Salah  satu  ciri  komunikasi  selanjutnya  adalah  bahwa  dalam  komunikasi massa  itu  ada  keserempakan.  Serempak  disini  berarti  khalayak  bisa  menikmati
media massa tersebut secara bersamaan. 6.   Komunikasi mengandalkan peralatan teknis
Media  massa  sebagai  alat  utama  dalam  menyampaikan  pesan  kepada khalayaknya sangat membutuhkan bantuan peralatan teknis. Peralatan teknis yang
dimaksud misalnya pemancar untuk media elektronik. 7.   Komunikasi massa dikontrol oleh Gatekeeper
Gatekeeper    atau  yang  sering  disebut  pentapis  informasi  palang  pintu penjaga gawang, adalah orang  yang sangat berperan dalam penyebaran informasi
melalui  media  massa.  Gatekeeper  ini  berfungsi  sebagai  orang  yang  ikut menambah atau mengurangi, menyederhanakan, mengemas agar semua informasi
yang disebarkan lebih mudah dipahami.
II.2.2. Fungsi Komunikasi Massa
Menurut Karnilah
fungsi komunikasi
massa secara
khusus Ardianto,2004:19-23 terdiri dari :
a.  Fungsi informasi b.  Fungsi pendidikan
c.  Fungsi mempengaruhi d.  Fungsi proses pengembangan mental
e.  Fungsi adaptasi lingkungan f.  Fungsi memanipulasi lingkungan
II.3. TEORI DRAMATISME
Universitas Sumatera Utara
Teori  dramatisme  adalah  teori  yang  mencoba  memahami  tindakan kehidupan  manusia  sebagai  drama.Dramatisme,  sesuia  dengan  namanya,
mengonseptualisasikan  kehidupan  sebagai  sebuah  drama,  menempatkan  suatu focus  kritik  pada  adegan  yang  diperlihatkan  oleh  berbagai  pemain.Seperti  dalam
drama,  adegan  dalam  kehidupan  adalah  penting  dalam  menyingkap  motivasi manusia.Dramatisme  memberikan  kepada  kita  sebuah  metode  yang  sesuai  untuk
membahas  tindakan  komunikasi  antara  teks  dan  khalayak  untuk  teks,  serta tindakan di dalam teks itu sendiri.
Drama adalah metafora yang berguna bagi ide-ide Burke untuk tiga alasan: 1 drama menghasilkan cakupan yang luas, dan Burke tidak membuat klaim yang
terbatas;  tujuannya  adalah  untuk  berteori  mengenai  keseluruhan  pengalaman manusia. Metafora dramatis khususnya berguna dalam menggambarkan hubungan
manusia karena didasarkan pada interaksi atau dialog. 2 drama cenderung untuk mengikuti tipe-tipe atau genre yang mudah dikenali: komedi, musical, melodrama
dan lainnya. Burke merasa bahwa cara kita membentuk dan menggunakan bahasa dapat  berhubungan  dengan  cara  drama  manusia  ini  dimainkan.  3  drama  selalu
ditujukan pada khalayak. Drama dalam hal ini bersifat retoris.Burke memandang sastra  sebagai
“peralatan  untuk  hidup”,  artinya  bahwa  literature  atau  teks berbicara  pada  pengalaman  hidup  orang  dan  masalah  serta  memberikan  reaksi
untuk  menghadapi  pengalaman  ini.Dengan  demikian,  kajian  dramatisme mempelajari  cara-cara  dimana  bahasa  dan  penggunaannya  berhubungan  dengan
khalayak.
Asumsi Dramatisme
Universitas Sumatera Utara
1.  Manusia  adalah  hewan  yang  menggunakan  symbol.  Beberapa  hal  yang dilakukan  manusia  dimotivasi  oleh  naluri  hewan  yang  ada  dalam  diri  kita  dan
beberapa  hal  lainnya  dimotivasi  oleh  symbol-simbol.Dari  semua  symbol  yang digunakan manusia yang paling penting adalah bahasa.
2.  Bahasa  dan  symbol  membentuk  sebuah  system  yang  sangat  penting  bagi manusia.  Sapir  dan  Whorf  menyatakan  bahwa  sangat  sulit  untuk  berfikir
mengenai  konsep  atau  objek  tanpa  adanya  kata-kata  bagi  mereka.  Jadi,  orang dibatasi dalam batas tertentu dalam apa yang dapat mereka pahami oleh karena
batasan  bahasa  mereka.  Ketika  manusia  menggunakan  bahasa,  mereka  juga digunakan oleh bahasa tertentu.Ketika bahasa dari suatu budaya tidak mempunyai
symbol untuk motif tertentu, maka pembicara yang menggunakan bahasa tersebut juga  cenderung  untuk  tidak  memiliki  motif  tersebut.  Kata-kata,  pemikiran,  dan
tindakan memiliki hubungan yang sangat dekat satu sama lain. 3. Manusia adalah pembuat pilihan. Dasar utama dari dramatisme adalah pilihan
manusia. Hal ini ada keterikatannya dengan konseptualisasi akan agensi agency, atau kemampuan actor sosial untuk bertindak sebagai hasil pilihannya.
Dramatisme sebagai Retorika Baru
Dramatisme  merupakan  retorika  baru.Bedanya  dengan  retorika  lama  adalah retorika  baru  lebih  menekankan  pada  identifikasi  dan  hal  ini  dapat  mencakup
faktor-faktor  yang  secara parsial “tidak sadar” dalam mengajukan pernyataannya
Universitas Sumatera Utara
disamping  retorika  yang  lama  menekankan  pada  persuasi  dan  desain  yang
terencana. Identifikasi dan Substansi
Substansi  sifat  umum  dari  sesuatu  dapat  digambarkan  dalam  diri  seseorang dengan  mendaftar  karakteristik  demografis  serta  latar  belakang  dan  fakta
mengenai situasi masa kini, seperti bakat dan pekerjaan.Burke berargumen bahwa ketika terdapat ketumpangtindihan antara dua orang dalam hal substansi mereka,
mereka  mempunyai  identifikasi  ketika  dua  orang  memiliki  ketumpangtindihan pada  substansi  mereka.Semakin  besar  ketumpangtindihan  yang  terjadi,  makin
besaridentifikasi  yang  terjadi.Kebalikannya  juga  benar,  semakin  kecil  tingkat ketumpangtindihan  individu,  makin  besar  pemisahan  ketika  dua  orang  gagal
untuk  mempunyai  ketumpangtindihan  dalam  substansi  mereka.Walaupun demikian,  pada  kenyataannya  dua  orang  tidak  dapat  sepenuhnya  memiliki
ketumpangtindihan satu dengan lainnya. Burke sadar akan hal ini dan menyatakan bahwa
“ambiguitas substansi” menyatakan bahwa identifikasi akan selalu terletak pada kesatuan dan pemisahan. Para individu akan bersatu pada masalah-masalah
substansi tertentu tetapi pada saat bersamaan tetap unik, keduanya “disatukan dan
dipisahkan ”.  Selanjutnya  Burke  mengindikasikan  bahwa  retorika  dibutuhkan
untuk menjembatani pemisahan dan membangun kesatuan. Burke merujuk proses ini  sebagai  konsubstansiasi  ketika  permohonan  dibuat  untuk  meningkatkan
ketumpangtindihan  antara  orang,  atau  meningkatkan  identifikasi  mereka  satu sama lain.
Proses Rasa Bersalah dan Penebusan
Universitas Sumatera Utara
Konsubstansiasi, atau masalah mengenai  identifikasi dan  substansi, berhubungan dengan  siklus  rasa  bersalahpenebusan  karena  rasa  bersalah  dapat  dihilangkan
sebagai  hasil  identifikasi  dan  pemisahan.  Bagi  Burke,  proses  rasa  bersalah  dan penebusan  mengamankan  keseluruhan  konsep  simbolisasi.  Rasa  bersalah
tekanan,  rasa  malu,  rasa  bersalah,  rasa  jijik,  atau  perasaan  yang  menyebalkan lainnya  adalah  motif  utama  untuk  semua  aktifitas  simbolik,  dan  Burke
mendefinisikan  rasa  bersalah  secara  luas  untuk  mencakup  berbagai  jenis ketegangan,  rasa  malu,  rasa  bersalah,  rasa  jijik,  atau  perasaan  yang  tidak
menyenangkan  lainnya.  Hal  yang  sama  dalam  teori  Burke  adalah  bahwa  rasa bersalah  adalah  sifat  intrinsic  yang  ada  dalam  kondisi  manusia.  Karena  it  uterus
merasa bersalah, kita juga terus berusaha untuk memurnikan diri kita sendiri dari ketidaknyamanan  rasa  bersalah.  Proses  merasa  bersalah  dan  berusaha  untuk
menghilangkannya  ada  di  dalam  siklus  Burke,  yang  mengikuti  pola  yang  dapat diprediksi:
1.  Tatanan  atau  hierarki  peringkat  yang  ada  dalam  masyarakat  terutama  karena kempuan kita untuk menggunakan bahasa.
2.  Negatifitas  menolak  tempat  seseorang  dalam  tatanan  sosial;  memperlihatkan resistensi.
3. Pengorbanan cara dimana  kita berusaha untuk memurnikan diri  kita dari rasa bersalah yang kita rasakan sebagai bagian dari menjadi manusia. Ada dua metode
untuk  memurnikan  diri  dari  rasa  bersalah,  dengan  menyalahkan  diri  sendiri  dan pengkambinghitaman  salah  satu  metode  untuk  memurnikan  diri  dari  rasa
bersalah, dengan menyalahkan orang lain.
Universitas Sumatera Utara
4. Penebusan penolakan sesuatu yang tidak bersih dan kembali pada tatanan baru setelah rasa bersalah diampuni sementara.
Pentad
Selain mengembangkan teori dramatisme, Burke menciptakan suatu metode untuk menerapkan  teorinya  terhadap  sebuah  pemahaman  aktifitas  simbolik.Metode
tersebut adalah pentad metode untuk menerapkan dramatisme. Hal-hal ini  yang diperhatikan untuk menganalisis teks simbolik, yaitu:
1. Tindakan sesuatu yang dilakukan oleh seseorang. 2. Adegan konteks yang melingkupi tindakan.
3. Agen seseorang atau orang-orang yang melakukan tindakan. 4. Agensi cara-cara yang digunakan oleh agen untuk menyelesaikan tindakan.
5.  Tujuan  hasil  akhir  yang  dimiliki  agen  dari  suatu  tindakan,  yaitu  mengapa tindakan dilakukan.
6.  Sikap  cara  dimana  agen  memposisikan  dirinya  dibandingkan  dengan  orang lain.
Kita  menggunakan  pentad  untuk  menganalisis  sebuah  interaksi  simbolik, penganalisis  pertama-tama  menentukan  sebuah  elemen  dari  pentad  dan
mengidentifikasi  apa  yang  terjadi  dalam  suatu  tindakan  tertentu.  Setelah memberikan  label  pada  poin-poin  dari  pentad  dan  menjelaskannya  secara
menyeluruh,  analisis  kemudian  mempelajari  rasio  dramatistik  proporsi  dari  satu elemen pentad dibandingkan dengan elemen lainnya.
Universitas Sumatera Utara
II.4.PARADIGMA KONSTRUKTIVISME
Konsep mengenai konstruktivisme pertama kali diperkenalkan oleh, Peter L.  Berger.  Bagi  Berger,  realitas  itu  tidak  dibentuk  secara  ilmiah,  tidak  juga
sesuatu  yang  diturunkan  oleh  Tuhan.  Tetapi  sebaliknya  ia  dibentuk  dan dikonstruksi.  Dalam  pemahaman  ini  berarti  realitas  berwajah  ganda  atau
plural.Realitas  bukan  merupakan  realitas  tunggal  yang  bersifat  statis  dan  final, melainkan  realitas  yang  bersifat  dinamis  dan  dialektis.  Kenyataan  itu  bersifat
plural  karena  adanya  realtivitas  sosial  dari  apa  yang  disebut  pengetahuan  dan kenyataan.
Semua  orang  bisa  saja  mempunyai  konstruksi  yang  berbeda-beda  atas suatu  realitas.  Karena  setiap  orang    mempunyai  pengalaman,  preferensi,
pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu. Selain plural, konstruksi  juga  bersifat  dinamis  Eriyanto,  2002  :  16.  Sebagai  hasil  dari
konstruksi sosial maka realitas tersebut merupakan realitas subjektif dan sekaligus realitas  objektif.Dalam  realitas  subjektif,  realitas  tersebut  menyangkut  makna,
interpretasi,  dan  hasil  relasi  antara  individu  dengan  objek.Setiap  individu mempunyai  latar  belakang  yang  berbeda,  status  pendidikan  yang  berbeda,  dan
lingkungan  yang  berbeda  yang  bisa  menghasilkan  penafsiran  yang  berbeda  pula ketika  berhadapan  dengan  suatu  objek.  Sebaliknya,  realitas  itu  juga  mempunyai
dimensi  objektif-sesuatu  yang  dialami,  bersifat  eksternal,  berada  di  luar-  atau dalam  istilah  Berger,  tidak  dapat  kita  tiadakan  dengan  angan-angan  Eriyanto,
2002  :  16.  Hal  itu  misalnya  dapat  dilihat  dari  rumusan,  intitusi,  aturan-aturan yang  ada,  dan  sebagainya.  Dalam  penjelasan  ontologi  paradigma    konstruktivis,
realitas  merupakan  konstruksi  social  yang  diciptakan  oleh  individu.  Namun
Universitas Sumatera Utara
demikian,  kebenaran  suatu  realitas  social  bersifat  nisbi,  yang  berlaku  sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku social. Bungin, 2007 : 81
Sebuah teks berupa berita tidak bisa kita samakan seperti sebuah kopi dari realitas, ia haruslah dipandang sebagai konstruksi atas realitas. Karenanya, sangat
potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda. Wartawan bisa saja  mempunyai  pandangan  dan  konsepsi  yang  berbeda  ketika  melihat  suatu
peristiwa,  dan  itu  dapat  dilihat  dari  bagaiman  mereka  mengkonstruksi  peristiwa tersebut,  yang  diwujudkan  dalam  teks  berita.Berita  dalam  pandangan  konstruksi
social, bukan merupakan peristiwa atau fakta dalam arti  yang riil.Realitas bukan hanya  dioper  begitu  saja  sebagai  berita.Ia  adalah  produksi  interaksi  antara
wartawan  dengan  fakta.  Dalam  proses  internalisasi,  wartawan  dilanda  oleh realitas.  Realitas  diamati  oleh  wartawan  dan  diserap dalam  kesadaran  wartawan.
Dalam  proses  eksternalisasi,  wartawan  menceburkan  dirinya  untuk  memaknai realitas.  Konsepsi  tentang  fakta  diekspresikan  untuk  melihat  realitas.  Hasil  dari
berita adalah produk dari proses interaksi dan dialektika tersebut Eriyanto, 2002 : 17.
Demikian  halnya  ketika seorang wartawan melakukan wawancara, ketika dia  mewancarai  seorang  narasumber,  di  sana  terjadi  interaksi  atara  wartawan
dengan  narasumber.  Realitas  yang  terbentuk  dari  wawancara  tersebut  adalah produk  interaksi  antara  keduanya.  Realitas  hasil  wawacara  bukan  hasil  operan
antara  apa  yang  dikatakan  oleh  narasumber dan  yang  ditulis  sedemikian  rupa  ke dalam berita. Di sana juga ada proses eksternalisasi: pertanyaan yang diajukan dan
penggambaran  yang  dibuat  oleh  wartawan  yang  membatasi  pandangan narasumber.  Belum  termasuk  bagaimana  hubungan  dan  kedekatan  antara
Universitas Sumatera Utara
wartawan  dengan  narasumber.  Proses  dialektis  diantara  keduanya  yang menghasilakn wawancara yang kita baca di surat kabar atau kita lihat di televisi.
Karena  sifat  dan  fkatanya  bahwa  pekerja  media  massa  adalah menceritakan  peristiwa-peristiwa,  maka  kesibukan  utama  media  massa  adalah
mengkonstruksikan berbagai realitas yang akan disiarkan. Media meyusun realitas dari  berbagai  peistiwa  yang  terjadi  hingga  menjadi  cerita  atau  wacan  yang
bermakna.Pembuatan  berita  di  media  pada  dasarnya  adalah  penyusunan  realitas sehingga membentuk suatu cerita atau wacana  yang bermakna. Dengan demikian
seluruh isi media tiada lain adalah realitas yang telah dikonstruksikan constructed reality dalam bentuk wacana yang bermakna Hamad, 2004 :11.
Media Dan Berita Dilihat Dari Paradigma Konstruksionis
Pendekatan  konstruksionis  mempunyai  penilaian  sendiri  bagaimana media, wartawan, dan berita dilihat. Eriyanto, 2002 : 19
FaktaPeristiwa  Adalah  Hasil  Konstruksi.Bagi  kaum  konstruksionis,
realitas  itu  bersifat  subjektif.Realitas  itu  hadir,  karena  dihadirkan  oleh  konsep subjektif wartawan realitas tercipta lewat  konstruksi, sudut pandang tertentu dari
wartawan.Disini  tidak  ada  realitas  yang  bersifat  objektif,  karena  realitas  itu tercipta  lewat  konstruksi  dan  pandangan  tertentu.Realitas  bisa  berbeda-beda,
tergantung  pada  bagaimana  konsepsi  ketika  realitas  itu  dipahami  oleh  wartawan yang  mempunyai  pandangan  berbeda.Dalam  konsepsi  positivis  diandaikan  ada
realitas  yang  bersifat “eksternal”  yang  ada  dan  hadir  sebelum  wartawan
meliputnya.Jadi ada realitas yang bersifat objektif, yang harus diambil dan diliput wartawan.Pandangan  semacam  ini  sangat  bertolak  belakang  dengan  pandangan
Universitas Sumatera Utara
konstruksionis.Fakta  atau  realitas  bukanlah  sesuatu  yang  tinggal  di  ambil,  ada, dan menjadi bahan dari berita.Faktarealitas pada dasarnya dikonstruksi. Realitas
bukanlah sesuatu yang terberi, seakan-akan ada, reaslitas sebaliknya diproduksi . Karena  realitas  itu  diproduksi  dan  ditampilkan  secara  simbolik,  maka
realitas  tergantung  pada  bagaimana  ia  dilihat  dan  bagaimana  fakta  tersebut dikonstruksi.  Pikiran  dan  konsepsi  kitalah  yang  yang  membentuk  dan
mengkreasikan  fakta.  Fakta  yang  sama  bisa  menghasilkan  yang  berbeda-beda ketika ia dilihat dan dipahami dengan cara yang berbeda.
Media  Adalah  Agen  Konstruksi.Pandangan  konstruksionis  mempunyai
posisi  yang  berbeda  dibandingkan  positivis  dalam  menilai  media.Dalam pandangan positivis media dilihat sebagai saluran.Media adalah sarana bagaimana
pesan  disampaikan  dari  komunikator  kepada  komunikan.Media  disini  murni dilihat sebagai saluran, tempat bagaimana transaksi pesan dari semua pihak  yang
terlibat  dalam  berita.Pandangan  semacam  ini,  tentu  saja  melihat  media  bukan sebagai agen, melainkan hanya sebagai saluran.Media dilihat sebagai sarana yang
netral.Media tidak berperan sebagai pembentuk realitas,  yang ditampilkan dalam pemberitaan  itu  lah  yang  sebenarnya  terjadi.Media  hanya  sebagai  saluran  untuk
menggambarkan realitas atau peristiwa. Dalam  pandangan  konstruksionis,  media  dilihat  sebaliknya.  Media
bukanlah sebagai saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap  dengan  pandangan,  bias,  dan  pemihakannya.  Disini  media  dipandang
sebagai agen konstruksi social yang mendefenisikan realitas.Berita yang kita baca bukan  hanya  menggambarkan  realitas,  bukan  hanya  menunjukkan  pendapat
Universitas Sumatera Utara
sumber  berita,  tetapi  juga  konstruksi  dari  media  itu  sendiri.Lewat  berbagai instrument  yang  dimilikinya,  media  ikut  membentuk  realitas  yang  tersaji  dalam
pemberitaan.Yang  tersaji  dalam  media  adalah  produk  dari  pembentukan  realitas oleh  media.Media  adalah  agen  yang  secara  aktif  menafsirkan  realitas  untuk
disajikan kepada khalayak.
Berita  Bukan  Refleksi  Dari  Realitas.  Ia  Hanyalah  Konstruksi  Dari Realitas.  Dalam  pandangan  positivis,  berita  adalah  informasi.Ia  dihadirkan
kepada  khalayak  sebagai  representasi  dari  kenyataan.  Kenyataan  itu  ditulis  dan ditransformasikan  lewat berita.Tetapi dalam pandangan  konstruksionis, berita  itu
ibaratnya  seperti  sebuah  drama.Ia  bukan  menggambarkan  realitas,  tetapi  potret dari  arena  pertarungan  antar  berbagai  pihak  yang  berkaitan  dengan  peristiwa.
Seperti  sebuah  drama,  dalam  berita  ada  pihak  yang  didefinisikan  sebagai pahlawan  dan  ada  pihak  yang  didefinisikan  sebagai  musuh.Semua  itu  dibentuk
layaknya  sebuah  drama  yang  dipertontonkan  kepada  publik.  Dalam  pandangan kaum positivis, berita adalah refleksi dan percerminan dari realitas, karenanya  ia
harus  mencerminkan  realitas  yang  hendak  diberitakan.  Menurut  kaum konstruksionis,  berita  adalah  hasil  konstruksi  sosial  dimana  selalu  melibatkan
pandangan,  ideologi,  dan  nilai-nilai  wartawan  atau  media.Suatu  realitas  bisa diangkat  menjadi  berita  tergantung  pada  bagaimana  fakta  itu  dipahami  dan
dimaknai.  Proses  pemaknaan  selalu  melibatkan  nilai-nilai  tertentu  sehingga mustahil berita merupakan pencerminan dari realitas. Realitas yang sama bisa jadi
mengahasilkan  berita  yang  berbeda,  karena  ada  cara  melihat  yang  berbeda. Perbedaan antara realitas  yang sesungguhnya dengan berita tidak dianggap salah,
tetapi  sebagai  suatu  kewajaran.Berita  bukanlah  reprensentasi  dari  realitas.Berita
Universitas Sumatera Utara
yang kit abaca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalistik, bukan kaidah  buku  jurnalistik.  Semua  proses  konstruksi  mulai  dari  pemilihan  fakta,
sumber,  pemakaian  kata,  gambar,  sampai  penyuntingan  memberi  andil bagaimana realitas tersebut hadir di hadapan khalayak.
Berita Bersifat
SubjektifKonstruksi Atas
Realitas.Pandangan
konstrusionis  mempunyai  penilaian  yang  berbeda  dalam  menilai  objektivitas jurnalistik.Hasil  kerja  jurnalistik  tidak  bisa  dinilai  dengan  menggunakan  sebuah
standar  yang rigid, seperti halnya positivis.Hal  ini karena berita merupakan hasil dari konstruksi dan pemaknaan atas realitas. Pemeknaan seseorang terhadap suatu
realitas bisa berbeda dengan orang lain, yang tentunya bisa menghasilkan realitas yang  berbeda pula.  Karenanya  ukuran  yang  baku  dan  standar  tidak  bisa  dipakai.
Kalau  ada  perbedaan  antara  realitas  yang  sebenarnya  dengan  berita  itu  bukan merupakan suatu kesalahan, tetapi memang seperti itulah pemaknaan mereka atas
realitas.
Wartawan  Bukan  Pelapor.  Ia  Agen  Konstruksi  Realitas.  Wartawan
tidak  bisa  menyembunyikan  pilihan  moral  dan  keberpihakannya,  karena  ia merupakan  baguian  intrinsik  dalam  pembentukan  berita.  Lagipula,  berita  bukan
hanya  produk  individual,  melainkan  juga  bagian  proses  organisasi  dan  interaksi antara wartawannya. Dalam banyak kasus: topic apa yang diagkat dan siapa yang
diwancarai,  disediakan  oleh  kebijakan  redaksional  tempat  wartawan  bekerja, bukan  semata-mata  bagian  dari  pilihan  profesional  individu.  Dalam  pandangan
konstruksionis wartawan  juga dipandang sebagai  aktoragen  konstruksi.Watawan bukan hanya melaporkan fakta, tapi juga turut mendefenisikan peristiwa. Sebagai
aktor  sosial,  wartawan  turut  mendefinisikan  apa  yang  terjadi,  dan  secara  aktif
Universitas Sumatera Utara
membentuk peristiwa dalam pemahaman mereka. Waratawan bukanlah pemulung yang mengambil fakta begitu saja.Karena dalam kenyataannya, tidak ada realitas
yang  bersifat  eksternal  dan  objektif,  yang  berada  di  luar  diri  wartawan.Realitas bukanlah sesuatu yang berada di luar yang objektif, yang benar, yang seakan-akan
ada  sebelum  diliput  wartawan.  Sebaliknya,  realitas  itu  dibentuk  dan  diproduksi tergantung  pada  bagaimana  proses  konstruksi  berlangsung.  Realitas  itu
sebaliknya,  bersifat  subjektif,  yang  terbentuk  dari  hasil  pemaknaan  dan pemahaman  subjektif  dari  wartawan.  Saat  seorang  wartawan  menulis  berita,  ia
sebetulnya  membuat  dan  membentuk  dunia,  membentuk  realitas.  Berita  adalah transaksi  antara  wartawan  dengan  sumber.  Realitas  yang  terbentuk  dalam
pemberitaan bukanlah apa yang terjadi dalam dunia nyata. Melainkan relasi antara wartawan dengan sumber dan lingkungan sosial yang membentuknya.
Etika,  Pilihan  Moral,  dan  Keberpihakan  Wartawan  Adalah  Bagian yang  Integral  Dalam  Produksi  Berita.  Aspek  etika,  moral,  dan  nilai-nilai
tertentu tidak mungkin dihilangkan dari pemeberitaan media. Wartawan bukanlah robot  yang  meliput  apa  adanya,  apa  yang  dia  lihat.  Etika  dan  moral  yang  dalam
banyak  hal  berarti  keberpihakan  pada  suatu  kelompok  atau  nilai  tertentu- umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu-adalah bagian yang integral dan tidak
terpisahkan  dalam  membentuk  dan  mengkonstruksi  realitas.  Wartawan  disini bukan hanya sebagai pelapor, karena disadari atau tidak ia menjadi partisipan dari
keragaman penafsiran dan subjektivitas dalam publik. Karena fungsinya tersebut, wartawan  menulis  berita  bukan  hanya  sebagai  penjelas,  tetapi  mengkonstruksi
peristiwa dari dirinya sendiri dengan realitas yang diamati.
Universitas Sumatera Utara
Khalayak  Mempunyai  Penafsiran  Tersendiri  Atas  Berita.  Khalayak
bukan  dilihat  sebagai  subjek  yang  pasif.Ia  juga  subjek  yang  aktif  dalam menafsirkan  apa  yang  dia  baca.  Dalam  bahasa  Stuart  Hall  dalam  Eriyanto,
2005:36,  makna  dari  suatu  teks  bukan  terdapat  dalam  pesanberita  yang  dibaca oleh pembaca.Makna selalu potensial mempunyai banyak arti polisemi.Makana
lebih  tepat  diapahami  bukan  sebagai  transmisi  penyebaran  dari  pembuat berita ke pembaca.Ia lebih tepat diapahami sebagai suatu praktik penandaan. Karenanya,
setiap  orang  bisa  mempunyai  pemaknaan  yang  berbeda  atas  teks  yang  sama. Kalau  saja  ada  makna  yang  dominan  atau  tunggal,  itu  bukan  berarti  makna
terdapat dalam teks, tetapi begitulah praktik penandaan yang terjadi.
II.5. ANALISIS FRAMING