PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA GURU HONORER SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN WONOTUNGGAL KABUPATEN BATANG

(1)

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING

PADA GURU HONORER SEKOLAH DASAR

DI KECAMATAN WONOTUNGGAL

KABUPATEN BATANG

SKRIPSI

disajikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Jurusan Psikologi

oleh Heri Setiawan

1550407024

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


(2)

Psychological Well-Being pada Guru Honorer Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang benar-benar hasil karya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan pada kode etik ilmiah.

Semarang, 20 Agustus 2014

Heri Setiawan NIM.1550407024


(3)

Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang telah dipertahankan dalam sidang dihadapan panitia ujian skripsi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang, pada tanggal 27 Agustus 2014.

Panitia

Ketua Sekretaris

Drs. Budiyono, M.S. Rahmawati Prihastuti, S.Psi., M.Si. NIP 19631209 198703 1 002 NIP 19790502 200801 2 018

Penguji I Penguji II

Rulita Hendriyani, S.Psi.,M.Si. Sugiariyanti, S.Psi.,M.A. NIP 19720204 200003 2 001 NIP 19780419 200312 2 001

Penguji III/ Pembimbing Utama

Dra. Tri Esti Budiningsih, S.Psi., M.A NIP 19581125 198601 2 001


(4)

Untuk Benar-Benar Menjadi Besar, Seseorang Harus Berdampingan dengan Orang Lain, Bukan di Atas Orang Lain. (Charles de Montesquieu)

Esensi Menjadi Manusia Adalah Ketika Seseorang Tidak Mencari Kesempurnaan. (George Orwell)

PERSEMBAHAN :

Karya sederhana ini aku persembahkan kepada: Keluargaku tercinta, bapak, ibu, kakak, dan adik Seluruh teman-teman Jurusan Psikologi angkatan 2007 Almamater Psikologi UNNES


(5)

skripsi yang berjudul “Psychological Well-Being pada Guru Honorer Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang” dapat penulis selesaikan dengan baik.

Penyusunan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Drs. Hardjono, M.Pd., Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang.

2. Dr. Edy Purwanto, M.Si., Ketua Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang.

3. Dra. Tri Esti Budiningsih, S.Psi., M.A, sebagai Dosen Pembimbing Utama sekaligus sebagai Dosen Wali yang dengan sabar telah membimbing dan memberikan petunjuk serta arahan sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Rulita Hendriyani, S.Psi.,M.Si., sebagai Penguji I skripsi yang telah memberikan masukan dan penilaian terhadap skripsi yang disusun oleh peneliti.

5. Sugiariyanti, S.Psi.,M.A., sebagai Penguji II skripsi yang telah memberikan masukan dan penilaian terhadap skripsi yang disusun oleh peneliti.


(6)

7. Guru Honorer Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang yang telah bersedia menjadi responden selama pelaksanaan penelitian.

8. Bapak Tumarjo, Ibu Rubinem, Bayu Setiaji, Shinta Aji Pratiwi dan seluruh keluarga yang telah memberikan motivasi, doa, cinta serta kasih sayangnya kepada penulis.

9. Seluruh staf pengajar Jurusan Psikologi yang telah memberikan ilmu dan pengalaman selama proses kuliah.

10.Yang tercinta Astikha Lutfiana dan sahabat-sahabat penulis yang telah memberikan dorongan semangat, dan membantu penulis (Ari Suryaman/Bolor, Indra Aji, Tyo, Singgih Kemput, Adi, Singgih Agung, Kulphunk, Budhe Mahardika, Agung, Gosong, Dheri, Cikal, Kak Ucup, Adam, Kak Cireng, Kak Indra, Latif, Jeje Sport).

11.Teman-teman Psikologi Universitas Negeri Semarang Angkatan 2007 terima kasih atas kebersamaan kita selama ini, tetaplah berjuang kawan.

Semoga segala kebaikan dan keikhlasan mendapat balasan dan rahmat Allah SWT. Akhir kata semoga karya ini bermanfaat.

Semarang, 20 Agustus 2014


(7)

Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang. Dosen Pembimbing Utama Dra. Tri Esti Budiningsih, S.Psi., M.A

Kata kunci: psychological well-being, guru honorer

Guru honorer yang bekerja pada beberapa sekolah negeri maupun swasta, sampai saat ini belum memiliki standar gaji yang menitikberatkan pada bobot jam pelajaran, tingkatan jawaban, dan tanggung jawab masa depan siswanya. Rendahnya penghasilan tersebut membuat guru honorer tentunya akan mengalami beberapa hambatan dalam memenuhi kebutuhan fisik, seperti makanan dan tempat tinggal yang layak, serta mengalami akses untuk meningkatkan kemampuan, memuaskan minat, dan memelihara hubungan, dimana hal-hal tersebut dapat memberikan kepuasan terhadap kebutuhan psikologis mereka. Pemenuhan kebutuhan psikologis ini berkaitan dengan Psychological Well-being seseorang, dimana semakin terpenuhinya kebutuhan psikologis orang tersebut, maka Psychological Well-being-nya pun akan semakin meningkat. Oleh karena itu, uang dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting untuk dapat meningkatkan akses terhadap sumber-sumber penting dalam memperoleh kesenangan dan merealisasikan diri (self-realization).

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah guru honorer sekolah dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang yang berjumlah 67 orang. Penelitian ini menggunakan total sampling yang berjumlah 67 guru honorer sekolah dasar. Data penelitian diambil menggunakan skala psychological well-being, dengan jumlah item 57 yang valid dengan koefisien alpha cronbach reliabilitasnya sebesar 0,950. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis data deskriptif dengan metode statistik deskriptif prosentase.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar atau 61,2 persen (41 orang) menyatakan dirinya memiliki psychological well-being pada kategori sedang. Sedangkan yang termasuk dalam kriteria tinggi hanya sebesar 7,5 persen persen (5 orang), dan kriteria rendah sebesar 31,3 persen (21 orang). Dari enam dimensi psychological well-being yang diteliti, yaitu dimensi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi berada pada kategori yang sedang.

Kesimpulan yang dapat dilihat pada gambaran secara umum di Kecamatan Wonotunggal, guru honorer sekolah dasar yang berada pada kategori sedang. Berarti dengan gaji yang rendah dimungkinkan psychological well-being guru honorer sekolah dasar di kecamatan Wonotunggal kabupaten Batang menjadi rendah juga.


(8)

PERNGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ... iii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 12

1.3 Tujuan Penelitian ... 12

1.4 Manfaat Penelitian ... 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 14

2.1 Psychological Well-Being ... 14

2.1.1 Pengertian Psychological Well-Being ... 14

2.1.2 Teori-Teori Psychological Well-Being ... 17


(9)

2.2. Guru Honorer ... 27

2.2.1 Pengertian Guru Honorer ... 27

2.2.2 Hak dan Kewajiban Guru Honorer... ... 28

2.3 Psychological Well-Being Guru Honorer Sekolah Dasar Di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang... 29

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 32

3.1 Jenis Penelitian ... 32

3.2 Desain Penelitian ... 33

3.3 Variabel Penelitian ... 33

3.3.1 Identifikasi Variabel Penelitian... ... 33

3.3.2 Definisi Operasional Variabel... ... 33

3.4 Populasi ... 34

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 35

3.6 Validitas dan Reliabilitas ... 40

3.6.1 Validitas ... 40

3.6.2 Reabilitas ... 40


(10)

4.1.1 Orientasi Kancah Penelitian ... 43

4.1.2 Proses Perijinan ... 44

4.2 Pelaksanaan Penelitian ... 44

4.2.1 Menyusun Instrumen Penelitian ... 44

4.2.2 Pengumpulan Data ... 45

4.2.3 Pelaksanaan Skoring ... 46

4.2.4 Hasil Validitas dan Reliabilitas Skala Psychological Well-Being ... 46

4.3 Analisis Hasil Penelitian ... 49

4.3.1 Analisis Deskriptif ... 49

4.3.1.1 Gambaran Psychological Well-being pada Guru Honorer Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang... 50

4.3.1.1.1 Gambaran Umum Psychological Well-being pada Guru Honorer Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang... 50

4.3.1.1.2 Gambaran Spesifik Psychological Well-Being pada Guru Honorer Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang Ditinjau dari Tiap Dimensi... 52

4.3.1.2 Ringkasan Analisis Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang Ditinjau Dari Masing-Masing Dimensi... ... 64

4.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang... 67


(11)

BAB

5 PENUTUP ... 84

5.1 Simpulan ... 84

5.2 Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 86


(12)

3.1 : Definisi-definisi Pedoman Teori Psychological Well-Being ... 37

3.2 : Kriteria dan Nilai Alternatif Jawaban Skala Psikologis ... 38

3.3 : Blue Print Skala Psychological Well-Being ... 38

4.1 : Skala Psychological Well-Being ... 47

4.2 : Interpretasi reliabilitas ... 49

4.3 : Penggolongan Kategori Analisis Berdasarkan Mean Teoritik ... 49

4.4 : Distribusi Umum Frekuensi Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar ... 51

4.5 : Distribusi Frekuensi Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Dimensi Penerimaan Diri ... 54

4.6 : Distribusi Frekuensi Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Dimensi Hubungan Positif Dengan Orang Lain ... 56

4.7 : Distribusi Frekuensi Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Dimensi Otonomi ... 57

4.8 : Distribusi Frekuensi Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Dimensi Penguasaan Lingkungan ... 59

4.9 : Distribusi Frekuensi Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Dimensi Tujuan Hidup ... 61

4.10 : Distribusi Frekuensi Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Dimensi Pertumbuhan Pribadi ... 63

4.11 : Komposisi Ringkasan Analisis Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Ditinjau Dari Masing-Masing Dimensi ... 64

4.12 : Perbandingan Mean Empirik Tiap Dimensi Psychological Well-Being ... 66

4.13 : Distribusi Umum Frekuensi Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Rentang Usia Antara 25-39... 68


(13)

Honorer Sekolah Dasar Jenis Kelamin Pria ... 73 4.16 : Distribusi Frekuensi Psychological Well-Being Pada Guru Honorer


(14)

4.1 : Diagram Gambaran Umum Psychological Well-Being... ... 52 4.2 : Diagram Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah

Dasar Dimensi Penerimaan Diri ... 54 4.3 : Diagram Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah

Dasar Dimensi Hubungan Positif Dengan Orang Lain ... 56 4.4 : Diagram Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah

Dasar Dimensi Otonomi... ... 58 4.5 : Diagram Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah

Dasar Dimensi Penguasaan Lingkungan ... 60 4.6 : Diagram Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah

Dasar Dimensi Tujuan Hidup ... 62 4.7 : Diagram Psychological Well-Being Pada Guru Honorer

Sekolah Dasar Dimensi Pertumbuhan Pribadi ... 64 4.8 : Diagram Analisis Psychological Well-Being Pada Guru Honorer

Sekolah Dasar ... 65 4.9 : Diagram Perbandingan Mean Empirik Tiap Dimensi

Psychological Well-Being ... 66 4.10 : Diagram Gambaran Umum Psychological Well-Being Pada Guru

Honorer Sekolah Dasar Rentang Usia Antara 25-35 Tahun... ... 69 4.11 : Diagram Gambaran Umum Psychological Well-Being Pada Guru

Honorer Sekolah Dasar Rentang Usia Antara 40-59... 71 4.12 : Diagram Gambaran Umum Psychological Well-Being Pada Guru

Honorer Sekolah Dasar Jenis Kelamin Pria ... 74 4.13 : Diagram Gambaran Umum Psychological Well-Being Pada


(15)

1 Instrumen Penelitian ... 90

2 Tabulasi Data ... 102

3 Hasil Uji ... 109

1. Hasil Uji Validitas Skala Psychological Well-Being ... 110

2. Hasil Uji Reliabilitas Skala Psychological Well-Being ... 115

4 Analisis Deskriptif... ... 116

1. Distribusi Statistik Deskriptif Instrumen... .... 117

2. Distribusi Statistik Frekuensi... ... 118


(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia senantiasa beperilaku dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Namun pencapaian kebutuhan setiap manusia berbeda-beda. Ada yang berhasil memenuhi kebutuhannya, namun ada pula yang belum bisa memenuhi kebutuhannya karena berbagai macam faktor penyebab.

Pencapaian kebutuhan tentunya akan membuat manusia menjadi bahagia dan kegagalan dalam mencapai kebutuhan juga bisa menimbulkan permasalahan meskipun tidak sedikit orang yang juga berhasil melewati kegagalannya dengan baik, hal ini terkait dengan kemampuan individu dalam menerima kenyataan.

Aristoteles (dalam Ryff, 1989: 1070) berpendapat bahwa pengertian bahagia bukanlah diperoleh dengan jalan mengejar kenikmatan dan menghindari rasa sakit, atau terpenuhinya segala kebutuhan individu, melainkan melalui tindakan nyata yang mengaktualisasikan potensi-potensi yang dimiliki individu. Hal inilah yang merupakan tugas dan tanggung jawab manusia sehingga merekalah yang menentukan apakah menjadi individu yang merasa bahagia, merasakan apakah hidupnya bermutu, berhasil, atau gagal.

Teori hirarki kebutuhan Maslow menjadi salah satu tolak ukur yang bisa digunakan dalam memahami kebutuhan manusia yang sangat beragam. Maslow menyusun teori kebutuhan dalam bentuk hirarki yang dimulai dari kebutuhan yang sangat mendasar bagi manusia, seperti kebutuhan makan, minum, dan


(17)

sebagainya hingga kebutuhan yang dianggap tertinggi yaitu kebutuhan aktualisasi diri (http://id.wikipedia.org/wiki/Abraham_Maslow).

Untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia secara berkelanjutan seperti makan, minum, dan sebagainya manusia dituntut untuk memiliki pekerjaan yang layak dan mapan agar dalam memenuhi kebutuhan itu tercukupi.

Kebutuhan-kebutuhan yang dimiliki oleh setiap individu tidak akan pernah berhenti sepanjang hidupnya. Dalam usahanya memenuhi kebutuhan hidup dan permasalahan yang dihadapi individu tersebut akan membuat individu mendapatkan pengalaman-pengalaman, baik pengalaman yang menyenangkan ataupun tidak menyenangkan, yang selanjutnya akan mengakibatkan kebahagiaan dan ketidakbahagiaan. Kebahagiaan dan tidak kebahagiaan itu juga disebut kesejahteraan psikologis atau psychological well-being (Halim & Atmoko, 2005).

Menurut Ryff (1989: 1970) tingkat psychological well-being seseorang berkaitan dengan tingkat pemfungsian positif yang terjadi dalam hidup orang tersebut. Dengan kata lain, psychological well-being seseorang akan berkaitan dengan psychological functioning atau kemampuan berfungsi secara psikologis orang tersebut dalam menjalani hidupnya. Ketika individu memiliki kondisi psychological well-being yang baik maka ia mampu berfungsi secara psikologis dengan baik.

Bila hal ini dispesifikasikan dengan dunia pekerjaan, maka tingkat psychological well-being seseorang akan berguna dalam komitmen individu, produktivitas kerja individu, target-target dalam pekerjaan hubungan dengan rekan kerja, serta penguasaan lingkungan kerja (Horn dkk, 2004: 367).


(18)

Orang dewasa menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan bekerja. Berbagai aktivitas yang terjadi ditempat kerja seperti rutinitas, supervisi, dan kompleksitas tugas mempengaruhi kemampuan kontrol seseorang sehingga ia mampu merasakan emosi dan persepsi yang positif mengenai tempat kerjanya. Penilaian yang positif ini merupakan indikator dari kesejahteraan. Kesejahteraan psikologis (psychological well-being) dapat diketahui dari ada atau tidaknya perasaan bahagia. Ketika seseorang menilai lingkungan kerja sebagai lingkungan yang menarik, menyenangkan, dan penuh dengan tantangan dapat dikatakan bahwa ia merasa bahagia dan menunjukkan kinerja yang optimal.

Pekerjaan yang banyak diminati oleh sebagian masyarakat Indonesia adalah bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dengan bekerja sebagai PNS mereka akan digaji oleh Negara, bahkan sudah pensiun pun masih tetap mendapatkan gaji. Maka dari itu kebanyakan masyarakat Indonesia memilih bekerja sebagai PNS karena mereka berpikiran hidupnya akan sejahtera.

Animo masyarakat yang tinggi dalam setiap penerimaan CPNS, baik yang sudah berstatus Pegawai Honorer sebelumnya ataupun yang baru melamar, mengindikasikan profesi tersebut masih begitu menjanjikan, sebagai sebuah asumsinya, menjadi CPNS akan menjadi titik aman, menerima uang pensiunan, mendapatkan gaji setiap bulan, dengan segala tunjangan keluarga, kesehatan, transportasi, dan hingga adanya gaji ke-13, dan akan lebih menjanjikan lagi apabila dihubungkan dengan kebijakan pemerintah yang meningkatkan gaji dan kesejahteraan PNS yang hampir setiap tahunnya, pantas saja jika profesi ini akan semakin banyak diminati. Tidak hanya dampak secara materi semata, namun


(19)

dampak dalam kehidupan bersosial, menjadi PNS biasanya status sosialnya meningkat, lebih percaya diri, dan sudah barang tentu lebih dihormati dalam kehidupan bermasyarakat.

Menurut KORAN SINDO pada hari Kamis, tanggal 24 April 2014, profesi pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi incaran nomor wahid masyarakat Indonesia. Tak heran, berjuta-juta pelamar selalu berebut posisi tersebut saat dibuka rekrutmen calon abdi masyarakat ini. Dari survei yang dilakukan Litbang KORAN SINDO, sebanyak 15% responden menyatakan mengidamkan menjadi PNS dalam hidupnya. Survei ini dilakukan terhadap penduduk Indonesia berusia 15-25 tahun. (m.koran-sindo.com/node/384472).

Salah satu pekerjaan PNS yang paling banyak diminati masyarakat Indonesia adalah bekerja sebagai guru. Dengan bekerja sebagai guru yang sudah diangkat menjadi PNS hidup mereka akan tercukupi. Apalagi guru yang sudah mendapatkan sertifikasi, gajinya bisa dikatakan lebih banyak dan bisa untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Menurut hasil survei Media Indonesia hari Selasa tanggal 9 November 2013, pekerjaan sebagai guru menduduki posisi kedua terbanyak pekerjaan yang paling diminati masyarakat Indonesia setelah Dokter. (forinsight.wordpress.com/2013/11/9/10-pekerjaan-tervaforit/)

Dengan adanya UU Guru dan Dosen, saat ini profesi guru pun mulai dilirik orang, karena UU ini menjanjikan perbaikan kesejahteraan bagi para guru yang profesional, yaitu tunjangan sebesar satu kali gaji pokok dan tambahan tunjangan fungsional (Permendiknas RI Nomor 18 Tahun 2007).


(20)

Disisi lain di Indonesia terdapat juga guru honorer yang statusnya belum Pegawai Negeri Sipil. Kebanyakan guru honorer di Indonesia belum memiliki kesejahteraan karena gajinya bisa dikatakan sangat sedikit yaitu antara RP. 200.000,00 sampai Rp. 500.000,00. Banyak guru di Indonesia yang belum diangkat menjadi PNS. Mereka kebanyakan hanya berperan menjadi Guru honorer yang digaji sangat sedikit. Hal ini sangat memprihatinkan karena dengan pendapatan gaji yang sedikit itu tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dari keadaan yang terjadi tersebut maka Guru honorer mengharapkan untuk diangkat menjadi PNS.

Menurut Ketua Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjamin Mutu Pendidikan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Syawal Gultom kepada harian Kompas pada hari Senin, tanggal 5 Maret 2012, bahwa jumlah guru honorer di Indonesia tahun 2012 mencapai 904.378 orang. (http://edukasi.kompas.com/2012/03/06/06420188/Guru.Honorer.Membengkak).

Guru honorer yang bekerja pada beberapa sekolah negeri maupun swasta, sampai saat ini belum memiliki standar gaji yang menitikberatkan pada bobot jam pelajaran, dan tanggung jawab masa depan siswanya. Banyak diantara mereka yang bekerja melebihi dari imbalan yang mereka terima. Dengan kata lain, insentif atau gaji yang mereka terima tidak sebanding dengan pekerjaan yang mereka laksanakan dan tanggung jawab yang mereka terima terhadap masa depan siswanya.

Berbeda kondisi dengan para guru yang telah diangkat statusnya menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Selain kenaikan gaji pokok, pemerintah juga


(21)

memberikan gaji bulan ke-13 bagi PNS dan pensiunan. Bahkan PNS yang berstatus guru, selain mendapatkan kenaikan gaji setiap tahunnya, mereka juga mendapatkan tunjangan perbaikan kesejahteraan bagi mereka yang sudah lolos sertifikasi.

Minimnya kesejahteraan guru honorer telah menyebabkan konsentrasi guru honorer terpecah menjadi beberapa sisi. Disatu sisi seorang guru harus menambah kapasitas akademis pembelajaran dengan terus memperbaharui dan berinovasi dengan media, metode pembelajaran, dan kapasitas dirinya. Disisi lain, seorang guru honorer dituntut memenuhi kesejahteraannya dengan melakukan usaha atau kegiatan lain seperti katering, bimbingan belajar, dan lain-lain.

Di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang memiliki cukup banyak guru honorer, khususnya guru honorer Sekolah Dasar, menurut kepala UPTD Kecamatan Wonotunggal memiliki 67 guru honorer di Sekolah Dasar. Dari hasil wawancara yang dilakukan pada 4 guru honorer sekolah dasar yang ada di kecamatan Wonotunggal pada hari Senin tanggal 22 Juli 2013, mereka rata-rata hanya digaji Rp. 250.000,00 per bulan. Ada juga yang digaji tiap jam pelajaran. Mereka mengatakan dengan gaji yang rendah tersebut membuat guru honorer mengalami beberapa hambatan dalam memenuhi kebutuhan fisik, seperti makanan dan tempat tinggal yang layak, serta mengalami akses untuk meningkatkan kemampuan, memuaskan minat, dan memelihara hubungan, dimana hal-hal tersebut dapat memberikan kepuasan terhadap kebutuhan psikologis mereka.


(22)

Ryan & deci (2001: 146) mengatakan, pemenuhan kebutuhan psikologis ini berkaitan dengan psychological well-being seseorang, dimana semakin terpenuhinya kebutuhan psikologis orang tersebut, maka psychological well-being-nya pun akan semakin meningkat. Oleh karena itu, uang dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting untuk dapat meningkatkan akses terhadap sumber-sumber penting dalam memperoleh kesenangan dan merealisasikan diri ( self-realization). Menurut Ryff dan Singer (dalam Ryan & Deci, 2001:146), perealisasian diri terhadap potensi yang sebenarnya dimiliki ini merupakan gambaran untuk mencapai psychological well-being.

Ryff kemudian mengemukakan adanya enam dimensi yang membangun psychological well-being seseorang. Dimensi yang Petama adalah penerimaan diri (self-acceptance), yaitu kepemilikan sikap yang positif terhadap diri. Kedua adalah hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), yaitu kemampuan seseorang untuk membina hubungan yang baik dengan orang lain. Ketiga adalah kemandirian (autonomy), yaitu kemampuan seseorang untuk mengambil keputusan bagi dirinya sendiri berdasarkan standart pribadi dan tidak bergantung pada pandangan orang lain. Keempat adalah penguasaan lingkungan (environmental mastery), yaitu kemampuan seseorang untuk memilih atau membentuk lingkungan yang sesuai dengan keadaan dirinya. Kelima adalah tujuan hidup (purpose in life), yaitu kepercayaan yang menimbulkan perasaan bahwa hidup itu berarti dan memiliki tujuan, dimensi yang terakhir adalah untuk pertumbuhan pribadi (personal growth), yaitu kemampuan untuk mengembangkan potensi diri (Ryff, 1989: 1070).


(23)

Penelitian mengenai psychological well-being dinilai penting untuk dilakukan karena tidak hanya memberikan manfaat yang bersifat teoritis, tetapi juga manfaat yang bersifat praktis. Meskipun demikian, penelitian mengenai psychological well-being pada guru honorer belum banyak dilakukan di Indonesia. Sebuah penelitian yang dianggap paling mendekati penelitian tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Sumule dan Taganing (2008) mengenai

“Psychological Well-Being pada Guru di Yayasan PESAT Nabire, Papua”, yaitu sebuah yayasan yang terletak diwilayah pedalaman Papua. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa sejumlah guru yang menjadi subjek dalam penelitian tersebut memiliki tingkat psychological well-being yang beragam. Hasil penelitian tersebut menunjukkan kondisi dimensi-dimensi psychological well-being yang beragam terutama dipengaruhi oleh faktor spiritualitas, pengalaman masa lalu, dan dukungan sosial. Selebihnya peneliti belum menemukan penelitian psychological well-being lain yang dilakukan terhadap guru honorer atau subjek lain yang serupa. Padahal, penelitian mengenai psychological well-being pada guru honorer dinilai dapat memberikan kontribusi terhadap kemajuan dunia pendidikan.

Penelitian yang dilakukan Ryff dkk. (dalam Ryan & Deci, 2001:154) menunjukan adanya pengaruh status sosial ekonomi terhadap tingkatan Psychological Well-being seseorang. Biasanya seseorang dengan status ekonomi yang rendah cenderung, memiliki Psychological Well-being yang rendah pula, khususnya pada dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, dan pertumbuhan pribadi. Hal ini kerena mereka sering membandingkan diri


(24)

sebagai orang yang lebih buruk dibandingkan orang lain dan merasa mereka tidak mampu untuk mengumpulkan sumber-sumber yang dapat membantu dalam menghadapi kelemahan mereka.

Dalam penelitian yang dipaparkan diatas menunjukan adanya pengaruh spiritualitas, pengalaman masa lalu, dukungan sosial budaya, dan status sosial ekonomi terhadap psychological well-being. Sayangnya, berbagai penelitian tersebut juga menunjukan hasil yang berbeda dan penelitian mengenai psychological well-being guru honorer di Indonesia belum banyak dilakukan. Namun, penelitian di Barat mengenai psychological well-being dan status social ekonomi ini menunjukan bahwa semakin rendah status sosial ekonomi seseorang, maka psychological well-being pun semakin rendah. Hal ini membuat peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai psychological well-being pada guru honorer sekolah dasar.

Penelitian ini difokuskan terhadap guru honorer sekolah dasar karena guru honorer yang mengajar di Sekolah Dasar dianggap memiliki beban kerja yang lebih berat daripada guru honorer di Sekolah Menengah Pertama atau Sekolah Menengah Atas. Dengan pendapatan yang relatif rendah, guru honorer Sekolah Dasar dituntut untuk mengerjakan hampir semua mata pelajaran sebagaimana guru yang telah berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil. Perbedaan beban kerja dengan jumlah pendapatan yang relatif sama dinilai akan berpengaruh terhadap psychological well-being guru honorer. Menurut salah satu guru yang ada di Purwokerto pada harian Pikiran Rakyat hari Sabtu tanggal 23 Agustus 2014:


(25)

Padahal guru honorer SD juga membutuhkan kesejahteraan. Sebab honor saya terima hanya dari sekolah. Sebulan yang saya terima hanya Rp. 300.000,00 saja sementara beban pekerjaan saya lebih besar dari pada guru SMP atau SMA.... (www.pikiran-rakyat.com/node/127787)

Sementara itu, Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang dipilih sebagai lokasi penelitian karena merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Batang dengan jumlah guru honorer sekolah dasar yang banyak, yaitu mencapai 67 guru honorer dengan 21 sekolah dasar terdapat rata-rata 2 sampai 3 guru honorer disetiap sekolah dasar.

Menurut studi pendahuluan awal yang dilakukan, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kehidupan yang dialami sebagian besar guru honorer Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal terbilang cukup berat dimana dengan gaji dibawah RP. 500.00,00 mereka belum merasa bahagia lantaran keadaan keluarganya pas-pasan, merasa terbebani dengan status sosialnya sekarang, merasa malu karena hanya sebagai guru honorer tetapi mereka berusaha bekerja demi menghidupi keluarganya, kurang harmonis, ada rasa iri ketika melihat guru yang sudah PNS karena gajinya yang lebih tinggi, dan mereka belum bisa mencapai apa yang mereka inginkan. Namun ada pula guru honorer yang merasa sudah cukup bahagia walaupun dengan keadaan serupa. Cara yang mereka pilih ketika menghadapi masalah atau keadaan tersebut beragam, diantaranya: ada yang merasa lega setelah bercerita pada teman, minta masukan pada seseorang yang berpengalaman, dan ada pula yang memilih untuk mendekatkan diri pada Allah.

Selain itu dari hasil studi pendahuluan dengan metode wawancara kepada 3 kepala sekolah dasar yang ada di kecamatan Wonotunggal, peneliti


(26)

mendapatkan informasi bagaimana keadaan psychological well-being guru honorer yang ada di kecamatan Wonotunggal. Dari hasil wawancara tersebut peneliti mendapatkan informasi kalau sebagian besar guru hororer SD di kecamatan Wonotunggal belum bisa menerima keadaan dirinya, belum bisa menerima berbagai aspek baik dan buruk, hal ini menunjukkan kalau dimensi penerimaan diri masih rendah. Selain itu sebagian guru honorer juga merasa kurang bisa menggunakan kesempatan secara efektif disekitarnya, belum bisa menguasai dan mengatur lingkungan tujuan, hal ini menunjukkan dimensi penguasaan lingkungan masih rendah. Dan yang terakhir sebagian besar guru honorer masih rendah dalam pertumbuhan pribadi, hal ini ditunjukkan dengan merasa jenuh dan tidak tertarik dengan kehidupan, serta tidak mampu mengembangkan sikap serta tingkah lakunya, dan tidak bisa mengembangkan potensi yang dimilikinya.

. Bagi guru honorer yang mampu melewati dan menghadapi masalah yang dihadapi dan berkompetensi mengatur lingkungan, maka akan mengarah pada kondisi psikologis yang positif dan terbentuklah kesejahteraan psikologis (psychological well-being) dalam dirinya. Jiwa yang sejahtera menggambarkan seberapa positif seseorang menghayati dan menjalani fungsi-fungsi psikologisnya. Peneliti psychological well-being, Ryff & Keyes (1995: 721) menyatakan, seseorang yang jiwanya sejahtera apabila ia tidak sededar bebas dari tekanan atau masalah mental yang lain. Lebih dari itu, ia juga memiliki penilaian positif terhadap dirinya dan mampu bertindak secara otonomi, serta tidak mudah hanyut oleh pengaruh lingkungan.


(27)

Dari hasil wawancara guru honorer dan beberapa kepala sekolah SD di Kecamatan Wonotunggal, menunjukkan bahwa sebagian besar guru honorer SD memiliki psychological well-being yang rendah, sedangkan dari informasi beberapa kepala sekolah menunjukkan kalau sebagian besar guru honorer di kecamatan Wonotunggal memiliki psychological well-being rendah juga.

Jika melihat tentang fenomena rendahnya kesejahteraan psikologis guru honorer Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal, kabupaten Batang seperti yang telah diuraikan diatas, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai: “Psychological Well-Being pada Guru Honorer Sekolah Dasar di Kecamatan

Wonotunggal, Kabupaten Batang”.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana tingkat psychological well-being guru honorer Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang?

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui tingkat psychological well-being guru honorer Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian diharapkan dapat memberikan tambahan pemikiran terhadap perkembangan teori keilmuan psikologi pada umumnya, dan keilmuan psikologi pendidikan dan psikologi sosial pada khususnya.


(28)

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini mengungkap tentang tingkat psychological well-being pada guru honorer. Dan diharapkan penelitian ini bisa memberikan kontribusi yang yang nyata pada dunia pendidikan. Khususnya dapat memberikan masukan yang positif kepada pemerintah di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang untuk lebih memperhatikan nasib dan mensejahterakan guru honorer. Sehingga kehidupan guru honorer layak dan sejahtera, dan psychological well-being guru honorer dapat meningkat.


(29)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Psychological Well-Being

2.1.1 Pengertian Psychological Well-Being

Psychological Well-being merupakan suatu gambaran kualitas kehidupan dan kesehatan mental yang dimiliki seseorang. Para ahli psikologi mengemukakan bahwa penelitian mengenai kebahagiaan dan ketidakbahagiaan dikenal sebagai psychological well-being. Psychological Well-being sendiri memiliki banyak definisi dari masing-masing tokoh psikologi.

Menurut Stern (2007: 40) konsep psychological well-being adalah konsep yang secara kontemporer banyak dikembangkan dari konsep utamanya yakni

“Well-Being”. Secara umum, psychological well-being digunakan sebagai hasil dalam studi penelitian secara empiris.

Ryff dan Singer (2002: 542) mendefinisikan psychological well-being sebagai hasil evaluasi/penilaian individu terhadap dirinya yang merupakan evaluasi atas pengalaman-pengalaman hidupnya. Evaluasi terhadap pengalaman akan dapat menyebabkan individu menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat kesejahteraan psikologis menjadi rendah atau berusaha memperbaiki keadaan hidupnya yang akan membuat kesejahteraan psikologisnya meningkat.

Ryan & Deci (dalam Stern 2007: 40) mengidentifikasi dua pendekatan pokok untuk memahami well-being. Pertama difokuskan pada kebahagiaan,


(30)

dengan memberi batasan dengan “batas-batas pencapaian kebahagiaan dan mencegah dari kesakitan”. Fokus yang kedua adalah batasan menjadi orang yang fungsional secara keseluruhan / utuh, termasuk cara berfikir yang baik dan fisik yang sehat.

Definisi psychological well-being yang berkembang selama ini ada dua. Definisi pertama berdasarkan pendapat Bradburn (Ryff, 1989: 1069), berdasarkan penelitian yang dilakukan Bradburn untuk meneliti perubahan sosial pada level makro (perubahan yang terjadi akibat tekanan politik, urbanisasi, pekerjaan, dan pendidikan), serta rujukan Bradburn pada buku terkenal karangan Aristoteles yang berjudul “Nichomachean Ethics”. Ia menerjemahkan kesejahteraan psikologis (psychological well-being) menjadi kebahagiaan (happines). Dalam Nichomachean Ethics dijelaskan bahwa tujuan tertinggi yang ingin diraih individu adalah kebahagiaan. Kebahagiaan berdasarkan pendapat Bradburn berarti adanya keseimbangan afek positif dan negatif.

Pendapat Bradburn tersebut ditentang oleh Waterman (Ryff, 1989: 1070). Waterman merujuk pada kata yang sama dengan yang digunakan Bradburn dalam buku Nichomachean Ethics, yaitu “Eudaimonia”. Ia menerjemahkan kata tersebut sebagai usaha individu untuk memberikan arti dan arah dalam kehidupan. Dapat disimpulkan bahwa eudaimonia adalah realisi potensi-potensi yang ada dalam individu.

Ryff (1989: 1070) mencoba merumuskan pengertian psychological well-being bahwa individu berusaha berpikir positif tentang dirinya meskipun sadar akan keterbatasan-keterbatasan dirinya (penerimaan diri). Individu tersebut juga


(31)

mencoba mengembangkan dan menjaga kehangatan dan rasa percaya dalam hubungan interpersonal (hubungan positif dengan orang lain) dan membentuk lingkungan mereka, sehingga kebutuhan pribadi (personal needs) dan keinginannya dapat terpenuhi (penguasaan lingkungan). Ketika mempertahankan individualitas dalam konteks sosial makro, individu juga mengembangkan self determination dan kewibawaan (otonomi). Upaya yang paling penting adalah menemukan makna dari tantangan yang telah dilalui dari upaya-upaya yang dilakukan dalam menghadapinya (tujuan hidup). Terakhir, mengembangkan bakat dan kemampuan secara optimal (pertumbuhan pribadi) merupakan paling utama dalam psychological well-being.

Diener (dalam Leddy, 2006: 140) mengemukakan bahwa psychological well-being adalah evaluasi manusia secara kognitif dan afektif terhadap kehidupan yang menjadi komponen kualitas hidup seseorang. Persepsi dari kesehatan dipengaruhi oleh kesejahteraan yang terdiri dari pengaruh positif, pengaruh negatif, dan kepuasan hidup.

Latipun (2005: 3) mengungkapkan bahwa orang yang memiliki psychological well-being yang tinggi juga disebut sebagai orang yang memiliki mental yang sehat. Sehat (health) adalah konsep yang tidak mudah diartikan sekalipun dapat dirasakan dan diamati keadaanya. World Health Organization (WHO) dalam bukunya Latipun (2005: 3) merumuskan dalam cakupan yang sangat luas tentang konsep sehat, yaitu “keadaan yang sempurna baik fisik, mental maupun sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan/cacat”.


(32)

Pengertian kesehatan yang dikemukakan WHO merupakan suatu keadaan ideal, dari sisi biologis, psikologis, sosial.

Berdasarkan beberapa definisi diatas, maka peneliti mengambil kesimpulan bahwa kesejahteraan psikologis (psychological well-being) adalah suatu keadaan dimana individu mampu menerima keadaan dirinya, mampu membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, mampu mengontrol lingkungan, memiliki kemandirian, memiliki tujuan hidup dan mampu mengembangkan bakat serta kemampuan untuk perkembangan pribadi.

2.1.2 Teori-Teori Psychological Well-Being

Dalam bagian ini dijelaskan mengenai model psychological well-being yang dikemukakan oleh beberapa ahli yaitu teori Ryff mengenai enam dimensi psychological well-being, model pendekatan kesejahteraan Oishi mengenai kebudayaan dan dukungan sosial, serta model kesejahteraan Marcus dan Kitayama mengenai psikologi kebudayaan. Penjelasan secara lebih rinci akan dijelaskan sebagai berikut :

2.1.2.1 Model Psychological Well-Being Ryff

Ryff (1989: 1070) menyarankan bahwa keberfungsian psikologis seharusnya dinilai dalam pola-pola yang terkonsep. Enam dimensi kunci yang memulai titik konsep untuk instrumen penilaian perkembangan manusia tersebut adalah sebagai berikut:

1. Penerimaan diri. Indikatornya adalah Memiliki perilaku positif pada diri seperti mengakui dan menerima berbagai aspek diri, termasuk kualitas baik dan buruk, dan perasaan positif dengan kehidupan yang dijalani.


(33)

2. Hubungan positif dengan orang lain. Indikatornya adalah Mempunyai hubungan yang hangat dan intim dengan orang lain, dapat dipercaya orang lain, memperhatikan kesejahteraan orang lain, dan empati

3. Otonomi (kemandirian). Indikatornya Menentukan diri dan mandiri, mampu menghadapi tekanan sosial, mengatur tingkah laku sendiri, dan mengevaluasi diri dengan patokan sendiri.

4. Penguasaan lingkungan. Indikatornya adalah Memiliki perasaan menguasai dan mampu mengatur lingkungan, mengontrol kegiatan luar yang kompleks, menggunakan secara efektif kesempatan disekitarnya.

5. Tujuan hidup. Indikatornya adalah Memiliki tujuan hidup dan arah hidup, dan merasakan adanya makna dalam hidup masa kini dan masa lampau. 6. Pertumbuhan pribaadi. Indikatornya adalah Merasakan adanya

pengembangan potensi yang berkelanjutan, terbuka pada pengalaman baru, menyadari potensi diri, dan melihat peningkatan dalam diri dan perilaku dari waktu ke waktu.

2.1.2.2. Teori Pendekatan Kesejahteraan Oishi

Oishi (dalam Leddy, 2006: 143) beranggapan bahwa menandai kesejahteraan seperti kemandirian mengubah individu secara tepat bergantung pada cita-cita dan nilai-nilai.

values, which are guiding principles in life, are considered higher order goals. Lower order goals include personal strivings, which are defined as the activities done in daily life. Oishi assums that markers of well-being (e.g., autonomy) varu across individuals, depending on


(34)

Nilai-nilai yang menuntun prinsip-prinsip hidup dan menganggap cita-cita yang diinginkan lebih tinggi. Cita-cita yang diinginkan lebih rendah termasuk kerja keras pribadi, yang didefinisikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Pembelajaran Oishi menemukan perbedaan dalam menghubungkan dengan kesejahteraan. Hasil yang menggambarkan keberfungsian yang baik individu yang menunjukan beragam sistematika kebudayaan yang mengindikasikan bahwa perbedaan kebudayaan dan lingkungan sosial memiliki perbedaan cara-cara tingkah laku, menilai, dan bersikap yang cocok dengan penyesuaian fakta-fakta dimasyarakat. Ini berarti, teori-teori konteks sosial dari kesejahteraan perlu untuk dikembangkan yang didasarkan pada pemahaman yang jelas tentang pola-pola kebudayaan dalam membentuk kesejahteraan perasaan individu.

2.1.2.3.Model Kesejahteraan Marcus dan Kitayama

Marcus dan Kitayama mengutarakan bahwa ”Based on cultural

psychology, maintains that the nature of “good feelings” differs from culture to culture, depending on each culture’s view of the self” (dalam Leddy, 2006: 143).

Model keseahteraan Marcus dan Kitayama (dalam Leddy, 2006: 143) didasarkan pada psikologi kebudayaan, yang mempertahankan bahwa sifat dasar dari “good feelings” berbeda dari kebudayaan ke kebudayaan, bergantung pada pandangan masing-masing kebudayaan tentang diri.

Baik model kesejahteraan Marcus dan Kitayama maupun model pendekatan Oishi memperkirakan ragam kebudayaan dalam menentukan perasaan


(35)

kesejahteraan. Tetapi ada perbedaan penting masing-masing model pendekatan dengan pola kebudayaan. Marcus dan Kitayama menyarankan kebudayaan menentukan penerimaan tingkah laku, dan ketika individu mengikuti tingkah laku tersebut mereka merasa puas. Model ini tidak menyarankan banyak ragam individu yang didalamnya ada kebudayaan yang sama. Di lain pihak, model pendekatan Oishi menyarankan bahwa kebudayaan mempengaruhi cita-cita individu tersebut dan puas dengan kehidupan yang meningkat karena mereka bergerak, kearah cita-cita yang meraka inginkan. Model ini juga membolehkan perbuatan individu dalam sumber-sumber kesejahteraan dalam sebuah kebudayaan.

2.1.3 Dimensi Psychological Well-Being

Dalam bagian ini diterangkan mengenai dimensi-dimensi psychological well-being menurut Ryff dalam (Blechman & Brownell 1998: 184) yang terdiri dari enam dimensi yaitu dimensi penerimaan diri, dimensi hubungan positif dengan orang lain, dimensi otonomi (kemandirian), dimensi penguasaan lingkungan, dimensi tujuan hidup, serta dimensi pertumbuhan pribadi.

2.1.3.1 Penerimaan diri (self-acceptance)

Sikap positif terhadap diri sendiri dan merupakan ciri penting dari psychological well-being. Skor tinggi pada dimensi ini menunjukkan bahwa individu memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek diri termasuk kualitas baik dan buruk, dan merasa positif tentang kehidupan yang telah dijalani. Skor rendah menunjukkan individu merasa tidak puas dengan diri sendiri, merasa kecewa terhadap kehidupan yang dijalani,


(36)

mengalami kesukaran karena sejumlah kualitas pribadi dan ingin menjadi orang yang berbeda dari dirinya saat ini.

Dimensi ini dicirikan dengan aktualisasi dan dapat berfungsi secara optimal, kedewasaan, dan penerimaan kehidupan yang dilewati. Faktor-faktor dalam aspek ini mencakup evaluasi diri yang positif, penerimaan diri, dan orang lain.

2.1.3.2 Hubungan positif dengan orang lain (positive relationship with others) Kemampuan seseorang dalam membina hubungan yang hangat dengan orang lain. Seseorang yang memiliki psychological well-being yang baik digambarkan sebagai seseorang yang mempunyai empati dan bersahabat. Faktor-faktor dalam dimensi ini mencakup hubungan yang dekat, hangat, dan intim dengan orang lain, membangun kepercayaan dalam suatu hubungan, memiliki rasa empati, dan perhatian kepada orang lain.

Dimensi hubungan positif dengan orang lain dapat dioperasionalisasikan ke dalam tinggi rendahnya kemampuan seseorang dalam membina hubungan yang hangat dengan orang lain. Skor tinggi menunjukkan individu mempunyai hubungan yang hangat, saling percaya dengan orang lain, memperhatikan kesejahteraan orang lain, dan mampu melakukan empati yang kuat. Skor rendah menunjukkan individu hanya mempunyai sedikit hubungan yang dekat dan saling percaya dengan orang lain, merasa kesulitan untuk bersikap hangat, terbuka, dan memperhatikan orang lain, merasa terasing dan frustasi dalam hubungan interpersonal, tidak bersedia menyesuaikan diri mempertahankan hubungan yang penting dengan orang lain.


(37)

2.1.3.3 Otonomi (autonomy)

Kemampuan untuk menentukan tindakan sendiri. Hal ini berkaitan dengan kemampuan untuk mengarahkan diri sendiri, kemandirian, dan kemampuan mengatur tingkah laku. Faktor-faktor dalam dimensi ini mencakup kemandirian, self determined kemampuan untuk melawan atau menghadapi tekanan sosial, dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku.

Konsep otonomi berkaitan dengan kemampuan untuk mengarahkan diri sendiri, kemandirian, dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku. Skor tinggi menunjukkan bahwa individu mampu mengarahkan diri dan mandiri, mampu menghadapi tekanan sosial, mengatur tingkah laku sendiri dan mengevaluasi diri dengan standar pribadi. Skor rendah menunjukkan bahwa individu memperhatikan pengharapan dan evaluasi orang lain, bergantung pada penilaian orang lain dalam membuat keputusan, menyesuaikan diri terhadap tekanan sosial dalam berfikir dan bertingkah laku.

2.1.3.4 Penguasaan lingkungan (environmental mastery)

Kemampuan individu untuk memilih atau mengubah lingkungan sehingga sesuai dengan kebutuhannya. Faktor-faktor dalam dimensi ini mencakup memiliki kemampuan untuk mengatur dan memilih lingkungan yang kondusif untuk mencapai tujuan.

Skor tinggi menyatakan bahwa individu mempunyai sense of mastery dan mampu mengatur lingkungan, mengontrol berbagai kegiatan eksternal yang kompleks, dan menggunakan kesempatan yang ada secara efektif. Skor rendah menunjukkan bahwa individu mengubah atau meningkatkan konteks di sekitar,


(38)

tidak waspada akan kesempatan-kesempatan yang ada di lingkungan, dan kurang mempunyai kontrol terhadap dunia luar.

2.1.3.5 Keyakinan memiliki tujuan hidup (purpose in life)

Kemampuan pemahaman seseorang akan tujuan dan arah hidupnya. Faktor-faktor dalam Dimensi ini mencakup memiliki makna dan arti hidup, serta memiliki arah dan tujuan hidup.

Dimensi tujuan hidup dapat dioperasionalisasikan dalam tinggi rendahnya pemahaman individu akan tujuan dan arah hidupnya. Skor tinggi menyatakan bahwa individu mempunyai tujuan dan arah hidup, merasakan adanya arti / makna dalam hidup masa kini dan masa lampau. Individu yang berfungsi secara positif memiliki tujuan, misi, dan arah yang mebuatnya merasa hidup ini memiliki makna. Skor rendah menunjukkan bahwa individu kurang mempunyai arti hidup, tujuan, arah hidup dan cita-cita yang jelas, serta tidak melihat adanya tujuan dari kehidupan masa lalu.

2.1.3.6 Pertumbuhan pribadi (personal growth)

Kemampuan seseorang untuk mengembangkan potensi diri secara berkelanjutan. Faktor-faktor dalam dimensi ini mencakup kapasitas untuk bertumbuh dan mengembangkan potensi, perubahan personal atau pribadi sepanjang hidup yang mencerminkan pengetahuan diri dan efektivitas yang bertambah, keterbukaan terhadap pengalaman-pengalaman baru, dapat menerima kenyataan, mampu membela diri, dan menghargai diri sendiri.

Dimensi pertumbuhan pribadi dapat dioperasionalisasikan dalam tinggi rendahnya kemampuan seseorang untuk mengembangkan potensi diri secara


(39)

berkelanjutan. Skor yang tinggi menunjukkan bahwa individu merasakan adanya pengembangan potensi diri yang berkelanjutan, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, menyadari potensi diri, dan dapat melihat kemajuan diri dari waktu ke waktu. Skor yang rendah menunjukkan bahwa individu tidak merasakan adanya kemajuan dan potensi diri dari waktu ke waktu, merasa jenuh dan tidak tertarik dengan kehidupan, serta merasa tidak mampu untuk mengembangkan sikap atau tingkah laku baru.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dimensi psycholohgical well-being meliputi 6 dimensi, yaitu: penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, keyakinan memiliki tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.

2.1.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being

Melalui berbagai penelitian yang dilakukan, Ryff (1989: 1070) menemukan bahwa faktor-faktor demografis seperti usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan budaya mempengaruhi perkembangan psychological well-being seseorang.

Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being dapat dijelaskan sebegai berikut:

2.1.4.1 Usia

Perbedaan rentang usia berdasarkan data yang didapatkan dari penelitian Ryff menunjukan akan penguasaan lingkungan dan otonomi (kemandirian) seiring dengan perbandingan usia yaitu antara usia 25-39, usia 40-59, dan 60-74. Tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi, secara jelas, menunjukan penurunan seiring


(40)

dengan bertambahnya usia. Sedangkan dari sisi penerimaan diri dan hubungan positif dengan orang lain menunjukan variasi skor kesejahteraan berdasarkan usia. 2.1.4.2 Jenis Kelamin

Merupakan adanya suatu perbedaan gender pria atau wanita. Faktor jenis kelamin menunjukan perbedaan yang signifikan pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi dimana wanita menunjukan angka kesejahteraan yang lebih tinggi dari pada pria.

2.1.4.3Status sosial ekonomi

Adanya perbedaan status ekonomi maupun perbedaan status pekerjaan memicu terbentuknya kelas-kelas sosial. Hal ini akan mempengaruhi seberapa baik kondisi psikis seseorang dalam menjalani hidup. Perbedaan status sosial juga mendukung seberapa mandiri seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup. Hasil penelitian Ryff (dalam Leddy, 2006: 143) menunjukan bahwa orang dengan status pekerjaan yang tinggi memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi, serta kesejahteraan psikologis meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan seseorang.

2.1.4.4 Budaya

Menurut Ryff & Keyes (1995: 720) mengatakan bahwa sistem nilai individualisme-kolektivisme memberi dampak terhadap psychological well-being yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya timur yang menjunjung tinggi nilai kolektivisme, memiliki skor yang tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain.


(41)

2.1.5 Dinamika Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being Penelitian yang dilakukan, Ryff (1989: 1070) menemukan bahwa faktor-faktor demografis seperti usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi dan budaya mempengaruhi perkembangan psychological well-being seseorang.

Perbedaan rentang usia berdasarkan data yang didapatkan dari penelitian Ryff menunjukan akan penguasaan lingkungan dan otonomi (kemandirian) seiring dengan perbandingan usia yaitu antara usia 25-39, usia 40-59, dan 60-74. Tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi, secara jelas, menunjukan penurunan seiring dengan bertambahnya usia. Sedangkan dari sisi penerimaan diri dan hubungan positif dengan orang lain menunjukan variasi skor kesejahteraan berdasarkan usia. Adanya suatu perbedaan gender pria atau wanita. Faktor jenis kelamin menunjukan perbedaan yang signifikan pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi dimana wanita menunjukan angka kesejahteraan yang lebih tinggi dari pada pria.

Perbedaan status ekonomi maupun perbedaan status pekerjaan memicu terbentukya kelas-kelas sosial. Hal ini akan mempengaruhi seberapa baik kondisi psikis seseorang dalam menjalani hidup. Perbedaan status sosial juga mendukung seberapa mandiri seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup. Hasil penelitian Ryff (dalam Leddy, 2006: 143) menunjukan bahwa orang dengan status pekerjaan yang tinggi memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi, serta kesejahteraan psikologis meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan seseorang. Status pekerjaan yang tinggi atau tingginya tingkat pendidikan seseorang


(42)

menunjukan bahwa individu memiliki faktor pengaman (misalnya: uang, ilmu, dan keahlian) dalam hidupnya untuk menghadapi masalah, tekanan dan tantangan. Sistem nilai individualisme-kolektivisme memberi dampak terhadap psychological well-being yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya timur yang menjunjung tinggi nilai kolektivisme, memiliki skor yang tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain.

2.2 GURU HONORER

2.2.1 Pengertian Guru Honorer

Dalam pengertian sederhana, guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didiknya. Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan ditempat-tempat tertentu, tidak mesti dilembaga pendidikan formal tetapi bisa juga di lembaga pendidikan nonformal seperti masjid, surau, dirumah dan sebagainya (Djamarah, 2000: 34).

Sedangkan guru honorer adalah guru tidak tetap yang belum berstatus minimal sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), dan digaji per-jam pelajaran. Seringkali mereka digaji secara sukarela, dan bahkan di bawah gaji minimum yang telah ditetapkan secara resmi. Secara kasat mata, mereka sering nampak tidak jauh berbeda dengan guru tetap, bahkan mengenakan seragam Pegawai Negeri Sipil layaknya seorang guru tetap. Hal tersebut sebenarnya sangat menyalahi aturan yang telah ditetapkan pemerintah. Secara fakta, mereka berstatus pengangguran terselubung. Pada umumnya, mereka menjadi tenaga sukarela demi diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil melalui jalur


(43)

honorer, ataupun sebagai penunggu peluang untuk lulus tes Calon Pegawai Negeri Sipil formasi umum. (http://id.wikipedia.org/wiki/Guru)

2.2.2 Hak dan Kewajiban Guru Honorer

Ada beberapa hak yang dapat diterima oleh guru honorer (Mulyasa, 2006: 52) yaitu :

a. Honorarium perbulan

b. Cuti berdasarkan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan c. Perlindungan hukum

Ada beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang guru honorer (Mulyasa, 2006: 53), yaitu :

a. Melaksanakan tugas mengajar, melatih, membimbing dan unsur pendidikan lainnya kepada peserta didik sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

b. Melaksanakan tugas-tugas administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku c. Mematuhi segala ketentuan yang berlaku disekolah tempat tugasnya.

d. Mematuhi ketentuan yang diatur dalam Surat Perjanjian Kerja (SPK).

Keputusan Gubernur nomor 8 tahun 2004 guru honorer berhak mendapatkan gaji. Gaji adalah hak yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemerintah daerah kepada guru honorer. Gaji yang diberikan sesuai dengan jenis kedudukannya. Guru honorer dapat diberikan kesejahteraan yang bersifat materiil dan non materiil. Kesejahteraan yang bersifat materil adalah tunjangan profesi, tunjangan transport dan uang makan, tunjangan kecelakaan apabila mengalami kecelakaan pada saat melaksanakan tugas, uang


(44)

duka terhadap keluarga guru yang meninggal dunia dan pakaian dinas. Kesejahteraan

2.3

Psychological Well-Being

Guru Honorer Sekolah Dasar Di

Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang

Sesuai dengan tugas perkembangannya, seorang individu dewasa harus memiliki pekerjaan. Pada saat sekarang ini untuk mendapatkan suatu pekerjaan sangatlah sulit karena jumlah lapangan pekerjaan yang lebih sedikit dibandingkan dengan pencari kerja. Untuk mendapatkan pekerjaan setiap individu harus berusaha dengan keras karena persaingan untuk mendapatkan pekerjaan sangatlah ketat. Oleh karena itu diperlukan keterampilan yang baik untuk memenangkan persaingan tersebut. Sekarang ini masih banyak guru yang hanya menjadi guru honorer. Guru honorer diangkat secara resmi oleh pemerintah untuk mengatasi kekurangan guru. Fasilitas yang diperoleh oleh guru honorer tidak sama dengan yang diperoleh oleh guru tetap. Selain itu status kepegawaiannya pun juga belum jelas karena hanya dikontrak saja. (Anoraga, 2001: 41).

Selain itu gaji yang diterima guru honorer juga terbilang rendah sehingga menyebabkan guru honorer kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Kekurangan materi ini membuat orang-orang yang mengalaminya mendapat kesulitan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, seperti kebutuhan pangan, pendidikan, kesehatan, perumahan yang layak, air bersih, rasa


(45)

aman dari perlakuan dan ancaman tindak kekerasan, dan lain sebagainya (Sahdan, 2005).

Menurut studi pendahuluan awal terlihat kondisi tersebut terlihat pada guru honorer sekolah dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang. Kehidupan guru honorer terbilang cukup berat sekali dimana dengan gaji dibawah RP. 500.00,00 mereka belum merasa bahagia lantaran keadaan keluarganya pas-pasan, merasa terbebani dengan status sosialnya sekarang, merasa malu karena hanya sebagai guru honorer tetapi mereka berusaha bekerja demi menghidupi keluarganya.

Penelitian yang dilakukan Ryff dkk. (dalam Ryan & Deci, 2001: 154) menunjukan adanya pengaruh status sosial ekonomi terhadap tingkatan psychological well-being seseorang. Biasanya seseorang dengan status ekonomi yang rendah cenderung , memiliki psychological well-being yang rendah pula, khususnya pada dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, dan pertumbuhan pribadi. Hal ini kerena mereka sering membandingkan diri sebagai orang yang lebih buruk dibandingkan orang lain dan merasa mereka tidak mampu untuk mengumpulkan sumber-sumber yang dapat membantu dalam menghadapi kelemahan mereka.

Hasil penelitian Ryff (dalam Leddy, 2006: 143) menunjukan bahwa orang dengan status pekerjaan yang tinggi memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi, serta kesejahteraan psikologis meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan seseorang. Status pekerjaan yang tinggi atau tingginya tingkat pendidikan seseorang menunjukan bahwa individu memiliki faktor pengaman


(46)

(misalnya: uang, ilmu, dan keahlian) dalam hidupnya untuk menghadapi masalah, tekanan dan tantangan.


(47)

BAB 3

METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah masalah yang penting dan syarat utama dalam pelaksanaan suatu penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah merupakan kegiatan yang bertujuan untuk atau berusaha menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan dengan menggunakan cara-cara ilmiah dan metode tertentu yang sistematik.

Penggunaan metode penelitian harus tepat dan mengarah pada tujuan penelitian, serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, khususnya untuk menjawab permasalahan yang diajukan. Bab 3 ini akan dijelaskan mengenai jenis, desain penelitian, variabel penelitian yang meliputi identifikasi variabel, definisi operasional variabel, subjek yang meliputi populasi, metode pengumpulan data, validitas, reliabilitas dan metode analisis data.

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Menurut Arikunto (2010: 27) penelitian kuantitatif yaitu jenis pendekatan penelitian yang banyak dituntut menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data tersebut serta penampilan dari hasil. Hasil penelitian dengan pendekatan kuantitatif menjadi lebih baik apabila disertai dengan tabel, grafik, bagan, gambar, atau tampilan lain yang dapat menjelaskan gambaran di lapangan secara ringkas namun jelas dan mudah dipahami.


(48)

3.2 Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah desain penelitian deskriptif prosentase (Azwar, 2012: 7) yang bertujuan untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dan karakteristik mengenai populasi atau bidang tertentu. Penyajian hasil analisis penelitian deskriptif dalam penelitian ini berupa frekuensi dan persentase, yaitu dengan menggunakan tabel frekuensi dan grafik untuk memberikan kejelasan serta pemahaman keadaan data yang disajikan (Azwar, 2012: 126).

3.3 Variabel Penelitian

3.3.1 Identifikasi Variabel Penelitian

Arikunto (2010: 161) menyatakan bahwa variabel adalah objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian. Identifikasi variabel merupakan langkah penetapan variabel-variabel utama dalam penelitian dan fungsi masing-masing variabel Azwar (2010: 61). Pengidentifikasian membantu dalam menemukan alat pengumpulan data dan teknik analisis yang digunakan. Variabel yang diteliti harus sesuai dengan permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian. Adapun variabel pada penelitian ini adalah psychological well-being.

3.3.2 Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional adalah suatu definisi mengenai variabel yang dirumuskan berdasarkan karakteristik-karakteristik variabel tersebut yang diamati (Azwar, 2010:74). Definisi operasional variabel digunakan untuk menghindari salah pengertian terhadap variable-variabel penelitian serta menghindari


(49)

ambiguitas arti suatu variabel penelitian dan memudahkan peneliti dalam pelaksanaan penelitian maupun dalam proses analisisnya.

Psychological well-being adalah suatu keadaan dimana individu mampu menerima keadaan dirinya, mampu membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, mampu mengontrol lingkungan, memiliki kemandirian, memiliki tujuan hidup dan mampu mengembangkan bakat serta kemampuan untuk perkembangan pribadi. Dalam penelitian ini, psycholagical well-being akan diukur menggunakan alat ukur yang berupa skala psychological well-being melalui beberapa dimensi-dimensi tersebut antara lain penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.

3.4 Populasi

Menurut Azwar (2010: 77) populasi adalah sekelompok subjek yang akan dikenai generalisasi hasil penelitian. Arikunto (2010: 173) mendefinisikan populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Populasi menunjukan sejumlah individu-individu yang mempunyai ciri dan karakter yang sama.

Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah guru honorer SD di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang. Populasi ini merujuk pada sejumlah individu yang paling sedikitnya mempunyai sifat atau karakteristik yang sama. Untuk menentukan populasi, terlebih dahulu perlu ditentukan luas dan karakteristik populasi serta memberikan batas yang tegas agar tidak terjadi kesimpangsiuran dan kesalahpahaman generalisasi hasil penelitian.


(50)

Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode total sampling dikarenakan jumlah subjek penelitian kurang dari 100, maka keseluruhan populasi akan digunakan sebagai subjek penelitian menjadi penelitian populasi. (Arikunto, 2006: 134).

3.5 Metode Pengumpulan Data

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala psikologi. Skala psikologi selalu mengacu pada alat ukur aspek atau atribut afektif. Sebagai alat ukur, skala memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dengan alat ukur yang lain, karakteristik skala sebagai alat ukur psikologi.

Data akan dikumpulkan melalui skala psikologis. Skala psikologis selalu mengacu kepada alat ukur aspek atau atribut afektif. Skala terdiri dari daftar pertanyaan atau pernyataan yang diajukan agar dijawab oleh responden dan interpretasi jawaban responden dapat merupakan proyeksi dari perasaan responden.

Alasan peneliti menggunakan skala psikologi sebagai metode pengumpulan data adalah sebagai berikut:

(1). Data yang diungkap berupa konstrak atau konsep psikologi yang menggambarkan kepribadian individu.

(2). Pertanyaan sebagai stimulus tertentu pada indikator perilaku guna memancing jawaban yang merupakan refleksi keadaan dari diri subjek yang tidak disadari oleh responden.

(3). Responden tidak menyadari arah jawaban yang dikehendaki dan kesimpulan apa yang sesungguhnya diungkap oleh pertanyaan tersebut (Azwar , 2005: 5).


(51)

Azwar (2005: 3) menyebutkan karakteristik skala sebagai alat ukur psikologi, yaitu:

(1). Stimulus berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung mengungkap atribut yang hendak diukur melainkan mengungkap indikator perilaku dari atribut yang bersangkutan. Dalam hal ini, meskipun subjek yang diukur memahami pertanyaan atau pernyataan namun tidak mengetahui arah jawabannya yang dikehendaki oleh pertanyaan yang diajukan sehingga jawaban yang diberikan akan tergantung pada interpretasi subjek terhadap pertanyaan tersebut dan jawabannya lebih bersifat proyektif, yaitu berupa proyeksi diri perasaan atau kepribadiannya.

(2). Atribut psikologi diungkap secara tidak langsung lewat indikator-indikator perilaku tetapi indikator perilaku diterjemahkan dalam bentuk item-item, maka skala psikologi selalu berisi banyak item. Jawaban subyek terhadap suatu item baru merupakan sebagian dari banyak indikasi mengenai atribut yang diukur, sedangkan kesimpulan akhir sebagai suatu diagnosis baru dapat dicapai bila semua item telah direspons.

(3). Respons subjek tidak diklasifikasikan sebagai jawaban “benar” atau “salah”. Semua jawaban dapat diterima sepanjang diberikan secara jujur dan sungguh-sungguh. Hanya saja, jawaban yang berbeda akan diinterpretasikan berbeda pula.

Penelitian ini menggunakan try out terpakai dimana hasil uji coba instrumen sekaligus digunakan sebagai data penelitian. Hal ini dikarenakan


(52)

memiliki keunggulan dalam hal efisiensi dan kepraktisan, disamping itu juga mempertimbangkan jumlah subjek dan waktu penelitian.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan skala psychological well-being. Skala ini disusun untuk mengungkap psychological well-being yang dialami guru honorer sekolah dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang. Bagaimana gambaran psychological well-being yang dialami guru honorer sekolah dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang, Indikator dalam skala psychological well-being ini meliputi :

Tabel 3.1 Definisi-definisi Pedoman Teori Dimensi-dimensi psychological well-being menurut Ryff dan Singer (2002: 543)

No. Dimensi Indikator

1. Penerimaan diri Memiliki sikap positif pada diri, mengakui dan menerima berbagai aspek diri termasuk kualitas baik dan buruk, perasaan positif terhadap kehidupan yang dijalani.

2. Hubungan positif dengan orang lain

Mempunyai hubungan yang intim dan hangat, dapat dipercaya orang lain, memperhatikan kesejahteraan orang lain, mampu berempati yang kuat.

3. Otonomi (kemandirian)

Menentukan diri dan mandiri, dapat melawan tekanan sosial, mengatur tingkah laku dari dirinya, mengevaluasi diri dengan patokan sendiri.

4. Penguasaan lingkungan

Memiliki perasaan menguasai dan mampu mengatur lingkungan, mengontrol kegiatan luar yang kompleks, menggunakan secara efektif kesempatan disekitarnya.

5. Tujuan hidup Memiliki tujuan hidup dan tujuan hidup, Perasaan akan makna dimasa sekarang dan dimasa lalu.

6. Pertumbuhan pribaadi

Mengalami proses-proses perkembangan diri yang berkelanjutan, terbuka pada pengalaman baru, menyadari potensi diri, melihat peningkatan dalam diri dan perilaku dari waktu ke waktu.


(53)

Skala psychological well-being guru honorer sekolah dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang ini menggunakan model skala Likert, di mana terdapat item favourable dan item unfavorable dengan respon jawaban mulai dari Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS) dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Pemberian skor untuk aitem favorable adalah skor 1 untuk jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS), skor 2 untuk jawaban Tidak Sesuai (TS), skor 3 untuk jawaban Sesuai (S), dan skor 4 untuk jawaban Sangat Sesuai (SS). Sedangkan skor-skor jawaban untuk aitem unfavorable berlaku sebaliknya, yaitu skor 1 untuk jawaban Sangat Sesuai (SS), skor 2 untuk jawaban Sesuai (S), skor 3 untuk jawaban Tidak Sesuai (TS), dan skor 4 untuk jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS).

Tabel 3.2 Kriteria dan Nilai Alternatif Jawaban Skala Psikologi

No Kriteria Favorable Unfavorabel

1. Sangat Sesuai (SS) 4 1

2. Sesuai (S) 3 2

3. Tidak Sesuai (TS) 2 3

4. Sangat Tidak Sesuai (STS) 1 4

Menurut Azwar (2005:26) yang dimaksud dengan pernyataan favorable adalah pernyataan yang mendukung gagasan, memihak atau menunjukkan ciri adanya atribut yang diukur. Sebaliknya, item yang isinya tidak mendukung atau tidak menggambarkan ciri atribut yang diukur disebut item unfavorable.

Sedangkan sebaran nomor item pada instrument psychological well-being terdapat pada tabel berikut ini:


(54)

No. Dimensi-dimensi psychological well-being Indikator Sebaran item Jumlah

F UF

1. Penerimaan diri a. Memiliki sikap positif terhadap diri sendiri.

1, 2 34, 35

12 b. Menerima berbagai aspek diri

termasuk kualitas baik dan buruk.

3, 4 36, 37

c. Merasa positif dengan kehidupan yang dijalani

5, 6 38, 39

2. Hubungan positif dengan orang lain

a. Mempunyai hubungan yang intim dan hangat.

7, 8 40, 41

13 b. Saling percaya dengan orang

lain.

9, 10 42

c. Memperhatikan

kesejahteraan orang lain.

11, 12 43

d. Empati 13, 14 44

3. Otonomi (kemandirian)

a. Mengarahkan diri dan mandiri

15, 16 45

13 b. Menghadapi tekanan sosial. 17 46, 47

c. Mengatur tingkah laku sendiri.

18, 19 48, 49

d. Mengevaluasi dengan standar pribadi.

20 50, 51

4. Penguasaan lingkungan

a. Menguasai dan mengatur lingkungan.

21, 22 52, 53

11 b. Mengontrol kegiatan luar

yang kompleks.

23,24 54, 55

c. Menggunakan secara efektif kesempatan disekitarnya.

25 56, 57


(55)

hidup 7 b. Merasakan adanya arti /

makna dalam hidup masa kini dan masa lampau.

27, 28 60, 61

6. Pertumbuhan pribaadi

a. Merasakan ada

pengembangan potensi yang berkelanjutan.

29, 30 62

10 b. Terbuka terhadap

pengalaman baru.

31 63, 64

c. Menyadari potensi diri. 32 65 d. Melihat kemajuan diri dari

waktu ke waktu

33 66

Jumlah Total 20 33 33 66

3.6 Validitas dan Reliabilitas

3.6.1 Validitas

Azwar (2011: 5) mengatakan bahwa validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Berdasarkan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini maka validitas yang digunakan adalah validitas konstrak. Azwar (2011: 48) menyatakan bahwa validitas konstrak yaitu tipe validitas yang menunjukkan sejauh mana tes mengungkap suatu trait atau konstrak teoritik yang hendak diukurnya. Untuk menguji validitas tiap-tiap item dalam instrumen dugunakan teknik product moment.


(56)

2 2 2 2

)

(

.

)

(

.

)

)(

(

)

(

Y

Y

N

X

X

N

Y

X

XY

N

r

xy Keterangan :

rxy = Koefisien korelasi antara X dan Y

X = Jumlah sampel X Y = Jumlah sampel Y N = Jumlah responden

Kemudian harga rxy yang diperoleh dibandingkan dengan rtabel

Product-Moment dengan taraf signifikan 5%. Jika harga rhitung > rtabel, maka butir soal yang

diuji bersifat valid. 3.6.2 Reliabilitas

Azwar (2011: 4) menyatakan bahwa reliabilitas merupakan penerjemahan dari kata reliability yang mempunyai asal kata rely dan ability. Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi disebut sebagai pengukuran yang reliabel (reliable). Reliabilitas mempunyai berbagai nama lain seperti keterpercayaan, keterandalan, keajegan, kestabilan, konsistensi, dan sebagainya. Konsep reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya (Azwar, 2011: 4). Dalam penelitian ini reliabilitas dihitung dengan menggunakan teknik analisis reliabilitas dengan formula alpha dari Cronbach, dengan rumus:

Keterangan:

r n : Reliabilitas instrument k : Banyaknya pertanyaan ∑σb2 : Jumlah varian butir t 2 : Varian total


(57)

Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas dengan rentang angka 0 sampai 1,00. Koefisien reliabilitas yang mendekati angka 1,00 berarti alat ukur yang digunakan memiliki reliabilitas yang tinggi, dan sebaliknya angka yang mendekati 0 berarti memiliki reliabilitas alat ukur yang rendah (Azwar, 2010: 83).

3.7 Teknik Analisis Data

Analisis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah analisis data deskriptif dengan metode statistik deskriptif prosentase. Analisis data deskriptif bertujuan untuk memberikan deskripsi mengenai subyek penelitian berdasarkan data dari variabel yang diperoleh dari kelompok subyek yang diteliti dan tidak dimaksudkan untuk pengujian hipotesis (Azwar, 2012: 126).

Adapun rumus statistik deskriptif prosentase adalah sebagai berikut: n

Presentase Skor = × 100 % N

Keterangan:

n = Jumlah skor jawaban responden N = Jumlah skor jawaban ideal


(58)

BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan membahas hal yang berkaitan dengan proses penelitian, hasil analisis data dan pembahasan. Penelitian ini diharapkan akan memperoleh hasil sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, oleh karenanya diperlukan analisis data yang tepat serta pembahasan secara jelas agar tujuan dari penelitian yang telah ditetapkan dapat tercapai.

Data yang dipakai dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan skala psikologi. Data tersebut akan dianalisis dengan menggunakan metode yang telah ditentukan. Hal yang berkaitan dengan proses, hasil dan pembahasan hasil penelitian akan diuraikan sebagai berikut.

4.1

Persiapan Penelitian

4.1.1 Orientasi Kancah Penelitian

Orientasi kancah penelitian dilakukan sebelum penelitian dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui kesamaan karakteristik subjek penelitian dengan lokasi penelitian. Penelitian ini dilaksanakan semua sekolah dasar yang berjumlah 21 di daerah Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang. Subjek yang digunakan adalah guru-guru honorer yang mengajar sekolah dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang yang berjumlah 67 guru honorer.

Penelitian yang bertempat di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang

bertujuan untuk mengetahui tingkat psychological well-being pada guru honorer sekolah


(59)

Wonotunggal Kabupaten Batang adalah ciri-ciri subjek yang akan diteliti memenuhi syarat tercapainya tujuan penelitian dan lokasi penelitian sesuai dengan fenomena yang telah dipaparkan dalam bab satu.

4.1.2 Proses Perijinan

Proses perijinan terhadap pihak-pihak terkait merupakan salah satu hal yang paling penting dalam penelitian demi kelancaran sebuah penelitian. Sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu peneliti harus mempersiapkan proses perijinan. Pertama, peneliti melakukan wawancara atau studi pendahuluan terlebih dahulu sebelum melakukan penelitian yang sebenarnya. Kemudian peneliti meminta surat ijin untuk melaksanakan penelitian dari Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang yang ditandatangani oleh Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang No 3183/UN37.1.1/KM/2014 yang ditujukan kepada Kepala UPTD Disdikpora Kecamatan Wonotunggal, Kabupaten Batang. Kemudian UPTD Disdikpora Kecamatan Wonotunggal membuat surat balasan yang menyatakan bahwa peneliti di ijinkan untuk melakukan penelitian yang ditandatangani oleh Kepala UPTD Disdikpora kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang.

4.2 Pelaksanaan Penelitian

4.2.1 Menyusun Instrumen Penelitian

Penelitian membutuhkan suatu alat pengumpulan data yang tepat untuk mendapatkan hasil yang akurat dan terpercaya. Instrumen yang digunakan untuk penelitian ini terdiri dari satu skala psikologi yaitu skala psychological well-being.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala psychological


(60)

penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi (kemandirian), penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.

Berdasarkan pada dimensi psychological well-being tersebut kemudian dirumuskan dalam bentuk indikator-indikator perilaku untuk selanjutnya dijadikan pernyataan-pernyataan. Pernyataan yang disusun sebanyak 66 item pernyataan yang terdiri dari pernyataan 33 favorable dan 33 pernyataan unfavorable.

4.2.2 Pengumpulan Data

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 14 Juli 2014 sampai selesai pada guru honorer sekolah dasar di Kecamatan Wonotunggal. Pengumpulan data ini menggunakan skala psychological well-being yang memiliki empat alternatif jawaban yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai(STS).

Proses pengumpulan data ini dilakukan dengan cara menyebarkan skala, peneliti datang ke tiap sekolah dasar di Kecamatan Wonotunggal sebagai tempat subjek penelitian dan peneliti membawa bukti surat ijin penelitian dari kantor UPTD Disdikpora Kecamatan Wonotunggal untuk diperlihatkan kepada tiap kepala sekolah. Kemudian peneliti membagikan skala dan menjelaskan kembali mengenai petunjuk cara pengisian skala tersebut kepada para guru honorer sekolah dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang untuk menyelesaikan mengisi skala. Setelah guru honorer sekolah dasar selesai mengisi skala, peneliti langsung mengumpulkan kembali skala-skala yang sudah diisi.

4.2.3 Pelaksanaan Skoring

Setelah pengumpulan data dilakukan, selanjutnya skala yang telah diisi responden kemudian dilakukan skoring atau penyekoran. Langkah-langkah penyekoran


(61)

dilakukan dengan memberikan skor pada masing-masing jawaban yang telah diisi oleh responden dengan rentang skor satu sampai dengan empat pada skala psychological well-being yang selanjutnya ditabulasi. Setelah dilakukan tabulasi langkah selanjutnya adalah melakukan pengolahan data yang meliputi pengujian statistik deskriptif.

4.2.4 Hasil Validitas dan Reliabilitas Skala Psychological Well-Being

4.2.4.1 Validitas Instrumen

Berdasarkan uji validitas yang diperoleh pada penelitian yang dilakukan menggunakan skala terpakai (try-out terpakai), skala psychological well-being yang telah disusun oleh peneliti dengan bantuan program SPSS versi 20 for Windows menunjukkan bahwa dari 66 item yang diuji validitasnya dengan N = 67, terdapat 57 item yang valid dan 9 item yang tidak valid, diketahui hasil koefisien validitas skala psychological well-being memiliki rentang antara 0,248 sampai 0,792, item-item tersebut dikatakan valid karena tingkat signifikansinya lebih kecil dari = 0,05 atau = 0,01. Sementara item yang tidak valid dinyatakan tidak valid karena tingkat signifikansinya lebih besar dari = 0,05 atau = 0,01. Adapun sebaran item yang valid dan yang tidak valid dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.1 Skala Psychological Well-being

No. Dimensi-dimensi psychological

well-being

Indikator

Sebaran item

Jumlah

F UF

1. Penerimaan diri a. Memiliki sikap positif terhadap diri sendiri.

1*, 2 34, 35

12 b. Menerima berbagai aspek diri

termasuk kualitas baik dan buruk.


(1)

2.3 Distribusi Statistik Frekuensi Responden Faktor Usia

a. Usia25-39

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

89,00 1 1,7 1,7 1,7

94,00 1 1,7 1,7 3,4

96,00 5 8,5 8,5 11,9

97,00 3 5,1 5,1 16,9

98,00 6 10,2 10,2 27,1

99,00 1 1,7 1,7 28,8

101,00 1 1,7 1,7 30,5

102,00 1 1,7 1,7 32,2

110,00 1 1,7 1,7 33,9

112,00 1 1,7 1,7 35,6

132,00 1 1,7 1,7 37,3

133,00 1 1,7 1,7 39,0

135,00 1 1,7 1,7 40,7

137,00 1 1,7 1,7 42,4

140,00 1 1,7 1,7 44,1

141,00 2 3,4 3,4 47,5

143,00 1 1,7 1,7 49,2

144,00 1 1,7 1,7 50,8

145,00 1 1,7 1,7 52,5

146,00 1 1,7 1,7 54,2

147,00 1 1,7 1,7 55,9

149,00 1 1,7 1,7 57,6

150,00 2 3,4 3,4 61,0

151,00 1 1,7 1,7 62,7

152,00 5 8,5 8,5 71,2

153,00 2 3,4 3,4 74,6


(2)

160,00 1 1,7 1,7 83,1

162,00 1 1,7 1,7 84,7

163,00 2 3,4 3,4 88,1

164,00 1 1,7 1,7 89,8

166,00 1 1,7 1,7 91,5

172,00 1 1,7 1,7 93,2

173,00 1 1,7 1,7 94,9

175,00 1 1,7 1,7 96,6

176,00 1 1,7 1,7 98,3

177,00 1 1,7 1,7 100,0

Total 59 100,0 100,0

b. Usia 40-59

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

135,00 1 1,7 12,5 12,5

136,00 1 1,7 12,5 25,0

137,00 1 1,7 12,5 37,5

146,00 1 1,7 12,5 50,0

156,00 1 1,7 12,5 62,5

157,00 1 1,7 12,5 75,0

163,00 1 1,7 12,5 87,5

168,00 1 1,7 12,5 100,0

Total 8 13,6 100,0

Missing System 51 86,4


(3)

2.4 Distribusi Statistik Frekuensi Responden Faktor Jenis Kelamin

a. Jenis Kelamin Pria

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

89,00 1 2,4 4,0 4,0

94,00 1 2,4 4,0 8,0

97,00 1 2,4 4,0 12,0

101,00 1 2,4 4,0 16,0

133,00 1 2,4 4,0 20,0

135,00 1 2,4 4,0 24,0

136,00 1 2,4 4,0 28,0

137,00 1 2,4 4,0 32,0

140,00 1 2,4 4,0 36,0

146,00 2 4,8 8,0 44,0

149,00 1 2,4 4,0 48,0

152,00 1 2,4 4,0 52,0

153,00 1 2,4 4,0 56,0

156,00 1 2,4 4,0 60,0

157,00 2 4,8 8,0 68,0

158,00 1 2,4 4,0 72,0

160,00 1 2,4 4,0 76,0

163,00 3 7,1 12,0 88,0

164,00 1 2,4 4,0 92,0

168,00 1 2,4 4,0 96,0

173,00 1 2,4 4,0 100,0

Total 25 59,5 100,0

Missing System 17 40,5


(4)

b. Jenis Kelamin Wanita

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

96,00 5 11,9 11,9 11,9

97,00 2 4,8 4,8 16,7

98,00 6 14,3 14,3 31,0

99,00 1 2,4 2,4 33,3

102,00 1 2,4 2,4 35,7

110,00 1 2,4 2,4 38,1

112,00 1 2,4 2,4 40,5

132,00 1 2,4 2,4 42,9

135,00 1 2,4 2,4 45,2

137,00 1 2,4 2,4 47,6

141,00 2 4,8 4,8 52,4

143,00 1 2,4 2,4 54,8

144,00 1 2,4 2,4 57,1

145,00 1 2,4 2,4 59,5

147,00 1 2,4 2,4 61,9

150,00 2 4,8 4,8 66,7

151,00 1 2,4 2,4 69,0

152,00 4 9,5 9,5 78,6

153,00 1 2,4 2,4 81,0

156,00 1 2,4 2,4 83,3

159,00 1 2,4 2,4 85,7

162,00 1 2,4 2,4 88,1

166,00 1 2,4 2,4 90,5

172,00 1 2,4 2,4 92,9

175,00 1 2,4 2,4 95,2


(5)

LAMPIRAN 4


(6)