Salah satu ciri komunikasi selanjutnya adalah bahwa dalam komunikasi massa itu ada keserempakan. Serempak disini berarti khalayak bisa menikmati
media massa tersebut secara bersamaan. 6. Komunikasi mengandalkan peralatan teknis
Media massa sebagai alat utama dalam menyampaikan pesan kepada khalayaknya sangat membutuhkan bantuan peralatan teknis. Peralatan teknis yang
dimaksud misalnya pemancar untuk media elektronik. 7. Komunikasi massa dikontrol oleh Gatekeeper
Gatekeeper atau yang sering disebut pentapis informasi palang pintu penjaga gawang, adalah orang yang sangat berperan dalam penyebaran informasi
melalui media massa. Gatekeeper ini berfungsi sebagai orang yang ikut menambah atau mengurangi, menyederhanakan, mengemas agar semua informasi
yang disebarkan lebih mudah dipahami.
II.2.2. Fungsi Komunikasi Massa
Menurut Karnilah
fungsi komunikasi
massa secara
khusus Ardianto,2004:19-23 terdiri dari :
a. Fungsi informasi b. Fungsi pendidikan
c. Fungsi mempengaruhi d. Fungsi proses pengembangan mental
e. Fungsi adaptasi lingkungan f. Fungsi memanipulasi lingkungan
II.3. TEORI DRAMATISME
Universitas Sumatera Utara
Teori dramatisme adalah teori yang mencoba memahami tindakan kehidupan manusia sebagai drama.Dramatisme, sesuia dengan namanya,
mengonseptualisasikan kehidupan sebagai sebuah drama, menempatkan suatu focus kritik pada adegan yang diperlihatkan oleh berbagai pemain.Seperti dalam
drama, adegan dalam kehidupan adalah penting dalam menyingkap motivasi manusia.Dramatisme memberikan kepada kita sebuah metode yang sesuai untuk
membahas tindakan komunikasi antara teks dan khalayak untuk teks, serta tindakan di dalam teks itu sendiri.
Drama adalah metafora yang berguna bagi ide-ide Burke untuk tiga alasan: 1 drama menghasilkan cakupan yang luas, dan Burke tidak membuat klaim yang
terbatas; tujuannya adalah untuk berteori mengenai keseluruhan pengalaman manusia. Metafora dramatis khususnya berguna dalam menggambarkan hubungan
manusia karena didasarkan pada interaksi atau dialog. 2 drama cenderung untuk mengikuti tipe-tipe atau genre yang mudah dikenali: komedi, musical, melodrama
dan lainnya. Burke merasa bahwa cara kita membentuk dan menggunakan bahasa dapat berhubungan dengan cara drama manusia ini dimainkan. 3 drama selalu
ditujukan pada khalayak. Drama dalam hal ini bersifat retoris.Burke memandang sastra sebagai
“peralatan untuk hidup”, artinya bahwa literature atau teks berbicara pada pengalaman hidup orang dan masalah serta memberikan reaksi
untuk menghadapi pengalaman ini.Dengan demikian, kajian dramatisme mempelajari cara-cara dimana bahasa dan penggunaannya berhubungan dengan
khalayak.
Asumsi Dramatisme
Universitas Sumatera Utara
1. Manusia adalah hewan yang menggunakan symbol. Beberapa hal yang dilakukan manusia dimotivasi oleh naluri hewan yang ada dalam diri kita dan
beberapa hal lainnya dimotivasi oleh symbol-simbol.Dari semua symbol yang digunakan manusia yang paling penting adalah bahasa.
2. Bahasa dan symbol membentuk sebuah system yang sangat penting bagi manusia. Sapir dan Whorf menyatakan bahwa sangat sulit untuk berfikir
mengenai konsep atau objek tanpa adanya kata-kata bagi mereka. Jadi, orang dibatasi dalam batas tertentu dalam apa yang dapat mereka pahami oleh karena
batasan bahasa mereka. Ketika manusia menggunakan bahasa, mereka juga digunakan oleh bahasa tertentu.Ketika bahasa dari suatu budaya tidak mempunyai
symbol untuk motif tertentu, maka pembicara yang menggunakan bahasa tersebut juga cenderung untuk tidak memiliki motif tersebut. Kata-kata, pemikiran, dan
tindakan memiliki hubungan yang sangat dekat satu sama lain. 3. Manusia adalah pembuat pilihan. Dasar utama dari dramatisme adalah pilihan
manusia. Hal ini ada keterikatannya dengan konseptualisasi akan agensi agency, atau kemampuan actor sosial untuk bertindak sebagai hasil pilihannya.
Dramatisme sebagai Retorika Baru
Dramatisme merupakan retorika baru.Bedanya dengan retorika lama adalah retorika baru lebih menekankan pada identifikasi dan hal ini dapat mencakup
faktor-faktor yang secara parsial “tidak sadar” dalam mengajukan pernyataannya
Universitas Sumatera Utara
disamping retorika yang lama menekankan pada persuasi dan desain yang
terencana. Identifikasi dan Substansi
Substansi sifat umum dari sesuatu dapat digambarkan dalam diri seseorang dengan mendaftar karakteristik demografis serta latar belakang dan fakta
mengenai situasi masa kini, seperti bakat dan pekerjaan.Burke berargumen bahwa ketika terdapat ketumpangtindihan antara dua orang dalam hal substansi mereka,
mereka mempunyai identifikasi ketika dua orang memiliki ketumpangtindihan pada substansi mereka.Semakin besar ketumpangtindihan yang terjadi, makin
besaridentifikasi yang terjadi.Kebalikannya juga benar, semakin kecil tingkat ketumpangtindihan individu, makin besar pemisahan ketika dua orang gagal
untuk mempunyai ketumpangtindihan dalam substansi mereka.Walaupun demikian, pada kenyataannya dua orang tidak dapat sepenuhnya memiliki
ketumpangtindihan satu dengan lainnya. Burke sadar akan hal ini dan menyatakan bahwa
“ambiguitas substansi” menyatakan bahwa identifikasi akan selalu terletak pada kesatuan dan pemisahan. Para individu akan bersatu pada masalah-masalah
substansi tertentu tetapi pada saat bersamaan tetap unik, keduanya “disatukan dan
dipisahkan ”. Selanjutnya Burke mengindikasikan bahwa retorika dibutuhkan
untuk menjembatani pemisahan dan membangun kesatuan. Burke merujuk proses ini sebagai konsubstansiasi ketika permohonan dibuat untuk meningkatkan
ketumpangtindihan antara orang, atau meningkatkan identifikasi mereka satu sama lain.
Proses Rasa Bersalah dan Penebusan
Universitas Sumatera Utara
Konsubstansiasi, atau masalah mengenai identifikasi dan substansi, berhubungan dengan siklus rasa bersalahpenebusan karena rasa bersalah dapat dihilangkan
sebagai hasil identifikasi dan pemisahan. Bagi Burke, proses rasa bersalah dan penebusan mengamankan keseluruhan konsep simbolisasi. Rasa bersalah
tekanan, rasa malu, rasa bersalah, rasa jijik, atau perasaan yang menyebalkan lainnya adalah motif utama untuk semua aktifitas simbolik, dan Burke
mendefinisikan rasa bersalah secara luas untuk mencakup berbagai jenis ketegangan, rasa malu, rasa bersalah, rasa jijik, atau perasaan yang tidak
menyenangkan lainnya. Hal yang sama dalam teori Burke adalah bahwa rasa bersalah adalah sifat intrinsic yang ada dalam kondisi manusia. Karena it uterus
merasa bersalah, kita juga terus berusaha untuk memurnikan diri kita sendiri dari ketidaknyamanan rasa bersalah. Proses merasa bersalah dan berusaha untuk
menghilangkannya ada di dalam siklus Burke, yang mengikuti pola yang dapat diprediksi:
1. Tatanan atau hierarki peringkat yang ada dalam masyarakat terutama karena kempuan kita untuk menggunakan bahasa.
2. Negatifitas menolak tempat seseorang dalam tatanan sosial; memperlihatkan resistensi.
3. Pengorbanan cara dimana kita berusaha untuk memurnikan diri kita dari rasa bersalah yang kita rasakan sebagai bagian dari menjadi manusia. Ada dua metode
untuk memurnikan diri dari rasa bersalah, dengan menyalahkan diri sendiri dan pengkambinghitaman salah satu metode untuk memurnikan diri dari rasa
bersalah, dengan menyalahkan orang lain.
Universitas Sumatera Utara
4. Penebusan penolakan sesuatu yang tidak bersih dan kembali pada tatanan baru setelah rasa bersalah diampuni sementara.
Pentad
Selain mengembangkan teori dramatisme, Burke menciptakan suatu metode untuk menerapkan teorinya terhadap sebuah pemahaman aktifitas simbolik.Metode
tersebut adalah pentad metode untuk menerapkan dramatisme. Hal-hal ini yang diperhatikan untuk menganalisis teks simbolik, yaitu:
1. Tindakan sesuatu yang dilakukan oleh seseorang. 2. Adegan konteks yang melingkupi tindakan.
3. Agen seseorang atau orang-orang yang melakukan tindakan. 4. Agensi cara-cara yang digunakan oleh agen untuk menyelesaikan tindakan.
5. Tujuan hasil akhir yang dimiliki agen dari suatu tindakan, yaitu mengapa tindakan dilakukan.
6. Sikap cara dimana agen memposisikan dirinya dibandingkan dengan orang lain.
Kita menggunakan pentad untuk menganalisis sebuah interaksi simbolik, penganalisis pertama-tama menentukan sebuah elemen dari pentad dan
mengidentifikasi apa yang terjadi dalam suatu tindakan tertentu. Setelah memberikan label pada poin-poin dari pentad dan menjelaskannya secara
menyeluruh, analisis kemudian mempelajari rasio dramatistik proporsi dari satu elemen pentad dibandingkan dengan elemen lainnya.
Universitas Sumatera Utara
II.4.PARADIGMA KONSTRUKTIVISME
Konsep mengenai konstruktivisme pertama kali diperkenalkan oleh, Peter L. Berger. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga
sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya ia dibentuk dan dikonstruksi. Dalam pemahaman ini berarti realitas berwajah ganda atau
plural.Realitas bukan merupakan realitas tunggal yang bersifat statis dan final, melainkan realitas yang bersifat dinamis dan dialektis. Kenyataan itu bersifat
plural karena adanya realtivitas sosial dari apa yang disebut pengetahuan dan kenyataan.
Semua orang bisa saja mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Karena setiap orang mempunyai pengalaman, preferensi,
pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu. Selain plural, konstruksi juga bersifat dinamis Eriyanto, 2002 : 16. Sebagai hasil dari
konstruksi sosial maka realitas tersebut merupakan realitas subjektif dan sekaligus realitas objektif.Dalam realitas subjektif, realitas tersebut menyangkut makna,
interpretasi, dan hasil relasi antara individu dengan objek.Setiap individu mempunyai latar belakang yang berbeda, status pendidikan yang berbeda, dan
lingkungan yang berbeda yang bisa menghasilkan penafsiran yang berbeda pula ketika berhadapan dengan suatu objek. Sebaliknya, realitas itu juga mempunyai
dimensi objektif-sesuatu yang dialami, bersifat eksternal, berada di luar- atau dalam istilah Berger, tidak dapat kita tiadakan dengan angan-angan Eriyanto,
2002 : 16. Hal itu misalnya dapat dilihat dari rumusan, intitusi, aturan-aturan yang ada, dan sebagainya. Dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktivis,
realitas merupakan konstruksi social yang diciptakan oleh individu. Namun
Universitas Sumatera Utara
demikian, kebenaran suatu realitas social bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku social. Bungin, 2007 : 81
Sebuah teks berupa berita tidak bisa kita samakan seperti sebuah kopi dari realitas, ia haruslah dipandang sebagai konstruksi atas realitas. Karenanya, sangat
potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda. Wartawan bisa saja mempunyai pandangan dan konsepsi yang berbeda ketika melihat suatu
peristiwa, dan itu dapat dilihat dari bagaiman mereka mengkonstruksi peristiwa tersebut, yang diwujudkan dalam teks berita.Berita dalam pandangan konstruksi
social, bukan merupakan peristiwa atau fakta dalam arti yang riil.Realitas bukan hanya dioper begitu saja sebagai berita.Ia adalah produksi interaksi antara
wartawan dengan fakta. Dalam proses internalisasi, wartawan dilanda oleh realitas. Realitas diamati oleh wartawan dan diserap dalam kesadaran wartawan.
Dalam proses eksternalisasi, wartawan menceburkan dirinya untuk memaknai realitas. Konsepsi tentang fakta diekspresikan untuk melihat realitas. Hasil dari
berita adalah produk dari proses interaksi dan dialektika tersebut Eriyanto, 2002 : 17.
Demikian halnya ketika seorang wartawan melakukan wawancara, ketika dia mewancarai seorang narasumber, di sana terjadi interaksi atara wartawan
dengan narasumber. Realitas yang terbentuk dari wawancara tersebut adalah produk interaksi antara keduanya. Realitas hasil wawacara bukan hasil operan
antara apa yang dikatakan oleh narasumber dan yang ditulis sedemikian rupa ke dalam berita. Di sana juga ada proses eksternalisasi: pertanyaan yang diajukan dan
penggambaran yang dibuat oleh wartawan yang membatasi pandangan narasumber. Belum termasuk bagaimana hubungan dan kedekatan antara
Universitas Sumatera Utara
wartawan dengan narasumber. Proses dialektis diantara keduanya yang menghasilakn wawancara yang kita baca di surat kabar atau kita lihat di televisi.
Karena sifat dan fkatanya bahwa pekerja media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka kesibukan utama media massa adalah
mengkonstruksikan berbagai realitas yang akan disiarkan. Media meyusun realitas dari berbagai peistiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacan yang
bermakna.Pembuatan berita di media pada dasarnya adalah penyusunan realitas sehingga membentuk suatu cerita atau wacana yang bermakna. Dengan demikian
seluruh isi media tiada lain adalah realitas yang telah dikonstruksikan constructed reality dalam bentuk wacana yang bermakna Hamad, 2004 :11.
Media Dan Berita Dilihat Dari Paradigma Konstruksionis
Pendekatan konstruksionis mempunyai penilaian sendiri bagaimana media, wartawan, dan berita dilihat. Eriyanto, 2002 : 19
FaktaPeristiwa Adalah Hasil Konstruksi.Bagi kaum konstruksionis,
realitas itu bersifat subjektif.Realitas itu hadir, karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang tertentu dari
wartawan.Disini tidak ada realitas yang bersifat objektif, karena realitas itu tercipta lewat konstruksi dan pandangan tertentu.Realitas bisa berbeda-beda,
tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan berbeda.Dalam konsepsi positivis diandaikan ada
realitas yang bersifat “eksternal” yang ada dan hadir sebelum wartawan
meliputnya.Jadi ada realitas yang bersifat objektif, yang harus diambil dan diliput wartawan.Pandangan semacam ini sangat bertolak belakang dengan pandangan
Universitas Sumatera Utara
konstruksionis.Fakta atau realitas bukanlah sesuatu yang tinggal di ambil, ada, dan menjadi bahan dari berita.Faktarealitas pada dasarnya dikonstruksi. Realitas
bukanlah sesuatu yang terberi, seakan-akan ada, reaslitas sebaliknya diproduksi . Karena realitas itu diproduksi dan ditampilkan secara simbolik, maka
realitas tergantung pada bagaimana ia dilihat dan bagaimana fakta tersebut dikonstruksi. Pikiran dan konsepsi kitalah yang yang membentuk dan
mengkreasikan fakta. Fakta yang sama bisa menghasilkan yang berbeda-beda ketika ia dilihat dan dipahami dengan cara yang berbeda.
Media Adalah Agen Konstruksi.Pandangan konstruksionis mempunyai
posisi yang berbeda dibandingkan positivis dalam menilai media.Dalam pandangan positivis media dilihat sebagai saluran.Media adalah sarana bagaimana
pesan disampaikan dari komunikator kepada komunikan.Media disini murni dilihat sebagai saluran, tempat bagaimana transaksi pesan dari semua pihak yang
terlibat dalam berita.Pandangan semacam ini, tentu saja melihat media bukan sebagai agen, melainkan hanya sebagai saluran.Media dilihat sebagai sarana yang
netral.Media tidak berperan sebagai pembentuk realitas, yang ditampilkan dalam pemberitaan itu lah yang sebenarnya terjadi.Media hanya sebagai saluran untuk
menggambarkan realitas atau peristiwa. Dalam pandangan konstruksionis, media dilihat sebaliknya. Media
bukanlah sebagai saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Disini media dipandang
sebagai agen konstruksi social yang mendefenisikan realitas.Berita yang kita baca bukan hanya menggambarkan realitas, bukan hanya menunjukkan pendapat
Universitas Sumatera Utara
sumber berita, tetapi juga konstruksi dari media itu sendiri.Lewat berbagai instrument yang dimilikinya, media ikut membentuk realitas yang tersaji dalam
pemberitaan.Yang tersaji dalam media adalah produk dari pembentukan realitas oleh media.Media adalah agen yang secara aktif menafsirkan realitas untuk
disajikan kepada khalayak.
Berita Bukan Refleksi Dari Realitas. Ia Hanyalah Konstruksi Dari Realitas. Dalam pandangan positivis, berita adalah informasi.Ia dihadirkan
kepada khalayak sebagai representasi dari kenyataan. Kenyataan itu ditulis dan ditransformasikan lewat berita.Tetapi dalam pandangan konstruksionis, berita itu
ibaratnya seperti sebuah drama.Ia bukan menggambarkan realitas, tetapi potret dari arena pertarungan antar berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa.
Seperti sebuah drama, dalam berita ada pihak yang didefinisikan sebagai pahlawan dan ada pihak yang didefinisikan sebagai musuh.Semua itu dibentuk
layaknya sebuah drama yang dipertontonkan kepada publik. Dalam pandangan kaum positivis, berita adalah refleksi dan percerminan dari realitas, karenanya ia
harus mencerminkan realitas yang hendak diberitakan. Menurut kaum konstruksionis, berita adalah hasil konstruksi sosial dimana selalu melibatkan
pandangan, ideologi, dan nilai-nilai wartawan atau media.Suatu realitas bisa diangkat menjadi berita tergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan
dimaknai. Proses pemaknaan selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita merupakan pencerminan dari realitas. Realitas yang sama bisa jadi
mengahasilkan berita yang berbeda, karena ada cara melihat yang berbeda. Perbedaan antara realitas yang sesungguhnya dengan berita tidak dianggap salah,
tetapi sebagai suatu kewajaran.Berita bukanlah reprensentasi dari realitas.Berita
Universitas Sumatera Utara
yang kit abaca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalistik, bukan kaidah buku jurnalistik. Semua proses konstruksi mulai dari pemilihan fakta,
sumber, pemakaian kata, gambar, sampai penyuntingan memberi andil bagaimana realitas tersebut hadir di hadapan khalayak.
Berita Bersifat
SubjektifKonstruksi Atas
Realitas.Pandangan
konstrusionis mempunyai penilaian yang berbeda dalam menilai objektivitas jurnalistik.Hasil kerja jurnalistik tidak bisa dinilai dengan menggunakan sebuah
standar yang rigid, seperti halnya positivis.Hal ini karena berita merupakan hasil dari konstruksi dan pemaknaan atas realitas. Pemeknaan seseorang terhadap suatu
realitas bisa berbeda dengan orang lain, yang tentunya bisa menghasilkan realitas yang berbeda pula. Karenanya ukuran yang baku dan standar tidak bisa dipakai.
Kalau ada perbedaan antara realitas yang sebenarnya dengan berita itu bukan merupakan suatu kesalahan, tetapi memang seperti itulah pemaknaan mereka atas
realitas.
Wartawan Bukan Pelapor. Ia Agen Konstruksi Realitas. Wartawan
tidak bisa menyembunyikan pilihan moral dan keberpihakannya, karena ia merupakan baguian intrinsik dalam pembentukan berita. Lagipula, berita bukan
hanya produk individual, melainkan juga bagian proses organisasi dan interaksi antara wartawannya. Dalam banyak kasus: topic apa yang diagkat dan siapa yang
diwancarai, disediakan oleh kebijakan redaksional tempat wartawan bekerja, bukan semata-mata bagian dari pilihan profesional individu. Dalam pandangan
konstruksionis wartawan juga dipandang sebagai aktoragen konstruksi.Watawan bukan hanya melaporkan fakta, tapi juga turut mendefenisikan peristiwa. Sebagai
aktor sosial, wartawan turut mendefinisikan apa yang terjadi, dan secara aktif
Universitas Sumatera Utara
membentuk peristiwa dalam pemahaman mereka. Waratawan bukanlah pemulung yang mengambil fakta begitu saja.Karena dalam kenyataannya, tidak ada realitas
yang bersifat eksternal dan objektif, yang berada di luar diri wartawan.Realitas bukanlah sesuatu yang berada di luar yang objektif, yang benar, yang seakan-akan
ada sebelum diliput wartawan. Sebaliknya, realitas itu dibentuk dan diproduksi tergantung pada bagaimana proses konstruksi berlangsung. Realitas itu
sebaliknya, bersifat subjektif, yang terbentuk dari hasil pemaknaan dan pemahaman subjektif dari wartawan. Saat seorang wartawan menulis berita, ia
sebetulnya membuat dan membentuk dunia, membentuk realitas. Berita adalah transaksi antara wartawan dengan sumber. Realitas yang terbentuk dalam
pemberitaan bukanlah apa yang terjadi dalam dunia nyata. Melainkan relasi antara wartawan dengan sumber dan lingkungan sosial yang membentuknya.
Etika, Pilihan Moral, dan Keberpihakan Wartawan Adalah Bagian yang Integral Dalam Produksi Berita. Aspek etika, moral, dan nilai-nilai
tertentu tidak mungkin dihilangkan dari pemeberitaan media. Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya, apa yang dia lihat. Etika dan moral yang dalam
banyak hal berarti keberpihakan pada suatu kelompok atau nilai tertentu- umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu-adalah bagian yang integral dan tidak
terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas. Wartawan disini bukan hanya sebagai pelapor, karena disadari atau tidak ia menjadi partisipan dari
keragaman penafsiran dan subjektivitas dalam publik. Karena fungsinya tersebut, wartawan menulis berita bukan hanya sebagai penjelas, tetapi mengkonstruksi
peristiwa dari dirinya sendiri dengan realitas yang diamati.
Universitas Sumatera Utara
Khalayak Mempunyai Penafsiran Tersendiri Atas Berita. Khalayak
bukan dilihat sebagai subjek yang pasif.Ia juga subjek yang aktif dalam menafsirkan apa yang dia baca. Dalam bahasa Stuart Hall dalam Eriyanto,
2005:36, makna dari suatu teks bukan terdapat dalam pesanberita yang dibaca oleh pembaca.Makna selalu potensial mempunyai banyak arti polisemi.Makana
lebih tepat diapahami bukan sebagai transmisi penyebaran dari pembuat berita ke pembaca.Ia lebih tepat diapahami sebagai suatu praktik penandaan. Karenanya,
setiap orang bisa mempunyai pemaknaan yang berbeda atas teks yang sama. Kalau saja ada makna yang dominan atau tunggal, itu bukan berarti makna
terdapat dalam teks, tetapi begitulah praktik penandaan yang terjadi.
II.5. ANALISIS FRAMING