DETERMINAN NON PERFORMING FINANCING BANK SYARIAH DI INDONESIA (PERIODE JANUARI 2010 – JUNI 2015)

(1)

BANKS IN INDONESIA (PERIOD JANUARY 2010 – JUNE 2015)

Oleh

Miftahur Rahman Wyana 20120430146

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(2)

i

BANKS IN INDONESIA (PERIOD JANUARY 2010 – JUNE 2015)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan untuk Memperoleh

Gelar Sarjana pada Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Program Studi Ilmu Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Oleh

Miftahur Rahman Wyana 20120430146

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(3)

ii

Nama : Miftahur Rahman Wyana

Nomor mahasiswa : 20120430146

Menyatakan bahwa skripsi ini dengan judul: “DETERMINAN NON PERFORMING FINANCING BANK SYARIAH DI INDONESIA (Periode Januari 2010 – Juni 2015)” tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam Daftar Pustaka. Apabila ternyata dalam skripsi ini diketahui terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain maka saya bersedia karya tersebut dibatalkan.

Yogyakarta, 3 Oktober 2016


(4)

iii

DIKERJAKAN LEBIH DULU”

“HANYA CUKUP SATU KATA KUNCI UNTUK MEMPEROLEH SUATU KEBERHASILAN ATAS APA YANG KAMU KERJAKAN, YAITU

MEMULAINYA”

“DALAM SETIAP KESULITAN PASTI ADA KEMUDAHAN” (Q.S AL-INSYIRAH : 6)


(5)

iv dalam mengerjakan skripsi ini.

2. Kepada Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan pencerahan dan perubahan dari jaman jahiliyah ke zaman modern yang penuh berkah ini. 3. Kepada Bapak dan Mama serta adik-adikku tercinta Isnaini Rahman Wyana

dan Azhari Rahman Wyana yang telah memberikan dukungan, motivasi, serta doa yang tiada henti-hentinya dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Kepada seseorang yang menemani perjalanan kuliah hingga skripsiku, Mbak Ayank Narita Dyatama yang telah memberikan dukungan dan semangat yang tiada henti-hentinya dalam mengerjakan skripsi ini.

5. Kepada seluruh Keluarga besar Bapak dan Mama yang telah memberikan semangat dan dukungan dalam mengerjakan skripsi ini.

6. Kepada seluruh keluarga besar Ilmu Ekonomi 2012 yang telah memberikan dukungan dan keceriaan dalam menempuh jalan bersama dari awal kuliah hingga masa penyelesaian skripsi ini.

7. Kepada seluruh sahabat dan teman-teman Mega Pro Jogjakarta, khususnya teman-teman Mega Pro Lovers Indonesia yang telah mengisi hidupku di Jogjakarta ini dari awal hingga akhir masa kuliahku.

8. Kepada seluruh dosen-dosen Ilmu Ekonomi yang telah berjuang mendidik, mengajar, dan membantu menyelesaikan skripsi ini terutama dosen pembimbing Ibu Endah Saptutyningsih


(6)

v

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PENGUJI ... iii

HALAMAN PERNYATAAN... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

INTISARI ... vii

ABSTRAK ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 15

Tujuan Penelitian... 16

Manfaat Penelitian ... 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 18

Landasan Teori ... 18

Pengertian Bank Syariah ... 18

Manajemen Pembiayaan ... 21

Non Performing Financing... 34

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi NPF ... 46

Penelitian Terdahulu ... 54

Kerangka Pemikiran Penelitian ... 56


(7)

vi

Teknik Pengumpulan Data... 59

Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 59

Metode Analisis Data ... 62

Uji Akar Unit ... 65

Uji Derajat Integrasi ... 65

Uji Kointegrasi ... 66

Uji Error Correction Model ... 67

Uji Asumsi Klasik ... 68

BAB IV GAMBARAN UMUM... 74

Perkembangan Bank Syariah di Indonesia ... 74

Perkembangan Non Performing Financing... 81

Perkembangan Capital Adequacy Ratio ... 87

Perkembangan Financing to Deposit Ratio ... 88

Perkembangan Biaya Operasional Pendapatan Operasional ... 90

Perkembangan Total Aset ... 91

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 93

Hasil Penelitian ... 93

Uji Akar Unit ... 93

Uji Derajat Integrasi ... 94

Uji Kointegrasi ... 95

Uji Error Correction Model ... 100

Uji Asumsi Klasik ... 104

Pembahasan... 109

Jangka Panjang ... 109


(8)

vii DAFTAR PUSTAKA


(9)

viii

Tabel 1.2 Perkembangan Indikator NPF ... 9

Tabel 2.1 Self Liquidating System... 33

Tabel 2.2 Anticipated Income System ... 33

Tabel 2.3 Kriteria Penilaian NPF oleh Bank Syariah ... 37

Tabel 2.4 Penelitian Terdahulu ... 54

Tabel 4.1 Perkembangan Jaringan Kantor Perbankan Syariah... 79

Tabel 4.2 Perkembangan Aset Perbankan Syariah ... 80

Tabel 5.1 Hasil Augmented Dickey Fuller Pada Tingkat Level ... 94

Tabel 5.2 Hasil Augmented Dickey Fuller Pada Tingkat First Difference .. 95

Tabel 5.3 Hasil Uji Engle Granger Cointegration Test ... 96

Tabel 5.4 Hasil Augmented Dickey Fuller Pada Persamaan Residual ... 99

Tabel 5.5 Hasil Uji Error Correctin Model ... 101

Tabel 5.6 Hasil Uji Multikolinearitas ... 105

Tabel 5.7 Hasil Uji Heterokedastisitas dengan White Test ... 106

Tabel 5.8 Hasil Uji Autokorelasi ... 106


(10)

ix

Gambar 2.1 Jenis-Jenis Pembiayaan ... 30

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 56

Gambar 4.1 Perkembangan Non Performing Financing ... 84

Gambar 4.2 Perkembangan Non Performing Financing Semester I ... 85

Gambar 4.3 Perkembangan Capital Adequacy Ratio... 87

Gambar 4.4 Perkembangan Financing to Deposit Ratio ... 89

Gambar 4.5 Perkembangan Biaya Operasiona Pendapatan Operasional ... 90


(11)

(12)

(13)

solvency, and profitability. In addition, bank profits will decline due to decreased revenue sources, namely of financing and on the other hand should be set aside as a reserve fund in accordance of financing collectability. This research aims to explain the influence of internal variables banks in the form of financial ratios consisting of Capital Adequacy Ratio (CAR), Financing to Deposit Ratio (FDR), Operating Expenses Operating Income (ROA), and the size of the Bank to fluctuations net Non Performing Financing (NPF) Syariah Bank in Indonesia in the period of 2010 January to 2015 in June. The research data used are secondary data obtained from Bank Indonesia and the Financial Services Authority. Methods of data analysis using the Error Correction Model (ECM).

The results showed that in the long term variable CAR and FDR did not affect the NPF, while variable BOPO and Bank Size positive and significant impact on NPF. In the short term the only variable FDR showed that positive and significant impact on the NPF, while variable CAR, ROA, and the size of the Bank does not affect the NPF. To lose and keep the NPF ratio is not too high, the banks should improve management of bank financing in analyzing the customers who will receive the funds provided and observe the behavior of the customer's business after the borrowing of funds.


(14)

1 1.1 Latar Belakang

Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat indonesia. Sedangkan yang dimaksud dengan bank syariah merupakan bank yang bentuk kegiatannya sesuai dengan syariah dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai islam

Dalam menjalankan fungsi-fungsinya, bank syariah selalu berusaha untuk memperoleh dana yang optimal dengan cost of money yang wajar. Semakin banyak dana yang dimiliki suatu bank, semakin besar peluang bagi bank tersebut untuk melakukan kegiatan-kegiatannya dalam mencapai tujuannya. Peranan bank syariah sebagai lembaga keuangan tidak pernah luput dari masalah.penyaluran pembiayaan merupakan kegiatan utama bank syariah karena sumber pendapatan utama bank berasal dari kegiatan ini (Yuliadi, 2007).

Perkembangan dan pembangunan ekonomi di suatu negara sangat bergantung pada perkembangan dinamis dan kontribusi nyata dari sektor


(15)

perbankan. Bank Umum (Commercial Bank) memiliki peranan yang sangat penting dalam menggerakkan roda perekonomian nasional, karena lebih dari 95 persen Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan nasional yang meliputi Bank Umum (Commercial Bank), Bank Syariah (Sharia Bank), dan Bank Perkreditan Rakyat (Rural Bank) berada di Bank Umum. DPK ini yang selanjutnya digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui penyaluran kredit. Penyaluran kredit dapat membantu masyarakat dalam melakukan berbagai kegiatan ekonomi yang berkontribusi terhadap pembangunan perekonomian masyarakat (Sari, 2013).

Pembiayaan merupakan salah satu bentuk penyaluran dana yang diberikan bank syariah kepada masyarakat yang membutuhkan untuk menggunakan dana yang telah dikumpulkan oleh bank syariah dari masyarakat yang memiliki dana surplus. Oleh karena itu, Mokhtar (2005) menyatakan bahwa bank harus memperhatikan berbagai faktor dan aspek apa saja yang harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan terhadap masalah pembiayaan atau penyaluran dana pada masyarakat.


(16)

Tabel 1.1 Perkembangan Pembiayaan Bank Syariah (Miliar Rupiah)

Indikator 2010 2011 2012 2013 2014

Musyarakah 14.624 18.960 27.667 39.874 49.387

Mudharabah 8.631 10.229 12.023 13.625 14.354

Murabahah 37.508 56.365 88.004 110.565 117.371

Salam - - - - -

Istishna’ 347 326 376 582 633

Lainnya 7.071 16.776 19.435 19.476 17.585

Total 68.181 102.655 147.505 184.122 199.330 Sumber : Laporan Statistik Perbankan Syariah Desember 2014

Pada tabel diatas dijelaskan bahwa perkembangan pembiayaan selama 5 tahun terakhir cukup menggembiarakan. Pada tahun 2014 total pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah mencapai Rp 199.330 miliar. Angka tersebut meningkat sebesar Rp 15.208 miliar dari total pembiayaan pada tahun 2013 sebesar Rp 184.122 miliar. Peningkatan total pembiayaan yang cukup tinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu mencapai Rp 102.655 miliar dari total pembiayaan tahun 2010 sebesar Rp 68.181 miliar. Pada tahun 2014 pangsa pembiayaan masih didominasi oleh pembiayaan murabahah sebesar 60 persen yaitu sebesar Rp 117.371 miliar dari total pembiayaan perbankan syariah. Kemudian disusul oleh pembiayaan musyarakah 21,65 persen yaitu sebesar Rp 49.387 miliar dari total pembiayaan perbankan syariah. Urutan ketiga diduduki oleh pembiayaan mudharabah 7,39 persen dari total pembiayaan perbankan syariah dan yang terakhir diduduki oleh sebesar lainya yang berupa pembiayaan qardh dan ijarah sebesar 10,57 persen dari total pembiayaan perbankan syariah.


(17)

Bank umumnya dalam menjalankan operasionalnya guna mendapatkan hasil usaha selalu dihadapkan pada risiko. Risiko yang mungkin terjadi bisa menyebabkan kerugian bagi bank jika tidak dideteksi dan diatur sebagaimana secara benar. Ketika akad telah ditandatangani dan pembiayaan telah dicairkan, sejak itu akan ada risiko yang mulai ditanggung oleh pihak bank, salah satunya adalah resiko kredit atau pembiayaan. Setiap pembiayaan yang diberikan kepada nasabah memiliki potensi untuk bermasalah atau macet (Siswanti, 2014).

Pembiayaan bermasalah adalah pembiayaan yang disalurkan kepada nasabah akan tetapi nasabah tidak dapat melakukan pembayaran atau angsuran sesuai dengan perjanjian yang telah ditandantangani dengan kata lain nasabah telah wanprestasi. Semakin banyak nasabah yang tergolong wanprestasi menyebabkan kerugian pada bank yaitu kerugian karena tidak diterimanya kembali dana yang telah diberikan kepada nasabah dan bagi hasil yang seharusnya diterima. Selain itu akibat dari pembiayaan yang bermasalah bank akan mengalami peningkatan persentase Non Performing Financing (NPF) (Siswanti, 2014).

Non Performing Financing (NPF) merupakan indikator pembiayaan bermasalah yang perlu diperhatikan karena sifatnya yang fluktuatif dan tidak pasti sehingga penting untuk diamati dengan perhatian khusus. NPF merupakan salah satu instrumen penilaian kinerja sebuah bank syariah yang menjadi


(18)

intrepretasi penilaian pada aktiva produktif, khususnya dalam penilaian pembiayaan bermasalah (Popita, 2013).

Semakin besarnya jumlah pembiayaan yang diberikan, maka akan membawa konsekuensi semakin besarnya risiko yang harus ditanggung oleh bank yang bersangkutan. Non Performing Financing (NPF) merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam menutup risiko kegagalan pengembalian pembiayaan oleh debitur. NPF mencerminkan risiko pembiayaan, semakin tinggi tingkat NPF maka semakin besar pula risiko pembiayaan yang ditanggung oleh pihak bank (Ali, 2004). Akibat tingginya NPF perbankan harus menyediakan pencadangan yang lebih besar, sehingga pada akhirnya modal bank ikut terkikis. Padahal besaran modal sangat mempengaruhi besarnya ekspansi pembiayaan. Besarnya NPF menjadi salah satu penyebab sulitnya perbankan dalam menyalurkan pembiayaan

Bank syariah dengan sistem bagi hasil dirancang untuk terbinanya kebersamaan dalam menanggung risiko usaha dan berbagi hasil usaha antara pemilik dana (shohibul mal) yang menyimpan uangnya di lembaga, lembaga selaku pengelola dana (mudhorib), dan masyarakat yang membutuhkan dana yang bisa berstatus peminjam dana atau pengelola usaha (Muhammad, 2009). Sistem bagi hasil yang digunakan oleh bank syariah berimplikasi pada pemerataan hasil dan risiko antara lembaga keuangan dengan debitur. Proses penilaian dan kekuatan proposal pengajuan pembiayaan sangat berperan


(19)

penting dalam kelancaran usaha tersebut, karena jika tidak, alih-alih bisa mendapatkan bagi hasil, bank dapat mengalami kerugian karena pokoknya tidak bisa dikembalikan. Alokasi sistem ini cenderung merefleksikan efisiensi yang lebih besar pada sisi permintaan dan penawaran.

Sumber : Laporan Statistik Perbankan Syariah Desember 2014

Gambar 1.1 Grafik Perkembangan Non Performing Financing Bank Syariah

Table dan grafik diatas menggambarkan bahwa setiap tahun bank syariah menghadapi kenaikan NPF seiring dengan kenaikan total pembiayaan yang ada. Batas aman NPF yang ditentukan oleh Bank Indoesia adalah 5 persen, sehingga NPF yang dari tahun 2010 sampai tahun 2014 masih diangka aman. Tetapi pada tahun 2014 NPF sudah menunjukkan angka mendekati 5 persen yaitu sebesar 4,33 persen dimana bank harus berhati-hati dengan angka tersebut. Peningkatan angka NPF yang tinggi disebebkan oleh pembiayaan yang meningkat dan kurangnya tingkat keamanan bank dalam pemberian


(20)

pembiayaan. Tingginya tingkat NPF sebuah perbankan akan menyebabkan rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perbankan itu sendiri. Bank yang tinggi tingkat NPF nya akan menyebabkan bank tidak sehat, karena bank tidak melakukan fungsi intermediasinya dengan cukup baik. Tingginya NPF juga akan merugikan bank sendiri karena akan mengikis cadangan modal bank sendiri. Beberapa kasus turunnya perekonomian nasional dan internasional disebabkan oleh tinginya tingkat pembiayaan macet yang terjadi.

Penggunaan sistem keuangan syariah dapat lebih kondusif bagi pembangunan ekonomi. Adanya tanggungan risiko dan keuntungan bersama oleh lembaga keuangan, akan mengurangi risiko ketidakmampuan bayar dari nasabah. Sistem ini akan menyelamatkan dirinya sendiri dari beban bunga pada saat-saat sulit, serta bersedia membagi keuntungan yang lebih tinggi pada saat bisnis bagus. Demikian pula ketika krisis menerpa lembaga keuangan akan bersedia menanggung risiko, tanpa takut mengurangi kekuatan finansialnya, jika membangun cadangan pengganti kerugian pada saat bisnis bagus. Sehingga perbankan syariah seharusnya akan lekas pulih dari krisis ekonomi (Rahmawulan, 2008). Tetapi sayangnya pada kenyataannya saat ini bank syariah hanya menerapkan system profit sharing, dimana hanya membagi keuntungan nasabah saja, jika nasabah mengalami kerugian bank hanya akan menanggung modal yang diberikan dan tidak menanggung kerugian secara bersama-sama.


(21)

Oleh karena itu, pemberiaan pembiayaan oleh pihak bank harus memperhatikan asas-asas pemberian pembiayaan yang sehat. Untuk memperoleh kenyakinan tersebut, seperti tersebut dalam penjelasan Pasal 8 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yaitu: “Dalam memberkan pembiayaan, bank wajib melakukan penelitian yang seksama terhadap watak (character), kemampuan (capacity), modal (capital), agunan (collateral), kondisi ekonomi debitur (condition of economy). Hal ini untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan yang tidak diharapkan terjadi”.

Pembiayaan macet terjadi jika pihak bank mengalami kesulitan untuk meminta angsuran dari pihak debitur karena suatu hal. Pembiayaan macet adalah piutang yang tak tertagih atau pembiayaan yang mempunyai kriteria kurang lancar, diragukan karena mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya faktor-faktor tertentu (Hermanto, 2006). Seandainya terjadi hal yang demikian maka pihak bank tidak boleh begitu saja memaksakan pada debitur untuk segera melunasi hutangnya. Debitur berkewajiban untuk mengembalikan pembiayaan yang telah diterimanya berikut dengan bunga sesuai yang tercantum dalam perjanjian (Astuti, 2009).

Debitur yang sengaja tidak melunasi hutangnya maupun tidak menepati batas waktu pengembalian hutang, maka jaminan dapat digunakan untuk mengganti hutang. Jaminan pembiayaan harus ada pada setiap pemberian pembiyaan oleh bank. Hutang yang tidak terbayar oleh debitur, akan


(22)

menyebabkan pembiayaan macet Menurut Astuti (2009) pembiayaan merupakan perjanjian pinjam meminjam uang, apabila debitur yang tidak dapat membayar lunas hutangnya setelah jangka waktunya habis merupakan wanprestasi.

Pengelolaan dan penanggulangan pembiayaan macet perlu mendapatkan perhatian lebih serius karena masalah ini menjadi akar dari masalah-masalah lainnya. Selama masalah pembiayaan macet ini belum dibenahi, bank-bank masih akan menghadapi risiko pembiayaan yang tinggi, yang pada gilirannya menghambat ekspansi pembiayaan bank itu sendiri (Rahayu, 2011).

Peningkatan dan penurunan NPF pada suatu bank dapat dipengaruhi berbagai faktor. Dalam penelitian ini faktor-faktor yang diduga mempengaruhi tingkat Non Performing Financing (NPF) adalah Capital Adequacy Ratio (CAR), Financing to Deposit Ratio (FDR), Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO), dan Bank Size (Total Aset).

Tabel 1.2 Perkembangan Indikator NPF

Indikator 2010 2011 2012 2013 2014

FDR (%) 88,67% 91,41% 120,65% 95,87% 91,50%

CAR (%) 16,25% 16,63% 14,14% 14,42% 16,10%

BOPO (%) 80,54% 78,41% 74,97% 78,21% 79,27%

Total Aset (M) 95.859 97.519 145.466 195.018 242.276


(23)

Menurut Ali (2004), untuk mengurangi kredit bermasalah maka bank menyediakan dana untuk keperluan pengembangan usaha dan menampung risiko kerugian dana yang diakibatkan oleh kegiatan operasi bank yang disebut Capital Adequacy Ratio (CAR). Akibat tingginya NPF, perbankan harus menyediakan pencadangan yang lebih besar, sehingga pada akhirnya modal bank ikut terkikis. Semakin tinggi presentase CAR maka semakin besar pula kemampuan bank untuk menekan terjadinya kredit bermasalah. Perkembangan CAR selama 4 tahun terakhir sangat fluktuatif. Pada tahun 2010 dan 2011 CAR mengalami peningkatan yaitu 16,25 persen dan 16,63 persen kemudian pada tahun selanjutnya 2012 mengalami penurunan yang cukup besar menjadi 14,14 persen dan pada tahun 2013 naik menjadi 14,42 persen. Pada tahun 2014 angka kembali meningkat sebesar 16,10 persen.

Salah satu indikator besarnya pemberian kredit oleh bank yaitu dapat dilihat dari persentase Financing to Deposit Ratio (FDR). Financing to Deposit Ratio (FDR) merupakan rasio untuk mengukur komposisi jumlah pembiayaan yang diberikan dibandingkan dengan jumlah dana masyarakat dan modal sendiri yang digunakan (Kasmir, 2008). Rasio FDR ini digunakan untuk mengetahui sampai sejauh mana dana masyarakat yang dihimpun oleh bank disalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman atau pembiayaan. Angka FDR pada Tabel 1.3 juga menunjukkan angka yang sangat fluktuatif. Bahkan pada tahun 2012 angka FDR mencapai angka 120,65 persen


(24)

yang menunjukkan sudah diatas normal yang artinya bank kekurangan likuiditas. Batas normal FDR di sebuah perbankan adalah 75 persen ≤ FDR ≤ 100 persen. Sedangkan pada tahun 2010, 2011, 2013, dan 2014 angka FDR menunjukkan angka yang normal yaitu 88,67 persen, 91,41 persen, 95,87 persen, dan 91,50 persen. Tetapi angka-angka diatas sudah hampir mencapai batas normal sebuah FDR, yang artinya fungsi intermediate bank syariah perlu diperbaiki lagi.

Kebijakan pemberian pembiayaan yang mengandung prinsip kehati-hatian hendaknya diterapkan oleh bank dalam menentukan calon debitur yang benar-benar dapat menjaga dana pembiayaan yang disalurkan.dengan memilih calon debitur yang memiliki reputasi yang baik diharapkan nilai NPF akan turun. Besarnya Financing to Deposit Ratio (FDR) sebuah bank, mampu menggambarkan besar peluang munculnya pembiayaan. Semakin tinggi FDR sebuah bank maka semakin tinggi pula peluang pembiayaan macet yang akan terjadi karena rasio ini menunjukkan salah satu penilaian likuiditas bank (Aqidah, 2011).

Ukuran sebuah bank dapat dinilai dari total aset yang dimiliki perusahaan tersebut. Bank dengan aset yang besar memliki kemungkinan untuk menghasilkan keuntungan yang lebih besar apabila diikuti dengan hasil dari aktivitasnya. Menurut Misra dan Dhal (2010) bank-bank besar lebih cenderung memiliki tingkat kredit macet lebih tinggi karena kendala neraca, bank-bank


(25)

kecil bisa menunjukkan bahwa mereka lebih efisiensi dari bank-bank besar dalam hal penyaringan pinjaman dan pemantauan pasca pinjaman, yang menyebabkan tingkat kegagalan lebih rendah (Jayanti, 2013). Total Aset bank syariah selama 5 tahun terakhir selalu meningkat. Pada tahun 2014 total aset mencapai angka Rp 242.276 (dalam miliar), meningkat sebesar Rp 47.258 (dalam miliar) dari total tahun 2012 sebesar Rp 195.018 (dalam miliar). Kenaikan Total Aset tertinggi ditunjukkan dari tahun 2012 ke tahun 2013 yaitu sebesar Rp 49.552 (dalam miliar), pada tahun 2012 Total Aset mencapai angka Rp 145.466 (dalam miliar) dan pada tahun 2013 sendiri mencapai angka Rp 195.018 (dalam miliar). Kenaikan terendah ditunjuukan pada tahun 2010 ke ahun 2011 yaitu sebesar Rp 1.660 (dalam miliar), pada tahun 2010 Total Aset menujukkan angka Rp 95.859 (dalam miliar) dan pada tahun 2011 Total Aset menujukkan angka Rp 97.519 (dalam miliar).

Rasio biaya operasi adalah perbandingan antara biaya operasional dan pendapatan operasional. Rasio biaya operasional digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan bank dalam melakukan kegiatan operasinya. (Dendawijaya, 2005). Semakin kecil rasio ini berarti semakin efisien biaya operasional yang dikeluarkan bank yang bersangkutan. Bank Indonesia menetapkan rasio BOPO dibawah 90 persen. Apabila rasio BOPO melebihi 90 persen atau mendekati 100 persen maka bank dapat dikategorikan sebagai bank yang tidak efisien (Almilia dan Herdiningtyas, 2005). Pada table diatas


(26)

dijelaskan bahwa selama 5 tahun terakhir bank syariah menujukkan bank yang efisien karena selama 5 tahun terakhir angka BOPO menunjukkan angka dibawah 90 persen. Pada tahun 2011 angka BOPO cukup tinggi mencapai 80,54 persen tetapi masih dibawah tingkat aman.

Penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan tentang pengaruh variabel-variabel tersebut terhadap pertumbuhan atau naik turunnya jumlah Non Performing Financing (NPF) di Bank Syariah selama 5 tahun terakhir yaitu Januari 2010 – Juni 2015. Peneliti tertarik meneliti Bank Syariah dikarenakan bank syariah di Indonesia diprediksi masih akan berkembang dengan tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi dan tingkat pembiayaan macet yang masih cukup fluktuatif. Peneliti juga tertarik untuk melakukan penelitian ini karena banyak terjadi kesenjangan hasil penelitian dari hasil penelitian-penelitian terdahulu, sehingga perlu diuji kembali faktor-faktor yang mempengaruhi Non Performing Financing (NPF). Penelitian ini juga dilakukan karena terdapat perbedaan antara data dengan teori, seperti naik turunnya CAR belum tentu diikuti dengan naiknya NPF, begitu pula dengan BOPO dan Size (Total Aset). Oleh karena itu peneliti ingin mengetahui pengaruh-pengaruh dari variabel tersebut.

Berikut ini merupakan beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti-peneliti terdahulu yang meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi rasio Non Performing Financing (NPF).


(27)

Penelitian yang dilakukan oleh Atiqoh (2014) menyimpulkan bahwa Capital Adequacy Ratio (CAR) berpengaruh negatif terhadap Non Perfiorming Financing (NPF). Hal ini menunjukan bahwa semakin tinggi rasio kecukupan modal maka akan dapat berfungsi menampung risiko kerugian yang dihadapi oleh bank karena peningkatan pembiayaan bermasalah. Namun hasil sebaliknya ditunjukkan pada penelitian Riyadi, Iqbal dan Lauren (2014), dimana Capital Adequacy Ratio (CAR) berpengaruh positif terhadap Non Performing Financing (NPF).

Penelitian Putri (2016) menyimpulkan bahwa Financing to Deposit Ratio (FDR) berpengaruh negatif terhadap Non Performing Financing (NPF). Semakin besar rasio FDR menandakan semakin banyak pembiayaan (total pembiayaan) yang diberikan oleh bank yang bersangkutan akan menyebabkan semakin kecilnya rasio NPF yang dihasilkan, sehingga hubungan rasio FDR dengan rasio NPF adalah semakin besar rasio FDR akan menyebabkan rasio NPF semakin kecil. Namun hal sebaliknya ditunjukkan pada penelitian Popita (2013) dimana Financing to Deposit Ratio (FDR) berpengaruh positif terhadap Non Performing Financing (NPF).

Penelitian yang dilakukan Wardhana (2015) menyimpulkan bahwa Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) berpengaruh positif terhadap Non Performing Financing (NPF). Hal ini menunjukkan bahwa semakin kecil rasio biaya (beban) operasional yang dikeluarkan bank syariah,


(28)

maka semakin kecil pula rasio pembiayaan macet (NPF) bank syariah tersebut. Namun hal sebaliknya ditunjukkan pada penelitian Raysa (2014) yang menyimpulkan bahwa Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) berpengaruh negatif terhadap Non Performing Financing (NPF).

Penelitian yang dilakukan Mada (2015) menyimpulkan bahwa Bank Size berpengaruh negatif terhadap Non Performing Financing (NPF). Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar total aset yang tergambar pada ratio Bank Size maka akan semakin kecil pula peluang timbulnya pembiayaan macet (NPF). Namun hasil sebaliknya ditunjukkan pada penelitian Misra dan Dhal (2010) yang menyimpulkan bahwa Bank Size berpengaruh positif terhadap Non Performing Financing (NPF)

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan, maka penyusun ingin mengadakan penelitian dan menyusunnya dalam sebuah skripsi yang berjudul Determinan Non Performing Financing (NPF) Bank Syariah di Indonesia (Periode Januari 2010 Juni 2015)”.

1.2. Rumusan Masalah

Dalam penetitian ini penulis akan melihat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap Non Performing Financing (NPF) di Bank Syariah Indonesia yaitu Capital Adequacy Ratio (CAR), Financing to Deposit Ratio (FDR), Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO), Bank Size (Total


(29)

Aset), dan Total Pembiayaan. Berdasarkan uraian latar belakang, maka permasalahan yang dapat di rumuskan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh Captal Adequacy Ratio (CAR) terhadap Non

Performing Financing (NPF) di Bank Syariah?

2. Bagaimana pengaruh Fnancing to Deposit Ratio (FDR) terhadap Non Performing Financing (NPF) di Bank Syariah?

3. Bagaimana pengaruh Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) terhadap Non Performing Financing (NPF) di Bank Syariah?

4. Bagaimana Pengaruh Bank Size (Total Aset) terhadap Non Performing Financing (NPF) di Bank Syariah?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengaruh Capital Adequacy Ratio (CAR) terhadap Non Performing Financing (NPF) di Bank Syariah

2. Untuk mengetahui pengaruh Financing to Deposit Ratio (FDR) terhadap Non Performing Financing (NPF) di Bank Syariah

3. Untuk mengetahui pengaruh Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) terhadap Non Performing Financing (NPF) di Bank Syariah 4. Untuk mengetahui pengaruh Bank Size (Total Aset) terhadap Non


(30)

1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan referensi terhadap ilmu perbankan syariah dan ilmu manajemen pembiayaan yang berkaitan dengan Non Performing Financing (NPF) dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Selain itu, berguna juga sebagai tambahan wawasan peneliti lain yang akan mengkaji lebih dalam mengenai ilmu manajemen pembiayaan perbankan syariah.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Penulis

Secara praktis dapat menambah wawasan dan pengetahuan penulis mengenai manajemen pembiayaan perbankan syariah, khususnya yang berkaitan dengan Non Performing Financing (NPF) dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

b. Bagi Bank

Bagi bank diharapkan penelitian ini dapat berguna sebagai bahan masukan untuk pengelolaan kinerja keuangan bank syariah yang lebih baik, khususnya dalam mengelola dan mengontrol risiko pembiayaan macet atau Non Performing Financing (NPF) serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.


(31)

18 A. Landasan Teori

1. Pengertian Bank Syariah

Kata bank itu sendiri berasal dari bahasa Latin banco yang artinya bangku atau meja. Pada abad ke 12 banco merujuk pada meja, counter atau tempat penukaran uang (money changer). Kemudian penggunaannya lebih diperluas untuk menunjukkan meja tempat penukaran uang yang digunakan para pemberi pinjaman dan para pedagang mata uang Eropa pada Abad Pertengahan untuk memperlihatkan uang mereka (Zainul Arifin, 2006).

Menurut Dictionary of Banking and Financial Service by Jerry Rosenbenrg bahwa yang dimaksud bank adalah lembaga yang menerima simpanan giro, deposito, dan membayar atas dasar dokumen yang ditarik pada orang atau lembaga tertentu, mendiskonto surat berharga, memberikan pinjaman, dan menanamkan modal.

Bank adalah sebuah lembaga atau perusahaan yang aktivitasnya menghimpun dana berupa giro, deposito tabungan dan simpanan yang lain dari pihak yang kelebihan dana (surplus spending unit) kemudian menempatkannya kembali kepada masyarakat yang membutuhkan dana (deficit spending unit) melalui penjualan jasa keuangan yang pada


(32)

gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak (Taswan, 2010).

Semenjak diterapkannnya Dual Banking System, maka perbankan di Indonesia telah menerapkan bank konvensional dan bank syariah secara berdampingan. Perbankan syariah pada saat ini sedang hangat dibicarakan di dunia karena sistemnya yang adil dan bebas bunga.

Bank Islam atau selanjutnya disebut dengan Bank Syariah atau Bank Tanpa Bunga, adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga, produknya dikembangkan berlandaskan pada Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad SAW dan usaha pokoknya adalah memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam (Muhammad, 2005).

Menurut UU No 21 Tahun 2008 Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri dari Bank Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Bank Syariah adalah Bank syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Secara umum tujuan utama bank syariah ialah mendorong dan mempercepat kemajuan ekonomi suatu masyarakat atau bangsa, dengan melakukan aktivitas perbankan, keuangan, komersial dan investasi sesuai dengan asas Islam. Upaya ini harus didasari dengan (a) larangan atas bunga pada setiap transaksi; (b) asas kerekanan pada semua aktivitas bisnis yang


(33)

berdasarkan kesetaraan, keadilan, dan kejujuran; (c) hanya mencari keuntungan yang sah dan halal bsemata-mata; (d) pembinaan manajemen keuangan kepada masyarakat; (e) mengembangkan persaingan yang sehat; (f) menghidupkan lembaga zakat; dan (g) pembentukan jaringan kerjasama dengan lembaga keuangan Islam lainnya (Iska, 2012).

Persoalan pokok dalam mekanisme bank Islam yaitu bahwa uang hanyalah sekadar alat untuk memperlancar kegiatan ekonomi bukan sebagai komoditas yang diperdagangkan. Sehingga dalam mekanisme kerja bank Islam menghindarkan praktik yang mengarah pada praktik spekulasi dan untung-untungan tetapi lebih ditekankan pada upaya untuk menggerakkan kegiatan ekonomi secara riil. Esensi yang dikembangkan dalam sistem perbankan Islam adalah bagaimana uang secara optimal dapat digunakan untuk menggerakkan sektor riil karena memang sektor riil itulah yang dapat meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi semua pelaku ekonomi (Yuliadi, 2007).

Dengan demikian sebenarnya pengertian antara bank dan bank syariah sebenarnya sama tetapi hanya dibedakan dengan kinerja operasional dan prinsipnya. Bank Syariah beroperasi dengan sistem bagi hasil dan berbentuk kerjasama, sehingga hubungan antara nasabah atau investor dianggap sebagai rekanan.


(34)

2. Manajemen Pembiayaan 2.1 Pengertian Pembiayaan

Pembiayaan dalam perbankan syariah atau istilah teknisnya aktiva produktif, menurut ketentuan Bank Indonesia adalah penanaman dana Bank Syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk pembiayaan, piutang, qardh, surat berharga syariah, penempatan, penyertaan modal, penyertaan modal sementara, komitmen, dan kontinjensi pada rekening administratif serta sertifikat wadiah Bank Indonesia.

Pembiayaan, secara luas, berarti financing atau pembelanjaan, yaitu pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncankan, baik dilakukan sendiri maupun dijalankan oleh orang lain. Dalam arti sempit, pembiayaan dipakai untuk mendefinisikan pendanaan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan seperti bank syariah kepada nasabah (Muhammad, 2005).

Menurut UU No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: (a) transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; (b) transaksi sewa-menyewa dalam bentuk piutang murabahah, salam dan istishna’; (c) transaksi jual beli dalam bentuk piutang qardh; dan (d) transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa. Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut


(35)

setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan atau bagi hasil.

Sedangkan menurut Peraturan Bank Indonesia No 5/7/PBI/2003, Pembiayaan adalah penanaman dana bank syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk pembiayaan, piutang, qardh, surat berharga syariah, penempatan, penyertaan modal, penyertaan modal sementara, komitmen dan kontinjensi pada rekening administratif serta Sertifikat Bank Indonesia Syariah.

2.2 Unsur-Unsur Pembiayaan

Pembiayaan pada dasarnya diberikan atas dasar kepercayaan. Hal ini berarti bahwa prestasi yang diberikan benar-benar haus dapat diyakini dapat dikembalikan oleh penerima pembiayaan sesuai dengan waktu dan syarat-syarat yang telah disepakati bersama. Adapun unsur-unsur dalam pembiayaan tersebut adalah (Rivai dan Arviyan, 2010) :

1. Adanya dua pihak, yaitu pemberi pembiayaan (shahibul maal) dan penerima pembiayaan (mudharib). Hubungan pemberi pembiayaan dan penerima pembiayaan merupakan hubungan kerjasama yang saling menguntungkan, yang diartikan sebagai kehidupan tolong menolong 2. Adanya kepercayaan shahibul maal kepada mudharib yang didsarkan

prestasi, yaitu potensi mudharib

3. Adanya persetujuan, berupa kesepakatan kedua belah pihaj dengan pihak lainnya yang berjanji membayar dari mudharib kepada shahibul


(36)

maal. Janji membayar tersebut berupa janji lisan, tertulis (akad pembiayaan) atau berupa instrumen.

4. Adanya penyerahan barang, jasa atau uang dari shahibul maal kepada mudharib

5. Adanya unsur waktu yang merupakan unsur esensial pembiayaan. Misalnya penanbung memberikan pembiayaan sekarang untuk konsumsi yang lebih besar di masa yang akan datang

6. Adanya unsur resiko dikedua belah pihak. Biasanya berupa resiko gagal bayar.

2.3 Tujuan dan Fungsi Pembiayaan

Proses pembiayaan dilakukan secara hati-hati oleh bank syariah dengan maksud untuk mencapai sasaran dan tujuan pemberian pembiayaan. Ketika bank syariah menetapkan keputusan pemberian pembiayaan maka sasaran yang hendak dicapai adalah aman, terarah dan mneghasilkan pendapatan. Sedangkan tujuan pemeberian pembiayaan minimal akan memberikan manfaat pada (Muhammad, 2005) :

1. Bagi Pemilik, yaitu para pemilik mengharapkan akan memperoleh penghasilan atas dana yang ditanamkan pada bank tersebut.

2. Bagi Pegawai, yaitu para pegawai mengharapkan dapat memperoleh kesejahteraan dari bank yang dikelolanya.

3. Bagi Bank, yaitu dapat digunakan sebagai instrumen bank dalam memelihara likuiditas, solvabilitas dan rentabilitas, kemudian dapat menjadi pendorong peningkatan penjualan produk bank yang lain dan


(37)

pembiayaan diharapkan dapat menjadi sumber utama pendapatan bank yang berguna bagi kelangsungan hidup bank tersebut.

4. Bagi Mudharib, yaitu bahwa pemberian pembiayaan oleh bank dapat digunakan untuk mempelancar usaha dan selanjutnya meningkatkan usaha sehingga kontinuitas perusahaan

5. Bagi Masyarakat (negara), yaitu bahwa pemberian pembiayaan oleh bank syariah akan mampu menggerakkan perekonomian masyarakat, peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat akan mampu menyerap tenaga kerja dan pada gilirannya mampu mensejahterakan masyarakat. Disamping itu bagi negara bahwa pembiayaan dapat digunakan sebagia instrumen moneter. Pemerintah dapat mempengaruhi restriksi maupun ekspansi pembiayaan perbankan syariah melalui kebijakan moneter dan perbankan

6. Bagi pemerintah, yaitu pemerintah terbantu dalam pembiayaan pembangunan negara, disamping itu akan diperoleh pajak (berupa pajak penghasilan atas keuntungan yang diperoleh bank dan juga perusahaan-perusahaan)

Sesuai dengan tujuan pembiayaan sebagaimana diatas, pembiayaan secara umum memiliki fungsi untuk (Rivai dan Arviyan, 2010) :

1. Meningkatkan Daya Guna Uang

Para penabung menyimpan uangnya di bank dalam bentuk giro, tabungan dan deposito. Uang tersebut dalam presentase tertentu ditingkatkan kegunaannya oleh bank guna suatu peningkatan usaha.


(38)

Dengan demikian, dana yang mengendap dibank (yang diperoleh dari para penyimpan uang) tidaklah idle (diam) dan disalurkan untuk usaha-usaha yang bermanfaat.

2. Meningkatkan Daya Guna Barang

Produsen dengan bantuan pembiayaan bank dapat mengubah bahan mentah menjadi bahan jadi sehingga utilitas dari bahan tersebut meningkat

3. Meningkatkan Peredaran Uang

Melalui pembiayaan, peredaran uang kartal maupun giral akan lebih berkembang karena pembiayaan menciptakan suatu kegairahan berusaha sehingga penggunaan uang akan bertambah baik secara kualitatif apalagi secara kuantitatif.

4. Menimbulkan Kegairahan Usaha

Bantuan pembiayaan yang diterima pengusaha dari bank kemudian digunakan untuk memperbesar volume usaha dan produktivitasnya. Secara otomatis kemudian timbul kesan bahwa setiap usaha untuk peningkatan produktivitasnya, masyarakat tidak perlu khawatir kekurangan modal, karena masalahnya dapat diatasi oleh bank dengan pembiayaan.

5. Stabilitas Ekonomi

Untuk menekan arus inflasi dan terlebih-lebih lagi untuk usaha pembangunan ekonomi maka pembiayaan bank memegang peranan penting.


(39)

2.4 Analisis Pembiayaan

Penyaluran pembiayaan kepada masyarakat harus melewati beberapa analisis pembiayaan. Hal itu dikarenakan transaksi pembiayaan merupakan transaksi yang cukup berisiko bagi bank. Analisis pembiayaan mencakup latar belakang nasabah atau perusahaan, prosepek usahanya, dan jaminan yang diberikan. Analisis pembiayaan memiliki 2 tujuan yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum analisis pembiayaan adalah pemenuhan jasa pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat dalam rangka mendorong dan melancarkan perdagangan, produksi, jasa-jasa bahkan konsumsi yang kesemuanya ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Sedangkan tujuan khusus analisis pembiayaan adalah (a) untuk menilai kelayakan usaha calon peminjam; (b) untuk menekan resiko akibat tidak terbayarnya pembiayaan; dan (c) untuk menghitung kebutuhan pembiayaan yang layak (Muhammad, 2005).

Dalam pemberian pembiayaan terdapat prinsip-prinsip penilaian pembiayaan yaitu prinsip penilaian 5C (Taswan, 2010) :

1) Character

Yang mempunyai pengertian yaitu sifat dan watak seseorang dalam hal ini calon mudharib. Tujuannya adalah memberi keyakinan kepada bank bahwa sifat atau watak dari orang-orang yang akna diberikan pembiayaan benar-benar dapat dipercaya. Keyakinan ini tercermin dari latar belakang nasabah. Character merupakan ukuran untuk menilai “kemauan” nasabah membayar pembiayaannya.


(40)

2) Capacity

Untuk melihat kemampuan calon nasabah dalam membayar pembiayaan yag dihubungkan dengan kemampuannya mengelola bisnis seta kemampuannya mencari laba. Semakin banyak sumber pendapatan seseorang, semakin besar kemampuannya untuk membayar pembiayaan.

3) Capital

Capital adalah untuk mengetahui sumber-sumber pembiayaan yang dimiliki nasabah terhadap usaha yang akan dibiayai oleh bank. Biasanya bank tidak akan bersedia membiayai suatu usaha 100%. 4) Colleteral

Merupakan jaminan yang diberikan calon nasabah bank yang bersifat fisik maupun non fisik. Jaminan hendaknya melebihi jumlah pembiayaan yang diberikan. Fungsi jaminan adalah sebagai pelindung bank dari resiko kerugian.

5) Condition

Dalam menilai pembiayaan hendaknya juga dinilai kondisi ekonomi sekarang dan untuk dimasa yang akan datang sesuai sektor masing-masing.

2.5 Jenis-Jenis Pembiayaan

Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana utnuk memenuhi kebutuhan


(41)

pihak-pihak yang merupakan defisit unit. Menurut sifat penggunaanya pembiayaan dapat diabagi menjadi 2 yaitu (Antonio, 2001) :

1. Pembiayaan Produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan maupun investasi.

2. Pembiayaan Konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Skema yang biasanya digunakan dalam pembiayaan konsumtif yaitu Al bai’ bi tsaman ajil, Al-ijarah al-muntahia bit-tamlik, Al-musyarakah mutanaqishah dan Ar-Rahn.

Menurut keperluannya, pembiayaan produktif dapat dibagi menajdi dua, yaitu (Rivai dan Arviyan, 2010) :

1. Pembiayaan Modal Kerja, yaitu pembiayaan untuk memnuhi kebutuhan: (a) peningkatan produksi, baik secara kuantitatif yaitu jumlah hasil produksi mauoun secara kuantitatif yaitu peningkatan kualitas atau mutu hasil produksi dan (b) untuk keperluan perdagangan dan peningkatan utility of place dari suatu barang. Unsur-unsur modal kerja terdiri atas komponen-komponen alat likuid (cash), piutang dagang (receivable), dan persediaan (inventory) yang umumnya terdiri atas persediaan bahan baku (raw material), persediaan barang dalam proses (work in process), dan persediaan barang jadi (finished goods). Oleh karena itu, pembiayaan modal kerja merupakan salah satu atau


(42)

kombinasi dari pembiayaan likuiditas (cash financing), pembiayaan piutang (receivable financing) dna pembiayaan persediaan (inventory financing). Skema pembiayaan modal kerja biasanya menggunakan skema mudharabah.

2. Pembiayaan Investasi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal (capital goods) serta fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya dengan itu. Pada umumnya, pembiayaan investasi diberikan dalam jumlah besar dan pengendapannya cukup lama. Oleh karena itu, perlu disusun proyeksi arus kas (projected cash flow) yang mencakup semua komponen baiya dan pendapatan sehingga akan dapat diketahui berapa dana yang tersedia setelah semua kewajiban terpenuhi. Setelah itu, barulah disusun jadwa amortisasi yang merupakan angsuran pembiayaan. Skema yang biasanya digunakan dalam pembiayaan ini adalah skema musyarakah mutanaqisah, al-ijarah al-muntahiyah bit-tamlik.


(43)

Secara umum, jenis-jenis pembiayaan dapat digambarkan sebagai berikut :

Sumber : Bank Syariah, dari Teori ke Praktik (Antonio, 2001) Gambar 2.1 Jenis-Jenis Pembiayaan

Dapat disimpulkan bahwa pembiayaan dalam perbankan syariah dapat dibagi menjadi pembiayaan konsumtif, produktif, modal kerja dan investasi.

2.6 Teori Resiko Pembiayaan

Risiko pembiayaan adalah risiko kemungkinan pinjaman tidak kembali sesuai dengan kontrak, seperti penundaan, pengurangan pembayaran suku bunga dan/atau pinjaman pokoknya, atau tidak membayar pinjamannya sama sekali (Silvanita, 2009). Selain itu risiko pembiayaan didefiniskan sebagai risiko kerugian yang dikaitkan dengan kemungkingan kegagalan klien membayar kewajibannya atau risiko dimana mudharib tidak dapat melunasi hutangnya (Ghozali dalam Wardhana, 2015).

Risiko pembiayaan muncul jika bank tidak bisa memperoleh kembali cicilan pokok dan atau bunga dari pinjaman yang diberikannya atau investasi yang sedang dilakukannya. Penyebab utama terjadinya risiko pembiayaan adalah terlalu mudahnya bank memberikan pinjaman atau

PEMBIAYAAN

KONSUMTIF PRODUKTIF


(44)

melakukan investasi karena terlalu dituntut untuk memanfaatkan kelebihan likuiditas, sehingga penilaian pembiayaan kurang cermat dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan risiko usaha yang dibiayainya (Muhammad, 2005).

Hampir semua regulator menetapkan standar pengelolaan risiko pembiayaan yang meliputi identifikasi risiko dan potensi yang ada, mendefinisikan kebijakan yang menggambarkan filosofi manajemen risiko bank serta menetapkan aturan mengenai ukuran/parameter dalam risiko pembiayaan yang akan dikontrol (Greuning dan Bratanovic dalam Mada, 2015). Ada tiga jenis kebijakan yang berkaitan dengan manajemen risiko pembiayaan (Taswan, 2010) :

a. Kebijakan yang bertujuan untuk membatasi atau mengurangi risiko pembiayaan. yang termasuk dalam jenis pertama adalah kebijakan pada konsentrasi dan pemaparan besar, diversifikasi, pinjaman kepada pihak terkait, dan kelebihan pemaparan.

b. Kebijakan yang bertujuan mengklasifikasikan asset dengan cara mengevaluasi kolektabilitas portofolio instrument pembiayaan secara berkala.

c. Kebijakan yang bertujuan untuk kerugian provisi atau kebijakan dalam menciptakan tunjangan pada tingkat tertentu untuk menyerap kerugian yang dapat diantisipasi.

Suatu pembiayaan dinyatakan bermasalah jika bank benar-benar tidak mampu menghadapi risiko yang ditimbulkan oleh pembiayaan


(45)

tersebut. Risiko pembiayaan didefinisikan sebagai risiko kerugian sehubungan dengan pihak peminjam tidak dapat dan tidak mau memenuhi kewajiban untuk membayar kembali dana yang dipinjamnya secara penuh pada saat jatuh tempo atau sesudahnya. (Idroes dalam Rahmawulan, 2008). Risiko ini dapat ditekan dengan cara memberikan wewenang keputusan biaya bagi setiap aparat pembiayaan, berdasarkan kapabilitasnya (authorize limit) dan batah jumlah (pagu) pembiayaan yang dapat diberikan pada usaha atau perusahaan tertentu (credit line limit), serta melakukan diversifikasi (Muhammad, 2005).

2.7 Sistem Pembiayaan

Sistem pembiayaan akan menentukan pola pembayaran/pelunasan pembiayaan, oleh karena itu penempatan pembiayaan harus harus memperhatikan sistem pembiayaan. Secara umum sistem pembiayaan ada 3 (tiga) macam yaitu (Taswan, 2010):

a. Self Liquidating System

Self Liquidating System adalah sistem pemberian pembiayaan yang didasarkan pada kepastian sumber pelunasan pembiayaan. Pada sistem ini sumber referensinya adalah sumber penghasilan, jumlah penghasilan mudharib dan jangka waktu pelunasan yang telah diketahui terlebih dahulu oleh bank, dengan demikian ada kepastian. Namun demikian, bank tetap memperhatikan caharacter, capacity, collateral, capital, dan condition of economic.


(46)

Tabel 2.1 Sumber Pelunasan dan Referensinya - Self Liquidating System

Keterangan Referensi

Sumber penghasilan Gaji karyawan Jumlah penghasilan Nilai gaji karyawan Jumlah pelunasan Sesuai skala angsuran

Waktu pelunasan Sesuai akad pembiayaan

Sumber : Manajemen Perbankan (Taswan, 2010) b. Anticipated Income System

Pada sistem ini, penempatan keredit berdasarkan pada proyeksi sumber penghasilan, jumlah penghasilan, jumlah pelunasan, dan waktu pelunasan disamping memperhatikan prinsip pembiayaan 4C. Sistem ini biasanya terjadi pada pembiayaan investasi. Pembiayaan investasi adalah pembiayaan yang diberikan untuk membiayai barang-barang modal (memberi manfaat lebih dari 1 tahun), misalnya dalam rangka pendirian pabrik, ekspansi pabrik atau mungkin rehabilitasi pabrik, jalan raya dan sebagainya. Pembiayaan atau kerdit terhadap proyek-proyek seperti ini adalah mengandung risiko yang besar. Bank mengandalkan referensi berupa rencana yang bersifat proyektif sehingga masih terdapat ketidakpastian dimasa mendatang.

Tabel 2.2 Sumber Pelunasan dan Referensinya - Anticipated Income System

Keterangan Referensi

Sumber penghasilan Rencana proyek/investasi Jumlah penghasilan Estimasi arus kas masuk

Jumlah pelunasan Rencana/proyeksi arus kas

Waktu pelunasan Rencana/estimasi jangka waktu


(47)

c. Sistem Kombinasi/Gabungan (Mix)

Sistem ini dalah sistem pembiayaan untuk usaha, investasi dan konsumsi yang mengandung kedua kondisi diatas (self liquidating maupun anticipated income).

3. NPF (Non Performing Financing)

3.1 Pengertian NPF (Non Performing Financing)

Sebagai indikator yang menunjukkan kerugian akibat risiko pembiayaan adalah tercermin dari besarnya Non Performing Financing (NPF). NPF adalah rasio antara pembiayaan yang bermasalah dengan total pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah. Berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan oleh Bank Indonesia kategori yang termasuk dalam NPF adalah pembiayaan kurang lancar, diragukan dan macet (Rimadhani dalam Annisa 2011). Adapun menurut Rivai (2010) pembagian kualitas pembiayaan adalah sebagai berikut:

1. Pembiayaan Lancar

a. Pembayaran angsuran pokok dan atau bunga tepat waktu. b. Memiliki mutasi rekening yang aktif.

c. Bagian dari pembiayaan yang dijamin dengan agunan tunai (cash collateral).

2. Perhatian Khusus

a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan atau bunga yang belum melampaui 90 hari.


(48)

c. Mutasi rekening relatif aktif.

d. Jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan. e. Didukung oleh pinjaman baru.

3. Kurang Lancar

a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 90 hari.

b. Sering terjadi cerukan.

c. Frekuensi mutasi rekening relatif rendah

d. Terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan lebih dari 90 hari.

e. Terdapat indikasi masalah keuangan yang dihadapi mudharib. f. Dokumentasi pinjaman yang lemah.

4. Diragukan

a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 180 hari.

b. Terjadi cerukan yang bersifat permanen. c. Terjadi wanprestasi lebih dari 180 hari. d. Terjadi kapitalisasi bunga.

e. Dokumentasi hukum yang lemah baik untuk perjanjian pembiayaan maupun pengikatan jaminan.

5. Macet

a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 270 hari.


(49)

b. Kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru.

c. Dari segi hukum maupun kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada nilai wajar.

Non Performing Financing (NPF) merupakan pembiayaan yang buruk yaitu pembiayaan yang tidak tertagih. Besarnya NPF mencerminkan tingkat pengendalian biaya dan kebijakan pembiayaan yang dijalankan oleh bank. Faktor-faktor yang menyebabkan pembiayaan yang buruk ini (Rose-Kolari dalam Inayah, 2005) antara lain karakter buruk peminjam, adanya praktek kolusi, dalam pencairan pembiayaan, kelemahan manajemen, pengetahuan dan keterampilan, dan perubahan kondisi lingkungan.

Sedangkan menurut Veithzal (2010), pembiayaan bermasalah berarti pembiayaan yang dalam pelaksanaannya belum mencapai atau memenuhi target yang diinginkan pihak bank seperti: pengembalian pokok atau bagi hasil yang bermasalah; pembiayaan yang memiliki kemungkinan timbulnya risiko dikemudian hari bagi bank, pembiayaan yang termasuk diragukan dan macet serta golongan lancar yang berpotensi terjadi penunggakan dalam pengembalian. Untuk menekan atau meminimalkan tingkat NPF ini perlu dilakukan analisis pembiayaan. Berdasarkan analisis pembiayaan yang ada diharapkan perbankan dapat mengurangi risiko pembiayaan bermasalah dan lebih berhati-hati dalam menyalurkan pembiayaan.


(50)

NPF yang terus meningkat akan menyebabkan turunnya profitabilitas serta kepercayaan masyarakat atau nasabah kepada bank syariah yang pada akhirnya nasabah enggan untuk menyimpan dananya di bank syariah. Besarnya NPF yang diperbolehkan oleh Bank Indonesia adalah maksimal 5 persen, jika melebihi 5 persen akan mempengaruhi penilaian tingkat kesehatan bank yang bersangkutan. Sesuai SE BI No. 9/24/Dpbs Tanggal 30 Oktober 2007 tentang sistem penilaian kesehatan bank berdasarkan prinsip syariah yang dirumuskan sebagai berikut:

Cakupan pembiayaan dan kolektabilitas pembiayaan berpedoman pada Ketentuan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang melaksanakan usaha berdasarkan prinsip syariah. Kriteria penilaian yang ditetapkan oleh Bank Indonesia adalah:

Tabel 2.3 Kriteria Penilain NPF oleh Bank Syariah

Peringkat Kriteria Keterangan

Peringkat 1 NPF < 2% Sangat Baik

Peringkat 2 2% ≤ NPF < 5% Baik

Peringkat 3 5% ≤ NPF < 8% Cukup Baik

Peringkat 4 8% ≤ NPF < 12% Kurang Baik

Peringkat 5 NPF ≥ 12% Tidak Baik

Sumber: SE Bank Indonesia No 9/24/DPbS tahun 2007

Menurut Antonio (2001), pengendalian biaya mempunyai hubungan terhadap kinerja lembaga perbankan, sehingga semakin rendah tingkat NPF (ketat kebijakan pembiayaan) maka akan semakin kecil jumlah pembiayaan yang disalurkan oleh bank, dan semakin ketat kebijakan pembiayaan/analisis pembiayaan yang dilakukan bank (semakin ditekan


(51)

tingkat NPF) akan menyebabkan tingkat permintaan pembiayaan oleh masyarakat turun. Hal ini disebabkan karena waktu proses pembiayaan yang cukup lama, analisis pembiayaan yang mendalam, bahkan ada calon nasabah yang merasa privasi pribadinya terganggu (merasa tidak percaya) karena adanya analisis karakter yang mendalam, sehingga calon nasabah merasa lebih baik meminjam (pindah) ke bank lain yang lebih lunak dalam melakukan analisis pembiayaan/kebijakan pembiayaan.

Teori tersebut didukung oleh hasil penelitian Arianti dan Muharam (2012) yang mengungkapkan bahwa tinggi rasio NPF menunjukkan semakin buruk kualitas pembiayaannya, dan tentunya akan semakin rendah jumlah pembiayaan yang disalurkan oleh bank. Pembiayaan bermasalah yang tinggi dapat menimbulkan keengganan bank untuk menyalurkan pembiayaan, dimana setiap kenaikan pembiayaan bermasalah akan menurunkan jumlah dana yang disalurkan.

3.2 Penyebab NPF (Non Performing Financing)

Dari perspektif bank, terjadinya pembiayaan bermasalah disebabkan oleh berbagai faktor yang dapat dibedakan sebagai berikut (Kasmir, 2008) :

1. Faktor Internal

Faktor internal pembiayaan bermasalah berhubungan dengan kebijakan dan strategi yang ditempuh pihak bank.


(52)

a. Kebijakan pembiayaan yang ekspansif

Bank yang memiliki kelebihan dana sering menetapkan kebijakan pembiayaan yang terlalu ekspansif yang melebihi pertumbuhan pembiayaan secara wajar, yaitu dengan menetapkan sejumlah target pembiayaan yang harus dicapai untuk kurun waktu tertentu. Keharusan pencapaian target pembiayaan dalam waktu tertentu tersebut cenderung mendorong penjabat pembiayaan menempuh langkah-langkah yang lebih agresif dalam penyaluran pembiayaan sehingga mengakibatkan tidak lagi selektif dalam memilih calon mudharib dan kurang menerapkan prinsip – prinsip pembiayaan yang sehat dalam menilai permohonan pembiayaan sebagaimana seharusnya. Di samping itu, bank sering saling membajak nasabah dengan memberikan kemudahan yang berlebihan. Bank dalam beberapa kasus sering mengabaikan kalau calon mudharibnya masuk dalam Daftar Pembiayaan Macet yang diterbitkan Bank Indonesia secara rutin.

b. Penyimpangan dalam pelaksanaan prosedur pembiayaan

Pejabat bank sering tidak mengikuti dan kurang disiplin dalam menerapkan prosedur pembiayaan sesuai dengan pedoman dan tata cara dalam suatu bank. Hal yang sering terjadi, bank tidak mewajibkan calon mudharib membuat studi kelayakan dan menyampaikan data keuangan yang lengkap. Penyimpangan sistem dan prosedur pembiayaan tersebut bisa disebabkan karena jumlah


(53)

dan kualitas sumber daya manusia, khususnya yang menangani masalah pembiayaan belum memadai. Di samping itu, salah satu penyebab timbulnya pembiayaan bermasalah tersebut dari sisi intern bank adalah adanya pihak dalam bank yang sangat dominan dalam pemutusan pembiayaan.

c. Lemahnya sistem administrasi dan pengawasan pembiayaan

Untuk mengukur kelemahan sistem administrasi dan pengawasan pembiayaan bank dapat dilihat dari dokumen pembiayaan yang seharusnya diminta dari mudharib tapi tidak dilakukan oleh bank, berkas pembiayaan tidak lengkap dan tidak teratur, pemantauan terhadap usaha mudharib tidak dilakukan secara rutin, termasuk peninjauan langsung pada lokasi usaha mudharib secara periodik. Lemahnya sistem administrasi dan pengawasan tersebut menyebabkan pembiayaan yang secara potensial akan mengalami masalah tidak dapat dilacak secara dini, sehingga bank terlambat melakukan langkah-langkah pencegahan.

d. Lemahnya informasi pembiayaan

Sistem informasi yang tidak berjalan sebagaimana seharusnya akan memperlemah keakuratan pelaporan bank yang pada gilirannya sulit melakukan deteksi dini. Hal tersebut dapat menyebabkan terlambatnya pengambilan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah terjadinya pembiayaan bermasalah.


(54)

Pemilik atau pengurus bank seringkali memanfaatkan keberadaan banknya untuk kepentingan kelompok bisnisnya dengan sengaja melanggar ketentuan kehati-hatian perbankan terutama legal lending limit. Skenario lain adalah pemilik dan atau pengurus bank memberikan pembiayaan kepada mudharib yang sebenarnya fiktif. Padahal pembiayaan tersebut digunakan untuk tujuan lain. Skenario ini terjadi karena adanya kerja sama antara pemilik dan pengurus bank yang memiliki itikad kurang baik.

2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal ini sangat terkait dengan kegiatan usaha mudharib yang menyebabkan terjadinya pembiayaan bermasalah antara lain terdiri dari:

a. Penurunan kegiatan ekonomi dan tingginya suku bunga pembiayaan

Penurunan kegiatan ekonomi dapat disebabkan oleh adanya kebijakan penyejukan ekonomi atau akibat kebijakan pengetatan uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia yang menyebabkan tingkat bunga naik dan pada gilirannya mudharib tidak lagi mampu membayar cicilan pokok dan bunga pembiayaan.

b. Pemanfaatan iklim persaingan perbankan yang tidak sehat oleh mudharib

Dalam kondisi persaingan yang tajam, sering bank menjadi tidak rasional dalam pemberian pembiayaan dan akan diperburuk dengan


(55)

keterbatasan kemampuan teknis dan pengalaman petugas bank dalam pengelolaan pembiayaan.

c. Kegagalan usaha mudharib

Kegagalan usaha mudharib dapat terjadi karena sifat usaha mudharib yang sensitif terhadap pengaruh eksternal, misalnya kegagalan dalam pemasaran produk karena perubahan harga di pasar, adanya perubahan pola konsumen, dan pengaruh perekonomian nasional.

d. Mudharib mengalami musibah

Musibah bisa saja terjadi pada mudharib, misalnya meninggal dunia, lokasi usahanya mengalami kebakaran atau kerusakan sementara usaha mudharib tidak dilindungi dengan asuransi.

Menurut Mahmoedin (dalam Zakiyah dan Yulizar, 2011) indikasi perilaku kredit bermasalah dapat dilihat dari perilaku rekening (account attitudes), perilaku laporan keuangan (financial statment attitudes), perilaku kegiatan bisnis (business activities attitudes), perilaku nasabah (customer attitudes), dan perilaku makroekonomi (macroeconomic attitudes). Selain itu faktor-faktor yang menyebabkan kredit bermasalah itu sendiri disebabkan oleh tiga unsur, yaitu dari pihak bank itu sendiri (kreditur), debitur, serta diluar kreditur dan debitur tersebut. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa banyak aspek yang dapat mempengaruhi tingkat kredit atau pembiayaan bermasalah pada lembaga keuangan.


(56)

3.3 Penyelamatan dan Penyelesaian NPF

Untuk menutup risiko kerugian penanaman dana, bank dalam setiap akad pembiayaan wajib membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA). PPA adalah cadangan yang harus dibentuk bank sebesar presentase tertentu berdasarkan kualitas aktiva masing-masing. Tujuannya adalah sebagai pelindung ketika kualitas pembiayaan-pembiayaan tersebut menurun atau bahkan macet (Muhammad, 2005). PPA diambil dari laba, jadi semakin tinggi kualitas pembiayaan bermasalah maka presentase PPA yang dikeluarkan semakin besar sehingga bersifat mengurangi laba (Darmawi, 2011). Pedoman pembentukan PPA adalah sebagai berikut (Haryono, 2009) :

1. Cadangan Umum

Jumlah minimal sebesar 1 persen dari aktiva produksi yang digolongkan lancar, tidak termasuk Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) dan surat berharga yang diterbitkan pemerintah berdasarkan prinsip syariah, serta bagian aktiva produktif yang dijamin pemerintah dan agunan tunai berupa giro, tabungan, deposito, setora jaminan dan atau emas yang diblokir dan disertai dengan surat kuasa pencairan. 2. Cadangan Khusus

a. 5 persen dari aktiva dengan kualitas dalam perhatian khusus setelah dikurangi nilai agunan.

b. 15 persen dari aktiva dengan kualitas kurang lancar setelah dikurangi nilai agunan.


(57)

c. 50 persen dari aktiva dengan kualitas diragukan setelah dikurangi nilai agunan.

d. 100 persen dari aktiva dengan kualitas macet setelah dikurangi nilai agunan

Menurut Fauziyah (2015) semakin tinggi NPF menunjukkan semakin buruk kualitas pembiayaan. Buruknya kualitas pembiayaan akan berpengaruh terhadap turunnya keuntungan yang diperoleh bank, karena pada saat terjadinya pembiayaan bermasalah pengembalian pokok atau bagi hasil tidak tepat pada waktunya atau bahkan tidak dibayarkan. Dalam hal ini bank harus membentuk cadangan atau yang disebut Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA). PPA merupakan cadangan yang digunakan apabila terjadi pembiayaan dengan kualitas dalam perhatian lancar, khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet. Semakin tinggi kualitas pembiayaan bermasalah atau NPF maka cadangan PPA semakin tinggi, oleh karena itu akan berpengaruh terhadap menurunnya keuntungan karena PPA diambil dari laba, jadi laba akan menurun.

Selain itu usaha untuk menyelesaikan pembiayaan yang dikategorikan macet dapat ditempuh dengan usaha-usaha sebagai berikut (Karim, 2004) :

a. Rescheduling

Yaitu perubahan syarat pembiayaan hanya menyangkut jadwal pembayaran pembiayaan dan atau jangka waktu termasuk masa tenggang, dan besarnya perubahan angsuran pembiayaan. Tentu tidak


(58)

semua mudharib diberikan kebijakan ini oleh bank, melainkan hanya diberikan kepada mudharib yang menunjukkan itikad dan karakter yang jujur dan memiliki kemampuan untuk membayar atau melunasi pembiayaan. Disamping itu usaha mudharib yang tidak memerlukan dana atau likuiditas.

b. Reconditioning

Yaitu perubahan sebagian atau seluruh persyaratan pembiayaan yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu, tingkat suku bunga, penundaan pembayaran sebagian atau seluruh bunga dan persyaratan lainnya. Perubahan persyaratan pembiayaan tersebut tidak menyangkut penambahan dana atau injeksi dan konversi sebagian atau seluruh pembiayaan menjadi equity perusahaan.

c. Restructuring

Yaitu perubahan syarat pembiayaan yang menyangkut penambahan dana bank atau konversi atau seluruh atau sebagian tunggakan menjadi bunga pokok pembiayaan baru, dan atau konversi seluruh atau sebagian dari pembiayaan menjadi persyaratan bank atau mengambil partner uang lain untuk menambah penyertaan.

d. Liquidation

Yaitu penjualan barang-barang yang dijadikan jaminan dalam rangka pelunasan utang. Pelaksanaan liquidasi ini dilakukan memang benar-benar pada pembiayaan yang dikategorikan sudah tidak dapat lagi dibantu untuk disehatkan kembali atau usaha nasabah yang tidak dapat


(59)

dilakukan dengan penyerahan penjualan barang tersebut kepada nasabah yang bersangkutan. Sedangkan bagi BUMN, proses penjualan barang jaminan dan asset bank dapat diserahkan kepada BPPN untuk selanjutnya dilakukan eksekusi atau pelelangan.

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi NPF 4.1 CAR (Capital Adequacy Ratio)

Keberlangsungan hidup suatu bank sangat tergantung dari kecukupan modal yang dapat menggerakkan operasional bank. Modal bank adalah dana yang diinvestasikan oleh pemilik dalam rangka pendirian badan usaha yang dimaksudkan untuk membiayai kegiatan usaha bank disamping untuk memenuhi regulasi yang ditetapkan oleh otoritas moneter (Kuncoro dan Suhardjono dalam Hanifah, 2015).

Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/21/PBI/2001, bank wajib menyediakan modal minimum sebesar 8 persen dari aktiva tertimbang menurut risiko yang dinyatakan dalam rasio Capital Adequacy Ratio (CAR), sedangkan dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API) untuk menjadi bank jangkar bank harus memiliki CAR minimal 12 persen. Rasio ini juga bertujuan untuk memastikan bahwa jika dalam aktivitasnya bank mengalami kerugian, maka ketersediaan modal yang dimiliki oleh bank mampu menutupi kerugian tersebut. Kewajiban penyediaan modal yang diharapkan dapat menjamin bahwa bank yang beroperasi secara internasional maupun nasional akan beroperasi secara baik dan prudent (Taswan, 2005).


(60)

Menurut Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004, CAR dirumuskan sebagai berikut :

Modal Bank terdiri atas modal intin dan modal pelengkap. Komponen modal inti meliputi modal disetor, agio saham, cadangan yang dibentuk dari laba setelah pajak (cadangan umum), dan laba ditahan. Modal pelengkap antara lain adalah cadangan revaluasi aktiva tetap (Dendanwijaya dalam Giras, 2016). Ketetapan standar BIS Perbankan Internasional dengan formula sebagai berikut:

1. 4 persen modal inti yang terdiri dari shareholder equity, prefered stock, dan freereserves, serta

2. 4 persen modal sekunder yang terdiri dari subordinate debt, loan loss provision, hybrid securities, dan revolution reserves.

ATMR dihitung dari aktiva yang tercantum dalam neraca maupun aktiva yang bersifat administratif (tidak tercantum dalam neraca). Menurut Hasibuan (2006) ATMR aktiva neraca dihitung dengan cara mengalikan nilai nominal masing-masing aktiva yang bersangkutan dengan bobot risiko dari masing-masing pos aktiva neraca tersebut. ATMR aktiva adminitratif dihitung dengan cara mengalikan nilai nominal rekening administratif yang bersangkutan dengan risiko dari masing-masing pos rekening tersebut ( risiko aktiva administratif).


(61)

Semakin tinggi CAR maka semakin besar pula sumber daya finansial yang dapat digunakan untuk mengantisipasi potensi kerugian yang diakibatkan oleh penyaluran pembiayaan. Secara singkat dapat dikatakan besarnya nilai CAR akan meningkatkan kepercayaan diri perbankan dalam menyalurkan pembiayaan. Penurunan CAR akan menurunkan kepercayaan masyarakat dan ini berarti mengancam keberlangsungan usaha perbankan (Taswan, 2005). Dengan CAR diatas 20 persen, perbankan bisa memacu pertumbuhan pembiayaan hingga 20-25 persen setahun (Wibowo dalam Hanifah, 2015). Namun sebenarnya penurunan angka CAR bukanlah suatu masalah sepanjang masih bisa memenuhi ketentuan yang diterapkan oleh Bank of International Settlements (BIS), yaitu sebesar 8 persen .

Tingginya CAR mengindikasikan adanya sumber daya finansial (modal) yang idle ataupun disalurkan ke sektor lain ataupun investasi lain selain pembiayaan, karena seperti diketahui bahwa pembiayaan merupakan investasi yang risikonya paling tinggi. Bank sebagai lembaga komersial jelas tidak mau mengambil risiko terlalu tinggi dalam melakukan aktifitasnya sehingga modal yang tersedia diinvestasikan ke sektor lain ataupun surat berharga. Pulihnya perekonomian dan perbankan secara berangsur-angsur telah mendorong optimalisasi kegunaan sumber daya finansial (modal) melalui penyaluran pembiayaan. Penyaluran pembiayaan bank syariah mengalami peningkatan setiap tahunnya tetapi tidak diikuti dengan perubahan nilai CAR (Darmawi, 2011).


(62)

4.2 FDR (Financing to Deposit Ratio)

Pada dasarnya, bank syariah memberi keuntungan kepada deposan dengan pendekatan Financing to Deposit Ratio (FDR), sedangkan bank konvensional dengan pendekatan biaya. Artinya dalam mengakui pendapatan, bank syariah menimbang rasio antara dana pihak ketiga (DPK) dan pembiayaan yang diberikan, serta pendapatan yang dihasilkan dari perpaduan dua faktor tersebut. Sedangkan bank konvensional langsung menganggap semua bunga yang diberikan adalah biaya, tanpa memperhitungkan berapa pendapatan yang dapat dihasilkan dari dana yang dihimpun tersebut (Muhammad, 2005)

FDR adalah rasio antara jumlah pembiayaan yang diberikan pihak bank dengan dana yang diterima oleh bank. FDR ditentukan oleh perbandingan antara jumlah pinjaman yang diberikan dengan dana masyarakat yang dihimpun, yaitu mencakup giro, simpanan berjangka (deposito) dan tabungan (Kuncoro dan Suhardjono, 2002).

FDR tersebut menyatakan seberapa jauh kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana yang dilakukan deposan dengan mengandalkan pembiayaan yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Semakin besar pembiayaan maka pendapatan yang diperoleh naik, karena pendapatan naik secara otomatis laba juga akan mengalami kenaikan. Indikator untuk mengetahui likuid atau tidaknya sebuah bank dapat dilihat dari rasio FDR bank tersebut (Annisa, 2016).


(63)

Bank dikatakan likuid ketika mampu memenuhi semua kewajiban hutangnya dan memenuhi permintaan kebutuhan dana yang diajukan nasabah tanpa adanya penangguhan dalam pemberian dana melalui pembiayaan tersebut. Menurut Surat Edaran Bank Indonesia tanggal 29 Mei 1993, termasuk dalam pengertian dana yang diterima bank adalah sebagai berikut (Dendawijaya dalam Wardhana, 2015):

a. KLBI (Kredit Likuditas Bank Indonesia) jika ada. b. Giro, deposito, dan tabungan masyarakat.

c. Pinjaman bukan dari bank yang berjangka waktu lebih dari 3 bulan, tidak termasuk pinjaman subordinasi.

d. Deposito dan pinjaman dari bank lain, yang berjangka waktu lebih dari 3 bulan.

e. Surat berharga yang diterbitkan oleh bank yang berjangka waktu lebih dari 3 bulan.

f. Modal pinjaman. g. Modal inti.

Rasio FDR itu sendiri adalah perbandingan antara pembiayaan yang diberikan oleh bank dengan dana pihak ketiga (DPK) yang berhasil dikerahkan oleh bank (Muhammad, 2005) seberapa besar permbiayaan yang diberikan kepada masyarakat atau nasabah bank harus mampu mengimbanginya dengan segera memenuhi kebutuhan akan penarikan kembali dana sewaktu-waktu oleh deposan. Rasio FDR dirumuskan sebagai berikut (Marpungah, 2015):


(64)

Keberhasilan bank dalam menjalankan fungsi intermediasi dapat dilihat dari nilai presentase Financing To Deposit Ratio (LDR), dalam istilah lain financing adalah total pembiayaan yang berhasil disalurkan oleh bank syariah (dalam bentuk mudharabah, musyarakah, piutang dan ijarah) total deposit adalah penjumlahan atas DPK (giro, tabungan dan deposito). Berikut ini adalah tingkat likuiditas yang ideal bagi perbankan syariah sesuai dengan PBI Nomor 11/25/PBI/2009:

a. Baik, 75% ≤ FDR ≤ 100%

b. Kelebihan likuiditas, FDR < 75% c. Kurang Likuiditas, FDR > 100%

4.3 BOPO (Biaya Operasional Pendapatan Operasional)

Rasio BOPO adalah perbandingan antara biaya operasional dan pendapatan operasional. Rasio ini sering disebut sebagai rasio efisiensi yang digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengendalikan biaya operasional terhadap pendapatan operasional. Semakin kecil rasio ini maka semakin efisien bank dalam menjalankan usahanya dan kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil. Semakin kecil rasio BOPO maka kinerja bank semakin baik. Semakin tinggi biaya pendapatan bank berarti kegiatan operasionalnya semakin tidak efisien sehingga menyebabkan pendapatan juga semakin kecil. Maka, BOPO berpengaruh negatif terhadap kinerja keuangan (Karim dan Hassan, 2010) .


(65)

Rasio ini digunakan untuk mengukur efisiensi dan kemampuan bank dalam melakukan kegiatan operasional, tingkat efisiensi cukup baik BOPO adalah berkisar 95 persen – 96 persen (Taswan, 2010). Semakin tinggi rasio BOPO maka efisiensi bank tersebut semakin kecil, dengan kata lain semakin tinggi biaya maka bank semakin tidak efisien sehingga laba semakin kecil. Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut (Fauziyah, 2015):

Biaya Operasional dihitung berdasarkan penjumlahan dari total beban bunga dan total beban operasi lainnya. Pendapatan operasional adalah penjumlahan dari total pendapatan bunga dan total pendapatan operasional lainnya (Popita, 2013).

4.4 Bank Size (Total Aset)

Rasio bank size diperoleh dari total asset yang dimiliki bank yang bersangkutan jika dibandingkan dengan total asset dari bank – bank lain atau dapat dirumuskan sebagai berikut (Pramuditya dalam Wardhana, 2015):

Assets disebut juga aktiva. Sastraduputra (dalam Mada, 2015) menjelaskan bahwa sisi aktiva pada bank menunjukkan strategi dan kegiatan manajemen yang berkaitan dengan tempat pengumpulan dana meliputi kas, rekening pada bank sentral, pinjaman jangka pendek dan jangka panjang, dan aktiva tetap. Manajemen aktiva bank ialah manajemen yang berhubungan dengan alokasi dana ke dalam kemungkinan investasi. Alokasi


(1)

Uji Residual ECT dengan

Augmented Dickey Fuller

(ADF)

Tingkat Level

Null Hypothesis: ECT has a unit root Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=10)

t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.374471 0.0008 Test critical values: 1% level -3.534868

5% level -2.906923

10% level -2.591006 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(ECT)

Method: Least Squares Date: 10/03/16 Time: 06:21

Sample (adjusted): 2010M02 2015M06 Included observations: 65 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. ECT(-1) -0.463867 0.106039 -4.374471 0.0000 C -0.000589 0.008675 -0.067845 0.9461 R-squared 0.232979 Mean dependent var -0.000522 Adjusted R-squared 0.220804 S.D. dependent var 0.079230 S.E. of regression 0.069938 Akaike info criterion -2.452127 Sum squared resid 0.308154 Schwarz criterion -2.385223 Log likelihood 81.69414 Hannan-Quinn criter. -2.425729 F-statistic 19.13599 Durbin-Watson stat 2.011814 Prob(F-statistic) 0.000047


(2)

Uji

Error Correction Model

(ECM)

Dependent Variable: D(LOG_NPF) Method: Least Squares

Date: 06/21/16 Time: 05:39

Sample (adjusted): 2010M02 2015M06 Included observations: 65 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 0.006793 0.008459 0.803030 0.4252 D(CAR) -0.000903 0.005913 -0.152771 0.8791 D(FDR) 0.006516 0.003240 2.011224 0.0489 D(BOPO) 0.003178 0.001811 1.754899 0.0845 D(LOG_SIZE) 0.247721 0.377898 0.655522 0.5147 ECT(-1) -0.271654 0.100748 -2.696356 0.0091 R-squared 0.170713 Mean dependent var 0.010385 Adjusted R-squared 0.100434 S.D. dependent var 0.064258 S.E. of regression 0.060946 Akaike info criterion -2.669892 Sum squared resid 0.219150 Schwarz criterion -2.469180 Log likelihood 92.77151 Hannan-Quinn criter. -2.590698 F-statistic 2.429086 Durbin-Watson stat 2.123491 Prob(F-statistic) 0.045430

Lampiran 11

Uji Multikolinearitas

LOG_NPF

CAR

FDR

BOPO

LOG_SIZE

LOG_NPF

1.000000

-0.076085

0.155406

0.528427

0.853347

CAR

-0.076085

1.000000

-0.319194

-0.237152

0.257796

FDR

0.155406

-0.319194

1.000000

-0.553554

0.189200

BOPO

0.528427

-0.237152

-0.553554

1.000000

-0.217917

LOG_SIZE 0.853347

0.257796

0.189200

-0.217917

1.000000


(3)

Uji Heterokedastisitas dengan

White Test

Heteroskedasticity Test: White

F-statistic 0.688560 Prob. F(20,44) 0.8154 Obs*R-squared 15.49437 Prob. Chi-Square(20) 0.7475 Scaled explained SS 89.40330 Prob. Chi-Square(20) 0.0000

Test Equation:

Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 10/03/16 Time: 06:34 Sample: 2010M02 2015M06 Included observations: 65

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 0.000883 0.003063 0.288429 0.7744 D(CAR) 0.000936 0.002611 0.358517 0.7217 (D(CAR))^2 -0.000317 0.000588 -0.538018 0.5933 (D(CAR))*(D(FDR)) -0.000527 0.001136 -0.463759 0.6451 (D(CAR))*(D(BOPO)) -0.000387 0.000635 -0.610202 0.5449 (D(CAR))*(D(SIZE)) -0.049856 0.175831 -0.283546 0.7781 (D(CAR))*ECT(-1) 0.010370 0.030954 0.335023 0.7392 D(FDR) 0.000123 0.001132 0.108380 0.9142 (D(FDR))^2 0.000242 0.000285 0.852128 0.3988 (D(FDR))*(D(BOPO)) -0.000174 0.000187 -0.927932 0.3585 (D(FDR))*(D(SIZE)) 0.053279 0.067074 0.794327 0.4313 (D(FDR))*ECT(-1) -0.009460 0.011762 -0.804255 0.4256 D(BOPO) -0.000420 0.000578 -0.727327 0.4709 (D(BOPO))^2 -6.72E-05 6.53E-05 -1.029133 0.3090 (D(BOPO))*(D(SIZE)) -0.036159 0.032240 -1.121563 0.2681 (D(BOPO))*ECT(-1) -0.003398 0.005231 -0.649554 0.5194 D(SIZE) -0.005112 0.151616 -0.033716 0.9733 (D(SIZE))^2 -0.226874 1.802312 -0.125879 0.9004 (D(SIZE))*ECT(-1) -2.213363 1.878054 -1.178540 0.2449 ECT(-1) 0.012687 0.031015 0.409065 0.6845 ECT(-1)^2 0.524244 0.257707 2.034266 0.0480 R-squared 0.238375 Mean dependent var 0.003372 Adjusted R-squared -0.107818 S.D. dependent var 0.012716 S.E. of regression 0.013384 Akaike info criterion -5.533512 Sum squared resid 0.007882 Schwarz criterion -4.831018 Log likelihood 200.8391 Hannan-Quinn criter. -5.256333 F-statistic 0.688560 Durbin-Watson stat 0.752086 Prob(F-statistic) 0.815445


(4)

Uji Autokorelasi dengan

LM Test

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 5.678909 Prob. F(2,57) 0.0056 Obs*R-squared 10.79991 Prob. Chi-Square(2) 0.0045

Test Equation:

Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 10/03/16 Time: 06:34 Sample: 2010M02 2015M06 Included observations: 65

Presample missing value lagged residuals set to zero.

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 0.001882 0.007905 0.238036 0.8127 D(CAR) 0.000467 0.005503 0.084902 0.9326 D(FDR) -0.000523 0.003047 -0.171512 0.8644 D(BOPO) -0.000837 0.001702 -0.492099 0.6245 D(LOG_SIZE) -0.156083 0.359111 -0.434638 0.6655 ECT(-1) 0.442171 0.167175 2.644958 0.0105 RESID(-1) -0.740149 0.222235 -3.330476 0.0015 RESID(-2) -0.274783 0.163117 -1.684575 0.0975 R-squared 0.166152 Mean dependent var -3.31E-18 Adjusted R-squared 0.063750 S.D. dependent var 0.058517 S.E. of regression 0.056621 Akaike info criterion -2.790059 Sum squared resid 0.182738 Schwarz criterion -2.522442 Log likelihood 98.67691 Hannan-Quinn criter. -2.684467 F-statistic 1.622546 Durbin-Watson stat 1.587926 Prob(F-statistic) 0.147638


(5)

Uji Normalitas dengan

JB Test

0 4 8 12 16 20 24

-0.3 -0.2 -0.1 0.0 0.1 0.2

Series: Residuals

Sample 2010M02 2015M06 Observations 65

Mean -3.31e-18 Median 0.005497 Maximum 0.256883 Minimum -0.284215 Std. Dev. 0.058517 Skewness -0.538763 Kurtosis 15.00659 Jarque-Bera 393.5729 Probability 0.000000


(6)

Uji Linearitas dengan

Ramsey Test

Ramsey RESET Test Equation: ECM

Specification: D(LOG_NPF) C D(CAR) D(FDR) D(BOPO) D(LOG_SIZE) ECT(-1) Omitted Variables: Squares of fitted values

Value df Probability t-statistic 2.437083 58 0.0179 F-statistic 5.939374 (1, 58) 0.0179 Likelihood ratio 6.337002 1 0.0118 F-test summary:

Sum of Sq. df

Mean Squares Test SSR 0.020357 1 0.020357 Restricted SSR 0.219150 59 0.003714 Unrestricted SSR 0.198793 58 0.003427 Unrestricted SSR 0.198793 58 0.003427 LR test summary:

Value df Restricted LogL 92.77151 59 Unrestricted LogL 95.94001 58

Unrestricted Test Equation: Dependent Variable: D(LOG_NPF) Method: Least Squares

Date: 10/03/16 Time: 06:36 Sample: 2010M02 2015M06 Included observations: 65

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -0.005479 0.009560 -0.573151 0.5688 D(CAR) 0.000406 0.005706 0.071188 0.9435 D(FDR) 0.003770 0.003310 1.139225 0.2593 D(BOPO) 0.003350 0.001741 1.924057 0.0593 D(LOG_SIZE) 0.168648 0.364455 0.462740 0.6453 ECT(-1) -0.187875 0.102703 -1.829308 0.0725 FITTED^2 16.56555 6.797285 2.437083 0.0179 R-squared 0.247746 Mean dependent var 0.010385 Adjusted R-squared 0.169926 S.D. dependent var 0.064258 S.E. of regression 0.058545 Akaike info criterion -2.736616 Sum squared resid 0.198793 Schwarz criterion -2.502451 Log likelihood 95.94001 Hannan-Quinn criter. -2.644223 F-statistic 3.183600 Durbin-Watson stat 2.094875 Prob(F-statistic) 0.009062


Dokumen yang terkait

Pengaruh Debt Financing,Equity Financing dan Non Performing Financing Terhadap Profitabilitas Perbankan syariah (Studi Kasus Pada Perbankan Syariah di Indonesia Periode 2010-2015)

0 10 139

pengaruh penyaluran pembiayaan mudharabah,pembiayaan musyarakah,pembiayaan murabahah,dan non performing financing (npf) terhadap kinerja bank pembiayaan rakyat syariah di Indonesia periode januari 2010-maret 2015

0 7 122

Pengaruh capital adequacy ratio (car), non performing financing (npf), danan pohak ketiga (dpk), sertifikat bank umum syariah (sbis) terhadap penyaluran pembiayaan bank umum syariah periode 2009-2015

0 8 116

Pengaruh non performing financing,financing to deposit ratio, dan retrun on assets terhada pertumbuhan aset bank syariah (analisis pada bank umum syariah di Indonesia periode 2011-2014)

0 9 105

Determinan Non Performing Financing Bank Umum Syariah Di Indonesia: Pendekatan Unbalanced Panel Data

1 13 95

Analisis Pengaruh Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), Non Performing Financing (NPF), Kurs, dan Inflasi Terhadap Pembiayaan Murabahah pada Perbankan Syariah di Indonesia (Periode Januari 2010- Januari 2016)

8 37 116

Analisis Pengaruh Pembiayaan Pemilikan Rumah Sistim Akad Murabahah, Pembiayaan Pemilik Rumah Sistim Akad Istishna dan non Performing Financing Terhadap Profitabilitas Bank Syariah: (Studi Pada Bank Tabungan Negara Syariah Periode Maret 2008- Juni 2016)

5 32 102

PENGARUH DANA PIHAK KETIGA (DPK), SERTIFIKAT BANK INDONESIA SYARIAH (SBIS), NON PERFORMING FINANCING (NPF) DAN RETURN ON ASSETS (ROA) TERHADAP PEMBIAYAAN MURABAHAH (Studi Kasus Pada Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah di Indonesia Periode 2009 - 2014

2 18 138

DETERMINAN NON PERFORMING FINANCING BANK SYARIAH DI INDONESIA (PERIODE JANUARI 2010 – JUNI 2015)

0 6 27

PENGARUH PEMBIAYAAN MUDHARABAH, MUSYARAKAH, MURABAHAH, ISTISHNA DAN IJARAH TERHADAP PROFITABILITAS BANK UMUM SYARIAH DI INDONESIA DENGAN NON PERFORMING FINANCING (NPF) SEBAGAI VARIABEL INTERVENING (Studi Kasus Bank Umum Syariah Periode Januari 2015 – Juni

1 7 136