaitan ini penjualan surat-surat berharga oleh bank sentral akan mempunyai dampak kontraksi moneter karena pengurangan alat-alat likuid bank-bank akan memperkecil kemampuan bank-bank memberikan pinjaman. Sebaliknya pembelian surat-surat berharga oleh bank sentral akan membawa dampak ekspansi moneter karena peningkatan alat-alat likuid bank-bank akan memperbesar kemampuannya dalam pemberian pinjaman.

Jika ingin mengurangi jumlah uang beredar, maka pemerintah menjual surat-surat berharga (open market selling). Dengan demikian uang yang ada di masyarakat menglir ke otoritas moneter, sehingga jumlah uang beredar berkurang. Jika ingin menambah jumlah uang beredar, maka pemerintah membeli kembali surat-surat berharga tersebut guna lebih mengefektifkan operasi pasar terbuka ini.


(37)

Di Indonesia, operasi pasar terbuka dilakukan dengan menjual atau membeli sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU). Jika ingin mengurangi jumlah uang beredar, pemerintah menjual SBI dan atau SBPU. Melalui penjualan SBI/SBPU uang yang ada dalam masyarakat ditarik, sehingga jumlah uang beredar berkurang. Bila pemerintah melihat jumlah uang beredar perlu ditambah, agar perbankan lebih mampu memberikan kredit yang akan memacu pertumbuhan ekonomi, maka SBI dan SBPU yang telah dijual dibeli kembali. Melalui pembelian itu pemerintah mengeluarkan uang sehingga menambah jumlah uang beredar.

3. Fasilitas Diskonto

Fasilitas diskonto adalah kebijakan moneter bank sentral untuk mempengaruhi jumlah uang beredar melalui penetapan diskonto pinjaman bank sentral kepada bank-bank. Dengan menetapkan tingkat diskonto yang tinggi diharapkan bank-bank akan mengurangi permintaan kredit dari bank sentral, yang pada gilirannya akan mengurangi jumlah uang beredar. Sebaliknya penetapan diskonto yang rendah akan mendorong bank-bank meningkatkan permintaan pinjaman bank sentral yang selanjutnya akan menambah jumlah uang beredar.

4. Foreign Exchange Intervention

Intervensi valuta asing adalah kebijakan bank sentral untuk mempengaruhi jumlah uang beredar atau likuiditas di pasar uang melalui jual beli valuta asing atau cadangan devisa. Dalam hal bank sentral ingin mengetatkan 24


(38)

likuiditas rupiah di pasar uang, bank sentral akan menjual cadangan devisanya. Sebaliknya, pembelian valuta asing oleh bank sentral akan meningkatkan likuiditas rupiah di pasar uang.

5. Moral Suasion

Selain instrumen diatas, bank sentral juga dapat melakukan imbauan kepada bank-bank untuk melakukan kebijakan tertentu. Imbauan ini bersifat tidak mengikat, tetapi sebagai lembaga yang kredibel imbauan bank sentral biasanya memiliki dampak yang cukup efektif dalam kebijakan moneter.

2.5. Teori inflasi

2.5.1. Menurut Keynes

Keynes dalam Atmadja (1999) mengatakan dasar pemikiran model inflasi ini adalah bahwa inflasi terjadi karena masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonomisnya, sehingga menyebabkan permintaan efektif masyarakat terhadap barang-barang (permintaan agregat) melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (penawaran agregat), akibatnya akan terjadi inflationary gap. Keterbatasan jumlah persediaan barang (penawaran agregat) ini terjadi karena dalam jangka pendek kapasitas produksi tidak dapat dikembangkan untuk mengimbangi kenaikan permintaan agregat. Oleh karenanya sama seperti pandangan kaum monetarist, Keynesian models ini lebih banyak dipakai untuk menerangkan fenomena inflasi dalam jangka pendek. Dengan keadaan daya beli antara golongan yang ada di masyarakat tidak sama (heretogen), maka selanjutnya akan terjadi realokasi


(39)

barang yang tersedia dari golongan masyarakat yang memiliki daya beli yang relatif rendah kepada golongan masyarakat yang memiliki daya beli yang lebih besar. Kejadian ini akan terus terjadi di masyarakat. Sehingga, laju inflasi akan berhenti hanya apabila salah satu golongan masyarakat tidak bisa lagi memperoleh dana (tidak lagi memiliki daya beli) untuk membiayai pembelian barang pada tingkat harga yang berlaku, sehingga permintaan efektif masyarakat secara keseluruhan tidak lagi melebihi supply barang (inflationarygap menghilang).

2.5.2. Teori Kuantitas

Teori ini juga membahas tentang inflasi, dalam perkembangannya teori ini mengalami penyempurnaan oleh para ahli ekonomi Universitas Chicago, sehingga teori ini juga dikenal sebagai model kaum moneteris (monetarist models). Teori ini menekankan pada peranan jumlah uang beredar dan harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga terhadap timbulnya inflasi.

Inti dari teori ini adalah inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang beredar, baik uang kartal maupun giral dan laju inflasi juga ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang beredar dan oleh harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga di masa mendatang.

2.5.3. Mark-up Model

Pada teori ini dasar pemikiran model inflasi ditentukan oleh dua komponen, yaitu cost of production dan profit margin. Relasi antara perubahan kedua komponen 26


(40)

ini dengan perubahan harga dapat dirumuskan sebagai berikut :

Price = Cost + Profit Margin ... (2.2)

Karena besarnya profit margin ini biasanya telah ditentukan sebagai suatu prosentase tertentu dari jumlah cost of production, maka rumus tersebut dapat dijabarkan menjadi :

Price = Cost + ( a% x Cost) ...(2.3)

Dengan demikian, apabila terjadi kenaikan harga pada komponen-komponen yang menyusun cost of production dan atau penaikan pada profit margin akan menyebabkan terjadinya kenaikan pada harga jual komoditi di pasar (Atmadja, 1999).

2.5.4. Teori Struktural : Model Inflasi di Negara Berkembang

Banyak studi mengenai inflasi di negara-negara berkembang, menunjukan bahwa inflasi bukan semata-mata merupakan fenomena moneter, tetapi juga merupakan fenomena struktural atau cost push inflation. Hal ini disebabkan karena struktur ekonomi negara-negara berkembang pada umumnya yang masih bercorak agraris. Sehingga, goncangan ekonomi yang bersumber dari dalam negeri, misalnya gagal panen (akibat faktor eksternal pergantian musim yang terlalu cepat, bencana alam, dan sebagainya), atau hal-hal yang memiliki kaitan dengan hubungan luar negeri, misalnya memburuknya term of trade; utang luar negeri; dan kurs valuta asing, dapat menimbulkan fluktuasi harga di pasar domestik. Fenomena struktural


(41)

yang disebabkan oleh kesenjangan atau kendala struktural dalam perekonomian di negara berkembang, sering disebut dengan structural bottlenecks. Strucktural bottleneck terutama terjadi dalam tiga hal, yaitu :

1.Supply dari sektor pertanian (pangan) tidak elastis.

Hal ini dikarenakan pengelolaan dan pengerjaan sektor pertanian yang masih menggunakan metode dan teknologi yang sederhana, sehingga seringkali terjadi

supply dari sektor pertanian domestik tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaannya.

2. Cadangan valuta asing yang terbatas (kecil) akibat dari pendapatan ekspor yang lebih kecil daripada pembiayaan impor.

Keterbatasan cadangan valuta asing ini menyebabkan kemampuan untuk mengimpor barang-barang baik bahan baku; input antara; maupun barang modal yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan sektor industri menjadi terbatas pula. Belum lagi ditambah dengan adanya demonstration effect yang dapat menyebabkan perubahan pola konsumsi masyarakat. Akibat dari lambatnya laju pembangunan sektor industri, seringkali menyebabkan laju pertumbuhan supply barang tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan permintaan.


(42)

3. Pengeluaran pemerintah terbatas. ...

Hal ini disebabkan oleh sektor penerimaan rutin yang terbatas, yang tidak cukup untuk membiayai pembangunan, akibatnya timbul defisit anggaran belanja, sehingga seringkali menyebabkan dibutuhkannya pinjaman dari luar negeri ataupun mungkin pada umumnya dibiayai dengan pencetakan uang (printingof money).

Dengan adanya structural bottlenecks ini, dapat memperparah inflasi di negara berkembang dalam jangka panjang, yang tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang pendek. Berbeda dengan kaum monetaris yang memandang inflasi sebagai fenomena moneter, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam sektor moneter akibat dari ekspansi jumlah uang beredar, kaum neo-structuralist

menekankan pada struktur sektor keuangan. Dasar pemikiran ini adalah pengaruh uang terhadap perekonomian terutama ditransmisikan dari supply side atau produksi. Menurut pemikiran kaum neo-structuralist, uang merupakan salah satu faktor penentu investasi dan produksi. Bila jumlah uang yang tersedia untuk investasi melimpah, harga uang (suku bunga) akan murah, volume investasi akan meningkat. Dengan meningkatnya volume investasi, volume produksi juga akan meningkat. Sehingga, penawaran barang meningkat, yang pada gilirannya akan menekan tingkat inflasi. Dengan dasar pemikiran yang seperti ini, timbul pendapat bahwa deregulasi di sektor finansial dan peningkatan jumlah uang beredar akan mendorong laju pertumbuhan ekonomi seraya menekan inflasi. Kaum strukturalis berpendapat, bahwa


(43)

selain harga komoditi pangan, penyebab utama terjadinya inflasi di negara-negara berkembang adalah akibat inflasi dari luar negeri (imported inflation). Hal ini disebabkan antara lain oleh harga barang-barang impor yang meningkat di daerah asalnya, atau terjadinya devaluasi atau depresiasi mata uang di negara pengimpor.

2.5.5. Inflasi dan Tingkat Bunga

Tingkat bunga adalah harga yang menghubungkan masa kini dan masa depan. Tingkat bunga dibagi menjadi dua yaitu tingkat bunga nominal dan tingkat bunga riil (Mankiw, 2007). Tingkat bunga yang dibayar bank adalah tingkat bunga nominal (i) dan kenaikan daya beli adalah tingkat bunga riil (r). Jika adalah inflasi maka hubungan antara tingkat bunga nominal, tingkat bunga riil dan inflasi adalah sebagai berikut :

i = r + ... (2.4)

Persamaan diatas disebut persamaan Fisher yang menunjukkan bahwa tingkat infasi bisa berubah karena perubahan dalam tingkat bunga.

2.5.6. Jenis Inflasi

Dalam ilmu ekonomi, inflasi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis dalam pengelompokan tertentu, dan pengelompokan yang akan dipakai akan sangat bergantung pada tujuan yang hendak dicapai.


(44)

Jenis inflasi :

1. Menurut Derajatnya

a. Inflasi ringan dibawah 10% (single digid) b. Inflasi sedang 10% - 30%

c. Inflasi tinggi 30% - 100% d. Hyperinflasion di atas 100%

Laju inflasi tersebut bukanlah suatu standar yang secara mutlak dapat mengindikasikan parah tidaknya dampak inflasi bagi perekonomian di suatu wilayah tertentu, sebab hal itu sangat bergantung pada berapa bagian dan golongan masyarakat manakah yang terkena imbas ( yang menderita ) dari inflasi yang sedang terjadi.

2. Menurut Penyebabnya

Rahardja (2004) megatakan ada beberapa penyebab terjadinya inflasi yaitu:

a. Demand pull inflation yaitu inflasi yang disebabkan oleh terlalu kuatnya peningkatan aggregate demand masyarakat terhadap komoditi-komoditi hasil produksi di pasar barang. Akibatnya, akan menarik (pull) kurva permintaan agregat ke arah kanan atas, sehingga terjadi excess demand , yang merupakan

inflationary gap. Dan dalam kasus inflasi jenis ini, kenaikan harga-harga barang biasanya akan selalu diikuti dengan peningkatan output (GNP riil)


(45)

dengan asumsi bila perekonomian masih belum mencapai kondisi full-employment. Pengertian kenaikkan aggregate demand seringkali ditafsirkan berbeda oleh para ahli ekonomi. Golongan moneterist menganggap aggregate demand mengalami kenaikkan akibat dari ekspansi jumlah uang yang beredar di masyarakat.

Sedangkan, menurut golongan Keynesian kenaikkan aggregate

demand dapat disebabkan oleh meningkatnya pengeluaran konsumsi, investasi, government expenditures, atau net export, walaupun tidak terjadi ekspansi jumlah uang beredar.

P

AS

P1

P0

AD1

AD0

Y0 Y1 Y

Gambar 2.2. Demand Full Inflation


(46)

b. Cost push inflation, yaitu inflasi yang dikarenakan bergesernya aggregate supply curve ke arah kiri atas. Faktor-faktor yang menyebabkan aggregate supply curve bergeser tersebut adalah meningkatnya harga faktor-faktor produksi (baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri) di pasar faktor produksi, sehingga menyebabkan kenaikkan harga komoditi di pasar komoditi. Dalam kasus cost push inflation kenaikan harga seringkali diikuti oleh kelesuan usaha.

P AS1

AS0

P1

P0

AD

Y1 Y0

Gambar 2.3. Cost Push Inflation

3. Menurut Asalnya

Domestic inflation, yaitu inflasi yang sepenuhnya disebabkan oleh kesalahan pengelolaan perekonomian baik di sektor riil ataupun di sektor moneter di


(47)

dalam negeri oleh para pelaku ekonomi dan masyarakat. Imported inflation,

yaitu inflasi yang disebabkan oleh adanya kenaikan harga-harga komoditi di luar negeri (di negara asing yang memiliki hubungan perdagangan dengan negara yang bersangkutan). Inflasi ini hanya dapat terjadi pada negara yang menganut sistem perekonomian terbuka (open economy system). Dan, inflasi ini dapat ‘menular’ baik melalui harga barang-barang impor maupun harga barang-barang ekspor.

Terlepas dari pengelompokan-pengelompokan tersebut, pada kenyataannya inflasi yang terjadi di suatu negara sangat jarang (jika tidak boleh dikatakan tidak ada) yang disebabkan oleh satu macam / jenis inflasi, tetapi acapkali karena kombinasi dari beberapa jenis inflasi. Hal ini dikarenakan tidak ada faktor-faktor ekonomi maupun pelaku-pelaku ekonomi yang benar-benar memiliki hubungan yang independen dalam suatu sistem perekonomian negara. Contoh : imported inflation

seringkali diikuti oleh cost push inflation, domestic inflation diikuti dengan demand pull inflation.

2.5.7. Inflation Targetting Framework

Sesuai dengan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (Pasal 7). Amanat ini memberikan kejelasan


(48)

peran bank sentral dalam perekonomian, sehingga dalam pelaksanaan tugasnya Bank Indonesia dapat lebih fokus dalam pencapaian single objective -nya.

Kestabilan nilai rupiah tercermin dari tingkat inflasi dan nilai tukar yang terjadi. Tingkat inflasi tercermin dari naiknya harga barang-barang secara umum. Faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan dan dari sisi penawaran. Dalam hal ini, BI hanya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan, sedangkan tekanan inflasi dari sisi penawaran (bencana alam, musim kemarau, distribusi tidak lancar) sepenuhnya berada diluar pengendalian BI. Oleh karena itu, untuk dapat mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah dan stabil, diperlukan adanya kerjasama dan komitmen dari seluruh pelaku ekonomi, baik pemerintah maupun swasta. Tanpa dukungan dan komitmen tersebut niscaya tingkat inflasi yang sangat tinggi selama ini akan sulit dikendalikan. Selanjutnya nilai tukar rupiah sepenuhnya ditetapkan oleh kekuatan permintaan dan panawaran yang terjadi di pasar. Apa yang dapat dilakukan oleh BI adalah menjaga agar nilai rupiah tidak terlalu berfluktuasi secara tajam.

2.5.7.1. Pentingnya kestabilan harga

Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat. Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil


(49)

masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin. Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah.

Inflation Targetting Framework adalah sebuah kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan. Secara eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter.

2.5.7.2. Keuntungan ITF

Keuntungan dilaksanaannya ITF antara lain :

1. Sukses dalam membantu negara menurunkan inflasi, 2. Kebijakan moneter lebih secara jelas terfokus

3. Komunikasi, transparansi, dan akuntabilitas secara bersama diperkuat, 4. Membantu dalam menurunkan dan mengarahkan ekspektasi inflasi dan lebih

baik dalam mengatasi kejutan inflasi,


(50)

5. Membantu dalam menurunkan volatilitas output dalam jangka menengah, 6. Teruji terhadap kejutan ekonomi yang kurang menguntungkan,

7. Kebijakan moneter relatif fleksibel dalam mengakomodasi kejutan inflasi temporer yang tidak mengganggu pencapaian sasaran inflasi jangka menengah, dan

8. Independensi bank sentral dalam melaksanakan kebijakan moneter diperkuat.

2.6. Penelitian Sebelumnya

Adapun penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini dan dapat dijadikan referensi adalah :

1. Soebagyo (2007) melakukan analisis pengaruh kebijakan moneter dan

kebijakan fiskal regional terhadap stabilitas harga dan pertumbuhan ekonomi regional di Jawa Timur pada periode 1995 – 2004. Hasilnya naiknya pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah, pertumbuhan dana pihak ketiga, bunga memiliki pengaruh negatif terhadap inflasi. Demikian juga pengeluaran rutin pemerintah dan kredit tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap inflasi di Jawa Timur. Pada periode setelah krisis pertumbuhan pengeluaran rutin pemerintah, dana pihak ketiga dan bunga memiliki pengaruh signifikan terhadap inflasi regional, sedangkan pengeluran pembangunan pemerintah dan kredit tidak berpengaruh signifikan terhadap inflasi.

2. Devi (2006) melakukan analisis terhadap inflasi di Indonesia dengan menggunakan variabel PDB, nilai tukar dan jumlah uang beredar. Hasilnya


(51)

PDB, nilai tukar dan jumlah uang beredar berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi di Indonesia. Secara partial , nilai tukar , jumlah uang beredar mempunyai hubungan positif dan berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi. PDB mempunyai hubungan negatif dan berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi.

3. Hutabarat (2005) menganalisis faktor determinan inflasi di Indonesia dan menyimpulkan determinan utama inflasi adalah ekspektasi inflasi yang terkait dengan pola pembentukan ekspektasi inflasi yang masih didominasi oleh inflasi masa lalu (ekspektasi adaptif). Perilaku ini menimbulkan persistensi inflasi karena riwayat inflasi Indonesia yang banyak dipicu oleh inflasi cost-push atau supply shocks yang signifikan dan sering terjadi, seperti kejutan harga minyak, kenaikan harga BBM, devaluasi dan fluktuasi berlebihan nilai tukar Rupiah. Karakteristik inflasi tersebut tidak mengalami perbaikan pada pasca krisis, baik secara time series, distribusi lintas komoditi pembentuk inflasi, maupun perbandingan dengan negara lain. Berdasarkan pemahaman

akan sumber-sumber pembentuk tekanan inflasi, maka untuk menurunkan persistensi inflasi diperlukan perpaduan antara kebijakan moneter, kebijakan nilai tukar dan koordinasi dengan kebijakan pemerintah (policy mix).

4. Rohman (2005) melakukan analisis faktor yang mempengaruhi laju inflasi di Indonesia tahun 1979 – 2003 dengan menggunakan variabel konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor dan impor. Hasilnya secara


(52)

bersama-sama variabel konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor dan impor mempunyai pengaruh yang signifikan. Sedangkan secara individual ekspor dan investasi berpengaruh positif terhadap inflasi, variabel impor, pengeluaran pemerintah berpengaruh negatif terhadap inflasi.

5. Sitepu (2003) melakukan analisis faktor yang mempengaruhi inflasi di Sumut dengan menggunakan variabel pengeluaran pemerintah, investasi, jumlah kredit yang disalurkan bank umum, eksport netto, kurs (Rp/US$) dan ekpektasi masyarakat. Hasilnya total pengeluaran pemerintah, kredit yang disalurkan oleh bank umum, ekspor netto dan kurs rupiah terhadap dolar AS mempunyai pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap perkembangan inflasi di Sumut. Sedangkan total investasi dan inflasi tahun sebelumnya tidak memberikan pengaruh yang signifian secara statistik.

6. Ball dan Sheridan (2003) mengatakan dalam studinya tidak ada bukti bahwa inflation targetting mendorong performan ekonomi suatu negara. Karena bagi negara menerapkan IT dan tidak sama sama menggunakan volatilitas tingkat bunga. Aspek formal dan institusional IT seperti pengumuman target kepada publik, laporan inflasi, tingkat kemandirian bank sentral menjadi tidak penting. Karena IT diterapkan lebih pada alasan politik daripada ekonomi. IT bisa jadi akan mendorong kemajuan ekonomi di masa yang akan datang. 7. Mishkin dan Posen (1998) menunjukkan setelah meneliti tiga negara yang

pertama menerapkan inflation targetting yaitu New Zealand, Kanada dan Inggris telah berhasil meningkatkan transparansi dari kebijakan moneter dan 39


(53)

menurunkan secara signifikan tingkat inflasi tanpa adanya efek negatif kepada tingkat output. Mishkin dan Posen menyampaikan Jerman telah menargetkan inflasi dan mempunyai sasaran inflasi dalam angka secara eksplisit. Kunci keberhasilan itu terletak pada fleksibilitas dan transparansi yang diterapkan oleh Jerman.

8. Froyen (1987) melakukan studi untuk mengukur ketidakpastian harga agregat di empat negara industri yaitu Kanada, Jerman, Inggris dan Amerika. Studi dilakukan untuk menilai variabel yang memberikan kontribusi peningkatan ketidakpastian harga yaitu tingkat inflasi, jenis inflasi dan tingkat ketidakpastian harga. Di Kanada, Inggris dan Amerika menunjukkan ada hubungan positif dan signifikan antara tingkat ketidakpastian harga dengan tingkat dan jenis inflasi. Di Jerman tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat ketidakpastian harga dengan perubahan tingkat inflasi. Hal ini karena ada faktor tekanan harga minyak yang terjadi di Jerman tahun 1974.

2.7.Kerangka Pemikiran

Berdasarkan landasan teori yang telah disebutkan dalam kerangka teori diatas, maka kerangka konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut


(54)

Perekonomian Indonesia

Gambar 2.4. Kerangka Pemikiran

2.8. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas dan kajian empiris yang dilakukan sebelumnya, maka hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah:

Sektor Pemerintah (Fiskal)

Sektor Riil Sektor Moneter

APBN

Investasi

Masalah Makro Ekonomi Pengeluaran

(Belanja Pegawai) Jumlah Uang Beredar

Inflasi


(55)

1. Belanja pegawai pemerintah mempunyai pengaruh positif terhadap inflasi Indonesia

2. Investasi mempunyai pengaruh positif terhadap inflasi

3. Jumlah uang beredar mempunyai pengaruh positif terhadap inflasi


(56)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dilaksanakan dengan ruang lingkup Indonesia menggunakan variabel belanja pegawai, investasi , jumlah uang beredar dan inflasi.

3.2. Jenis dan Sumber Data Penelitian

Penelitian ini menggunakan data sekunder time series 1985 s.d. 2007 yang bersumber dari Departemen Keuangan, Badan Pusat Statistik dan Bank Indonesia. Adapun data yang dimaksud antara lain belanja pegawai pemerintah, investasi , jumlah uang beredar dan inflasi.

3.3. Model Analisis

Penelitian yang digunakan adalah penelitian yang menjelaskan variabel penelitian, yaitu variabel terikat adalah inflasi dan variabel bebas adalah belanja pegawai pemerintah, investasi dan jumlah uang beredar. Penelitian ini untuk menguji hipotesis yang dirumuskan dan model yang digunakan dalam penelitian ini adalah: INF t = f (BPPt , JUBt, INVt) ... (3.1)

Kemudian bentuk dasar fungsi tersebut diatas dibuat dalam bentuk linear sebagai berikut:

INF t = bo + b1 BPPt + b2 INVt + b3 JUB t + µ t ... (3.2.) 43


(57)

Dimana :

INF t = Inflasi pada tahun t (%)

BPPt = Belanja Pegawai Pemerintah tahun t (rupiah) INVt = Investasi tahun t (rupiah)

JUB t = Jumlah uang beredar tahun t (rupiah) bo = Intercept

b1 – b3 = Koefisien regresi

µ t = Variable pengganggu

3.4. Metode Analisis

Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di negara Indonesia digunakan persamaan regrasi linear berganda (multiple linier regresión)

dengan variabel terikatnya (dependent variable) adalah inflasi. Sebagai variabel bebas (independet variable) dalam persamaan tersebut adalah belanja pegawai pemerintah , investasi dan jumlah uang beredar.

Estimasi terhadap model dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Pengujian statistik dilakukan dengan menggunakan uji statistik, yaitu uji – t (t test) dan uji – F (F test). Nilai parameter yang digunakan dalam model diharapkan bertanda positif (+) dan signifikan untuk semua nilai parameter.

Uji-t dimaksudkan untuk mengetahui signifikansi statistik regresi secara parsial dan uji-F untuk mengetahui signifikansi statistik secara bersama.


(58)

3.5. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik

Ada beberapa permasalahan yang bisa terjadi dalam model regresi linier, yang secara statistik permasalahan tersebut dapat mengganggu model yang telah ditentukan, bahkan dapat menyesatkan kesimpulan yang diambil dari persamaan yang terbentuk. Untuk itu perlu dilakukan uji penyimpangan asumsi klasik, yang terdiri dari :

a. Multikolinieritas

Interpretasi dari persamaan regresi linier secara implisit bergantung pada asumsi bahwa variabel-variabel bebas (belanja pegawai tahun berjalan, investasi dan jumlah uang beredar) dalam persamaan tersebut tidak saling berkorelasi. Jika dalam sebuah persamaan terdapat multikolinieritas maka akan menimbulkan beberapa akibat. Untuk itu perlu dideteksi multikolinieritas dengan besaran-besaran regresi yang didapat, yakni :

a. variabel besar (dari taksiran OLS)

b. interval kepercayaan lebar (karena variasi besar maka standar error besar sehingga interval kepercayaan lebar)

c. uji-t (t rasio) tidak signifikan. Suatu variabel bebas yang signifikan baik secara substansi maupun secara statistik jika dibuat regresi sederhana, bisa tidak signifikan karena variasi besar akibat kolinieritas. Bila standar error terlalu besar maka besar pula kemungkinan taksiran koefisien regresi ( b1 – b3) tidak signifikan.

d. R 2 tinggi tetapi tidak banyak variabel yang signifikan dari uji-t


(59)

e. Terkadang nilai taksiran koefisien yang didapat akan mempunyai nilai yang tidak sesuai dengan substansi, sehingga dapat menyesatkan interpretasi.

b. Autokorelasi

Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu. Dalam konteks regresi, model regresi linier klasik mengasumsikan bahwa autokorelasi seperti itu tidak terdapat dalam disturbansi atau penggunaan µ i.

Dengan menggunakan lambang E (µ i, µ j) = 0 ; i ≠ j. Secara sederhana dapat dikatakan model klasik mengasumsikan bahwa unsur gangguan yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh unsur disturbansi atau gangguan yang berhubungan dengan pengamatan lain yang manapun.

Untuk mendeteksi adanya autokorelasi dalam model penelitian ini dilakukan uji Lagrange Multiplier Test (LM test). Dengan membandingkan nilai x 2 hitung dengan x 2 tabel, dengan kriteria penilaian sebagai berikut :

a. Jika nilai x 2 hitung > x 2 tabel, maka hipotesis yang dinyatakan bahwa tidak ada autokorelasi dalam model empiris yang digunakan ditolak. b. Jika nilai x 2 hitung < x 2 tabel, maka hipotesis yang dinyatakan bahwa

tidak ada autokorelasi dalam model empiris yang digunakan tidak dapat ditolak.


(60)

Cara lain untuk mendeteksi adanya autokorelasi dalam model penelitian adalah dilakukan Durbin- Watson d test. Dengan membandingkan nilai D - W stat hitung dengan D –W tabel, dengan kriteria sebagai berikut :

a. Jika nilai D – W stat = 0 < d < dL , maka terjadi autokorelasi positif.

b. Jika nilai D – W stat = dL ≤ d ≤ dU, maka tidak dapat disimpulkan.

c. Jika nilai D – W stat = 4 - dL < d < 4, maka terjadi autokorelasi negatif.

d. Jika nilai D – W stat = 4 - dU ≤ d ≤ 4 – dL, maka tidak dapat disimpulkan.

e. Jika nilai D – W stat = dU < d < 4 - dU , maka tidak terjadi autokorelasi.

3.6. Definisi Variabel Operasional

Untuk memberikan batasan penelitian yang memudahkan analisis, dijabarkan beberapa definisi operasional variabel dan indikatornya dalam penelitian ini.

a. Inflasi adalah tingkat perubahan harga yang dihitung dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) merupakan indeks yang mencatat harga barang-barang dan jasa kebutuhan sehari-hari yang dipublikasikan oleh BPS (dalam persen).

b. Belanja pegawai pemerintah adalah setiap pengeluaran pemerintah yang tertuang dalam APBN yang digunakan untuk membayar gaji pegawai, pensiun, tunjangan beras, uang makan dan belanja pegawai lainnya pada tahun yang bersangkutan (dalam rupiah) .


(61)

48 c. Investasi adalah nilai realisasi investasi Foreign Direct Investment (FDI)

yang terdapat dalam neraca pembayaran(dalam rupiah).

d. Jumlah uang beredar adalah jumlah uang kartal, giral dan uang kuasi yang ada di masyarakat (dalam rupiah).


(62)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Perkembangan Variabel Yang Diteliti 4.1.1. Perkembangan Inflasi

Memasuki tahun 1980 – an perekonomian Indonesia mulai menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan berat yang mendorong pemerintah melakukan serangkaian langkah-langkah penyesuaian struktural guna mempertahankan dan mendorong perkembangan perekonomian secara berkesinambungan. Langkah pemerintah itu antara lain deregulasi sektor perbankan pada tahun 1983 dan dilanjutkan dengan deregulasi lanjutan tahun 1988 di bidang moneter, perbankan dan keuangan.

Pada dekade 90-an gairah perekonomian begitu dirasakan. Tingkat pertumbuhan juga lumayan menggembirakan. Akan tetapi pada tahun 1997 tiba-tiba saja krisis keuangan melanda Indonesia. Krisis keuangan tahun 1997 bisa dikatakan sebagai awal bagi jatuhnya perekonomian Indonesia. Krisis yang berlangsung cukup lama tersebut nyaris menumbangkan segi-segi ekonomi bangsa. Jika sebelum krisis pertumbuhan ekonomi dapat mencapai diatas rata-rata dengan tingkat inflasi yang cukup rendah , maka pada puncak krisis tahun 1998, pertumbuhan ekonomi terjerembab mengalami kontraksi ke angka minus 13 % dan inflasi meroket hingga mencapai 77,6 persen.


(63)

Inflasi adalah kenaikan harga harga secara umum akibat perubahan variabel yang mempengaruhi. Perkembangan inflasi Indonesia sejak tahun 1985 – 2007 disajikan pada gambar 4.1.

Gambar 4.1. Perkembangan Inflasi Indonesia tahun 1985 – 2007

Pada tahun 1985 inflasi Indonesia mencapai 4,31% dan awal 90-an meningkat ke arah 9,53 %. Kondisi ini terus bertahan dan bahkan terjadi kenaikan yang cukup signifikan dengan terjadinya krisis ekonomi tahun 1998 yaitu sebesar 77,63 %. Angka ini adalah angka pencapaian inflasi yang dapat terjadi karena memang situasi dan kondisi yang terjadi pada saat itu. Yaitu terjadinya serentetan krisis yang terjadi di beberapa negara. Ketika itu nilai mata uang di beberapa negara Asia merosot tajam, khususnya terhadap dolar Amerika Serikat. Perbankan merupakan salah satu sektor yang paling parah terkena dampak krisis. Hampir sebagian besar bank nasional


(64)

mengalami kerugian dalam waktu yang relatif singkat. Hal ini makin memperparah kondisi ekonomi, keuangan dan perbankan ketika itu, serta makin memperpanjang masa krisis yang terjadi.

Dengan disahkannya UU Bank Indonesia yang baru tahun 1999, kebijakan moneter Indonesia telah memasuki era baru dalam sejarah moneter di Indonesia. Dengan UU tersebut telah terjadi perubahan fundamental dalam kebijakan moneter Indonesia. Tujuan Bank Indonesia secara tegas dikemukakan adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Namun secara implisit tujuan kebijakan moneter di Indonesia adalah menjaga kestabilan harga atau inflasi. Dalam jargon ekonomi moneter, kebijakan moneter yang tujuan akhirnya adalah inflasi sering disebut dengan

inflation targetting framework (ITF). Akan tetapi, karena Bank Indonesia belum secara tegas menerapkan ITF tersebut, kerangka kebijakan moneter di Indonesia sejak tahun 1999 disebut light ITF.

Namun, sejak 1 Juli 2005, Bank Indonesia telah secara penuh menerapkan ITF atau sering disebut full pledge ITF. Secara umum ITF dapat diartikan sebagai kerangka kerja kebijakan moneter yang diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi beberapa tahun ke depan dan target inflasi tersebut secara eksplisit ditetapkan dan diumumkan kepada masyarakat. Dan memang sejak tahun 2000 sampai tahun 2005 terjadi fluktuasi pada tingkat inflasi di Indonesia. Dan sejak tahun 2006 inflasi sudah dalam kondisi terkendali.


(65)

4.1.2. Perkembangan Belanja Pegawai Pemerintah

Belanja pegawai pemerintah merupakan bagian dari pengeluaran pemerintah yang terdapat dalam APBN. Jenis pengeluaran ini selalu muncul setiap tahunnya. Jenis belanja ini digunakan untuk membayar gaji, tunjangan, uang makan dan lain lain belanja pegawai pemerintah. Pada tahun 1985 belanja pegawai pemerintah sebesar Rp. 3.929,7 milyar rupiah. Jumlah ini meningkat terus setiap tahunnya sehingga pada tahun 2007 mencapai Rp. 101.202,3 milyar rupiah seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.2.

Sempat terjadi penurunan belanja pegawai pemerintah yaitu pada tahun 2000 sebesar 9,49 %. Hal ini terjadi karena secara keseluruhan jumlah APBN juga menurun. Pada tahun 1999 jumlah belanja negara dalam APBN adalah Rp. 231.879 milyar rupiah, sedangkan pada tahun 2000 sebesar Rp. 221.466,7 milyar rupiah. Pada tahun 2000 terjadi perubahan dalam struktur APBN dari yang semula berbentuk

T-account menjadi I-account. Reformasi penganggaran juga terjadi dalam bentuk penganggaran berbasis kinerja (Performance Base Budgeting) dimana kinerja menjadi tolok ukur dalam penentuan anggaran untuk setiap jenis belanja disetiap lembaga negara. Selain itu terdapat kerangka kerja baru atas keuangan negara yaitu

Medium Term Expenditure Framework (MTEF) dimana setiap kegiatan harus ada kelanjutannya untuk tahun kedepan. Juga terdapat tuntutan atas otonomi daerah di Indonesia. Dan atas otonomi daerah ini diberikan perimbangan keuangan dari pusat ke daerah. Oleh karena itu jumlah belanja pegawai dalam APBN juga menurun karena adanya perubahan pembiayaan dari pegawai pusat kepada pegawai daerah.


(66)

Untuk tahun-tahun berikutnya jumlah belanja pegawai pemerintah ini terus meningkat seiring dengan adanya tuntutan untuk hidup yang lebih layak bagi para Pegawai Negeri Sipil. Sehingga dalam waktu tiga tahun terakhir terjadi kenaikan gaji bagi pegawai negeri lebih dari 15%.

Gambar 4.2. Perkembangan Belanja Pegawai Pemerintah 1985 – 2007

4.1.3. Perkembangan Investasi

Dalam perkembangannya investasi di Indonesia bisa berasal dari sumber yang bermacam-macam. Dalam tesis ini digunakan nilai investasi yang berasal dari

Foreign Direct Investment (FDI) yang bersumber dari neraca pembayaran (balance of payment) Indonesia. Gambar 4.3. memperlihatkan perkembangan nilai FDI Indonesia sejak tahun 1985 – 2007. Dari gambar tersebut dapat diperlihatkan terjadi fluktuasi tajam pada investasi di Indonesia. Terjadi peningkatan investasi secara tajam


(67)

menjelang awal 90-an yaitu mencapai angka Rp. 2.075,89 milyar rupiah. Jumlah ini semakin meningkat sampai tahun 1997 yang mencapai Rp. 21,748.05 milyar rupiah.

Akan tetapi saat krisis terjadi di Indonesia jumlah FDI menurun tajam sebesar 86,86 % atau sebesar Rp. 2,856.90 milyar rupiah. Penurunan investasi ini terjadi karena adanya ketidakpastian hukum di Indonesia, juga karena faktor sulitnya birokrasi dan isu tenaga kerja. UU ketengakerjaan di Indonesia mensyaratkan perusahaan membayar ganti rugi sebesar 108 minggu gaji jika ingin melakukan pemecatan, yang mana nilai ini merupakan nilai terbesar di Asia setelah Srilangka. Kebijakan Upah Minimun Regional (UMR) juga memberatkan pengusaha.

Pada periode awal tahun 2000-an investasi sempat mandeg karena terjadi perubahan situasi politik di Indonesia. Para investor masih menunggu langkah politik yang diambil oleh penguasa baru. Suasana politik yang ada dan situasi keamanan tidak menarik bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia.

Angka ini kemudian berangsur angsur naik pada periode berikutnya dan mencapai peningkatan tertinggi pada tahun 2005 sebesar 240,82 % atau sebesar Rp. 60,031.81 milyar rupiah. Dimana pada tahun 2005 terdapat jaminan keamanan dan lebih menjamin kepastian hukum atas investasi yang dilakukan di Indonesia.


(68)

Gambar 4.3. Perkembangan Investasi tahun 1985 – 2007

4.1.4. Jumlah Uang Beredar

Perkembangan moneter dalam tahun 1985 ditandai dengan cepatnya perkembangan jumlah uang beredar yang berkaitan erat dengan meningkatnya kegiatan perekonomian. Pada akhir tahun 1985 jumlah uang beredar mencapai Rp. 23.153 milyar rupiah. Pada tahun berikutnya jumlah ini meningkat sebesar 19,47 % yang bersumber dari kenaikan uang kuasi yang terdiri dari deposito berjangka dan tabungan. Kondisi ini terus berlangsung sampai tahun 90-an. Pada masa itu, Indonesia tercatat sebagai salah satu macan Asia. Tingkat pertumbuhan cukup tinggi dan gairah ekonomi cukup tampak.

Gairah ini juga dapat dilihat dengan munculnya bank – bank baru dan dunia usaha melakukan investasi dengan dana pinjaman asing. Sampai dengan tahun 2007


(69)

pertumbuhan jumlah uang beredar terus meningkat sehingga di akhir tahun 2007 mencapai Rp. 1,643,203 milyar rupiah. Selengkapnya perkembangan jumlah uang beredar di Indonesia tahun 1985 sampai dengan tahun 2007 dapat dilihat pada gambar 4.4. berikut ini.

Gambar 4.4. Perkembangan Jumlah Uang Beredar Tahun 1985 – 2007

4.2. Hasil Estimasi

Untuk menguji hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini, maka dilakukan estimasi dengan model Ordinary Least Square (OLS) untuk data time series 23 tahun dengan menggunakan program eviews 5.1. Analisis regresi terhadap model estimasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan data inflasi, belanja pegawai pemerintah, investasi dan jumlah uang beredar.


(70)

Hasil estimasi dengan OLS disusun sebagai berikut :

Tabel 4.1. Hasil Estimasi Pengaruh Belanja Pegawai Pemerintah, Investasi dan Jumlah Uang Beredar Terhadap Inflasi di Indonesia (Model Linier) INF = - 12,457– 0,0017 BPP + 1,69E-07 INV + 8,75E-05 JUB

Std Err : (0,000744) (1,54E-07) (3,75E-05) t-stat : (-2,297) (1,101) (2,334) R2 : 0,2233 F-stat : 1,82 Prob : 0,1775

Sumber : Hasil Penelitian 2009 (data diolah)

Terhadap model tersebut kemudian dilakukan uji asumsi klasik. Berikut hasil uji multikolinieritas.

Tabel 4.2. Hasil Estimasi Uji Multikolinieritas (Model Linier)

Variabel Nilai R2

INF = f(BPP, INV,JUB) 0,2233

BPP=f(INV, JUB) 0,9768

INV=f(BPP, JUB) 0,4938

JUB=f(BPP, INV) 0,9737

Sumber : Hasil Penelitian 2009 (data diolah)

Dari hasil estimasi tersebut diperoleh hasil R2 INF, BPP, INV, JUB = 0,2233 lebih rendah dibandingkan R2 BPP, INV, JUB = 0,9768, R2 INV, BPP, JUB = 0,4938, R2 JUB, BPP, INV, = 0,9737. Berdasarkan uji multikolinieritas, dalam model terdapat multikolinieritas.


(71)

Selain diuji dengan uji multikolinieritas, pada model dilakukan uji autokorelasi. Hasil DW hitung = 2,199 lebih besar daripada 4 – du = 2,6 dan berada di area tidak dapat diambil keputusan.

Oleh karena itu model kemudian dirubah dalam bentuk lin log, yaitu sebagai berikut :

INF t = bo + b1 LBPPt + b2 LINVt + b3 LJUB t + µ t ………...… (4.1) Hasil estimasi dengan OLS atas model yang baru adalah sebagai berikut : Tabel 4. 3. Hasil Estimasi Pengaruh Belanja Pegawai Pemerintah, Investasi dan

Jumlah Uang Beredar Terhadap Inflasi di Indonesia (Model Log) INFt = - 96,069 – 33,987 LBPPt – 21,828 LINVt + 50,822 LJUBt Std Err : (9,357) (3,514) (8,163) t-stat : (-3,632)* (-6,212) * (6,226)* R2 : 0,7258 F-stat : 16,767 Prob : 0,000014 Sumber: Hasil Penelitian 2009 (data diolah)

Keterangan : * = signifikan pada 1 %

Terhadap model tersebut kemudian dilakukan uji asumsi klasik. Hasil uji multikolinieritas adalah sebagai berikut :

Tabel 4.4. Hasil Estimasi Uji Multikolinieritas (Model Log)

Variabel Nilai R2

INF = f(LBPP, LINV, LJUB) 0,7258

LBPP=f(LINV, LJUB) 0,9637

LINV=f(LBPP, LJUB) 0,9043

LJUB=f(LBPP, LINV) 0,9748

Sumber : Hasil Penelitian 2009 (data diolah)


(72)

Dari hasil estimasi tersebut diperoleh hasil R2 INF, LBPP, LINV, LJUB = 0,7258 lebih rendah dibandingkan R2 LBPP, LINV, LJUB = 0,9637, R2 LINV,

LBPP, LJUB = 0,9043, R2 LJUB, LBPP, LINV, = 0,9748. Berdasarkan uji

multikolinieritas, dalam model terdapat multikolinieritas.

Selain diuji dengan uji multikolinieritas, pada model dilakukan uji autokorelasi dengan menggunakan Durbin – Watson d test. Dari hasil regresi model, diperoleh nilai DW – stat = 1,96 berada diantara du dan 4 – du, yang artinya dalam model tidak terdapat autokorelasi. Melalui Breusch – Godfrey Serial Correlation LM test, diketahui bahwa nilai Obs*R-square (x2 hitung = 0,615) < x2 tabel = 28,9 atau probability = 0,735 > 0,05 sehingga dalam model regresi tidak terdapat autokorelasi.

Karena dalam model melanggar asumsi klasik multikolinieritas, maka upaya yang dilakukan penulis untuk mengatasi masalah multikolinieritas berdasarkan aturan ekonometri adalah sebagai berikut (Supranto, 2004):

a. Adanya informasi sebelumnya

Berdasarkan teori yang ada, setiap variabel yang dipakai dalam penelitian ini diyakini tidak mengandung multikolinieritas. Hal ini karena setiap variabel berasal dari sektor yang berbeda. Belanja pegawai pemerintah dari sektor fiskal (pemerintah), investasi dari sektor riil dan jumlah uang beredar dari sektor moneter. Jadi informasi sebelumnya menyatakan bahwa setiap variabel diyakini tidak mengandung multikolinieritas.


(1)

Lampiran 7. Hasil Uji Breusch – Godfrey (Model Log)

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 0.233688 Probability 0.794110 Obs*R-squared 0.615413 Probability 0.735131

Test Equation:

Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 01/21/09 Time: 17:41

Presample missing value lagged residuals set to zero.

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 1.619751 26.93339 0.060139 0.9527

LBPP -0.409060 9.850383 -0.041527 0.9674

LINV 0.021505 3.744833 0.005743 0.9955

LJUB 0.167352 8.517259 0.019649 0.9846

RESID(-1) -0.019338 0.255500 -0.075687 0.9406 RESID(-2) -0.171274 0.251248 -0.681694 0.5046 R-squared 0.026757 Mean dependent var -2.46E-14 Adjusted R-squared -0.259491 S.D. dependent var 7.766542 S.E. of regression 8.716160 Akaike info criterion 7.387693 Sum squared resid 1291.515 Schwarz criterion 7.683909 Log likelihood -78.95847 F-statistic 0.093475 Durbin-Watson stat 1.943277 Prob(F-statistic) 0.992110


(2)

Lampiran 8. Hasil Estimasi Regresi (Model Bentuk Perbedaaan Pertama)

Dependent Variable: DINF Method: Least Squares Date: 01/21/09 Time: 17:44 Sample (adjusted): 1986 2007

Included observations: 22 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -6.999846 4.215462 -1.660517 0.1141

DBPP -0.003852 0.000764 -5.039934 0.0001

DINV -0.000894 0.000257 -3.478684 0.0027

DJUB 0.000364 6.49E-05 5.600014 0.0000

R-squared 0.682314 Mean dependent var 0.103636 Adjusted R-squared 0.629366 S.D. dependent var 22.45517 S.E. of regression 13.67064 Akaike info criterion 8.231343 Sum squared resid 3363.954 Schwarz criterion 8.429715 Log likelihood -86.54478 F-statistic 12.88657 Durbin-Watson stat 1.578931 Prob(F-statistic) 0.000098


(3)

Lampiran 9. Hasil Uji Multikolinieritas (Model Bentuk Perbedaan Pertama)

Dependent Variable: DBPP Method: Least Squares Date: 01/21/09 Time: 17:44 Sample (adjusted): 1986 2007

Included observations: 22 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -241.8323 1264.158 -0.191299 0.8503

DINV -0.043276 0.076483 -0.565826 0.5781

DJUB 0.065061 0.012529 5.192886 0.0001

R-squared 0.587484 Mean dependent var 4421.468 Adjusted R-squared 0.544061 S.D. dependent var 6077.285 S.E. of regression 4103.579 Akaike info criterion 19.60323 Sum squared resid 3.20E+08 Schwarz criterion 19.75201 Log likelihood -212.6355 F-statistic 13.52942 Durbin-Watson stat 2.434725 Prob(F-statistic) 0.000222

Dependent Variable: DINV Method: Least Squares Date: 01/21/09 Time: 17:45 Sample (adjusted): 1986 2007

Included observations: 22 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 830.2154 3759.191 0.220849 0.8276

DBPP -0.382921 0.676747 -0.565826 0.5781

DJUB 0.051783 0.056737 0.912686 0.3728

R-squared 0.043930 Mean dependent var 2950.375 Adjusted R-squared -0.056709 S.D. dependent var 11874.55 S.E. of regression 12206.60 Akaike info criterion 21.78347 Sum squared resid 2.83E+09 Schwarz criterion 21.93224 Log likelihood -236.6181 F-statistic 0.436511 Durbin-Watson stat 2.835701 Prob(F-statistic) 0.652608


(4)

Dependent Variable: DJUB Method: Least Squares Date: 01/21/09 Time: 17:45 Sample (adjusted): 1986 2007

Included observations: 22 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 31377.29 13042.03 2.405859 0.0265

DBPP 9.016990 1.736412 5.192886 0.0001

DINV 0.811086 0.888680 0.912686 0.3728

R-squared 0.598151 Mean dependent var 73638.64 Adjusted R-squared 0.555851 S.D. dependent var 72488.63 S.E. of regression 48309.69 Akaike info criterion 24.53478 Sum squared resid 4.43E+10 Schwarz criterion 24.68355 Log likelihood -266.8825 F-statistic 14.14071 Durbin-Watson stat 2.435481 Prob(F-statistic) 0.000173


(5)

Lampiran 10. Hasil Uji Hasil Uji Breusch – Godfrey (Model Bentuk Perbedaan

Pertama)

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 0.571499 Probability 0.575792 Obs*R-squared 1.466835 Probability 0.480265

Test Equation:

Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 01/21/09 Time: 17:44

Presample missing value lagged residuals set to zero.

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -0.994475 4.425505 -0.224715 0.8250

DBPP -0.000444 0.000889 -0.499622 0.6241

DINV 0.000194 0.000326 0.594962 0.5602

DJUB 3.43E-05 7.47E-05 0.459846 0.6518

RESID(-1) 0.364037 0.342473 1.062967 0.3036

RESID(-2) -0.148090 0.282240 -0.524696 0.6070 R-squared 0.066674 Mean dependent var -1.94E-15 Adjusted R-squared -0.224990 S.D. dependent var 12.65655 S.E. of regression 14.00818 Akaike info criterion 8.344160 Sum squared resid 3139.665 Schwarz criterion 8.641718 Log likelihood -85.78577 F-statistic 0.228600 Durbin-Watson stat 1.785162 Prob(F-statistic) 0.944544


(6)

87

Lampiran 11. Mean perkiraan variabel inflasi

Date: 02/12/09 Time: 12:58 Sample: 1985 2007

Included observations: 23

Method: Holt-Winters No Seasonal Original Series: INF

Forecast Series: INFSM

Parameters: Alpha 0.0200

Beta 0.1100

Sum of Squared Residuals 5193.620

Root Mean Squared Error 15.02696

End of Period Levels: Mean 12.22120