Force Majeure dalam Perjanjian Konstruksi

Di dalam perjanjian kerja konstruksi, klausula mengenai kegagalan bangunan ini merupakan salah satu klausula yang penting. Karena kegagalan bangunan ini rentan sekali menimbulkan perselisihan. Oleh karena itu sebelumnya haruslah sudah diatur mengenai hal-hal apa saja yang termasuk ke dalam kegagalan bangunan. 12. Aspek lingkungan Dalam melaksanakan pembangunan proyek haruslah juga diperhatikan mengenai lingkungan. Dimana pembangunan proyek tesebut jangan sampai merusak kelestarian lingkungan akan tetapi justru meningkatkan kelestarian lingkungan. Maka dalam perjanjian kerja konstruksi harus memuat klausula tentang dampak dari pelaksanaan proyek terhadap lingkungan.

C. Force Majeure dalam Perjanjian Konstruksi

Dalam Pasal 1244 KUH Perdata Force Majeure atau yang sering diterjemahkan sebagai “keadaan memaksa” merupakan keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk. 41 Dalam hal ini, kejadian-kejadian yang merupakan Force Majeure tersebut tidak pernah terduga oleh para pihak sebelumnya akan adanya peristiwa tersebut, maka seyogyanya hal tersebut harus sudah dinegosiasi diantara para pihak. Sungguhpun Pasal 1244 dan juga Pasal 1245 KUH Perdata hanya mengatur masalah Force Majeure dalam hubungan dengan pergantian biaya rugi dan bunga 41 Pasal 1244 Kitab Undang-undang Hukum Perdata BW oleh Subekti Universitas Sumatera Utara saja, akan tetapi perumusan pasal-pasal ini dapat digunakan sebagai pedoman dalam mengartikan Force Majeure pada umumnya. Lebih lengkapnya, Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata menentukan sebagai berikut : Pasal 1244 “Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila dia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepat waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tidak terduga, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk padanya.” Pasal 1245 “Tidak ada pergantian biaya, kerugian dan bunga, bila dalam keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melaksanakan suatu perbuatan yang terlarang baginya.” Seperti telah dijelaskan bahwa dari rumusan-rumusan dalam pasal KUH Perdata seperti tersebut di atas maka dapat dilihat bentuk-bentuk Force Majeure menurut KUH Perdata, yaitu sebagai berikut : 42 1. Force Majeure karena sebab-sebab yang tidak terduga. Dalam hal ini, menurut Pasal 1244 KUH Perdata, jika terjadi hal-hal yang tidak terduga pembuktiannya dipihak debitur yang menyebabkan terjadinya kegagalan dalam melaksanakan kontrak, hal tersebut bukan termasuk dalam kategori wanprestasi kontrak, melainkan termasuk ke dalam kategori Force Majeure, yang pengaturan hukumnya lain sama sekali. Kecuali jika debitur beritikad jahat, dimana dalam hal ini debitur tetap dapat dimintakan tanggung jawabnya. 2. Force Majeure karena keadaan memaksa. 42 Ibid., hal. 119 Universitas Sumatera Utara Sebab lain mengapa seseorang debitur dianggap dalam keadaan Force Majeure sehingga dia tidak perlu bertanggung jawab atas tidak dilaksanakannya kontrak adalah jika tidak dipenuhinya kontrak tersebut disebabkan oleh keadaan memaksa. 3. Force Majeure karena perbuatan tersebut dilarang. Dalam Pasal 1245 KUH Perdata apabila ternyata perbuatan prestasi yang harus dilakukan oleh debitur ternyata dilarang oleh perundang- undangan yang berlaku, maka kepada debitur tersebut tidak terkena kewajiban membayar ganti rugi. 43 Selanjutnya jika dilihat dari segi kemungkinan pelaksanaan prestasi dalam kontrak, suatu Force Majeure dapat dibeda-bedakan ke dalam beberapa jenis, yaitu : 1. Force Majeure yang absolut Yang dimaksud dengan Force Majeure yang absolut adalah suatu Force Majeure yang terjadi sehingga prestasi dari kontrak sama sekali tidak mungkin dilakukan. Misalnya barang yang merupakan objek dari kontrak musnah. Dalam hal ini kontrak tersebut “tidak mungkin” untuk dilaksanakan. 2. Force Majeure yang relatif Sementara itu, yang dimaksud dengan Force Majeure yang bersifat relatif adalah satu Force Majeure dimana pemenuhan prestasi secara normal tidak mungkin dilakukan, sungguh pun secara tidak normal masih mungkin dilakukan. Misalnya terhadap kontrak ekspor-impor dimana setelah kontrak dibuat terdapat larangan impor atas barang itu. Dalam hal ini barang tersebut tidak mungkin lagi diserahkan diimpor, sungguhpun 43 Munir Fuady, Op.Cit., hal. 114 Universitas Sumatera Utara dalam keadaan tidak normal masih dapat dilakukan. Misalnya jika dikirim barang dengan jalan penyelundupan. Dalam hal ini sering dikatakan bahwa kontrak masih mungkin possible dilaksanakan, tetapi tidak praktis lagi impracticability. 44 Pasal 1237 KUH Perdata, yakni pengaturannya mengenai resiko. Sebagaimana diketahui bahwa akibat penting dari adanya Force Majeure adalah siapakah yang harus menanggung resiko dari adanya peristiwa yang merupakan Force Majeure tersebut. Pasal 1237 KUH Perdata tersebut selengkapnya, menyatakan : “dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, maka sejak perikatan-perikatan dilahirkan, benda tersebut menjadi tanggungan pihak kreditur.” Dari ketentuan dalam Pasal 1237 KUH Perdata tersebut di atas jelaslah bahwa jika terjadi Force Majeure atas kontrak sepihak, maka resikonya ditanggung oleh pihak penerima prestasi kreditur. Kecuali jika pihak debitur lalai dalam memberikan prestasi, dimana sejak kelalaian tersebut menjadi resiko pihak pemberi prestasi debitur. Force Majeure juga sangat erat hubungannya dengan masalah ganti rugi dari suatu kontrak. Karena Force Majeure membawa konsekuensi hukum bukan saja hilangnya atau tertundanya kewajiban-kewajiban untuk melaksanakan prestasi yang terbit dari suatu kontrak, melainkan juga suatu Force Majeure dapat juga membebaskan para pihak untuk memberikan ganti rugi akibat tidak terlaksananya kontrak yang bersangkutan. 44 Ibid., hal. 116 Universitas Sumatera Utara Ketentuan KUH Perdata yang mengatur mengenai Force Majeure ini dalam hubungan dengan ganti rugi adalah Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata. Lebih lengkapnya, Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata menentukan sebagai berikut : Pasal 1244 “debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila dia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepat waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tidak terduga, yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk padanya.” Pasal 1245 “tidak ada pergantian biaya, kerugian dan bunga, bila dalam keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau melaksanakan suatu perbuatan yang terlarang baginya.” 45 Dari seluruh pasal-pasal dalam KUH Perdata yang mengatur tentang Force Majeure, dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat-syarat dari suatu Force Majeure adalah sebagai berikut : 1. Peristiwa yang menyebabkan terjadinya Force Majeure tersebut haruslah “tidak terduga”oleh para pihak vide Pasal 1244 KUH Perdata. 2. Peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak yang harus melaksanakan prestasi pihak debitur tersebut vide Pasal 1244 KUH Perdata. 3. Peristiwa yang menyebabkan terjadinya Force Majeure tersebut di luar kesalahan pihak debitur vide Pasal 1545 KUH Perdata. 4. Peristiwa yang menyebabkan terjadinya Force Majeure tersebut bukan kejadian yang tidak disengaja oleh debitur. Ini merupakan perumusan yang kurang tepat. Sebab yang semestinya tindakan tersebut “diluar 45 Pasal 1244 dan 1245 Kitab Undang-undang Hukum Perdata oleh Subekti. Universitas Sumatera Utara kesalahan” para pihak, bukan “tidak disengaja”. Sebab kesalahan para pihak baik yang dilakukan dengan sengaja ataupun yang tidak disengaja, yakni dalam bentuk “kelalaian” negligence. 5. Para pihak debitur tidak dalam keadaan itikad buruk vide Pasal 1244 KUH Perdata. 6. Jika terjadi Force Majeure, maka kontrak tersebut menjadi gugur, dan sedapat mengkin para pihak dikembalikan seperti seolah-olah tidak pernah dilakukan vide Pasal 1545 KUH Perdata. 7. Jika terjadi Force Majeure, maka para pihak tidak boleh menuntut ganti rugi vide Pasal 1244 juncto Pasal 1245, juncto Pasal 1553 ayat 2 KUH Perdata. Akan tetapi, karena kontrak yang bersangkutan menjadi gugur karena adanya Force Majeure tersebut, maka untuk menjaga terpenuhinya unsur-unsur keadilan, pemberian restitusi atau quantum merit tentu masih dimungkinkan. 8. Resiko sebagai akibat dari Force Majeure, beralih dari pihak kreditur kepada pihak debitur sejak saat seharusnya barang tersebut diserahkan vide Pasal 1545 KUH Perdata. Pasal 1460 KUH Perdata mengatur hal ini secara tidak tepat di luar sistem. 46 Dari pengaturan-pengaturan yang sudah dijelaskan di atas yang mengatur mengenai Force Majeure secara umum, maka Force Majeure dalam Perjanjian Konstruksi juga memiliki pengaturan yang hampir sama. Force Majeure yang terdapat dalam suatu perjanjian konstruksi pada umumnya adalah disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : 1. Bencana alam seperti hujan terus menerus, banjir, gempa bumi, kebakaran, peperangan, longsor, gunung meletus, huru-hara, pemberontakan dan epidemik. 46 Ibid., hal. 122-123 Universitas Sumatera Utara 2. Kebijakan Pemerintah yang menyebabkan keterlambatan pelaksanaan danatau penyelesaian kerja. berdasarkan beberapa perjanjian konstruksi yang terdapat di PT. Gapeksindo Hutama Kontrindo Perjanjian konstruksi biasanya dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: 1. Dimana pihak pemborong atau kontraktor diwajibkan memberikan bahannya untuk pekerjaan tersebut. 2. Dimana si pemborong atau kontraktor hanya akan melakukan pekerjaannya saja. Kedua jenis pekerjaan konstruksi itu dibedakan karena mempunyai pengaruh terhadap tanggung jawab kontraktor atas hasil yang diperjanjikan. Apabila pihak kontraktor yang diwajibkan memberi bahan dan pekerjaanya kemudian musnah dengan cara bagaimanapun sebelum diserahkan kepada pihak yang memborongkan, maka segala kerugian adalah atas tanggungan pihak kontraktor. Namun apabila pihak pengguna jasa telah menerima hasil pekerjaan itu dan kemudian lalai maka pihak kontraktor tidak bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan. Apabila pihak kontraktor hanya diwajibkan melakukan pekerjaan saja sedangkan bahannya berasal dari pihak pengguna jasa atau pihak lainnya kemudian pekerjaannya musnah, maka ia hanya bertanggung jawab untuk kesalahannya Pasal 1605 dan 1606 . Namun apabila pihak pengguna jasa dapat membuktikan bahwa pihak kontraktor yang bersalah, misalnya bahan tersebut telah sampai ke tangan pihak kontraktor tapi pihak kontraktor tidak menjaga dengan baik sehingga bahannya hilang maka pihak pengguna jasa dapat melimpahkan tanggung jawab atas kerugian yang timbul kepada pihak kontraktor. 47 Kemudian apabila pihak kontraktor hanya diwajibkan melakukan pekerjaannya saja, oleh Pasal 1607 KUH Perdata dituturkan bahwa jika 47 R.Subekti. Aneka Perjanjian. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995. Hal.65 Universitas Sumatera Utara musnahnya pekerjaan itu terjadi di luar suatu kelalaian dari pihaknya kontraktor, sebelum pekerjaan itu diserahkan, sedang pihak yang memborongkan tidak telah lalai untuk memeriksa dan menyetujui pekerjaannya, maka pihak kontraktor tidak berhak atas harga yang diperjanjikan kecuali musnahnya pekerjaan itu diakibatkan oleh cacad dari bahannya. Dalam hal di atas tersebut belum jelas membahas tentang force majeure, disana hanya dikatakan mengenai musnahnya pekerjaan akibat kelalaian maupun diluar kelalaian. Paragraph di atas bermaksud menjelaskan apabila pihak kontraktor yang hanya diwajibkan untuk melakukan pekerjaan saja maka harus menjaga kondisi hasil pekerjaanya dalam keadaan baik sampai diserahkan kepada pihak pengguna jasa tetapi apabila pihak kontraktor dapat membuktikan bahwasanya kerusakan atau musnahnya pekerjaan yang dilakukan akibat dari bahan yg disediakan pihak pengguna jasa cacad maka pihak pengguna jasalah yang bertanggung jawab atas kerugian yang ditanggung oleh pihak kontraktor. 48 Dalam hal Perjanjian Konstruksi memang agak jarang ditemukan kasus Force Majeure ini, namun juga pasti pernah terjadi. Akibat dari Force Majeure ini, dalam Perjanjian Konstruksi untuk membangun suatu bangunan, jembatan, tanggul dan lain sebagainya bisa menyebabkan bangunan yang sedang dibangun itu hancur semuanya atau hancur sebagian atau tidak memungkinkan untuk dilanjutkan. Hal ini memengaruhi dalam hal ganti rugi yang akan terjadi pada kedua belah pihak baik kontraktor maupun pemberi tugas atau bouwheer. Dalam hal ini, apabila terjadi Force Majeure maka pihak kontraktor akan melaporkan kepada Pemberi Pekerjaan bahwasanya telah terjadi Force Majeure, kemudian pemberi tugas akan mengkonfirmasi akan menerima keadaan itu atau menolaknya. Biasanya laporan terjadi Force Majeure ini dilakukan dalam waktu 3 x 24 jam tiga kali dua puluh empat jam . Dan apabila pihak pemberi tugas tidak memberi tanggapan atas hal itu maka pihak kontraktor akan menganggap bahwa pihak pemberi tugas menyetujui kondisi yang pihak kontraktor berikan. 48 Ibid. hal.66 Universitas Sumatera Utara Pengaturan-pengaturan secara lebih terperinci mengenai Force Majeure ini sebenarnya terdapat dalam kontrak yang dibuat oleh kedua belah pihak sendiri yaitu pihak kontraktor dan pemberi tugas. Dalam perjanjian konstruksi terdapat satu pasal yang secara detail membahas mengenai Force Majeure. Dalam bab selanjutnya akan dibahas lebih mendalam lagi mengenai Force Majeure pada suatu perjanjian konstruksi. Universitas Sumatera Utara BAB IV ANALISIS YURIDIS TENTANG FORCE MAJEURE TERHADAP WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN PADA PT GAPEKSINDO HUTAMA KONTRINDO

A. Uraian Singkat Mengenai PT Gapeksindo Hutama Kontrindo