PENGARUH APLIKASI INTRASULKULER BISFOSFONAT RISEDRONAT HIDROGEL TERHADAP AKTIVITAS OSTEOKLAS, PROSES REMODELING DAN RELAPS GIGI SETELAH DIGERAKKAN SECARA ORTODONTIK

(1)

i

PENGARUH APLIKASI INTRASULKULER BISFOSFONAT

RISEDRONAT HIDROGEL TERHADAP AKTIVITAS

OSTEOKLAS, PROSES REMODELING DAN RELAPS

GIGI SETELAH DIGERAKKAN

SECARA ORTODONTIK

(Penelitian Eksperimental Laboratoris pada Marmot/Cavia Cobaya)

DISERTASI

Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat S3 Program Studi Ilmu Kedokteran Gigi

Diajukan oleh Tita Ratya Utari NIM: 10/306793/SKG/00041

Kepada

PROGRAM STUDI S3 ILMU KEDOKTERAN GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA


(2)

(3)

iii

PERNYATAAN PROMOVENDUS

Dengan ini saya menyatakan bahwa, isi disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang sengaja diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 30 Desember 2014


(4)

iv PRAKATA

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia, rahmat, dan nikmat yang dilimpahkan-Nya sehingga penulis memperoleh kekuatan dan bimbingan dalam menyelesaikan penulisan disertasi ini. Penulis menyadari, disertasi ini tidak mungkin terwujud tanpa adanya bantuan, bimbingan serta dukungan moril materil dari berbagai pihak. Karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih penulis.

Penghargaan setinggi-tingginya disertai ungkapan terima kasih yang tulus dan penuh rasa hormat, penulis sampaikan kepada Prof. Dr. drg. Pinandi Sri Pudyani SU., Sp.Ort (K) selaku promotor, Prof. drh. Widya Asmara, SU., Ph.D, dan drg. Ika Dewi Ana, M.Kes., Ph.D, selaku kopromotor yang telah meluangkan waktunya, membimbing, membantu, memberi petunjuk dan saran yang sangat berharga serta dorongan kepada penulis dengan penuh pengertian dan kesabaran, selama pendidikan, penelitian dan penyelesaian disertasi ini. Semoga Allah SWT membalas budi baik beliau dengan pahala yang berlipat ganda, Amin.

Ucapan terima kasih tak lupa penulis sampaikan kepada :

1. Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt, drh. Sitarina, MP., Ph.D, dan drg. Suryono, SH., MM., Ph.D., sebagai penilai dan penguji, yang telah memberikan banyak masukan, bimbingan, dan bantuan untuk menyempurnakan penelitian ini. 2. Dr. drg, Erwan Sugiatno, SU., Sp.Pros (K), drg. Prof. Dr. drg. Bergman Thahar,

Sp.Ort (K), drg. Rama Putranto, M.Kes., Ph.D (Orth) dan Dr. drg. Dewi Agustina, M.D.Sc sebagai penguji, yang telah banyak memberikan masukan, bimbingan, dan bantuan untuk menyempurnakan penelitian ini.

3. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang telah memberikan bantuan melalui Beasiswa Program Paska Sarjana kepada penulis.

4. Rektor Universitas Gadjah Mada dan Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan.


(5)

v

5. Dr. drg, Erwan Sugiatno, SU., Sp.Pros (K), Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada, dan Prof. Dr. drg. Iwa Sutardjo Rus Sudarso, SU, SpKGA (K) Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada periode 2010, penulis ucapkan terima kasih yang tulus atas perkenan dan kepercayaan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Pendidikan Doktor di FKG UGM.

6. Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Prof. Dr. Bambang Cipto, MA, dan Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta periode 2010 Ir.H.M. Dasron Hamid, M.Sc yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program S3 di FKG UGM, memberikan motivasi, dukungan dan bantuan selama penulis menjalani pendidikan.

7. dr. H. Ardi Pramono, Sp.An., M.Kes Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan dr. H. Erwin Santosa, Sp.A.,M.Kes Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarata periode 2010 yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Doktor di FKG UGM. 8. drg. Hastoro Pintadi, Sp.Prost Kaprodi Program Studi Pendidikan Dokter Gigi

FKIK UMY yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program S3 di FKG UGM, memberikan motivasi, dukungan dan bantuan selama penulis menjalani pendidikan. Seluruh staf pengajar serta staf administrasi PSPDG FKIK UMY yang telah memberikan bantuan dan dukungannya secara langsung maupun tidak langsung kepada penulis selama menempuh pendidikan ini.

9. Dr. drg. Dewi Agustina, MDSc(UMelb), MDSc(UGM) dan Dr. drg. Siti Sunarintyas, M.Kes selaku Ketua dan Sekretaris pengelola Program Doktor FKG UGM, dan seluruh staf Prodi S2/S3 FKG UGM; mbak Nur, mas Wiwit, mas Santo, bu Soes dan bu Yani, yang telah memberi banyak bantuan dan dukungan selama penulis menjalani pendidikan di Program S3 FKG UGM. 10.Seluruh staf pengajar S3 Program Studi S3 Ilmu Kedokteran Gigi FKG UGM


(6)

vi

11.Jajah Fachiroh, S.P., M.Si., Ph.D selaku pembimbing di Laboratorium Biologi Molekuler Fakultas Kedokteran UGM yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan selama penelitian dan penyelesaian disertasi ini.

12.drg. Yustina Andwi Ari Sumiwi, M.Kes selaku pembimbing di Bagian Histologi dan Biologi Sel FK-UGM yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan masukan dan bimbingan baik selama perkuliahan, penelitian dan penyelesaian disertasi ini.

13.Dewi K. Paramita, S.Si., Msi. Ph.D selaku kepala Bagian Histologi dan Biologi Sel FK-UGM yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di Histologi dan Biologi Sel FK-UGM. Seluruh staf Histologi dan Biologi Sel FK-UGM beserta karyawan/wati; bu Yati, mbak Dewi, bu Wiwit, pak Suhardi yang telah memberikan bantuan selama penulis melakukan penelitian di Histologi dan Biologi Sel FK-UGM.

14.Prof. dr. Sofia Mubarika, M.Med.Sc., Ph.D selaku kepala Bagian Biomolekuler FK-UGM yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di Histologi dan Biologi Sel FK-UGM

15.drg. Supriatno, M.Kes., MDSc., Ph.D Kepala Laboratorium Riset Terpadu Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada periode 2009-2012 dan seluruh stafnya, mbak ani, mbak bunga dan mas ari yang telah memberikan bantuannya selama penulis melakukan penelitian di Laboratorium Riset Terpadu.

16.Dr. drh. Puji Astuti Mp, Kepala Laboratorium dan Pengujian Terpadu (LPPT-UGM) periode 2013 yang telah memberikan izin penelitian dan Bapak Wasino selaku teknisi LPPT-UGM yang telah sangat membantu dan mendampingi penulis selama proses penelitian.

17.Rekan-rekan Peserta Program Doktor FKG UGM angkatan 2010, mbak Emma, mbak Lilis, mbak Ayun, mbak Nana, dan dik Ruri, juga kepada kakak dan adik kelas mbak Diyah, mbak Dewi, dan mbak Erlina yang dengan keakrabannya memberi semangat dan dukungan kepada penulis.

18.Seluruh karyawan/wati Perpustakaan FKG UGM serta semua pihak yang telah membantu penulis selama pendidikan, penelitian, dan penyelesaian disertasi ini,


(7)

vii

namun namanya tidak tercantum disini, penulis memohon maaf sebesar-besarnya serta terimalah ucapan terima kasih penulis yang tulus.

Dalam kesempatan ini tak lupa penulis menghaturkan sembah sujud dan terima kasih yang tidak terhingga kepada ayah dan ibu mertua tercinta Alm. Prof. Drs. H. Sardjoko, Apt dan Almh. Hj. Sukirati, kedua orang tua tercinta; Ayahanda Kol. (Purn) H. Toto Utara dan Ibunda Hj. Sumiati. Berkat kasih sayang, pendidikan agama dan ilmu, serta do’a beliau penulis bisa tegar dan tabah melewati semua cobaan dan rintangan dalam menjalani kehidupan. Semoga Allah SWT senantiasa mencurahkan rahmat, karunia dan hidayah-Nya. Teristimewa untuk suami tercinta, dr. Prasetio Kirmawanto, M.Kes, kedua putraku tersayang Afrizal Fayiz Pradanta dan Reitan Aydin Pradanta yang selalu memberikan motivasi, semangat yang tiada henti kepada penulis. Mohon maaf penulis atas kewajiban dan tanggung jawab yang banyak terabaikan karena kesibukan penulis dalam menyelesaikan pendidikan. Ucapan terima kasih juga penulis haturkan untuk kakak kakak dan adik tercinta yang telah memberikan dukungan dan semangat selama proses pendidikan.

Akhirnya, kepada semua pihak yang telah membantu penulis hingga disertasi ini dapat penulis selesaikan, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya. Semoga Allah SWT membalas kebaikan tersebut dengan karunia yang berlipat ganda, aamiin. Dalam kesempatan ini izinkan penulis mohon maaf kepada semua pihak atas segala kesalahan, kekurangan serta kelemahan penulis baik dalan perkuliahan, pelaksanaan penelitian maupun penulisan disertasi ini. Penulis berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan merupakan bentuk sumbangan ilmu bagi perkembangan Ilmu Kedokteran Gigi. Saran dan kritik dari semua pihak sangat diharapkan untuk kesempurnaan disertasi ini.

Billahitaufiq wal hidayah


(8)

viii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN PROMOVENDUS ... iii

PRAKATA ... iv

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

DAFTAR SINGKATAN ... xvi

INTISARI ... xvii

ABSTRAK ... xviii

I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang permasalahan ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Keaslian Penelitian ... .8

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Tujuan Penelitian ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

A.Telaah Pustaka ... 11

1. Pergerakan Ortodontik dan Relaps Gigi ... 11

2. Osteoklas dan Resorpsi Tulang ... 14

3. Osteoblas dan Pembentukan Tulang ... 16

4. Mekanisme Aksi Bisfosfonat ... 17

5. Alkalin Fosfatase ... 21

6. Metode Pemberian Obat ... 22

7. Hewan Coba Marmot (Guinea Pigs) ... 25

B.Landasan Teori ... 26


(9)

ix

D. Hipotesis ... 31

III. METODE PENELITIAN ... .32

A. Rancangan Penelitian ... 32

B. Subjek Penelitian ... .32

C. Identifikasi Variabel ... 32

D. Definisi Operasional Variabel ... 33

E. Bahan Penelitian ... 35

F. Alat Penelitian ... 36

G. Jalannya Penelitian ... 37

1. Pembuatan sediaan hidrogel bisfosfonat risedronat ... 37

2. Perlakuan pada hewan coba ... 39

3. Pengukuran Variabel ... 41

a. Pengukuran relaps gigi menggunakan jangka sorong ... 41

b. Pengukuran Alkalin phosphatase (ALP) ... 42

c. Pengukuran jumlah osteoklas dengan pewarnaan TRAP ... 43

d. Pengukuran rasio osteoklas dan osteoblas ... 45

H. Skema Jalannya Penelitian ... 46

I. Analisis Data ... 47

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 51

A. Hasil Penelitian ... 51

Hasil Pra Studi Uji Pelepasan (Release) Obat...51

1. Pengaruh Bisfosfonat Risedronat Terhadap Relaps gigi ... 51

2. Pengaruh Bisfosfonat Risedronat Hidrogel Terhadap Penurunan Jumlah Osteoklas ... 55

3. Pengaruh Bisfosfonat Risedronat Terhadap Rasio Jumlah Osteoklas dan Osteoblast Dengan Pewarnaan HE ...60

4. Pengaruh Bisfosfonat Risedronat Terhadap Kadar Alkalin Fosfatase ... 66

B. Pembahasan ... 69


(10)

x

2. Pengaruh Bisfosfonat Risedronat Hidrogel Terhadap Penurunan

Jumlah Osteoklas ... ... ...73

3. Pengaruh Bisfosfonat Risedronat Terhadap Rasio Jumlah Osteoklas dan Osteoblast Dengan Pewarnaan HE ... ... 74

4. Pengaruh Bisfosfonat Risedronat Terhadap Kadar Alkalin Fosfatase ... 77

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 81

A. Kesimpulan ... 81

B. Saran ... 82

RINGKASAN ...83

SUMMARY ...99

DAFTAR PUSTAKA ...113


(11)

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Skema Keaslian Penelitian ...9

Gambar 2.1 Mekanisme aksi bisfosfonat ...18

Gambar 2.2 Efek N-BPs dalam jalur mevalonate ...19

Gambar 2.3 Mekanisme Pelepasan Obat...24

Gambar 2.4 Kerangka Teori Berpikir...29

Gambar 3.1 Struktur Kimia Sodium Risedronat ... 34

Gambar 3.2 Proses Menggerakkan gigi ...40

Gambar 3.3 Pengukuran Jarak, Pengambilan Cairan Ginggiva ...41

Gambar 3.4 Aplikasi hidrogel bisfosfonat risedronat di area intrasulkuler…..41

Gambar 3.5 Pengambilan lapang pandang dengan pewarnaan TRAP...45

Gambar 3.6 Pengambilan lapang pandang dengan pewarnaan HE ...45

Gambar 3.7 Skema Jalannya Penelitian ...46

Gambar 4.1 Rerata pelepasan obat pada hari ke-0,1,3,6 dan 24 jam…...49

Gambar 4.2 Rerata & standar deviasi jarak inter insisivus hari 3,7,14 dan 21……….52

Gambar 4.3 Perbedaan signifikan penurunan jarak inter insisivus antara kelompok A, B dan C pada hari ke 14...54

Gambar 4.4 Perbedaan signifikan penurunan jarak inter insisivus antara kelompok A, B dan C pada hari ke 21...55


(12)

xii

Gambar 4.6 Gambaran histologis jumlah osteoklas pada hari ke-0...59 Gambar 4.7 Gambaran histologis jumlah osteoklas pada hari ke-3...60 Gambar 4.8 Gambaran histologis jumlah osteoklas pada hari ke-14...60 Gambar 4.9 Perbedaan rasio jumlah osteoblas dan osteoklas pada kelompok A,B

dan C...64 Gambar 4.10 Gambaran histologis osteoklas dan osteoblas dengan pewarnaan HE

pada hari ke-3, 14 dan 21...65 Gambar 4.11 Pengaruh pemberian bisfosfonat risedronat hidrogel terhadap kadar


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 4. 1. Rerata Dan Standard Deviasi Pelepasan Residronat ...48

Tabel 4. 2. Uji Normalitas Data Uji Pelepasan obat...49

Tabel 4. 3. Uji Homogenitas Data Uji Pelepasan Obat...50

Tabel 4. 4. Uji T Pelepasan Obat...50

Tabel 4. 5. Rerata Dan Standard Deviasi Jarak Interinsisivus ...51

Tabel 4. 6. Hasil Uji Normalitas Data Jarak Interinsisivus ...52

Tabel 4. 7. Uji Homogenitas Data ...53

Tabel 4. 8. Hasil Uji Anava Satu Jalur ...53

Tabel 4. 9. Hasil Uji Multiple Comparisons (Lsd) ...53

Tabel 4.10. Hasil Uji Interaksi Jarak ...54

Tabel 4.11. Rerata dan Standar Deviasi Jumlah Osteoklas (TRAP) ...56

Tabel 4.12. Hasil uji normalitas data jumlah Osteoklas (TRAP) ...57

Tabel 4.13. Hasil uji homogenitas data ...57

Tabel 4.14. Hasil uji anava satu jalur jumlah Osteoklas (TRAP) ...57

Tabel 4.15. Hasil Uji Multiple Comparisons (LSD) jumlah Osteoklas (TRAP)..58

Tabel 4.16. Uji Anava dua jalur (Uji Interaksi) jumlah osteoklas (TRAP) ...58

Tabel 4.17 Rerata dan Standar Deviasi jumlah Osteoklas, Osteoblas dan Rasio Osteoklas-Osteoblas dengan pewarnaan HE ...61

Tabel 4.18 Uji Normalitas Data Rasio Osteoklas Osteoblas ...62


(14)

xiv

Tabel 4.20. Uji Anova satu jalur Rasio Osteoklas-Osteoblas hari ke-0, 3, dan 14.

………...…...62

Tabel 4.21. Hasil Uji Kruskal Wallis hari ke-7 dan ke-21 ...63

Tabel 4.22. Hasil Uji Multiple Comparisons (LSD) Rasio Osteoklas-Osteoblas ...63

Tabel 4.23 Uji interaksi (Anava dua jalur) rasio osteoklas-osteoblas ...64

Tabel 4.24. Rerata dan Standar Deviasi Kadar ALP ...66

Tabel 4.25. Uji Normalitas Data Kadar ALP ...67

Tabel 4.26. Uji homogenitas Kadar ALP ...68

Tabel 4.27. Uji Anava satu jalur Kadar ALP ...68

Tabel 4.28. Uji Multiple Comparions (LSD) Kadar ALP ...68


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Ethical Clearance ...122

Lampiran 2. Surat Keterangan Selesai Penelitian di Lab Riset Terpadu FKG UGM ...123

Lampiran 3. Surat Keterangan Selesai Penelitian di LPPT Unit IV UGM ....124

Lampiran 4. Surat Keterangan Selesai Penelitian di Biomolekular FK UGM………..…..125

Lampiran 5. Surat Keterangan Selesai Penelitian di Histologi FK UGM...126

Lampiran 6. Pembuatan Sediaan Hidrogel Bisfosfonat Risedronat...127

Lampiran 7. Dokumentasi Hasil Penelitian Kelompok A...128

Lampiran 8. Dokumentasi Hasil Penelitian Kelompok B...130

Lampiran 9. Dokumentasi Hasil Penelitian Kelompok C...132

Lampiran 10. Dokumentasi Gambaran Histologis Osteoklas Osteoblas (HE)..134

Lampiran 11. Spesifikasi Naphtol AS-BI Phosphate...135

Lampiran 12. Dokumen Publikasi...136


(16)

xvi

DAFTAR SINGKATAN

BPs : Bisphosphonate

PAR : Peer Assessment Rating DDS : Drug Delivery System

TRAP : Tartrate-resistant acid phosphatase GCF : Gingival crevicular fluid

ALP : Alkaline Phosphatase

GGPP : Isoprenoid geranylgeranyl pyrophosphate FPPS : farnesyl pyrophosphate synthase

HE : Hematoksilin Eosin

BMSC : Bone marrow stromal cells


(17)

xvii Intisari

Salah satu kegagalan perawatan ortodontik adalah terjadinya gerakan gigi ke posisi semula seperti sebelum perawatan (relaps). Pergerakan gigi dan relaps terjadi karena masih adanya resorpsi tulang oleh osteoklas dalam proses remodeling tulang alveolar. Penghambatan resorpsi tulang alveolar setelah pergerakan gigi diharapkan secara efektif dapat menghambat terjadinya relaps. Bisfosfonat merupakan kelompok obat yang dapat menghambat osteoklas dan resorpsi tulang dengan menghambat diferensiasi dan aktivitas osteoklas, memutus perlekatan osteoklas yang sudah matang pada tulang dan memicu terjadinya apoptosis. Sistem kontrol pelepasan obat (Drug Delivery System/DDS) adalah sistem pemberian obat menggunakan suatu media pembawa, dapat membawa substansi obat kemudian dipaparkan ke jaringan yang dituju sehingga memiliki keuntungan dapat berefek topikal, terhindar dari metabolisme sistem pencernaan, serta dapat meningkatkan efektivitas pelepasan obat.Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh bisfosfonat risedronat dengan media pembawa hidrogel gelatin terhadap penurunan jarak relaps gigi, jumlah osteoklas, rasio osteoklas/osteoblas dan kadar ALP setelah digerakkan secara ortodontik.

Gigi insisivus bawah 75 ekor marmot digerakkan ke distal menggunakan opencoil spring dengan panjang 1,5 kali panjang antar cleat sampai mencapai jarak ± 3 mm. Dengan kompresi 1/3 panjang opencoil spring akan menghasilkan gaya yang adekuat untuk pergerakan gigi. Bisfosfonat risedronat dengan media pembawa hidrogel gelatin konsentrasi 250 µmol/L (kelompok B) dan 500 µmol/L (kelompok C) diaplikasikan intrasulkuler masing masing pada 25 ekor marmot di area sulkus gingiva bagian mesial setiap 3 hari. Sebagai kontrol 25 ekor marmot tanpa bisfosfonat risedronat (kelompok A). Setelah stabilisasi selama 14 hari, open coil spring dilepas, diukur gerakan relaps gigi, jumlah osteoklas dengan pewarnaan TRAP, rasio jumlah osteoklas/osteoblas dengan pewarnaan HE, dan kadar ALP pada hari ke-0, 3, 7, 14, dan 21. Analisis Anava untuk mengetahui perbedaan ketiga kelompok dan interaksinya dengan konsentrasi dan waktu.

Relaps gigi pada hari ke-3 dan 7 tidak berbeda signifikan (p>0.05), namun terdapat perbedaan yang signifikan antar kelompok pada hari ke-14 dan 21 (p<0.05). Jumlah osteoklas dengan pewarnaan TRAP pada hari ke-0,3,7,14 dan 21 berbeda bermakna (p<0,05) antara kelompok A,B dan C dimana jumlah osteoklas kelompok A lebih besar dari kelompok B dan C. Perbedaaan yang bermakna rasio osteoklas-osteoblas terjadi pada hari ke-3 dan 14(p>0,05), dimana pada hari ke-3 rasio kelompok A lebih tinggi dari B dan C sedangkan pada hari ke-14 rasio kelompok C lebih tinggi dari A dan B. Kadar ALP berbeda bermakna pada hari ke-14 dan 21. Kesimpulan penelitian ini adalah aplikasi intrasulkuler bisfosfonat risedronat hidrogel secara klinis efektif menurunkan relaps gigi setelah hari ke-7 dan konsentrasi 500 µmol/L menghambat relaps lebih besar daripada konsentrasi 250 µmol/L. Bisfosfonat risedronat efektif menurunkan jarak relaps, jumlah osteoklas, dan berpengaruh terhadap rasio osteoklas osteoblas dan meningkatkan kadar alkaline fosfatase pada hari ke-14 dan 21.


(18)

xviii Abstract

Relapse (a condition when tooth moves into original position) is considered a failure in orthodontics treatment. Tooth movement and relapse may happen because of bone resorption by osteoclast remains during bone remodeling process in the alveolar bone. For that, bone resorption inhibition after orthodontics treatment is expected to prevent relapse. On the other hands, bisphosphonate is classified into a drug to have preventive effect against osteoclast differentiation and activity, as well as to block mature osteoclast adhesion into the bone and promote apoptosis. Some studies related to the preventive effects of bisphosphonate risedronate against bone resorption have been extensively done in dentistry. However, topical administration to result local effect of bone resorption is still problems. Drug delivery technology using drug carrier is considered to be a candidate to overcome the problems because the system is known to be effective to transport pharmaceutical substances into targeted area and affect topically, avoid digestive metabolism system and increase efficacy of drug release. The aim of the study was to investigate the effect of bisphosphonate risedronate with gelatin hydrogel as a carrier to prevent relapse after orthodontics treatment.

Lower incisors of 75 Guinea pigs were moved distally using open coil spring. Open coil spring was then removed when the length between the lower incisors reached ±3mm length. Gelatin hydrogel fabricated to result semisolid controlled released manner of 250 mmol/L and 500 mmol/L bisphosphonate risedronate were then applied intrasulkuler in the mesial area of 50 Guinea pigs, 25 for 250 mmol/L (group B) and 25 for 500 mmol/L (gropu C) every 3 days. The rest of the Guinea pigs (25) were used as control without bisphosphonate (group A). Relapse, osteoclast, osteoblast and alkaline phosphatase (ALP) was measured on day 0, 3, 7, 14, and 21. ANOVA were used to determine differences among different time intervals and groups.

On the day 3 and 7, there was no significant differences in relapse length indicated among groups, but a significant difference was indicated on day 14 and 21 (p<0.05) among groups in which group B and C showed less relapse area compared to group A. It was also found that 500 mmol/L prevent relapse more effectively than 250 mmol/L.The number of osteoclasts with TRAP staining on days 0,3,7,14 and 21 differ significantly (p<0.05) between groups A, B and C where the number of osteoclasts in group A is higher than in groups B and C. There were significant differences (p>0.05) the ratio of the number of osteoclasts and osteoblasts on the day 3 dan 14. Significant difference on theALP levels between groups A, B and C in the days 14 dan 21.

It’s concluded that hydrogel bisphosphonate risedronate is effective to prevent relapse after day 7 in which higher concentration of controlled release bisphosphonate risedronate (500 mmol/L) prevented more compared to lower concentration (250 mmol/L). Bisphosphonate risedronate effectively decrease relapse, inhibit activity and decrease the amount of osteoclast, increase the number of osteoblasts, and increase on the levels of ALP on the day 14 dan 21.

Keywords: Orthodontics, relapse, bisphosphonate risedronate, osteoclasts, alkalin fosfatase


(19)

1 I. PENGANTAR

A. Latar Belakang Permasalahan

Perawatan ortodontik bertujuan mengatur susunan gigi geligi yang terdiri dari perawatan periode aktif untuk menggerakan gigi ke posisi yang benar, dan periode pasif/retensi yang bertujuan mempertahankan hasil yang dicapai periode aktif serta mencegah terjadinya relaps hingga tercapai stabilitas oklusi. Relaps adalah bergeraknya gigi kembali ke posisi semula setelah dilakukan perawatan ortodontik.

Relaps merupakan masalah yang masih sering terjadi dan berakibat penurunan keberhasilan perawatan ortodontik. Peer Assessment Rating (P AR) indeks adalah salah satu indeks untuk menilai stabilitas gigi setelah perawatan ortodontik. Penggunaan indeks PAR sebagai cara untuk mengevaluasi stabilitas dan relaps pada pasien ortodontik telah terbukti valid dan reliabel pada beberapa penelitian. Sarah (2005) menyajikan data kejadian penurunan nilai PAR indeks yang bervariasi, yang ditemukan oleh beberapa peneliti secara berturut turut dijumpai penurunan skore PAR indeks sebesar 62% pada 78 pasien (Linklater dan Fox, 2002), 82% pasien (Otuyemi dan Jones, 1995), serta penurunan skore PAR sebesar 63,8% dari evaluasi 224 pasien (Birkeland, 1997).

Relaps dalam perawatan ortodontik merupakan masalah yang kompleks dengan banyak faktor yang berpotensi mempengaruhi hasil perawatan. Beberapa literatur menyatakan bahwa stabilitas dan relapssetelah perawatan ortodontik tidak dapat diprediksi, dengan kecenderungan relaps 33-90% setelah kira-kira 10 tahun paska perawatan (Olive and Basford, 2003). Penyebab relaps secara detail belum diketahui karena merupakan suatu proses yang kompleks. Secara umum


(20)

2

disebabkan oleh faktor intrinsik pada ligamen periodontal dan tulang alveolar serta faktor ekstrinsik seperti pertumbuhan struktur wajah, tekanan jaringan lunak, dan interdigitasi (Eric dkk., 2003). Telah diterima secara umum bahwa peregangan yang berlebihan dari serabut jaringan ikat supraalveolar merupakan penyebab relaps (Reitan, 1967; Parker, 1972), namun demikian beberapa hasil penelitian secara histologis tidak mendukung pendapat tersebut dan menyatakan bahwa terdapat faktor lain yang berperan pada proses terjadinya relaps (Lovatt dkk., 2008). Hasil penelitian ekperimental pada gigi molar yang digerakkan, Yoshida dkk. (1999) menyatakan bahwa remodeling dari serabut prinsipal ligamen periodontal dan tulang alveolar di sekitarnya merupakan penyebab utama terjadinya relaps. Tanya dkk. (2011) berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa pergerakan gigi ortodontik dan relaps menunjukkan pola seluler yang sama terutama dalam hal peningkatan populasi dan deferensiasi osteoklas pada area kompresi (tekanan) dan penurunan di area regangan. Hal ini menunjukkan bahwa remodeling tulang alveolar merupakan elemen penting pada proses terjadinya relaps. Menurut Sadowsky dkk. (1994) relaps dipengaruhi oleh stabilitas oklusal yang belum tercapai, peningkatan tegangan mekanis yang dipengaruhi oleh serabut transeptal dan resorpsi tulang alveolar oleh osteoklas. Relaps terjadi jika masih ada resorpsi tulang oleh osteoklas.

Relaps terjadi dengan cepat pada saat awal alat ortodontik dilepas, tetapi setelah 3 hari baik kecepatan relapsmaupun persentasenya mulai berangsur-angsur menurun (Tanya dkk., 2011). Setelah alat ortodontik dilepas, gigi mulai bergerak relaps ke posisi semula. Gerakan membalik ini disertai adanya perubahan jumlah dan distribusi osteoklas. Jumlah osteoklas menurun secara signifikan baik pada


(21)

3

mesial dan distal akar gigi molar pertama selama 3 hari, kemungkinan sebagai akibat apoptosis atau penurunan kepadatan pembuluh darah (Noxon dkk., 2001). Jumlah osteoklas sangat menurun pada hari ke 14 dan mulai stabil pada hari ke -14 sampai ke-21 periode relaps (Tanya dkk., 2011).

Osteoklas merupakan sel multinuklear, berasal dari diferensiasi sel granulosit-makrofag progenitor dalam sumsum tulang. Osteoklas berperan pada proses resorpsi tulang. Setelah fungsi tersebut dijalankan, maka sel ini akan mengalami apoptosis. Osteoklas yang aktif dalam proses resorpsi memiliki 4 zona yang dapat dikenali secara histologis, yaitu: basal zone, ruffled border, clear zone, dan vesicular zone. Ruffled border merupakan zona yang berperan langsung pada proses resorpsi. Zona ini memiliki tonjolan-tonjolan seperti jari (prosesus) yang aktif dan dinamis serta di area inilah terbentuk ruang resorpsi / subosteoclastic compartment (Gartner dan Hiatt, 2007).

Parker (sit Leeson dkk., 1985) mengemukakan bahwa relaps tetap terjadi sampai resorpsi tulang alveolar selesai sempurna. Penghambatan resorpsi tulang alveolar akan mencegah relaps. Menurut Adachi dkk. (1994) relaps bisa dicegah dengan obat penghambat resorpsi tulang hingga stabilitas oklusi terjadi. Bisfosfonat merupakan kelompok obat yang dapat menghambat aktivitas osteoklas dan resorpsi tulang. Efek khusus bisfosfonat pada tulang berhubungan dengan afinitas ikatan antara bisfosfonat dan permukaan tulang pada sisi yang mengalami remodeling aktif (McClung, 2001). Obat ini merupakan analog sintesis pyrophosphat inorganik, suatu regulator endogen proses mineralisasi tulang. Adanya gugus phosphonat-carbon-phosphonat membuat bisfosfonat memiliki kemampuan berikatan dengan ion logam secara divalensi, seperti ikatan dengan ion


(22)

4

kalsium. Hal ini yang menyebabkan bisfosfonat dapat secara cepat hilang dari sirkulasi dan langsung berikatan dengan permukaan tulang (in vivo) di daerah terjadi remodeling tulang secara aktif, utamanya pada area terjadinya resorpsi osteoklastik (Ghoneima, 2010). Bisfosfonat paling sering digunakan sebagai obat antiresorptif dan merupakan pilihan untuk perawatan osteoporosis. Efek bisfosfonat terhadap jaringan tulang adalah menghambat resorpsi tulang, meningkatkan kepadatan mineral tulang, dan menurunkan bone turnover (Fleisch, 2003).

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi manfaat bisfosfonat dalam bidang kedokteran gigi yaitu ortodontik, periodontik, dan implantologi menggunakan model eksperimental yang berbeda. Pemberian secara sistemik klodronat, risedronat, dan alendronat pada penelitian eksperimental dengan hewan coba telah terbukti efektif mencegah kehilangan tulang karena peradangan periodontal dengan cara penghambatan aktivitas osteoklas. Pemberian secara sistemik berefek terhadap seluruh kerangka tubuh, sehingga pemberian secara topikal merupakan pilihan untuk merawat kehilangan tulang periodontal (Juan dkk., 2006).

Penggunaan injeksi lokal bisfosfonat jenis risedronat dan pamidronat telah diteliti oleh Adachi dkk. (1994) dan hasilnya secara efektif dapat menghambat gerakan gigi molar tikus yang diberi tekanan dengan alat ortodontik. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa setelah tiga minggu aplikasi tekanan ortodontik terlihat pergerakan gigi tikus pada sisi yang diberi injeksi lokal bisfosfonat jenis risedronat lebih kecil secara bermakna dibanding sisi kontrol yang tidak diinjeksi bisfosfonat. Igarashi dkk. (1994) melaporkan bahwa setelah 24 jam pelepasan alat ortodontik, relapsterjadi dengan cepat pada kelompok kontrol yang tidak diinjeksi


(23)

5

bisfosfonat secara sistemik. Kesimpulan penelitian tersebut adalah pemberian injeksi sistemik bisfosfonat jenis alendronat dosis 0,5mg P/kg dapat menurunkan relaps. Pemberian 50µL dari 500µmol/L risedronat tidak mempengaruhi pertumbuhan keseluruhan atau pertumbuhan longitudinal tulang tibia, namun terjadi peningkatan kepadatan mineralnya. Peningkatan ini menunjukkan efek sistemik yang signifikan dari injeksi topikal risedronat. Penelitian oleh Rina Wahyu dkk., (2006) diperoleh hasil bisfosfonat risedronat yang diberikan secara per oral efektif menurunkan pergerakan relaps gigi.

Risedronate natrium, seperti bifosfonat lainnya yang diberikan secara oral, dapat menyebabkan iritasi lokal dari mukosa gastrointestinal atas. Karena kemungkinan efek iritasi ini dan potensi memburuknya penyakit yang mendasari, perlu perhatian ketika risedronate natrium diberikan kepada pasien dengan

masalah pencernaan bagian atas yang aktif (seperti dikenal barrett’s esophagus,

disfagia, penyakit esofagus lain yaitu gastritis, duodenitis atau ulkus).

Penggunaan bisfosfonat pada tempat yang spesifik (lokal) tanpa efek sistemik sangat diharapkan ketika obat ini diaplikasi secara klinis. Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang metode aplikasi, aturan pemberian dan sistem pelepasan untuk mendapatkan konsentrasi lokal yang efektif tanpa efek sistemik (Adachi, 1994). Bisfosfonat dengan sistem kontrol pelepasan (controlled release) diharapkan dapat menjadi pemecahan masalah.

Sistem penghantaran obat (Drug Delivery System/DDS) merupakan metode pemaparan obat pada jaringan atau target yang dituju. Dengan menggunakan media pembawa maka substansi obat akan dipaparkan ke jaringan yang dituju. Keuntungan sistem ini adalah obat terhindar dari metabolisme sistem pencernaan,


(24)

6

efektivitas pelepasan obat meningkat, pelepasan partikel zat aktif lebih lama, aksi yang terlokalisir, jumlah dan tingkat pelepasan obat dapat disesuaikan dengan kebutuhan fisiologis serta meningkatkan kenyamanan (Ranade dan Hollinger, 2004; Troy, 2006). Salah satu material pembawa obat yang paling mutakhir dan memiliki sifat biokompatibel dan biodegradable adalah hidrogel (Saito dan Tabata, 2012). Hidrogel dapat digunakan untuk mengontrol pelepasan obat sehingga obat dapat bekerja lebih optimal pada aplikasi topikal (Boateng dkk., 2008). Zat aktif bisfosfonat risedronat yang dibawa oleh media pembawa hidrogel gelatin dan diaplikasikan secara intrasulkuler diharapkan dapat memberikan efek lokal dapat mencegah terjadinya pergerakan relaps gigi setelah pergerakan ortodontik dan tingkat pelepasan yang terkontrol diharapkan dapat mengurangi frekuensi pemberian obat.

Pemberian tekanan ortodontik dengan gaya kontinyu akan menghasilkan resorpsi tulang dan pembentukan tulang secara bersamaan, ditandai terjadinya peningkatan aktivitas tartrate-resistant acid phosphatase (TRAP) dengan osteoklas pada area tekanan dan osteoblas pada area regangan (Bonafe dkk., 2003). Peningkatan aktivitas osteoblas selama pembentukan tulang akan disertai peningkatan ekspresi enzim alkalin fosfatase atau ALP (Intan dkk., 2008). Sumber ALP dapat diperoleh dari cairan bening yang diekskresikan dari celah gingiva gigi yang dikenal sebagai cairan krevikuler gingiva (gingival crevicular fluid/GCF). Cairan krevikuler gingiva menggambarkan respon biologi tubuh terhadap proses penyembuhan periodontal pada pasien dengan periodontitis kronis (Perinetti dkk., 2004) atau stimulus mekanis seperti gaya ortodontik (Batra dkk., 2006; Perinetti dkk., 2002). Berdasarkan hasil penelitiannya, Asma dkk. (2008) menyimpulkan


(25)

7

bahwa bone turnover (terutama proses pembentukan tulang) dapat dimonitor melalui ekspresi ALP pada cairan krevikuler gingiva selama perawatan ortodontik. Dengan kesimpulan tersebut, Asma dkk. (2008) menyarankan penelitian lebih lanjut tentang potensi ALP sebagai biomarker pembentukan tulang pada periode retensi.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dapat dikemukakan beberapa permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana pengaruh aplikasi intrasulkuler bisfosfonat risedronat hidrogel terhadap relaps gigi?

2. Bagaimana pengaruh aplikasi intrasulkuler bisfosfonat risedronat hidrogel terhadap penurunan jumlah osteoklas?

3. Bagaimana pengaruh aplikasi intrasulkuler bisfosfonat risedronat hidrogel terhadap perubahan rasio jumlah osteoklas dan osteoblast?

4. Bagaimana pengaruh aplikasi intrasulkuler bisfosfonat risedronat hidrogel terhadap perubahan kadar alkalin fosfatase pada cairan krevikuler gingiva?


(26)

8 C. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi manfaat bisfosfonat dalam bidang kedokteran gigi. Hasil evaluasi histomorfometrik yang dilakukan oleh Juan dkk. (2006) menyimpulkan bahwa monosodium olpadronat efektif mencegah kehilangan tulang yang disebabkan oleh periodontitis. Hasil penelitian Mitsuta dkk. (2002) menyimpulkan bahwa pemberian klodronat secara topikal efektif mencegah resorpsi tulang oleh osteoklas pada periodontitis. Peneliti terdahulu telah melaporkan pengaruh pemberian bisfosfonat sistemik maupun lokal terhadap pergerakan gigi seperti Adachi dkk. (1994) dan Igarashi dkk. (1994). Kim dkk. (1999) menyimpulkan bahwa injeksi sistemik pamidronat akan menghambat relaps gigi yang direnggangkan. Yuji dkk. (2009) menyatakan injeksi lokal bisfosfonat akan mengurangi resorpsi akar gigi di area tekanan. Hasil penelitian Rina Wahyu (2006) menyimpulkan bisfosfonat risedronat yang diberikan peroral efektif menurunkan jarak relaps gigi. Penelitian pengaruh bisfosfonat risedronat yang diberikan secara intrasulkuler dengan media pembawa hidrogel terhadap relaps setelah digerakkan secara ortodontik merupakan novelty (kebaharuan) yang diajukan dalam penelitian ini. Skema keaslian penelitian dapat dilihat pada gambar 1.1.


(27)

9

SKEMA KEASLIAN PENELITIAN

Penelitian Sebelumnya

Adachi dkk. 1994

Penelitian yang dilakukan

Igarashi dkk. 1994

Efektif menghambat pergerakan gigi namun terjadi peningkatan

bo e i eral de sity pada tula g

tibia  menunjukkan ada efek sistemik 50 µL of 500 µmol/L sodium risedronate murni, injeksi lokal setiap 3 hari sekali Efek topikal aplikasi risedronat terhadap pergerakan gigi

Sodium Risedronat

dengan

media pembawa hidrogel

gelatin

konsentrasi 250 µmol/L (B) dan 500 µmol/L.

Mitsuta dkk. 2002

Efek topikal aplikasi risedronat terhadap penghambatan resopsi akar

konsentrasi 500 µmol/L efektif menurunkan jumlah osteoklas dan mencegah resorpsi akar 50 µL sodium risedronate konsentrasi 125, 250, or 500 µmol/L dinjeksikan pada area

subperiosteum gigi molar setiap 3 hari sekali selama 3 minggu

Aplikasi Intrasulkuler pada sisi mesial gigi insisivus bawah marmot setiap 3 hari

Signifikan menurunkan jumlah osteoklas dan efektif mencegah resorpsi tulang pada periodontitis. 50 µL larutan clondronat konsentrasi 0 (0,9% NaCl), 20, 40, 60 mM

diinjeksikan pada area subperiosteum antara gigi molar pada hari ke 0, 2, 4, dan 6.

Efek aplikasi topikal Clondronat terhadap resorpsi tulang alveolar pada tikus yang

mengalami periodontitis

Efektif menurukan jumlah osteoklas dan pergerakan gigi 2 µg/20 µl larutan bisfosfonat diinjeksikan pada gigi molar setiap hari

Pengaruh bisfosfonat terhadap

pergerakan gigi dan resorpsi akar Yuji dkk. 2009

Uji pelepasan (release obat)

 Pengukuran Relaps Gigi

 Penghitungan jumlah osteoklas

(menghambat resorpsi)

 Penghitungan rasio osteoklas & osteoblas  Pengukuran kadar ALP


(28)

10 D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat dalam perkembangan metode pencegahan relaps. Informasi mengenai pengaruh bisfosfonat jenis risedronat yang diberikan topikal terhadap proses relaps memberi pengetahuan tentang potensi bisfosfonat jenis risedronat dalam pencegahan relaps. Dengan dihasilkannya sediaan bisfosfonat risedronat yang dapat berefek topikal, diharapkan menjadi terobosan dalam metode pencegahan terjadinya relaps dan percepatan proses stabilisasi selama periode retensi pasca perawatan ortodontik.

E. Tujuan Penelitan

1. Menentukan pengaruh aplikasi intrasulkuler bisfosfonat risedronat hidrogel terhadap relaps gigi.

2. Menentukan pengaruh aplikasi intrasulkuler bisfosfonat risedronat hidrogel terhadap penurunan jumlah osteoklas.

3. Menentukan pengaruh aplikasi intrasulkuler bisfosfonat risedronat hidrogel terhadap perubahan rasio jumlah osteoklas dan osteoblas.

4. Menentukan pengaruh aplikasi intrasulkuler bisfosfonat risedronat topikal terhadap perubahan kadar alkalin fosfatase pada cairan krevikuler gingiva.


(29)

11 II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka 1. Pergerakan Ortodontik dan RelapsGigi

Pergerakan gigi ortodontik berdasarkan pada prinsip biologi bahwa pemberian tekanan yang berkelanjutan pada gigi akan mengakibatkan remodeling tulang alveolar. Terjadi keseimbangan antara pembentukan tulang pada daerah regangan dan resorpsi tulang pada daerah tekanan (King dan Keeling, 1994). Dengan pemberian tekanan yang tepat, gigi-gigi dapat digerakan tanpa mengakibatkan kerusakan baik pada gigi-gigi tersebut maupun perlekatannya pada tulang. Tekanan yang diaplikasikan di mahkota akan diteruskan ke akar, ligamen periodontal, dan tulang alveolar yang mengakibatkan terbentuknya daerah tekanan dan daerah regangan pada struktur pendukung gigi. Gigi dapat digerakkan jika terjadi resorpsi tulang di daerah tekanan dan supaya perlekatan gigi tetap erat harus terjadi deposisi tulang di daerah regangan. Fenomena ini disebut remodeling tulang. Soket gigi seperti bergerak sejalan dengan pergerakan gigi pada tulang alveolar (Foster, 1999).

Telah banyak penelitian mengenai respon jaringan pendukung gigi terhadap gaya ortodontik dan telah dilaporkan bahwa pergerakan gigi ortodontik dapat terjadi mengikuti remodeling tulang alveolar dan reaksi ligamen periodontal terhadap stimuli mekanik. Pergerakan gigi terjadi sesuai arah gaya sehingga berlangsung respon remodeling tulang, yaitu resorpsi tulang pada daerah tekanan dan aposisi tulang pada daerah regangan dari ligamen periodontal (Krisnan dan


(30)

12

Davidovitch, 2009). Remodeling tulang merupakan kejadian kompleks, mencakup resorpsi dan formasi tulang, serta membutuhkan koordinasi aksi dari osteoklas, osteosit, dan osteoblas (Su dkk., 1997). Tulang secara konstan teresorpsi oleh osteoklas dan digantikan dengan osteoblas dalam proses yang disebut bone remodeling dimana resorpsi jauh lebih cepat dibandingkan dengan pembentukannya. Area tulang dapat diresorpsi dalam 2-3 miggu akan tetapi membutuhkan waktu 3 bulan untuk mengembalikannya (Harada dan Rodan, 2003). Agar keseimbangan pembentukan dan resorpsi tulang terjadi, osteoblas mensekresi faktor yang mengatur diferensiasi osteoklas dan osteosit mensekresi faktor yang mengatur aktivitas osteoblas dan osteoklas (Hartmann, 2006). Resorpsi dan pembentukan tulang merupakan pasangan yang erat, sehingga setelah fase resorpsi akan terjadi pembentukan tulang dan secara normal jumlah tulang yang teresorpsi akan dibentuk pada fase berikutnya. Koordinasi ini muncul dari hubungan antara osteoblas dan osteoklas yang dimediasi oleh pelepasan growth factor dari tulang selama resorpsi (Gori dkk., 2000).

Relaps adalah kembalinya susunan gigi geligi pada kondisi sebelum perawatan. Relaps dapat disebabkan karena ketidakpatuhan pasien dalam pemakaian retainer dan oklusi hasil perawatan yang belum tercapai sempurna. Menurut Profit (2000) hasil perawatan ortodontik sangat tidak stabil dan hal tersebut menyebabkan retensi ortodontik sangat diperlukan. Tujuan retensi adalah mempertahankan gigi-geligi pada posisi baru setelah perawatan aktif selesai dan alat ortodontik dilepas. Periode retensi disebut sebagai perawatan ortodontik pasif. Beberapa klinisi sering tidak memperhatikan pentingnya periode retensi setelah mendapatkan kemajuan pada periode aktif. Perawatan pada periode retensi sama


(31)

13

pentingnya seperti perawatan aktif karena gigi memiliki kecenderungan untuk bergerak ke posisi awal sebelum perawatan (Dyken, 2001).

Tanya dkk. (2011) berdasarkan hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa relaps ortodontik terjadi secara cepat ketika gigi terbebas dari gaya ortodontik sehingga sangat penting untuk segera memberikan retensi setelah gerakan ortodontik aktif. Perubahan positif sel TRAP dalam jumlah dan distribusinya sepanjang tulang alveolar gigi molar yang digerakkan dan gigi di sebelahnya, menghasilkan resorpsi tulang pada arah gerakan relaps. Secara simultan terjadi formasi tulang baru pada area yg berlawanan dari TRAP positif cell activity. Hasil ini mendukung hipotesis bahwa relaps ortodontik dan pergerakan gigi ortodontik mengalami proses yang sama yaitu peningkatan diferensiasi osteoklas pada area tekanan dan penurunan pada area regangan. Hal ini mengindikasikan bahwa tulang alveolar merupakan elemen penting pada proses relaps.

Beberapa penelitian pada gigi molar tikus yang digerakkan menunjukkan pola aktivitas relapsyang sama yaitu setelah digerakkan secara ortodontik selama 7 hari maka pada hari ke-1 terjadi relaps sebesar 72,2%, pada hari ke-4 sebesar 89,9%. Pada penelitian yang digerakkan selama 10 hari, terjadi relaps sebesar 62,5% pada hari pertama dan 68,9% pada hari ke-5 (Tanya dkk., 2011).

Pergerakan gigi yang tidak diinginkan pada gigi penjangkar dan relaps merupakan penyebab kegagalan perawatan ortodontik, sehingga diperlukan preparasi gigi penjangkar dan perawatan periode retensi. Masalah tersebut sering tidak dapat dihindari karena kondisi gigi dan kurangnya kerjasama pasien. Pergerakan gigi selalu disertai proses resorpsi tulang alveolar sehingga gerakan yang tidak diinginkan ini dapat dicegah menggunakan terapi farmakologis di


(32)

14

antaranya dengan pemberian obat penghambat resorpsi tulang (Igarashi dkk., 1994).

2. Osteoklas dan Resorpsi Tulang

Resorpsi tulang merupakan suatu proses yang kompleks, secara morfologis berhubungan dengan hilangnya permukaan tulang (lacuna howship) dan melibatkan sel multinuklear osteoklas. Osteoklas berasal dari jaringan sistem hemopoetik yaitu monosit dan makrofag. Dengan adanya faktor lokal dan sistemik, monosit dan makrofag akan berdiferensiasi, terjadi penggabungan sehingga menjadi multinuklear. Pada saat aktif, osteoklas akan menghasilkan enzim hidrolitik. Enzim ini akan mendigesti unsur organik tulang. Osteoklas akan menyebabkan resorpsi tulang dalam waktu kurang dari 2 minggu (Sakuma dkk., 2000).

Mekanisme resorpsi tulang tersebut adalah: (a) Perlekatan osteoklas ke permukaan tulang, (b) Pembentukan lingkungan asam melalui aktivitas pompa proton, membuat tulang mengalami demineralisasi dan keluarnya matriks organik, (c) Degradasi matriks organik yang mengandung asam amino oleh aktivitas enzim, seperti asam fosfatase, dan (d) Pelarutan ion mineral dan asam amino oleh osteoklas (Newman dkk. 2002). Hilangnya substansi tulang dikarenakan adanya aktivitas sel osteoklas yang berlebihan. Asam-asam organik yang disekresikan osteoklas melarutkan mineral tulang sehingga terjadi degradasi kolagen (Newman dkk., 2002).

Dalam osteoklas, enzim carbonic anhydrase mengkatalisis pembentukan asam karbonat (H2CO3) intraseluler dari CO2 dan H2O. Asam karbonat akan terurai


(33)

15

di dalam sel menjadi ion H+ dan ion bikarbonat (HCO3-). Ion bikarbonat bersama-sama dengan ion Na+ melintasi plasmalemma dan masuk ke dalam kapiler-kapiler terdekat. Pompa proton plasmalemma pada ruffled border osteoklas secara aktif melakukan transport ion H+ menuju subosteoclastic compartment yang berakibat turunnya pH (ion Cl- mengikuti secara pasif). Komponen inorganik matriks menjadi larut dan terurai oleh karena lingkungan mikro yang menjadi lebih asam. Mineral-mineral yang terbebaskan akibat pengaruh asam tadi akan dibawa masuk dalam sitoplasma osteoklas dan didistribusikan ke pembuluh kapiler terdekat.

Enzim lisosomal hidrolase dan metallo proteinase, seperti kolagenase dan gelatinase, disekresikan osteoklas di subosteoclastic compartment dan akan mendegradasi komponen organik pada matriks tulang yang telah mengalami dekalsifikasi. Produk-produk hasil degradasi enzim lisosomal hidrolase kemudian diendositosis oleh osteoklas yang selanjutnya diubah menjadi asam amino, disakarida dan monosakarida yang akhirnya dilepaskan ke pembuluh kapiler (Gartner and Hiatt, 2007).

Terdapat dua asam fosfatase dalam osteoklas yang diidentifikasi oleh Vaes (1988). Asam fosfatase yang aktif pada fenil atau p-nitrophenilphosphatase, yang merupakan enzim yang tahan terhadap tartrat dan disebut tartrate-resistant acid phenylphosphatase (TRAP). β-gliserophosphatase yang sensitif terhadap tartrat. Keaktifan TRAP akan meningkat pada osteoklas setelah diinduksi bahan pengaktif, misalnya hormon paratiroid. TRAP merupakan enzim yang spesifik dalam lisosom osteoklas dan tidak ditemukan di monosit-makrofag maupun makrofag yang berasal dari multinucleated giant cell, sehingga TRAP dianggap sebagai penanda spesifik osteoklas yang aktif.


(34)

16 3. Osteoblas dan Pembentukan Tulang

Osteoblas memiliki peran penting dalam membentuk dan menjaga arsitektur skeletal. Sel ini bertanggung jawab untuk deposisi matriks tulang dan untuk regulasi osteoklas, mononuklear dan berakhir dengan differensiasi sel yang terspesialisasi (Canhão dkk., 2005). Osteoblas merupakan sel pembentuk tulang yang bertanggung jawab terhadap proses mineralisasi matriks tulang dengan cara mensekresi kolagen tipe I serta melepaskan kalsium, magnesium, dan ion fosfat (Kalfas, 2001). Selama perkembangan dan maturasi, osteoblas mengekspresikan gen-gen yang spesifik. Osteoblas tidak pernah tampak atau berfungsi secara individual, tetapi selalu dalam kelompok-kelompok sel kuboid di sepanjang permukaan sel. Osteoblas yang matur akan mensekresi osteoid, kolagen tipe I, faktor pertumbuhan, dan alkalin fosfatase. Proses pembentukan tulang terjadi melalui tiga proses yaitu produksi (proliferasi), maturasi matrik osteoid, kemudian dilanjutkan dengan mineralisasi (Baron dkk., 2002; Lerner, 2004). Selama proliferasi beberapa protein matriks ekstra seluler (procollagen I, TGF ß, dan fibronektin) dapat dideteksi. Fase maturasi matriks ditandai dengan adanya ekspresi alkalin fosfatase (ALP). Pada awal mineralisasi matriks gen untuk protein seperti osteocalcin (OC), bone sialoprotein (BSP), dan osteopoentin (OPN) terekspresi saat mineralisasi sudah selesai. Deposisi kalsium dapat divisualisasikan menggunakan metode pewarnaan. Analisis tulang dengan penanda spesifik sel seperti ALP, OC, dan kolagen tipe 1 atau deteksi mineralisasi fungsional biasanya digunakan untuk membedakan osteoblas secara in vitro (Kasperk, 1995).


(35)

17

4. Mekanisme Aksi Bisfosfonat

Bisfosfonat adalah obat yang digunakan untuk menekan turnover tulang melalui efek pada osteoklas (Borromeo, dkk. 2011).Bisfosfonat merupakan analog sintesis dari pyrophosphat inorganik (PPi), regulator endogen dalam proses mineralisasi (Rogers, 2003). Perbedaan struktur bisfosfonat dengan PPi hanya terletak pada keberadaan atom C (sentral) yang tidak dapat terhidrolisis serta adanya keberadaan gugus terminal R1 dan R2 (yang terikat pada atom C sentral) pada struktur bisfosfonat (yang tidak dimiliki oleh PPi). Konfigurasi struktur sentral bisfosfonat yaitu C-R1 dan R2 adalah kunci yang menentukan kemampuan bisfosfonat dalam menghambat proses resorbsi. Keberadaan atom Nitrogen atau group amino akan meningkatkan potensi anti-resorbtif bisfosfonat secara relatif signifikan bila dibandingkan dengan bisfosfonat yang tidak mengandung nitrogen (ataupun group amino). Bisfosfonat non-nitrogen merupakan bisfosfonat generasi awal (seperti etidronat, clodronat, dan tiludronat) yang memiliki struktur paling mirip dengan PPi. Berbeda dengan bisfosfonat gerenasi awal, bisfosfonat generasi ke-2 dan 3 (seperti alendronat, risendronat, ibandronat, pamidronat, dan asam zoledronik) memiliki kandungan nitrogen pada sisi rantai R2 (Drake, dkk. 2008).

Menurut Fleish (1998) penghambatan resorpsi tulang oleh bisfosfonat dapat dijelaskan melalui 4 mekanisme aksi yaitu: (a) menghambat pembentukan osteoklas, (b) menghambat perlekatan osteoklas, (c) memperpendek umur osteoklas, dan (d) menghambat aktivitas osteoklas. Menurut Ghoneima dkk. (2010) Bisfosfonat menghambat diferensiasi dan aktivitas osteoklas serta memutus perlekatan osteoklas yang sudah matang pada tulang, dan memicu terjadinya apoptosis (Gambar 2.1).


(36)

18

Gambar 2.1. Mekanisme aksi bisfosfonat (Ghoneima dkk., 2010)

Penelitian Sato dkk. (1991) menyimpulkan bahwa target akhir bisfosfonat adalah osteoklas. Efek bisfosfonat secara langsung dapat mengakibatkan perubahan morfologi osteoklas baik secara in vitro maupun in vivo. Penelitian lain melaporkan bahwa perubahan morfologi osteoklas hanya terjadi ketika sel tersebut meresorpsi matriks kalsium secara aktif atau ketika bisfosfonat diinjeksi langsung ke dalam sel. Perubahan morfologi osteoklas tidak akan terlihat apabila bisfosfonat diberikan ketika osteoklas tidak aktif (Fleisch, 1998).

Fleisch (1998) juga melaporkan bahwa berkurangnya resorpsi tulang dikarenakan adanya peningkatan keseimbangan kalsium dan mineral yang mengisi tulang. Hal tersebut mungkin dikarenakan adanya peningkatan pada absorbsi kalsium intestinal. Keseimbangan yang meningkat tersebut adalah alasan pemberian bisfosfonat pada manusia yang menderita osteoporosis. Bisfosfonat dapat mengurangi resorpsi tulang dan meningkatkan kepadatan mineral tulang sehingga dapat diberikan pada pasien osteoporosis pasca menopause dan pengobatan kortikosteroid yang dapat memacu resorpsi tulang, yaitu pengobatan penyakit tumor tulang dan osteoporosis.


(37)

19

Dilihat dari strukturnya, bisfosfonat dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu bisfosfonat sederhana (simple-BPs) dan bisfosfonat yang mengandung atom nitrogen (N-BPs). Non-Nitrogen BPs (simple BPs) diubah menjadi analog ATP yang bersifat tidak dapat dihidrolisis di dalam sel, yang bersifat toksik bagi sel. Disisi lain N-BPs (seperti: pamidronate, alendronate, dan risendronate) akan menghambat farnesyl pyrophosphate synthase (enzym dalam jalur mevalonate). Penghambatan ini akan menyebabkan tidak terbentuknya isoprenoid geranylgeranyl pyrophosphate (GGPP). Dengan tidak terbentuknya GGPP, maka tidak terjadi prenilasi beberapa protein-protein kecil GTPase (Ras,Rho,dll.) yang bertanggung jawab mempertahankan integritas sitoskeletal dan signaling intrasel pada sel osteoklas. Tidak adanya integritas sitoskeletal sel osteoklas menyebabkan ruffled border tidak terbentuk, akhirnya osteoklas tidak dapat melakukan aktivitas resorpsi dan mengalami apoptosis (Ghoneima dkk., 2010) (Gambar 2.2).

Gambar 2.2. Efek N-BPs menghambat farnesyl pyrophosphate synthase dalam jalur mevalonate (Ghoneima dkk., 2010)


(38)

20

Bisfosfonat risedronat menunjukkan profil yang berbeda, dengan ikatan enzim yang tinggi dan afinitas tulang yang sedang. Diantara bisfosfonat lain, risedronat merupakan inhibitor FPPS (farnesyl pyrophosphate synthase) yang kuat. Dibutuhkan sedikit risedronat untuk mengikat pada permukaan hidroksi apatit dibandingkan aledronat, ibandronat dan zoledronat saat saturasi (Nancollas, 2006).

Bisfosfonat saat ini dikaitkan dengan osteonekrosis rahang terutama penggunaan bisfosfonat pada kasus keganasan. Disebut sebagai osteonecrosis associated jaw (ONJ), dengan kondisi area tulang terbuka pada regio maksilofasial. ONJ adalah kondisi yang relatif baru, dengan pengetahuan mengenai patofisiologi dan manajemen yang terus-menerus dikembangkan. American Society for Bone and Mineral Research (ASBMR) mendefinisikan kasus ONJ sebagai area tulang terbuka di regio maksilofasial yang tidak sembuh dalam delapan minggu setelah teridentifikasi oleh tenaga kesehatan pada pasien yang menerima paparan bisfosfonat dan tidak mendapat terapi radiasi pada regio kraniofasial (Borromeo dkk. 2011). Osteonekrosis rahang (ONJ ) dijumpai pada pasien yang mengkonsumsi bisfosfonat untuk terapi yang berkaitan dengan berbagai penyakit pada tulang. Insidensinya 0,8%-12% yang mendapatkan terapi bisfosfonat secara intravena dan 0,01%-0,04% secara peroral (Mavrokokki dkk., 2007). Efek samping lain adalah demam, pusing, penglihatan kabur, mata merah dan sakit kepala. Demam yang berhubungan dengan bifosfonat biasanya ringan (100-101° F) dan biasanya hanya terlihat setelah infus intravena obat. Demam dapat berlangsung selama beberapa jam. Beberapa pasien dapat mengalami reaksi kulit seperti ruam, gatal-gatal atau kemerahan yang dapat memperburuk pada paparan sinar matahari.


(39)

21

Penggunaan bifosfonat dapat menyebabkan kerusakan ginjal dan disfungsi ginjal pada beberapa kasus (Ananya Mandal, 2014).

5. Alkalin Fosfatase

Alkalin fosfatase disintesis dan disekresi oleh sel osteoblas selama proses pembentukan tulang. Alkalin fosfatase mengkatalisis hidrolisis ester fosfatase, yang merupakan inhibitor kuat pada proses mineralisasi dalam pH alkalin berkaitan dengan kalsifikasi jaringan (Stucki dkk., 2001). Alkalin fosfatase (ALP) adalah enzim hidrolase yang bekerja sebagai fosfatase yang menghilangkan kelompok oksigen dan atom-atom fosfat (kelompok fosfat) dari banyak tipe molekul lain, termasuk nukleotid, protein dan alkaloid. Enzim ini disebut alkalin fosfatase karena bekerja dalam kondisi alkalin (non-acidic) dengan pH 10. Alkalin fosfatase disebut juga sebagai basic phosphatase yang bekerja dengan cara memecah fosfat (mineral yang bersifat asam) dan menciptakan pH alkalin (Sara dan Saygili, 2001).

Ekspresi ALP dapat menggambarkan perubahan biokemikal yang terjadi pada jaringan pendukung setelah pemberian gaya ortodontik (Dhopatkar dkk., 2005). Pada beberapa penelitian, peningkatan kadar ALP telah terdeteksi selama pergerakan ortodontik pada minggu ke-1 sampai ke-3 (Perinetti dkk., 2004).

Analisis menggunakan sampel cairan krevikuler gingiva dapat menjadi sarana yang baik untuk menguji proses biokemikal yang terus-menerus terjadi terkait metabolisme tulang (bone turnover) selama pergerakan gigi secara ortodontik (Isik dkk., 2005). Metode tersebut dapat dipergunakan untuk evaluasi biologis kekuatan ortodontik. Manajemen alat ortodontik dapat lebih efektif dengan panduan analisis cairan krevikuler karena dapat diketahui respon jaringan secara


(40)

22

individual. Selain itu analisis cairan krevikuler gingiva dapat mengatasi masalah retensi dengan diketahuinya tingkat metabolisme tulang (bone turnover) di sekitar gigi.

Kadar alkalin fosfatase dan osteokalsin pada analisis cairan krevikuler merupakan penanda (marker) terbaik pembentukan tulang, sedangkan deoksipiridinolin dan n-telopeptide crosslinks adalah produk degradasi kolagen merupakan marker yang paling spesifik untuk aktivitas osteoklas (Eyre, 1997). Dengan pengukuran biomarker bone turnover ini, dapat diketahui kemajuan perawatan dari setiap individu sehingga jumlah gaya yang diberikan dapat dimodifikasi untuk mencegah kerusakan iatrogenik (Krishnan dan Davidovitch, 2006). Selain itu, durasi periode retensi setiap pasien dapat disesuaikan berdasarkan ekspresi biomarker pembentukan tulang (Asma dkk., 2008).

6. Metode Pemberian Obat

Terdapat beberapa metode pemberian obat, di antaranya secara oral, rektal, sublingual, injeksi parenteral, dan topikal (Bunyamin, 1981). Pemberian obat melalui injeksi parenteral sering dilakukan jika kondisi pasien tidak memungkinkan untuk menerima obat secara oral. Injeksi subkutan digunakan untuk pemberian obat dalam jumlah kecil agar tidak menyebabkan kerusakan jaringan dan mendapatkan efek sistemik dengan absorbsi yang cepat. Seluruh metode injeksi mempunyai kekurangan yaitu terasa sakit dan dapat sangat berbahaya bagi pasien. Metode injeksi hanya dapat dilakukan sesuai dengan indikasinya dan oleh orang yang telah teruji kemampuannya (Yagiela dkk., 1998).


(41)

23

Pemberian obat secara oral merupakan metode pemberian obat yang pertama kali dipakai dalam sejarah pengobatan. Absorbsi obat dengan metode ini lambat dengan rerata klinis 30 sampai 60 menit, tetapi relatif aman dibandingkan metode lain. Keuntungan utamanya adalah kenyaman dan ekonomis. Penerimaan pasien terhadap obat-obatan oral sangat baik karena metode ini tidak menimbulkan rasa sakit (Yagiela dkk., 1998). Kerugian metode ini adalah obat dapat merangsang mukosa lambung, dapat membentuk kompleks dengan makanan sehingga sukar diabsorbsi, obat akan lewat sistem portal dan mengalami biotransformasi sebelum memasuki sirkulasi ke berbagai organ, membutuhkan kooperasi pasien dan efeknya baru timbul setelah beberapa waktu tergantung dari jenis obatnya.

Drug delivery system (DDS) adalah sistem administrasi obat menggunakan suatu media pembawa (Omedian dan Park, 2010). Dengan sistem ini maka waktu pelepasan obat menjadi lebih panjang atau terkontrol. Sistem ini juga meminimalkan efek samping obat yang dibawa. Keuntungan lainnya adalah dapat melokalisasikan efek obat, mengurangi dosis, dan meningkatkan kenyamanan pasien (Papazoglou, 2007). Menurut penelitian yang dilakukan Young dkk., (2005) sistem ini memiliki banyak keuntungan, yaitu berbagai macam molekul zat aktif dapat dimasukkan ke dalam bahan pembawa, waktu yang akan digunakan dalam pelepasan zat aktif dapat dikontrol serta material zat aktif dapat disimpan dalamnya.

Hidrogel adalah contoh senyawa pembawa pada sistem DDS, merupakan gel hidrofil yang memiliki jejaring tiga dimensi yang dapat menyerap air lebih banyak daripada beratnya. Hidrogel terdiri dari polimer, pengikat molekular atau spacer, dan larutan cair. Komposisi polimer dasar yang digunakan pada hidrogel biasanya


(42)

24

adalah polisakarida, protein, kitin, kitosan, polimer hidrofilik, dan gelatin (Lakkis, 2007). Gelatin adalah biopolimer alam yang bersifat biokompatibel dan biodegradabel. Gelatin didapatkan melalui pelarutan dan hidrolisis parsial kolagen yang didapatkan dari jaringan ikat hewan (Tania dkk., 2009). Gelatin telah digunakan secara luas dalam industri, farmasi, dan aplikasi medis serta menjadi materi yang sering digunakan dalam prosedur pembedahan dan sebagai komponen obat karena tingkat keamanannya (Yamamoto dan Tabata, 2006). Mekanisme pelepasan zat aktif dari hidrogel terjadi melalui proses difusi. Pelepasan zat aktif dalam matriks dibantu dengan lepasnya ikatan kimia, misalnya ikatan H dan ikatan ion, antara matriks dan zat aktif (Lakkis, 2007). Terdapat dua jalan bagaimana obat dapat dilepaskan dari implant polimer: 1) difusi melalui implan dan ke jaringan sekitarnya dan 2) degradasi implan oleh enzim, air, atau kondisi asam/dasar ditambah dengan difusi (Langer dan Peppas, 2003) (Gambar 2.3).


(43)

25 7. Hewan Coba Marmot (Guinea Pigs)

Beberapa faktor yang berkontribusi pada popularitas dan penggunaan marmot (guinea pigs) sebagai hewan coba pada penelitian adalah mudahnya menangani dan menjaganya di laboratorium. Hewan ini peka dengan beberapa penyakit menular pada manusia dan beberapa hewan sehingga digunakan sebagai hewan untuk uji diagnosis dalam mikrobiologi dan uji tuberkulosis (Seltzer dkk., 1976). Marmot memiliki kesamaan sistem imun dengan manusia, menunjukkan kesamaan reaksi antigen makrofag dalam mencegah reaksi hipersensitivitas kutan, serta sering digunakan untuk penelitian penyembuhan luka, tulang, gigi, dan atherosklerosis (Harkness dan Wagner, 1983).

Marmot memiliki karakteristik tingkah laku tampak gugup akan tetapi jinak dan mudah dipegang, memiliki kecenderungan untuk freeze (diam sejenak) pada suara yang tidak familiar dan menyerbu kelompok pada waktu yang tidak diduga. Hewan jantan sering kali berkelahi namun tidak ada perkelahian di antara hewan betina. Marmot (guinea pigs) memiliki kemampuan melompat dan memanjat yang buruk, tidak memiliki ekor, hewan ini tumbuh gigi hypsodont yang erupsi secara konstan dan pada servikal terdapat thymus yang dapat dihilangkan secara bedah (Russell, 1980). Secara fisiologis dan imunologis marmot dapat merespon terapi antibiotik yang tidak diinginkan dan stres (Harkness and Wagner, 1983).

Pemilihan marmot pada penelitian ini karena marmot mudah dilakukan perawatan, dan diberi makan serta pemasangan alat ortodontik lebih mudah. Pada penelitian ini hanya marmot jantan yang digunakan untuk menghindari adanya faktor tidak terduga termasuk adanya fluktuasi estrogen.


(44)

26 B. Landasan Teori

Relaps dalam perawatan ortodontik merupakan masalah yang kompleks dengan banyak faktor penyebab, yang berpotensi mempengaruhi hasil perawatan dan merupakan masalah yang menjadi tantangan dalam perawatan ortodontik. Telah diterima secara umum bahwa peregangan yang berlebihan dari serabut jaringan ikat supraalveolar merupakan penyebab relaps, namun demikian beberapa hasil penelitian secara histologis tidak mendukung pendapat tersebut dan menyatakan terdapat faktor lain yang berperan pada proses terjadinya relaps. Beberapa penelitian ekperimental pada gigi molar yang digerakkan, menunjukkan bahwa remodeling dari serabut prinsipal ligamen periodontal dan tulang alveolar di sekitarnya merupakan penyebab utama terjadinya relaps. Relaps setelah perawatan ortodontik dan pergerakan gigi ortodontik mengalami proses yang sama yaitu terjadinya peningkatan diferensiasi osteoklas pada area tekanan dan penurunan pada area regangan. Hal ini mengindikasikan bahwa tulang alveolar merupakan elemen penting pada proses relaps. Relaps dipengaruhi oleh stabilitas oklusal yang belum tercapai, peningkatan tegangan mekanis yang dipengaruhi oleh serabut transeptal, dan resorpsi tulang alveolar oleh osteoklas. Relaps terjadi jika masih ada resorpsi tulang oleh osteoklas.

Relaps dapat dicegah dengan obat penghambat resorpsi tulang hingga stabilitas oklusi terjadi. Bisfosfonat merupakan kelompok obat yang menghambat aktivitas osteoklas dan resorpsi tulang. Bisfosfonat akan mempengaruhi permukaan tulang pada area yang mengalami remodeling aktif. Bisfosfonat yang mengandung atom nitrogen (N-BPs) seperti pamidronate, alendronate, dan risedronate, akan menghambat farnesyl pyrophosphate synthase (enzim dalam jalur mevalonate).


(45)

27

Penghambatan ini akan menyebabkan tidak terbentuknya isoprenoid geranylgeranyl pyrophosphate (GGPP) sehingga tidak terjadi prenilasi beberapa protein kecil GTPase (Ras, Rho, dll) yang bertanggung jawab dalam integritas sitoskeletal dan signaling intrasel pada sel osteoklas. Tanpa adanya integritas sitoskeletal sel osteoklas, maka ruffled border tidak akan terbentuk. Bila ruffled border tidak terbentuk maka osteoklas tidak dapat melakukan aktivitas resorpsi dan mengalami apoptosis.

Pemberian secara sistemik clodronat, risedronat dan alendronat pada penelitian eksperimental dengan hewan coba telah terbukti efektif mencegah kehilangan tulang karena peradangan periodontal dengan cara penghambatan aktivitas osteoklas. Pemberian secara sistemik berefek terhadap seluruh kerangka tubuh, sehingga pemberian secara topikal yang berefek lokal merupakan pilihan untuk merawat kehilangan tulang periodontal. Beberapa penelitian melaporkan bahwa setelah 24 jam pelepasan alat ortodontik, relaps terjadi dengan cepat pada kelompok kontrol yang tidak diinjeksi bisfosfonat secara sistemik. Pemberian injeksi sistemik bisfosfonat jenis alendronat pada kelompok eksperimental dapat menurunkan relaps. Pemberian 50µL dari 500µmol/L risedronat tidak mempengaruhi pertumbuhan keseluruhan atau pertumbuhan longitudinal tulang tibia namun kepadatan mineralnya meningkat, menunjukkan efek sistemik yang signifikan dari injeksi topikal risedronat.

Penggunaan bisfosfonat pada tempat yang spesifik (lokal) tanpa efek sistemik sangat diharapkan ketika obat ini akan diaplikasi secara klinis. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai metode aplikasi, aturan pemberian, dan sistem pelepasan untuk mendapatkan konsentrasi lokal yang efektif tanpa efek sistemik.


(46)

28

Drug delivery system (DDS) adalah sistem pemberian obat menggunakan suatu media pembawa yang memiliki keuntungan yaitu memperpanjang waktu pelepasan obat. Sistem ini juga meminimalkan efek samping obat yang dibawa, dapat melokalisasi efek obat, mengurangi dosis, dan meningkatkan kenyamanan pasien. Dengan sistem ini berbagai macam molekul zat aktif dapat dimasukkan ke dalam media pembawa, material zat aktif dapat disimpan di dalamnya, serta durasi dan kecepatan pelepasan zat aktif dapat dikontrol.

Hidrogel adalah salah satu senyawa pembawa pada sistem DDS, merupakan gel hidrofil yang memiliki jejaring tiga dimensi yang dapat menyerap air lebih banyak daripada beratnya. Bisfosfonat risedronat yang diaplikasikan secara intrasulkuler dengan media pembawa hidrogel diharapkan dapat memberikan efek topikal dalam menghambat resorpsi tulang alveolar tanpa efek sistemik sehingga dapat mencegah atau meminimalkan terjadinya relaps.


(47)

29 C. Kerangka Teori Berpikir

Perawata Ortodo tik Aktif

Perawatan Ortodontik Pasif (Periode Retensi)

Masih terjadi resorbsi Tulang Alveolar oleh Osteoklas

Tegangan Mekanis yg dipengaruhi oleh serabut Transeptal Stabilitas Oklusal Belum Tercapai

RELAPS

Bisfosfonat risedronat dgn

media pembawa hidrogel gelatin

Aplikasi IntrasulkulerPelepasan zat aktif

terkontrol, efek terlokalisir

Menghambat farnesyl pyrophosphate synthase

Tidak terbentuk isoprenoid GGPP

Tidak terjadi prenilasi beberapa protein2 kecil GTPase

Tidak ada integritas sitoskeletal & signaling intrasel sel osteoklas

Tidak akan terbentuk ruffed border

Osteoklas tidak dapat melakukan aktivitas resorpsi dan mengalami apoptosis

Penurunan jumlah dan aktivitas osteoklas

Penurunan jarak (Relaps), Histologis : jumlah osteoklas dengan TRAP, rasio osteoklas dan osteoblas dengan HE

Mempengaruhi proliferasi dan diferensiasi osteoblas Peningkatan Kadar Alkalin fosfatase

Uji ALP dgn Spectro

Uji Pelepasan (Release)

Gambar 2.4. Kerangka Teori Berpikir, bagian yang berwarna hijau dan ungu adalah yang dilakukan pada penelitian ini.


(48)

31 D. Hipotesis

Berdasarkan landasan teori yang ada dapat diambil hipotesis sebagai berikut: 1. Bisfosfonat risedronat hidrogel efektif memperkecil relaps gigi

2. Bisfosfonat risedronat hidrogel efektif menurunkan jumlah osteoklas.

3. Bisfosfonat risedronat hidrogel berpengaruh terhadap rasio jumlah osteoklas dan osteoblas.


(49)

32 III. METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimental laboratoris. Rancangan penelitian menggunakan simple randomized design yaitu pengambilan sampel secara acak untuk dimasukkan sebagai kelompok eksperimen dan kontrol.

B. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah marmot/guinea pig (Cavia cobaya) karena penanganannya mudah dan mampu bertahan dengan perlakuan dalam waktu cukup lama. Kriteria subjek penelitian adalah: Jenis kelamin jantan, umur dewasa dengan berat badan 350-550 gram. Perlakuan dengan hewan coba telah mendapat persetujuan dari Komisi Etik Penelitian FKG UGM dengan nomor 355/KKEP/FKG-UGM/EC/2012.

C. Identifikasi Variabel 1. Variabel Pengaruh

Sodium Risedronat dengan media pembawa hidrogel dengan konsentrasi 500 µmol/L dan 250 µmol/L yang diaplikasikan secara intrasulkuler.

2. Variabel Terpengaruh

Relaps gigi, jumlah osteoklas, rasio jumlah osteoklas dan osteoblas, aktivitas alkalin fosfatase.

3. Variabel Terkendali a. Berat marmot


(50)

33

b. Umur marmot c. Jenis Gigi

d. Jenis makanan marmot e. Panjang open coil spring f. Hari pengamatan

g. Waktu pemakaian alat ortodontik h. Waktu pemberian obat

i. Jarak antar bonding cleat

j. Jarak bonding cleat dari tepi insisal gigi marmot

4. Variabel Tak Terkendali a. Kondisi awal marmot b. Perilaku marmot c. Lepasnya braket

D. Definisi Operasional Variabel

1. Bisfosfonat risedronat (risedronat sodium) yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah adalah pyridinyl bisfosfonat penghambat osteoklas yang memediasi resorpsi tulang dan memodulasi metabolisme tulang. Nama kimia sodium risedronat adalah [1-hydroxy-2-(3-pyridinyl)ethylidene] bis [phosphonic acid] monosodium salt.


(51)

34

Strukur kimia sodium risedronate hemi-pentahydrate adalah :

Gambar 3.1. Struktur Kimia Sodium Risedronat (Adachi dkk., 1994)

2. Hidrogel gelatin (semi solid) yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelatin yang diubah menjadi bentuk hidrogel dengan mengikatsilangkan (crosslinking) gelatin dengan glutaraldehid. Hidrogel bersifat porus (berpori) sehingga risedronat sodium dapat disisipkan ke dalam matriks gel dengan laju pelepasan yang disesuaikan.

3. Aplikasi intrasulkuler hidrogel bisfosfonat risedronat yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah sediaan yang berbentuk semisolid ini dimasukkan dalam spuit ukuran 30 G dan diaplikasikan ke dalam sulkus ginggiva gigi insisivus marmot bagian mesial. Molekul molekul risedronat sodium yang dibawa oleh sistem hidrogel akan terperangkap dalam jaring-jaring gel sampai gel mengalami degradasi. Hidrogel yang terdegradasi menyebabkan pelepasan risedronat sodium yang dibawanya, sehingga pelepasan obat dapat terkontrol, obat dapat bekerja lebih optimal pada aplikasi intrasulkuler dan berefek lokal. 4. Relaps yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gerakan kembalinya gigi ke

posisi semula setelah alat ortodontik dilepas. Dalam penelitian ini akan dilihat dengan cara mengukur jarak interinsisivus dengan jangka sorong.


(52)

35

5. Open coil spring adalah suatu alat bantu yang biasa digunakan dalam perawatan ortodontik cekat untuk membuka ruang pada kasus impaksi atau gigi yang berjejal dan distalisasi gigi molar, yang dalam penelitian ini menggunakan jenis NiTi ukuran terkecil 0,010”x 0,045” dengan panjang 1,5 kali panjang inter cleat gigi insisivus bawah marmot. Pemilihan besar gaya yang diberikan mengacu pada penelitian Lorenz dkk., yaitu dengan kompresi open coil 25% akan menghasilkan gaya 0,25 N-1,3 N, kompresi 50% akan menghasilkan gaya 0,64N-2,9N (Lorenz dkk., 2011). Pada penelitian ini dengan panjang open coil 1,5 jarak inter cleat, dilakukan kompresi 1/3 panjang coil (33,3 %) maka akan dihasilkan gaya yang adekuat untuk pergerakan gigi.

6. Osteoklas merupakan sel yang berperan dalam proses resorpsi, berasal dari sel sistem hematopoetik dalam sumsum tulang, dibentuk oleh fusi progenitor mononuklear dari monocyte macrophage lineage.

7. Osteoblas merupakan sel yang berperan dalam proses aposisi, berasal dari sel stem stromal sumsum tulang atau sel-sel stem mesenkim jaringan ikat, distimulasi untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi preosteoblas, kemudian akan berdiferensiasi lagi menjadi osteoblas matur.

8. Alkalin fosfatase merupakan enzim spesifik dalam tulang (bone-specific isoenzyme) yang diekskresi oleh osteoblas.

E. Bahan Penelitian 1. Tulang alveolaris rahang bawah marmot.

2. Risedronate sodium sebanyak 1 gr.


(53)

36

4. Opencoil springjenis Niti ukuran 0,010” X 0,030”.

5. Bonding cleat yang dipasang pada sisi labial gigi incisivus bawah. 6. Kawat stainless stell bulat dengan diameter 0,016.

7. Bahan bonding primer dan adhesive resilience dari Ortho Technology Inc. 8. Pumish untuk brushing gigi sebelum dietsa dan dipasangi braket.

9. Paper point untuk mengambil cairan gingiva marmot. 10. Bahan untuk pemeriksaan histologis.

11. Bahan untuk uji alkalin fosfatase

F. Alat Penelitian 1. Tang klamer untuk membengkokkan kawat

2. Tang potong untuk memotong kawat dan opencoil spring 3. Pinset braket untuk memasang cleat

4. Brush untuk membersihkan gigi sebelum pemasangan braket

5. Power O untuk mengikat kawat pada cleat, Clemp untuk memasang power O 6. Kuas untuk mengoleskan bahan etsa dan primer bonding

7. Kaca mulut, Sonde / explorer

8. Jangka sorong dengan ketelitian 0.01 mm 9. Spuit injeksi ukuran 1 ml untuk anestesi 10. Timbangan digital dan alat Light Curing 11. Jarum dengan ukuran 30 G


(54)

37 G. Jalannya Penelitian

1. Pembuatan sediaan hidrogel bisfosfonat risedronat

Pembuatan sediaan dilakukan di Laboratorium Riset Terpadu FKG UGM. Menggunakan zat aktif bisfosfonat risedronat yaitu sodium risedronate, dibuat sediaan dengan media pembawa gelatin hidrogel sehingga obat tersebut dapat berefek secara topikal. Gelatin 3% (3 gr) dilarutkan ke dalam 100 ml NaCl kemudian dihomogenisasi dengan magnetic stirrer selama 3 jam pada suhu 37°. Risedronate sodium (15,245 mg untuk pembuatan konsentrasi 500 µmol/L dan 7,6272 mg untuk pembuatan konsentrasi 250 µmol/L) dimasukkan dan diaduk selama 2 jam. Diukur pH, dan ditambahkan NaOH sampai pH 7 (netral). Campuran tersebut ditambahkan dengan larutan glutaraldehid dengan konsentrasi 25% (200 µL) sebagai crosslinker kemudian diaduk sampai homogen menggunakan magnetic stirrer. Setelah itu, hidrogel dicuci menggunakan glysin dan mili-Q sebanyak tiga kali masing-masing selama 15 menit untuk menghentikan reaksi crosslinking dan mengikat glutaraldehid yang tersisa.

Hidrogel yang telah dicuci menggunakan glysin dimasukkan ke dalam freezer dengan suhu -300C. Setelah proses pendinginan dilanjutkan dengan proses lyofilisasi menggunakan freeze dryer selama 48 jam. Hidrogel akan berubah bentuk dari semisolid menjadi solid (blok). Matriks blok hidrogel gelatin kemudian diproses (diblender) menjadi sediaan microsphere. Ketika akan digunakan, sediaan ini dicampur kembali menggunakan aquades dengan perbandingan 1:20 w/w sehingga terbentuk larutan semi solid. Sediaan akhir dimasukkan ke dalam spuit ukuran 30 G dan siap diaplikasikan (Tabata dan Ikada, 1998).


(55)

38

Sebelum diaplikasikan, dilakukan uji release (pelepasan) obat dari sediaan yang sudah berbentuk microsphere. Untuk mengukur pelepasan bisfosfonat risedronat digunakan uv vis spectrophotometer dengan panjang gelombang 262 nm. Spectrophotometry adalah metode karakterisasi konsentrasi larutan dengan mengukur jumlah cahaya yang ditransmisikan melalui sampel. Dalam sampel yang jernih, seperti tabung tes berisi air, semua cahaya akan ditransmisikan. Dalam sampel lebih gelap, seperti air dengan pewarna di dalamnya, beberapa cahaya akan diserap. Jumlah cahaya yang diserap dapat dikorelasikan dengan konsentrasi pewarna (Langer dan Peppas, 2003). Didalam penelitian ini dibandingkan antara ependorf yang berisi bisfosfonat risedronat murni dengan ependorf yang berisi microsphere (risedronat sodium dengan media pembawa hidrogel).

Sediaan microsphere hidrogel gelatin yang mengandung sodium risedronat konsentrasi 500 µmol/L (400 mg/ mengandung 1,92 risedronat), 250 µmol/L (400 mg/mengandung 1 mg risedronat), bisfosfonat risedronat murni 1,92 mg dan bisfosfonat risedronat murni 1 mg tanpa media pembawa, dimasukkan kedalam ependorf dan dilarutkan dalam PBS. Masing masing sampel dibuat (replikasi) 3 ependorf, dilakukan inkubasi 37°C selama 1 jam. Kemudian di sentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 20 menit, diambil 500 µl supernatan dan di ukur absorbansinya dengan uv vis spectrophotometer. Ependorf yang sudah terambil 500 µl, ditambahkan dengan larutan PBS baru sebesar 500 µl dan kembali diinkubasi 37° selama 3 jam. Kemudian dilakukan perlakuan yang sama untuk pengukuran pada interval waktu 3 jam, 6 jam dan 24 jam (Saito dan Tabata, 2012)


(56)

39 2. Perlakuan pada hewan coba

Penelitian dengan hewan coba marmot telah mendapat persetujuan dari Komisi Etik Penelitian FKG UGM dengan nomor 355/KKEP/FKG-UGM/EC/2012. Aklimatisasi marmot selama 1 minggu sebelum diberi perlakuan untuk adaptasi dengan tempat dan makanan laboratorium.

Perlakuan pada hewan uji dilakukan di LPPT Unit IV UGM. Dilakukan penimbangan berat badan marmot yang sesuai dengan kriteria (350-550 mg). Marmot dianastesi dengan ketamin (0.1 ml) dan xylasin (0.1 ml) dengan injeksi intramuscular di paha (dosis 6-12 mg/kgBB), kemudian dilakukan pemasangan separator diantara kedua gigi insisivus untuk memudahkan pemasangan lingual bonding cleat. Dilanjutkan dengan pemberian etsa pada permukaan labial gigi insisivus tersebut dan pemasangan lingual bonding cleat. Kawat stainless stell bulat dengan diameter 0,016 dan open coil spring dengan panjang 1,5 kali jarak inter cleat dipasangkan diantara lingual bonding cleat. Dengan kompresi 1/3 panjang open coil spring akan diperoleh gaya yang adekuat untuk pergerakan gigi (Gambar 3.2).


(57)

40

Gambar 3.2. Proses Menggerakkan gigi A. Gigi insisivus bawah marmot, B.

Pemasangan Separator & Pemberian Etsa, C. pemasangan bonding cleat, D. Pemasangan open coil spring, E. Menggerakkan gigi

Setelah gigi bergerak dan opencoil spring sudah tidak aktif, dilakukan penggantian opencoil spring sesuai jarak intercleat yang baru sampai diperoleh jarak interinsisivus sebesar ± 3 mm (membutuhkan waktu sekitar 14 hari). Jarak ± 3 mm dipertahankan selama 14 hari sebagai periode stabilisasi. Pada kelompok perlakuan selama periode stabilisasi sudah dilakukan aplikasi intrasulkuler bisfosfonat risedronat hidrogel setiap 3 hari (Gambar 3.4). Setelah periode stabilisasi selama 14 hari, kawat dan open coil dilepas, pada kelompok perlakuan tetap diberikan bisfosfonat risedronat hidrogel dan dilakukan pengamatan relaps gigi pada hari ke-0, 3, 7, 14 dan 21 (Gambar 3.3).


(58)

41

Gambar 3.3. A. Pengukuran jarak dengan jangka sorong, B. Pengambilan cairan

krevikuler gingiva dengan paper point.

Gambar 3.4 Aplikasi intrasulkuler hidrogel bisfosfonat risedronat di area

sulkus gingiva bagian mesial dengan jarum ukuran 30 G

Subjek pada penelitian ini adalah 75 ekor marmot yang dibagi menjadi 3 kelompok yaitu 25 marmot tanpa bisfosfonat, 25 marmot mendapat bisfosfonat risedronat intrasulkuler dosis 250 µmol/L dan 25 marmot dosis 500 µmol/L.

3. Pengukuran Variabel

a. Pengukuran relapsgigi menggunakan jangka sorong

Pengukuran relaps gigi dengan cara mengukur jarak interinsisivus pada hari ke-0, 3, 7, 14, 21 menggunakan jangka sorong dengan tingkat ketelitian 0.05 mm.


(59)

42 b. Pengukuran Alkalin fosfatase (ALP)

Pengambilan Sampel: dilakukan pada hari ke-0, 3, 7, 14, 21 setelah bonding cleat dilepas. Pengambilan cairan krevikuler gingiva dilakukan dengan cara gigi insisivus bawah marmot dibersihkan dengan bulatan kapas untuk menghilangkan plak supragingival, diisolasi dengan gulungan kapas dan dikeringkan. Paper point, dimasukkan kurang lebih 1 mm kedalam sulkus gingiva selama 30 detik dengan interval 90 detik untuk meningkatkan volume cairan GCF yang diambil tiap sisi. Kemudian dimasukkan ke dalam tube eppendorf ukuran 1.5 ml yang berisi 350 µl larutan salin fisiologis. Tube eppendorf disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 2000 rpm untuk mengelusi komponen GCF secara lengkap. Paper point diambil dan larutan supernatant disimpan pada suhu -80°C sampai dianalisis maksimum selama 1 minggu. Aktivitas ALP ditentukan menggunakan spektrofotometer (model 6330 Jenway UK) pada panjang gelombang 405 nm. Sekitar 50 µL dari 40 mM carbonate buffer pH 9,8 dengan 3 mM MgCl2 diambil dengan pipet dimasukkan ependorf. Kemudian 50 µL sampel GCF dan 50 µL dari 3mM p-nitrophenylphosphate ditambahkan pada tube yang sama. Sampel tersebut kemudian diinkubasi selama 30 menit 37°C. Reaksi enzimatis dihentikan dengan menambahkan 50 µL dari 0.6 M sodium hydroxide dan absorbansi diukur dengan segera pada panjang gelombang 405 nm. Jumlah dari p-nitrophenol yang terbentuk diukur menggunakan kurva standar yang disiapkan dari phosphatase subtrate (sigma 104, Sigma-Aldrich, St Louis, USA). Aktivitas ALP disajikan dalam bentuk enzyme unit (U). Unit didefinisikan sebagai jumlah pelepasan p-nitrophenol (µmol) per menit pada suhu 37°C (Asma dkk., 2008). Pemeriksaan aktivitas ALP


(60)

43

dilakukan di Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran UGM dengan menggunakan uji spektrofotometri.

c. Pengukuran jumlah osteoklas dengan pewarnaan TRAP

Dilakukan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran UGM. Menggunakan mikroskop optilab dilakukan pemotretan slide dalam 5 lapang pandang. Kemudian dilakukan penghitungan jumlah osteoklas menggunakan program image raster.

Preparasi spesimen

Dilakukan di Laboratorium LPPT Unit IV UGM. Marmot dianastesi dengan ketamin (0.1 ml) dan xylasin (0.1 ml) dengan injeksi intramuscular di paha (dosis 6-12 mg/kgBB), kemudian diperfusi intrakardial dengan menggunakan larutan NaCl kemudian dilanjutkkan dengan 4% paraformaldehida. Dilakukan diseksi tulang alveolar rahang bawah sampai seluruh sisi mesial maupun distal gigi insisivus bawah kanan dan kiri serta ujung akar gigi dapat terambil. Kemudian potongan jaringan difiksasi menggunakan 4% paraformaldehida suhu 4°C selama 12 jam. Sampel kemudian didemineralisasi menggunakan 10% EDTA suhu 4°C sampai lunak bisa dipotong (dalam penelitian ini ± 60 hari dimana larutan EDTA diganti setiap 5 hari). Spesimen didehidrasi menggunakan alkohol bertingkat pada suhu 4°C, xylol akohol, xylol murni dan xylol parafin suhu kamar. Dilakukan pembuatan blok parafin, dipotong sagital berseri ketebalan ± 6 µm paralel sumbu panjang gigi. Setelah dilakukan deparafinisasi dilakukan pewarnaan TRAP (Anan dkk., 1993).


(1)

149 (DEKAPITASI HARI KE 21 / slide B 5.4)


(2)

150 (DEKAPITASI HARI KE 0 / slide C 1.5)


(3)

151 (DEKAPITASI HARI KE 3 / slide C 2.1)


(4)

152 (DEKAPITASI HARI KE 7 / slide C 3.1)


(5)

153 (DEKAPITASI HARI KE 14 / slide C 4.4 )


(6)

154 GAMBARAN HISTOLOGIS OSTEOKLAS KELOMPOK C5

(DEKAPITASI HARI KE 21 / slide C 5.2 )