Pengaruh Pemberian Suplemen Selenium dan Iodium terhadap Profil Darah, Status Gizi dan Skor IQ Anak dengan Tanda Khas Kretin

(1)

PENGARUH PEMBERIAN SUPLEMEN SELENIUM DAN

IODIUM TERHADAP PROFIL DARAH, STATUS GIZI

DAN SKOR IQ ANAK DENGAN

TANDA KHAS KRETIN

DIFFAH HANIM

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

ABSTRACT

DIFFAH HANIM, Effect of Selenium and Iodine Supplement on Blood Profile Nutritional Status and IQ-Score of School Children with Some Attributes of Cretinism. Supervised by RIMBAWAN, ALI KHOMSAN, DRAJAT MARTIANTO.

Iodine Deficiency Disorder (IDD) is a public health problem especially for school-aged children living in endemic area. This condition might be worsen if the children have moderate or severe stunted and undernutrition together with IDD. This interaction was observed in this study. This study was aimed to investigate levels of some biochemical parameters, nutritional status and IQ score in school-aged children with iodine deficiency in endemic area of Boyolali Regency, Central Java. The before and after quasi experimental study design was implemented. The samples of study were school-aged children (9-12 years) suffering from iodine deficiency and Protein Energy Malnutrition (PEM) and attributed 6-11 sign of cretinism. A total number of 115 children were selected as study samples. Sampling was conducted purposively. Selenium (Se) and Iodine (I) of plasma, Haemogloblin (Hb) and Haematocrite (Ht) levels, and score of index Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Haemoglobin (MCH), Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC), nutritional status, and IQ score activity were determined. The group of treatments were Se supplement (n=34), I supplement (n=35), Se and I supplement (n=18) and placebo (n=28). The amount of Se and I given per day were 45 μg and 50 μg respectively. The study showed that before treatment the prevalence anemia based on Hb<11.5 g/dl and Ht<35% were 1.7% and 14% respectively, while microcytic and macrocytic anemia were 31% (based on MCV), 20% (based on MCH). When MCHC was used as a parameter, hypochromic and hyperchromic anemia were found 34%. Other cases such as leucopenia was observed 20.4% and deficiency of erythrocyte was 14.6%. Prevalence of Se and I deficiencies were very high (97.4% and 81.7% respectively). Anthropometrically 35% of samples were stunted and 34% were underweight. Score IQ as measured by Raven’s method showed that all of children who suffered from very severe deficiency of Selenium and Iodine (24.3% of the total samples) had IQ score lower than 25 (Idiot), 13% with IQ score between 25-40 (Imbecile), 10.7% with IQ score between 40-55 (Moron) and 8.7% with IQ score between 55-70 (borderline). Attribute of cretinism was found 6-11 signs. The nutritional status of the children were found better after all treatments. After treatments no cases of anemia based on Hb and Ht (p>0.05) were observed. Treatment with Se increased plasma Se (+2.76μg/dl) and I (+1.35μg/dl) which were higher than other treatments. Supplementation with Se improved blood profiles in term of leucocyte, MCV, plasma Se and I (p<0.01), and also increasing nutritional status based weight for age and IQ score (p<0.05). Iodine supplementation increased IQ score (p<0.01), and nutritional status based on height for age (p<0.05). Selenium and Iodine supplementation improved blood profiles in term of erythrocyte, MCH and MCHC (p<0.01). Based on LSD test, it was concluded that supplementation of 45 μg Se/day for two months may provide better response than supplementation of 50 μg I/day or supplementation of Se and I at the same time when intervention was conducted to 9-12 years old children with 6-11 cretinism signs.

KEYWORDS: Nutritional Status, Score IQ, MCV, MCH, MCHC, Selenium, Iodine, School Children with Cretinism Attributes


(3)

RINGKASAN

DIFFAH HANIM, Pengaruh Pemberian Suplemen Selenium dan Iodium terhadap Profil Darah, Status Gizi dan Skor IQ Anak dengan Tanda Khas Kretin. Dibimbing oleh RIMBAWAN, ALI KHOMSAN, DRAJAT MARTIANTO.

Gangguan akibat kurang iodium (GAKI) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat terutama pada anak sekolah dasar yang tinggal di daerah endemik GAKI. Kondisi ini diperparah dengan adanya masalah kurang energi protein baik yang diukur menggunakan indikator berat badan maupun tinggi badan anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur parameter biokimia, status gizi, skor IQ dan jumlah tanda khas kretin pada anak yang tinggal di daerah endemik GAKI.

Desain penelitian menggunakan Experimental Kuasi dengan sampel anak umur 9-12 tahun yang masih aktif dan tercatat di sekolah dasar (SD) daerah endemik GAKI, Boyolali Jawa Tengah. Jumlah sampel 115 anak penderita GAKI dengan 6-11 tanda khas kretin. Sampel dipilih secara purposive tetapi SD dialokasikan secara random ke dalam empat kelompok perlakuan. Kelompok perlakuan meliputi suplemen selenium 45 μg/hari (n=34), suplemen iodium 50

μg/hari (n=35), suplemen selenium+iodium (n=18) dan plasebo (n=28). Suplemen diberikan setiap hari selama dua bulan. Indikator profil darah yang diperiksa meliputi kadar Hb, Ht, jumlah eritrosit, leukosit, kadar MCV, MCH dan MCHC. Status gizi dengan indikator Z-skor BB/U dan TB/U. Skor IQ diukur dengan Set Test Raven (1995).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebelum perlakuan profil darah menurut kadar Hb ada 1.7% anak yang menderita anemia, berdasar kadar Ht ada 14% penderita anemia. Berdasarkan kadar MCV jenis anemia (microcytic dan macrocytic) ada 31%, menurut MCH jenis anemia (microcytic dan macrocytic) ada 20%. Hasil pemeriksaan MCHC menunjukkan jenis anemia (hipokromik dan hiperkromik) ada 34%. Jumlah anak yang kekurangan eritrosit ada 14.6% dan yang menderita Leukopenia ada 20.4%. Prevalensi defisiensi Se ada 97.4% dan defisiensi I sebesar 81.7%, sedangkan prevalensi stunted 35% dan underweight sebesar 34%. Skor IQ dengan metode Raven menunjukkan bahwa semua anak yang menderita defisiensi selenium dan iodium (24.3%) memiliki skor IQ kurang dari 25 (Idiot), ada 13% dengan IQ=25-40 (Imbecile), sebanyak 10.7% memiliki IQ=40-55 (Moron) dan 8.7% dengan IQ=55-70 (garis batas normal). Jumlah tanda khas kretin ada 6-11 tanda sehingga belum dapat meyakinkan untuk disebut kretin baru (15 tanda).

Setelah perlakuan meskipun tidak terdapat perbedaan nyata (p>0.05) dalam hal kenaikan Hb tetapi mampu mengubah angka 1.7 % anak dengan kadar Hb rendah, menjadi normal (11.7-17.1 g/dL). Suplementasi Se dan I menunjukkan perubahan kadar Ht dari 18-48.5% menjadi 32.99-49.8% (p>0.05). Suplementasi Se dan I dapat memperbaiki jenis anemia mikrositik dan makrositik baik hipokromik maupun hiperkromik menjadi monositik-monokromik secara nyata (p<0.001) dibandingkan plasebo. Perubahan plasma Se dan I pada


(4)

kelompok perlakuan Se (+2.76μg/dL) lebih baik dibandingkan kelompok perlakuan I (1.35 μg/dL) dan plasebo (+1.2μg/dL).

Setelah suplementasi terjadi peningkatan status gizi pada semua kelompok perlakuan. Hasil paling baik ditemukan pada kelompok perlakuan suplemen selenium (3.04 kg) dengan kisaran kenaikan berat badan sebesar 1.96 – 3.04 kg (p<0.05). Pemberian suplemen I sebanyak 50 µg/hari memberikan pengaruh terbaik dengan rataan kenaikan tinggi badan 2.3 cm pada kisaran 1.2 – 3.5 cm (p<0.05). Pemberian suplemen Se sebanyak 45 μg/hari dan I sebanyak 50 μg/hari selama dua bulan dapat memperbaiki skor IQ anak (18 point) lebih tinggi dibandingkan dengan plasebo. Jumlah tanda khas kretin turun satu point setelah pemberian suplemen selenium 45 μg/hari dan iodium 50 μg/hari selama dua bulan dari 6-11 tanda menjadi 5-10 tanda (p>0.05) dengan R(adjusted) sebesar 0.547.

Pemberian suplemen Se 45 μg/hari yang diminum setiap hari selama 2 bulan mampu memperbaiki profil darah, status gizi, skor IQ anak yang memiliki tanda khas ketin lebih baik dibandingkan dengan suplementasi I dengan dosis 50


(5)

PENGARUH PEMBERIAN SUPLEMEN SELENIUM

DAN IODIUM TERHADAP PROFIL DARAH, STATUS

GIZI DAN SKOR IQ ANAK DENGAN TANDA

KHAS KRETIN

DIFFAH HANIM

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Gizi Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(6)

Halaman Pengesahan

Judul Penelitian : PENGARUH PEMBERIAN SUPLEMEN SELENIUM DAN IODIUM TERHADAP PROFIL DARAH, STATUS GIZI DAN SKOR IQ ANAK DENGAN TANDA KHAS KRETIN

Nama Mahasiswa : Diffah Hanim

NRP. : A 561030081

Program Studi : Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMK)

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Rimbawan Ketua

Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS Dr. Ir. Drajat Martianto, MSi

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan

Gizi Masyarakat Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Hadi Riyadi, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(7)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. drh. Nastiti Kusumorini, M.Sc Dr.Ir. Hadi Riyadi, MS

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr.Sunarno Ranu Wihardjo, MPH 2. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M.Si


(8)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Agustus 2005 – Mei 2007 ialah masalah gangguan akibat kurang iodium (GAKI) dengan judul : PENGARUH PEMBERIAN SUPLEMEN SELENIUM DAN IODIUM TERHADAP PROFIL DARAH, STATUS GIZI DAN SKOR IQ ANAK DENGAN TANDA KHAS KRETIN.

Terimakasih penulis sampaikan kepada Dr. Rimbawan selaku ketua komisi pembimbing dan Prof.Dr.Ir Ali Khomsan, MS ; Dr.Ir. Drajat Martianto, M.Si selaku anggota komisi pembimbing, Dr.drh. Nastiti Kusumorini, M.Sc serta Dr.Ir. Hadi Riyadi, MS yang telah banyak memberi masukan saat ujian tertutup untuk perbaikan disertasi. Penghargaan dan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Sunarno RW, MPH serta Dr. Ir. Anna Marliyati, MS yang telah memberi masukan sangat berharga saat ujian terbuka. Penulis juga menghaturkan terimakasih kepada dr. Sulis Lestari, dr. Syamsudin, M.Kes, dr. Mumpuni beserta seluruh staf DKK Boyolali dan staf Puskesmas Cepogo, Kab. Boyolali atas bantuan dan kerjasamanya yang baik selama pengumpulan data. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada seluruh staf Lab. Teknologi Maju BATAN Yogyakarta dan Lab. Klinik Prodia Surakarta serta semua pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu atas kerjasamanya yang baik selama penelitian. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada:

Ytc. Ayahanda Zuhair (Alm) dan Ibunda Djulyunah Zuhair (Alm) atas segala doa dan kasih sayangnya kepada penulis sejak dalam kandungan hingga beliau wafat selalu mendukung proses belajar penulis. Kepada seluruh keluarga Bani Zuhair atas segala perhatian, pengertian dan bantuan materiil yang tak terhitung sehingga studi S3 ini dapat diselesaikan.

Yth. Rektor UNS, Prof. Dr. dr. Syamsul Hadi, SpKJ dan Ketua LPPM UNS, Prof. Dr. Sunardi, M.Sc serta Kepala Puslitbang PGKM, Prof. Dr. Ir. Sri Handajani, MS; Kepala dan Sekretaris P3G beserta semua staf peneliti khususnya Dra. Ismi DAN, MSi, Eva Agustinawati, S.Sos, MSi penulis sampaikan terimakasih yang tulus.

Yth. Dr. dr. AA Subiyanto, MS selaku Dekan FK UNS dan Prof. Dr. Bambang Suprapto, M.MedSci selaku Kepala Bagian Gizi Fak. Kedokteran UNS beserta seluruh staf Ilmu Gizi dan teman-teman sejawat di Jurusan IKM FK UNS khususnya dr. Bhisma Murti, MPH, Mphil, PhD dan Dra. Suci Murtikarini,M.Si di Bagian Anak RSUD. Moewardi, saudaraku Dra. Martini M.Si di Bagian Kimia FK UNS, serta Prof. Dra. Nurul M. MS di F.MIPA UNS atas doa dan nasehatnya, sahabat-sahabat saya lainnya di FK UNS Surakarta yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu disampaikan terimakasih yang tulus.

Yth. Direksi PT. Kimia Farma (cq. Divisi Riset dan Pengembangan) melalui Drs. Dediwan, Apt. ; Dra. V. Ani Trimuryani, Apt. serta Drs. Imam Syaiful H, Apt. yang telah membantu formulasi dan produksi kapsul selenium selenat 45 μg dan kapsul iodium 50μg dan penyediaannya untuk suplementasi.

Yth. Direksi PT. Danone Aqua dan Biskuit yang telah membantu menyediakan minuman aqua bagi anak sekolah dasar untuk minum suplemen selama penelitian berlangsung, khususnya saudaraku Tani Sulaeman, SE, MBA,


(9)

saudaraku Dewi Larasati, SE,MM, saudaraku Inti W, SE,MM dan Drs. Seto BM., saya sampaikan terimakasih.

Yth. Prof.Dr.dr JB. Suparjatmo, Sp.PK (K), Dr.dr. AA Subiyanto, MS; dr. Sugeng Purwoko,M.MedSci, SpGK, dr. Endang Dewi Lestari, Sp.A(K) MPH atas bantuannya hingga peneliti memperoleh ijin/persetujuan etik kedokteran (Ethical Clearance) untuk pelaksanaan penelitian S3.

Ytc. Teman-teman Program Studi Gizi Masyarakat (GMK) SPS IPB tahun ajaran 2003 khususnya Dr. Ir. Sri Purwaningsih M.Si, Dr. Ir. Dwi Hastuti M.Si, Dr. Suryono, M.Si, Dr. Evawany A, M.Si, Dr. Esi Emilia M.Si, Dr. Ai Nurhayati, M.Si dan Ir. Zulhaida Lubis M.Si; Ir. Istiqlaliah M.Si, serta teman GMK tahun 2004 khususnya Dr.Ir. Dodik Briawan M.Si, sahabatku angkatan tahun 2005 khususnya Ir. C. Metti M.Sc serta seluruh civitas academica GMK IPB, teman se-rumah di Puri Hapsara (Bu Nanik UNHAS, Bu Sri Purwanti UNHAS, Bu Insun Sangaji UNPATI, Meisy dan Elly UNSRI, Rahmi Univ Jambi, Nisa UIN Syarifhidayatullah Jakarta, dan Iffah) tak lupa kepada saudaraku Dra. Eko Yuliastuti, MSi; Ir. Sri DAS, MSi dan saudaraku Dr. Ir. Endang Yuniastuti,M.Si sera teman-teman semua di Bogor dan Surakarta, penulis sampaikan rasa terimakasih yang dalam semoga Allah SWT senantiasa melapangkan semua urusan kita. Amin.

Ytc. Seluruh keponakanku yang tinggal di Jakarta (Mirdas, Reza, Achi, Nisa, Citra, Fauzia, Shifa), keponakanku di Surabaya dan Gresik (Radif, Ulil, Yomie, Offi, Emi, Diar dan Arma), keponakanku di Yogyakarta (Agaf, Wiga) keponakan di Cirebon (Iwan, Lukman, Lia, Iman, Ida) tante sampaikan terimakasih atas doa, perhatian dan pengertiannya selama tante mengambil S3 di Bogor.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi para pembaca dan pemerhati masalah GAKI. Apabila terdapat kesalahan penulisan nama dan kekhilafan selama pelaksanaan penelitian dan perjalanan penyusunan disertasi ini saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Billahittaufik wal hidayah, Wassalam.

Bogor, Januari 2008

Diffah Hanim


(10)

Penulis dilahirkan di Yogyakarta, pada tanggal 20 Februari 1964 dari Ayah R. Zuhair Durie dan ibu Hj. Djulyunah Humam. Penulis merupakan putri ke-9 dari sepuluh bersaudara.

Tahun 1983 penulis lulus dari SMA Muh. II Yogyakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk UNSOED Purwokerto pada Fakultas Biologi, Jurusan Zoologi. Selama penyusunan Skripsi penulis mendapat beasiswa dari UNOCAL-76, PERTAMINA dan lulus tahun 1988.

Sejak tahun 1990 penulis menjadi pegawai negeri sipil (PNS) sebagai staf pengajar Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Pada tahun 1993 melanjutkan pendidikan Pascasarjana S2 pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMK) IPB dengan beasiswa Proyek CHN-III Dikti dan lulus tahun 1996. Kemudian tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan S3 pada SPS IPB, Program Studi GMK dengan beasiswa dari BPPS Dikti, Depdiknas.

Selama mengikuti program S3 penulis telah menghasilkan karya ilmiah berupa buku yang berjudul Menjadikan ‘UKS’ sebagai Upaya Promosi Tumbuh Kembang Anak Didik tahun 2005 yang diterbitkan oleh UGM Press, Yogyakarta dengan Editor Dr.Ir. Drajat Martianto, M.Si yang juga anggota komisi pembimbing disertasi penulis. Dua artikel ilmiah juga telag dihasilkan dengan judul : Pengaruh Pemberian Suplemen Selenium dan Iodium Terhadap Status Gizi, Skor IQ dan Jumlah Tanda Khas Kretin pada Anak Sekolah Dasar yang diterbitkan pada Jurnal Kedokteran YARSI Vol. 16 No.1 Januari-April 2008 (Terakreditasi No. 23a/DIKTI/KEP/ 2004) serta artikel ilmiah lainnya dengan judul: Kajian Jenis Anemia Gizi Besi dan Status Gizi Anak Penderita ’GAKI’ Di Daerah Endemik Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah yang akan dimuat pada Jurnal Ilmiah Profesi Medika, Fakultas Kedokteran UPN ’Veteran’ Jakarta (Terakreditasi No. 39/DIKTI/KEP/2004).

Bogor, Januari 2008

Diffah Hanim

DAFTAR ISI


(11)

Abstract ... i

Ringkasan ... ii

Halaman Judul ... iv

Halaman Pengesahan ... v

Prakata ... vi Riwayat Hidup ... viii

Daftar Isi ... x

Daftar Tabel ... xiii

Daftar Gambar ... xv

Daftar Lampiran ... xvii

PENDAHULUAN

Latar belakang ... 1

Perumusan masalah ... 5

Tujuan penelitian ... 7

Kegunaan penelitian ... 8

Hipotesis ... 8

TINJAUAN PUSTAKA

Iodium dan Masalah GAKI ... 9

Regulasi Kelenjar Thyroid. ... 10

Dampak dari GAKI pada Berbagai Tahapan Perkembangan .... 14

Penilaian Status Iodium ... 17

Kecukupan Iodium ... 18

Spektrum Kretin Endemik dan Kelainan Hipotiroid ... 21

Selenium dan GAKI ………... 27

Growth Spurt II Anak Sekolah ... 30

Tes IQ pada Anak Sekolah Dasar ... 34

Selenium, Perkembangan Fisiologi Otak dan Hasil Tes IQ ... 35

Fisiologi dan Perkembangan Otak ………... 38

Darah dan Defisiensi Zat Gizi Mikro ... 41

Eritrosit (Sel Darah Merah) ... 42

Leukosit (Sel Darah Putih) ... 43

Patofisiologi Anemia ... 44


(12)

Kecukupan Selenium ... 50

Akibat Kekurangan dan Kelebihan Asupan Selenium... 52

Penyerapan Selenium Organik dan Inorganik ... 55

Sistem Transpor dan Metabolisme Selenium ... 56

Status Selenium ... 57

Lama Intervensi dan Dosis Suplemen Se dan I ... 62

KERANGKA PEMIKIRAN

... 63

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian ... 64

Desain Penelitian ... 65

Populasi dan Sampling ... 67

Variabel dan Definisi Operasional ... 70

Cara Pengumpulan Data ... 75

Analisis Data ... 76

Protokol Penelitian... 77

H A S I L

Hasil Penelitian Pendahuluan ………... 81

Hasil Penapisan Sampel ………... 82

Hasil Penelitian Epidemiologi ……….... 84

Karakteristik Anak menurut Hasil Pemeriksaan Laboratorium ... 86

Hasil Pemeriksaan Profil Darah Rutin menurut Kelompok Perlakuan ... 86

Hasil Pemeriksaan Kadar Selenium dan Iodium Plasma menurut Kelompok Perlakuan... 91

Karakteristik Anak menurut Pemeriksaan Fisik ………... 94

Pengaruh Pemberian Suplemen terhadap Status Gizi... 94

Tingkat Kecukupan Zat Gizi Anak ... 100

Hasil Pengukuran Lingkar Lidah Anak menurut Kelompok Perlakuan ………... 100

Hasil Tes IQ Anak menurut Kelompok Perlakuan ... 104

Pengaruh Pemberian Suplemen Selenium dan Iodium terhadap Jumlah Tanda Khas Kretin... 109


(13)

PEMBAHASAN

Penapisan Sampel ... 111

Penapisan Tes IQ ... 111

Profil Darah Anak menurut Kelompok Perlakuan ... 112

Kadar Selenium dan Iodium Plasma menurut Kelompok Perlakuan ... 120

Faktor yang Mempengaruhi Respon Profil Darah ... 122

Status Gizi Anak menurut Kelompok Perlakuan ... 127

Status Gizi berdasarkan standar CDC (WHO, 2000) menurut Kelompok Perlakuan ... 127

Tingkat Kecukupan Zat Gizi Anak ... 132

Lingkar Lidah menurut Kelompok Perlakuan ... 134 Skor IQ Anak menurut Kelompok Perlakuan ... 136

Jumlah Tanda Khas Kretin menurut Kelompok Perlakuan…... 139

Faktor yang Mempengaruhi Respon Status Gizi ... 139

Analisis Normalitas Data dan Uji ANOVA ... 140

Analisis Regresi Logistik ... 141

Analisis Implikasi Kebijakan ... 142

Analisis Implikasi Keilmuan ... 143

Kebaruan Penelitian ... 143

Keterbatasan Penelitian ... 144

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan ... 145

Saran ... 146

DAFTAR PUSTAKA ... 147

LAMPIRAN ... 160


(14)

Halaman

1 Dampak Dfisiensi Iodium pada Organ dan Hormon Tikus ... 14

2 Dampak Gangguan Akibat Kurang Iodium ... 16

3 Rekomendasi Asupan iodium ... 19

4 Upaya Penanggulangan GAKI oleh Depkes ... 20

5 Simtomatologi Kretin Endemik, Sengi (1974 –1999) ... 21

6 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Anak Diduga Kretin ... 25

7 Matriks Hipotesis yang sudah Dibuktikan ... 30

8 Karakteristik Pertumbuhan Fisik dan Perubahan Komposisi Tubuh pada Masa Growth Spurt II ... 31

9 Kebutuhan Zat Gizi pada Puncak Growth Spurt II ... 33

10 Skor IQ Wechsler yang dikembangkan oleh Raven ... 35

11 Sumber dan Kandungan Selenium dalam Bahan Makanan ... 43

12 Angka Kecukupan yang Dianjurkan untuk Selenium ... 44

13 Kadar Haemoglobin Normal pada Anak ... 50

14 Angka rata-rata dari Leukosit dan Angka Turunan / Diferensial pada Anak ... 52

15 Desain dan Lokasi Penelitian ... 67

16 Kriteria Inklusi untuk Penentuan Sampel Saat Penapisan ... 68

17 Hasil Randomisasi SD untuk Penentuan Jenis Perlakuan ... 70

18 Hasil Analisis Bio-availabilitas Kapsul Iodium dan Selenium 82 19 Besar dan Asal Sampel Penapisan ... 84

20 Persentase Sebaran Partisipasi Responden ... 85

21 Hasil Analisis Profil Darah Rutin Anak Umur 9-12 tahun... 87

22 Hasil Analisis Pengukuran Biokimia Darah menurut Kelompok Perlakuan ... 88

23 Hasil Analisis ∆ Peningkatan Jumlah Leukosit pada Anak ... 90

24 Hasil Analisis ∆ Peningkatan Jumlah Eritrosit pada Anak ... 90

25 Hasil Analisis ∆ Kadar MCV pada Anak dengan Tanda Khas Kretin ... 90

26 Hasil Analisis ∆ Kadar MCH pada Anak dengan Tanda Khas Kretin ... 91


(15)

27 Hasil Analisis ∆ Kadar MCHC pada Anak dengan Tanda

Khas Kretin ... 92

28 Hasil Analisis Kadar Selenium dan Iodium dalam Plasma Darah Anak ... 93

29 Distribusi Anak menurut Kadar Selenium Plasma Darah dan Kelompok Perlakuan ... 94

30 Distribusi Anak menurut Kadar Iodium Plasma Darah dan Kelompok Perlakuan ... 94

31 Distribusi Anak menurut Kadar Selenium Plasma Darah dan Jenis Kelamin ...….. 94

32 Distribusi Anak menurut Kadar Iodium Plasma Darah dan Jenis Kelamin ... 95

33 Hasil Analisis ∆ Kadar Iodium dan Selenium Plasma ... 95

34 Hasil Uji Beda Status Gizi menurut Kelompok Perlakuan ... 96

35 Hasil Analisis Regresi Antropometri menurut Kelompok Perlakuan ... 97

36 Karakteristik Antropometri Anak menurut Kelompok Perlakuan (Sebelum Perlakuan) ... 98

37 Karakteristik Antropometri Anak menurut Kelompok Perlakuan (Sesudah Perlakuan) ... 99

38 Prevalensi Underweight menurut Jenis Kelamin dan Perlakuan Sebelum dan Sesudah Suplementasi ... 100

39 Prevalensi stunted menurut Jenis Kelamin dan Perlakuan Sebelum dan Sesudah Suplementasi ... 100

40 Tingkat Kecukupan Zat Gizi Anak di Daerah Endemik GAKI menurut AKG (2004) ... 101

41 Lingkar Lidah Anak menurut Kelompok Perlakuan ... 103

42 Lingkar Lidah Anak menurut Jumlah Petanda Kretin... 103

43 Hasil Analisis Ukuran Lingkar Lidah dengan Faktor Anemia ... 104

44 Lingkar Lidah Anak menurut Jenis Kelamin ... 107

45 Hasil Tes IQ Anak menurut Kelompok Perlakuan dan Status Gizi Anak Sebelum Perlakuan ... 105

46 Hasil Tes IQ Anak menurut Kelompok Perlakuan dan Status Gizi Anak Sesudah Perlakuan ... 105


(16)

(Sebelum Perlakuan) ... 108 48 Skor IQ menurut Status Gizi dan Jenis Kelamin Anak

(Sesudah Perlakuan) ... 109 49 Hasil Analisis ∆ Peningkatan Skor IQ pada anak ... 109 50 Hasil Analisis Selisih Penurunan Jumlah Tanda Khas Kretin ... 111 51 Hasil Analisis Uji Beda ∆ Antropometri, Skor IQ

menurut Kelompok Perlakuan ... 111 52 Hasil Analisis Nilai Odd Ratio dan Nilai p untuk Profil

Darah Anak ... 111 53 Hasil Analisis Nilai Odd Ratio dan Nilai p untuk Status


(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Konversi T4 menjadi T3 ………... 12

2 Spektrum Kretin Endemik dan Kongenital Hipotiroid... 23

3 Alternatif Upaya Penanggulangan GAKI di Negara Berkembang 29

4 Bagian-bagian Otak ... 37

5 Bagian-bagian Otak Dilihat dari Tengah ... 38

6 Bagian Utama Otak dan Lobus ... 38

7 Synaps ... 41

8 Perbandingan Volume Sel Otak Penderita Kretin dengan Otak Orang Sehat ... 41

9 Reaksi Aktivitas Glutation-S-transferase ... 60

10 Hubungan Sinergis Zat Gizi sebagai Antioksidan ... 62

11 Kerangka Pemikiran ... 64

12 Foto SDN Jombong 1 dan SDN Jombong 2 di desa Jombong, Kecamatan Cepogo, Boyolali sebagai Lokasi Penelitian... 65

13 Hasil Penapisan Gejala / Tanda Khas Kretin ... 83

14 Hasil Penapisan Tes IQ ... 84

15 Distribusi Umur Anak (Tahun) ... 85

16 Distribusi Jenis Kelamin ... 86

17 Status Kebersihan Anak di Daerah Endemik GAKI ... 86

18 Hasil Analisis Persentase Kadar Eritosit menurut Kelompok Perlakuan ... 89

19 Hasil Analisis Persentase Kadar Leukosit menurut Kelompok Perlakuan ... 89

20 Hasil Analisis MCV menurut Kelompok Perlakuan ... 90

21 Hasil Analisis MCV menurut Kelompok Perlakuan ... 91

22 Hasil Analisis MCHC menurut Kelompok Perlakuan ... 92

23 Hasil Analisis Status Iodium Plasma menurut Kelompok Perlakuan ... 93

24 Hasil Analisis Status Selenium Plasma menurut Kelompok Perlakuan ... 93


(18)

26 Status Gizi Anak menurut Jenis Kelamin ... 98

27 Pelaksanaan Pengukuran Antropometri Anak di Daerah Endemik GAKI ... 99

28 Pengukuran Lingkar Lidah pada Anak Penderita GAKI ... 102

29 Jumlah Tanda Khas Kretin dan Status Gizi Anak ... 105

30 Hasil Analisis Skor IQ menurut Kelompok Perlakuan ... 106

31 Hasil Analisis Tanda Khas Kretin menurut Kelompok Perlakuan ... 110


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Lembar Data Kepatuhan ... 160

2 Presensi Kepatuhan Siswa ’Minum Kapsul’ SDN Jombong I, ... 161

Kecamatan Cepogo, Boyolali (Minggu – I) ... 162

3 Lembar Jawab Tes IQ Raven ... 163

4 Jenis Menu Makanan Harian Anak di Derah Endemik GAKI... 163

5 Nilai Zat Gizi Menurut Jenis Menu Makanan Harian Anak di Daerah Endemik GAKI ... 164

6 Rata-rata Nilai Zat Gizi Menurut Sumbangan Makanan Jajanan Anak di Daerah Endemik GAKI ... 164

7 Daftar Bahan Pangan Goitrogenik (Chapman, 1982) 8 Hasil Test Distribusi Kenormalan Data dan Homogenitas Sampel ... 165

9 Jenis Intervensi Suplemen Iodium di Berbagai Negara………... 166

10 Ethical Clearance ... 167

11 Surat-surat dan Hasil Analisis Laboratorium ... 168


(20)

PENGARUH PEMBERIAN SUPLEMEN SELENIUM

DAN IODIUM TERHADAP PROFIL DARAH, STATUS

GIZI DAN SKOR

IQ

ANAK

DENGAN TANDA KHAS KRETIN

DIFFAH HANIM

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Gizi Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(21)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Kurang zat gizi mikro merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di Indonesia karena jumlah penderitanya masih lebih dari 100 juta jiwa (Untoro, 2004). Zat gizi mikro penting untuk kecerdasan dan kekebalan tubuh. Akibatnya ada 360.000 siswa kehilangan kesempatan belajar karena tidak naik kelas dan putus sekolah, dan tiap tahun 20.000 meninggal karena rentan terhadap infeksi penyakit (Soekirman, 2003).

Salah satu masalah kurang zat gizi mikro di Indonesia adalah Gangguan Akibat Kurang Iodium (GAKI). Dampak GAKI berat pada anak usia SD adalah terjadinya kesulitan belajar, sehingga mengakibatkan prestasi belajar di sekolah rendah dan mempertinggi persentase anak tinggal kelas dan putus sekolah. Hasil penelitian tahun 1993 menunjukkan 75 % siswa usia SD yang menderita kretin mengalami kesulitan belajar di sekolah, sehingga mereka memerlukan perhatian dan pembinaan tertentu agar tidak gagal dalam pendidikan (Hartono, 2001). Penelitian Salim (1999) di Boyolali menemukan anak didik usia SD yang berindikasi kretin 11,89% dan GAKI 12,23 %, sehingga memerlukan pembinaan pendidikan luar sekolah dan pemberdayaan keluarga agar mampu mengkonsumsi garam beriodium setiap harinya bagi seluruh anggota keluarga. Kretin merupakan puncak gunung es dari masalah GAKI, pada polarisasi yang lebih ringan masalahnya lebih besar lagi.

GAKI merupakan bentuk lain dari kelaparan tak kentara (kurang gizi) yang telah diketahui, bahwa anak penderita GAKI umumnya memiliki dampak yang mirip dengan anak yang menderita kurang zat besi (Fe) yaitu mempunyai aktivitas yang lemah dan kurang cerdas. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan kemampuan otaknya akibat IQ yang hilang sekitar 5-10 point. Apabila dari 42 juta penduduk Indonesia yang berisiko GAKI ada sekitar 35 persennya (15 juta orang) telah mengalami GAKI ringan dan sedang maka secara potensial Indonesia akan kehilangan 150 juta point (Soekirman, 2002).


(22)

Fungsi selenium berhubungan pula dengan iodium, seperti yang dikemukakan Arthur (1993) pada daerah endemik GAKI selain defisiensi iodium juga ditemukan defisiensi unsur selenium secara bersamaan. Sejalan dengan hal itu penelitian yang dilakukan oleh Rimbawan et al. (2000) di Kabupaten Pasuruan menunjukkan bahwa kekurangan iodium bukanlah satu-satunya penyebab GAKI tapi juga disebabkan oleh kekurangan selenium dengan bukti bahwa asupan iodium dan seleniumnya masih kurang dari angka kecukupan. Terdapat hubungan antara asupan selenium dan iodium dengan parameter penentu status iodium dan selenium, sehingga hubungan antara kekurangan iodium dan selenium dapat dijadikan parameter dalam menentukan masalah GAKI. Hubungan antara selenium dan iodium menurut WHO (1996) dikarenakan enzim deiodinase mengandung selenium. Enzim deiodinase glutation peroksidase (GSH-Px) mengubah tiroksin menjadi 3,5,3-triiodotironin (T3).

Salah satu peran penting selenium adalah sebagai komponen enzim glutation peroksidase (GSH-Px) sel darah merah yang bila bertemu dengan vitamin B2 (Riboflavin) pada jalur ‘HMP-Shunt’ dalam sitoplasma akan dapat memperbaiki / meningkatkan kadar Hb. Kemudian enzim glutation peroksidase dapat menghancurkan hidrogen peroksida dan hidroperoksida organik dengan pengurangan ekuivalen dari glutation (IOM, 2000). Selanjutnya IOM (2000) menganjurkan dilakukannya riset tentang intervensi selenium organik dan inorganik untuk mencegah dan mengatasi berbagai kekurangan zat gizi mikro. Di Indonesia belum tersedia data yang mencukupi untuk anak di daerah endemik GAKI khususnya yang berkaitan dengan kecukupan zat gizi mikro iodium, selenium, dan besi. Sementara di Skotlandia pemberian suplemen Selenium selama 28 hari mampu memperbaiki profil darah penduduk yang menderita anemia di daerah endemik GAKI. Sodium Selenium memiliki efek positif yang baik dalam meningkatkan kadar eritrosit dan leukosit pada anak yang menderita anemia (Brown, et al. 2003).

Meskipun beberapa studi menunjukkan bahwa masalah GAKI terkait dengan defisiensi selenium, namun sampai saat ini program yang ada masih mengandalkan cara intervensi gizi tunggal sehingga dampaknya kurang memberikan hasil seperti yang diharapkan. Untuk itu diperlukan penelitian yang


(23)

dapat menunjukkan bahwa penanganan GAKI perlu mempertimbangkan peran zat gizi Selenium (Se) sebagai antioksidan, komponen enzim dan antikarsinogen (IOM, 2000).

Pada kretin endemik seringkali ditemukan dua kondisi yaitu hipothyroidi dan kerusakan susunan saraf pusat (retardasi mental, tuli perseptif, retardasi neuromotor dan kerusakan batang otak). Berdasarkan kenyataan bahwa ternyata ‘hipothyroidisme’ juga terlihat pada orang normal maka di Indonesia Djokomoeljanto (2002) mendefinisikan bahwa seseorang termasuk kretin endemik bila dilahirkan di daerah gondok endemik dan menunjukkan dua atau tiga gejala dari : retardasi mental, tuli perseptif (sensorineural) nada tinggi dan gangguan neuro-muskuler. Kondisi tersebut dapat disertai atau tidak disertai hipothyroidisme. Sementara itu di Zaire tipe kretin miksudematosa merupakan kejadian predominan sehingga dihipotesiskan bahwa defisiensi selenium (Se) yang kebetulan prevalen akan melindungi otak fetus (deiodenase II bukan enzim yang mengandung selenium) dan bukan perifer (deiodenase I adalah enzim yang mengandung selenium). Artinya bila kandungan selenium dalam darah cukup (0.1-1.1 μg /ml) maka pembentukan T3 dari T4 akan lancar sehingga gondok maupun kretin endemik dapat dicegah (Linder, 1992). Oleh karena itu penelitian tentang suplemen Se dengan Iodium untuk mencegah terjadinya kretin baru pada anak usia sekolah dasar di desa endemik GAKI sangat penting untuk dilakukan.

Sampai saat ini telah diketahui bahwa determinan utama kadar T3 di otak dan pituitary adalah serum T4. Hasil penelitian pada tikus menunjukkan bahwa rendahnya T3 pada otak akibat kekurangan iodium berhubungan dengan penurunan serum T4. Penemuan ini menjelaskan bahwa rendahnya fungsi otak pada manusia yang mempunyai serum T4 rendah di daerah endemik GAKI dipengaruhi oleh selenium, suatu komponen enzim yang memfasilitasi konversi iodium (Kanarek et al.1991). Akan tetapi perlu dipertimbangkan bahwa jenis selenium yang memiliki daya serap tinggi adalah selenium organik (Brown, et al. 2003).

Sudah diketahui bahwa mekanisme terjadinya goiter pada anak usia sekolah adalah akibat dari defisiensi iodium yang menyebabkan penurunan T4 sehingga memicu sekresi TSH yang berakibat meningkatnya aktivitas kelenjar


(24)

thyroid. Meskipun mekanisme terjadinya kretin pada usia remaja awal (usia anak > 10 tahun) masih merupakan perdebatan ilmiah, namun sudah menjadi kesepakatan para ilmuwan bahwa kekurangan selenium pada awal kehamilan akan melahirkan anak yang memiliki risiko kretin (Djokomoeljanto (2002). Hal ini disebabkan oleh gagalnya T4 menjadi T3 akibat defisiensi selenium sehingga menyebabkan kelainan kongenital pada pertumbuhan hippocampus otak. Anak usia sekolah yang defisiensi iodium dan tinggal di daerah endemik GAKI menunjukkan kemampuan belajar yang rendah dengan skor IQ rendah sehingga angka putus sekolah tinggi. Hasil meta-analisis dari 18 studi yang dilakukan pada tahun 1982-1991 menunjukkan bahwa GAKI mengakibatkan penurunan IQ point rata-rata 13.5 point (Pennington & Schoen, 1996).

Saat ini kapsul minyak beriodium dosis tinggi dinilai tidak efektif karena iodium banyak dibuang melalui urin sesaat setelah dikonsumsi (Djokomoeljanto, 1993). Keadaan ini memperpendek masa proteksi sehingga tidak cukup untuk mengatasi kekurangan iodium. Selain itu pemberian iodium dosis tinggi juga berisiko menimbulkan kasus hiperthyroid atau tirotoksisitas (Delange et al., 2001). Penelitian epidemiologis lain (Elnagar, 1995) menemukan adanya kasus hiperthyroid dikalangan orang dewasa di Sudan akibat mengkonsumsi kapsul beriodium dosis tinggi (200 mg dan 800 mg). Kasus tirotoksisitas juga dilaporkan di Eropa, Tasmania, dan Zimbabwe akibat pemberian suplemen dan fortifikasi iodium dalam garam secara bersamaan (Dunn, 2002). Tirotoksisitas di Zimbabwe ditemukan berakhir dengan kematian (WHO, 1997).

Pemberian iodium dosis rendah setiap bulan lebih efektif karena ekskresi iodium melalui urin jumlahnya kecil. Diperkirakan kapsul yang diberikan setiap bulan dengan dosis rendah akan dapat mengatasi GAKI. Hal ini dibuktikan dengan pemberian kapsul beriodium dosis rendah pada anak sekolah dan orang dewasa yang tinggal di daerah endemik GAKI di Afrika. Hasilnya kapsul beriodium dosis rendah memiliki efikasi sama dengan dosis tinggi dan tidak menimbulkan efek samping (Benmiloud et al. 1994). Berdasarkan hal tersebut, pemberian dosis rendah disarankan oleh Executive Directur ICC/IDD sejak tahun 2004 (WHO, Consultative ICCIDD, 2005).


(25)

Efektifitas iodium akan meningkat bila diberikan bersamaan dengan zat gizi mikro lainnya, sehingga cepat menunjukkan hasil perbaikan status gizi (Sattarzadeh & Zlotkin, 1999). Hasil penelitian Saidin et al. (2002) pada anak sekolah di daerah endemik GAKI dengan pemberian garam beriodium ditambah vitamin A menunjukkan efektifitas iodium 2.25 kali sehingga kadar hormon thyroid (T4) menjadi normal. Penelitian Brown, et al. (2003) menunjukkan bahwa pemberian garam beriodium ditambah selenium organik dapat memperbaiki kadar eritrosit anak sekolah yang menderita anemia di daerah endemik GAKI.

Perumusan Masalah

Gejala gondok pada anak usia sekolah (9-12 tahun) khususnya kelompok menjelang growth spurt II masih mudah terjadi dan cepat bereaksi terhadap perubahan masukan iodium. Dengan demikian intervensi gizi pada anak usia sekolah dapat diharapkan memberi respon yang positif. Masalah GAKI sering diperburuk bersamaan dengan defisiensi zat gizi mikro lainnya seperti selenium dan zat besi (Arthur, 1993).

Sampai saat ini yang menjadi perhatian pemerintah dalam usaha penanganan masalah anak didik usia SD yang berindikasi Kretin (11,89 %) dan GAKI (12,23 %) masih dengan intervensi zat gizi tunggal yaitu dengan suplemen kapsul iodium, dan operasi pasar peredaran garam beriodium yang belum rutin. Tindakan pencegahan GAKI yang ideal adalah dengan melakukan intervensi zat gizi yang bersifat ‘multi-gizi mikro’ dapat berupa suplemen selenium dan iodium dosis rendah. Tujuannya untuk meningkatkan status gizi termasuk mencegah anemia yang sangat berpengaruh pada perkembangan otak dan pertumbuhan fisik masa growth spurt II.

Pemberian iodium dosis tinggi berisiko menimbulkan kasus hiperthyroid atau tirotoksisitas (Delange et al., 2001). Penelitian epidemiologi oleh Elnagar (1995) menemukan adanya kasus tirotoksisitas atau hiperthyroid pada orang dewasa di Sudan akibat mengkonsumsi kapsul beriodium dosis tinggi (200 mg dan 800 mg). Selanjutnya tirotoksisitas di Zimbabwe ditemukan berakhir dengan kematian (WHO, 1997).


(26)

Pemberian iodium dosis rendah setiap bulan bersamaan dengan pemberian vitamin A pada anak sekolah di Yugoslavia dinilai lebih efektif karena ekskresi iodium melalui urin jumlahnya kecil. Dilaporkan bahwa dosis rendah dapat menurunkan prevalensi GAKI sampai 45%. Karena vitamin A dapat menimbulkan efek teratogenik, maka WHO (1998) menganjurkan beta karoten sebagai prekursor retinol dalam tubuh supaya lebih aman. Sementara di Skotlandia hasil penelitian Brown et al. (2003) suplementasi iodium dosis rendah dan selenium organik memiliki efikasi sama dengan dosis tinggi dan tidak menimbulkan efek samping.

Sampai saat ini 15 tanda khas kretin masih belum teruji validitasnya secara klinis dan baru 8 tanda khas yang secara umum mudah dikenali oleh bidan desa dan petugas gizi (Kepala DKK Boyolali, 2005 komunikasi pribadi) sebagai tanda awal akan terjadinya kretin pada anak usia sekolah. Sejumlah 8 tanda tersebut belum satupun tanda yang telah diteliti apakah ada kaitannya dengan profil darah, status gizi, dan skor IQ anak. Ada dugaan bahwa lingkar dan tebal lidah berhubungan dengan skor IQ. Penebalan lidah pada anak usia sekolah di daerah endemik GAKI belum banyak diteliti sehingga masih sedikit referensi tentang pentingnya penelitian pertumbuhan dan perkembangan serta penebalan lidah anak sejak lahir.

Penelitian tentang spektrum ‘kretin endemik’ dan jenis anemia menurut indeks Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH), Mean Corpuscular Hemoglobin Consentration (MCHC) pada anak usia 9-12 tahun yang lahir di daerah endemik GAKI dengan memberikan intervensi ganda zat gizi mikro belum pernah dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu penelitian dengan pemberian suplemen selenium 45 µg/hari dan iodium 50 µg/hari selama 2 bulan pada anak sekolah dasar (SD) usia 9-12 tahun terhadap profil darah, status gizi dan skor IQ penting untuk dilakukan.

Berdasarkan rumusan masalah tersebut dan untuk mencegah timbulnya kretin baru maka dapat disusun pertanyaan penelitian (Research Question) : 1. Bagaimana perubahan profil darah pada kelompok yang diberi suplemen

iodium dosis rendah (50 µg/hari) dan suplemen selenium 45 μg/hari pada anak SD (9 - 12 tahun) selama 2 bulan di daerah endemik GAKI ?.


(27)

2. Bagaimana perubahan status gizi menggunakan antropometri (berat badan menurut umur, tinggi badan menurut umur) dan perubahan tebal lidah anak yang memiliki tanda khas kretin pada tiap kelompok perlakuan ?.

3. Bagaimana perubahan skor IQ anak SD usia 9-12 tahun pada masing-masing kelompok perlakuan ?.

4. Bagaimana perubahan spektrum kretin endemik dan jenis anemia pada anak yang lahir di daerah gondok endemik pada tiap kelompok perlakuan ?.

Tujuan Penelitian Tujuan Umum :

Tujuan umum penelitian ini untuk mempelajari dampak penberian suplemen iodium dosis 50 μg/hari dan selenium dosis 45 μg/hari pada anak sekolah dasar usia 9-12 tahun di daerah endemik GAKI selama 2 bulan terhadap peningkatan profil darah (kadar Se dan I dalam plasma, kadar Hb, Ht, Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH), Mean Corpuscular Hemoglobin consentration (MCHC), jumlah eritrosit dan leukosit) dan dampaknya setelah 2 bulan intervensi terhadap peningkatan status gizi, skor IQ dan status kesehatan (tanda khas kretin) anak pada masa growth spurt II. Tujuan Khusus :

1. Menganalisis perubahan profil darah pada kelompok yang diberi suplemen iodium dosis rendah (50 µg/hari) dan selenium dosis 45 μg/hari pada anak SD (9 - 12 tahun) selama 2 bulan di daerah endemik GAKI.

2. Menganalisis perubahan status gizi menggunakan antropometri (berat badan menurut umur, tinggi badan menurut umur) pada masing-masing kelompok perlakuan.

3. Menganalisis perubahan skor IQ anak SD usia 9-12 tahun pada masing-masing kelompok perlakuan.

4. Menganalisis spektrum kretin endemik dan jenis anemia pada anak yang lahir di daerah endemik GAKI pada masing-masing kelompok perlakuan.


(28)

Kegunaan Penelitian

Diharapkan penelitian ini dapat :

1. Memberikan bukti ilmiah pengaruh pemberian suplemen iodium dosis 50 mg /hari dan selenium 45 mg /hari selama 2 bulan terhadap profil darah, status gizi, status kesehatan khususnya tanda khas kretin pada anak SD usia 9-12 tahun sehingga dapat meningkatkan skor IQ anak di daerah endemik GAKI. 2. Memberikan alternatif model intervensi zat gizi mikro ganda dosis harian

untuk program penanggulangan GAKI dan jenis anemia tertentu pada anak SD usia 9-12 tahun sehingga mampu mencegah timbulnya kretin baru di daerah endemik GAKI.

3. Menjadi perintis penelitian diagnosis bentuk ringan dari kretin endemik yang terjadi pada anak usia sekolah dasar di daerah endemik GAKI.

Hipotesis

1. Kandungan selenium dan iodium plasma anak SD kelompok intervensi lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (plasebo).

2. Peningkatan kadar selenium dan iodium plasma darah anak berpengaruh terhadap peningkatan status gizi, status kesehatan, dan skor IQ anak dibandingkan kelompok kontrol.


(29)

TINJAUAN PUSTAKA

Iodium dan Masalah GAKI

Gangguan akibat kurang iodium (GAKI) merupakan salah satu masalah yang serius di Indonesia dan memiliki kaitan erat dengan gangguan perkembangan mental dan kecerdasan. Saat ini di Indonesia ada sekitar 42 juta penduduk tinggal didaerah yang lingkungannya kekurangan iodium. Dari 42 juta ada 10 juta penderita gondok, 750.000 – 900.000 menderita kretin endemik dan 3,5 juta menderita GAKI lainnya. Diperkirakan 8,2 juta penduduk tinggal di daerah endemik sedang dan 8,8 juta tinggal di daerah endemik berat (Depkes, 2000).

Pengaruh negatif GAKI terhadap kelangsungan hidup manusia dapat terjadi sejak masih dalam kandungan, setelah lahir sampai dewasa. GAKI yang terjadi pada ibu hamil mempunyai risiko terjadinya abortus, lahir mati, cacat bawaan yang sangat merugikan. Hal ini dapat berakibat negatif pada susunan saraf pusat, berpengaruh terhadap kecerdasan dan perkembangan sosial masyarakat dikemudian hari. Sedangkan gangguan yang terjadi setelah lahir merupakan lanjutan dari gangguan pada waktu dalam kandungan (Djokomoeljanto, 2001).

Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa satu dari tiga ibu hamil berisiko kekurangan iodium. Penduduk yang tinggal didaerah rawan GAKI kehilangan IQ sebesar 13,5 point lebih rendah dibandingkan dengan yang tinggal didaerah cukup iodium. Indonesia diperkirakan telah defisit tingkat kecerdasan sebesar 140-150 juta IQ point. Keadaan ini tentu amat berpengaruh pada upaya-upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (BPS-UNICEF, 1995).

Mengingat bahwa sesungguhnya pengaruh GAKI di masyarakat merupakan fenomena gunung es dan kretin endemik sebagai puncaknya dengan prevalensi berkisar 1-10 %, namun pengaruh yang jauh lebih besar lagi yaitu pengaruh yang tidak nampak pada populasi yang mengalami kerusakan otak serta hipothyroidisme serebral. Maka sesungguhnya pengaruh GAKI yang paling merugikan adalah perkembangan otak selama kehidupan fetal (janin 14 minggu) atau pengaruh fase intra uterin growth retadardation (IUGR) (ACC/SCN, 2001).


(30)

Regulasi Kelenjar Thyroid.

Aktivitas kelenjar thyroid pada leher diatur oleh hormon yang disekresi oleh dua kelenjar di otak yaitu kelenjar Pituitary dan Hypothalamus. Aktivitas kelenjar thyroid dikontrol melalui stimulasi TSH (thyroid stimulating hormon) disekresi oleh pituitary. TSH juga disebut thyrotropin, suatu protein dengan berat molekul 28.000 yaitu glycoprotein terdiri dari oligosakarida yang mengikat residu asporagin (beberapa gula residu yang mengandung sulfat). Thyroid mampu mengubah sensitivitasnya dengan adanya iodium dalam makanan. Dengan defisiensi iodium, sensitivitas TSH meningkat, mengakibatkan stimulasi kelenjar thyroid. Stimulasi ini membentuk peningkatan transpor iodida, peningkatan aktivitas thyroperoxidase dan pembesaran kelenjar thyroid (Bender, 2002).

Kelenjar pituitary berperan dalam pengaturan aktivitas thyroid. Tingginya T4 dalam darah akan menghambat sekresi TSH, sebaliknya kadar T4 yang rendah akan meningkatkan sekresi TSH. Hal ini bergantung pada konversi T4 ke T3 dengan pituitary yang sangat ditentukan cukup atau tidaknya kandungan selenium. Aktivitas pituitary dikontrol oleh thyrotropin releasing hormon (TRH) yang disintesis oleh hypothalamus. TRH adalah tripeptida dengan struktur pyroglutamat histidin – proline – NH2 (Brody, 1999).

Peningkatan hormon thyroid akan meningkatkan basal metabolic rate (BMR). Pengukuran BMR dapat digunakan untuk menilai status thyroid. Metoda ini untuk mendiagnosa hypothyroid atau hyperthyroidi tetapi tidak lazim digunakan karena tidak praktis. Peningkatan BMR telah dihubungkan dengan peningkatan bermacam-macam reaksi yang menggunakan ATP. Peningkatan penggunaan ATP disesuaikan dengan peningkatan aktivitas dari rantai respirasi dan dalam reduksi O2. Dua reaksi yang berhubungan erat dengan kenaikan BMR dan level tertinggi plasma hormon thyroid adalah Na,K-ATP-ase (pompa sodium) dan sintesis asam lemak. Na,K,ATP ase ada dalam membran pada semua sel tubuh. Peningkatan sintesis asam lemak dengan naiknya aktivitas thyroid dihubungkan dengan diversi asam lemak pada lintasan hati dari sintesis trigliserida menuju oksidasi.

Peningkatan aktivitas thyroid juga menyebabkan kenaikan sintesis asam lemak. Efek keseluruhan berupa gagalnya peningkatan oksidasi asam lemak dan


(31)

sintesis asam lemak yang mengakibatkan produksi panas berlebihan. Perubahan kadar hormon thyroid sering terjadi pada penyakit yang tidak brehubungan dengan status iodium. Penyakit ini dikenal dengan hyperthyroidism dan hypothyroidism, disebabkan kerusakan kelenjar thyroid, pituitary atau hypothalamus. Hyperthyroidism mengakibatkan penurunan berat badan, meskipun terjadi peningkatan asupan energi yang menghasilkan pelepasan asam lemak berlebihan dari jaringan adipose selama berpuasa. Hyperthyroidism dapat diatasi dengan obat-obat yang menghambat 5’ deiodinase seperti propylthiouracil yang mempunyai struktur yang sama dengan senyawa antithyroid dalam sayur kol (Stipanuk, 2000).

Pada hypothyroidism, kecenderungan metabolisme terjadi berlawanan yaitu, menurunkan BMR disertai penurunan suhu tubuh, dan perubahan berat badan. Hormon thyroid berperan utama dalam pertumbuhan normal fetus. Defesiensi hormon thyroid mengakibatkan efek buruk pada perkembangan otak. Perubahan kandungan hormon thyroid dalam tubuh mengakibatkan perubahan metabolisme dengan membentuk reseptor hormon thyroid.

Untuk melepaskan hormon thyroid dalam darah, iodothyroglobulin harus diresorbsi dalam bentuk butiran koloid oleh endocytosis kembali ke sel thyroid. Di dalam sel thyroid, iodothyroglobulin dihidrolisa oleh lysosomal protease, sehingga T4 dan T3 dilepaskan ke dalam darah. Di dalam darah T4 dan T3 berhubungan dengan transport protein dan didistribusikan ke sel-sel sasaran dalam jaringan peripheral. Tiga protein transport ini mengikat dan mengangkut T4 dan T3 dalam darah. Thyroid mengikat globulin dalam plasma, mempunyai kapasitas terkecil tetapi afinitas (daya tarik menarik) T4 dan T3 terbesar. Albumin dan transthyretin (prealbumin) juga mengangkut hormon thyroid.

Diiodotyrosin dan monoiodotyrosin tidak digunakan untuk sintesis hormon thyroid dalam sel thyroid yang diiodinasi, dan iodium dibuat tersedia untuk daur ulang pembentukan iodothyroglobulin baru. Beberapa jaringan seperti hati, ginjal, otak, pituitary dan adipose dapat mengiodinasi T4 untuk menghasilkan T3 dan Reseptor T3 (Gambar 1). T3 dalam darah disintesis di dalam hati dari T4. A5’ selenium dependent deiodinase menghasilkan T3 dan 5 deiodinase menghasilkan 5T3. Konversi T4 menjadi T3 gagal bila defisiensi selenium.


(32)

T3 5’deiodinase T4 5 deiodinase

Reseptor T3

Gambar 1 Konversi T4 menjadi T3 (Burk & Hill, 1993)

Efek ganda dari hormon thyroid dihasilkan dari reseptor inti dengan efek ekspresi gen. Reseptor-reseptor ini terlihat sama dalam semua jaringan, dan lebih suka mengikat T3 daripada T4. Walaupun mekanisme peran hormon thyroid belum jelas, efek biologi dalam responsnya untuk meningkatkan messenger RNA (mRNA) dan sintesis protein digerakkan oleh reseptor hormon thyroid. Sejumlah hipotesis tentang mekanisme ini telah dikemukakan meliputi modulasi NA+/ K+, ATPase, sistem transport, sensitivitas reseptor adrenergic dan neurotransmitters. Dampak hormon thyroid pada metabolisme diantaranya menstimulasi Basal Metabolisme Rate (BMR), konsumsi oksigen dan produksi panas, penting untuk perkembangan sistem saraf normal dan pertumbuhan linear. Secara langsung atau tidak langsung banyak sistem organ dipengaruhi oleh hormon thyroid.

Pelepasan hormon-hormon thyroid oleh kelenjar thyroid dikontrol dan dibebaskan dari hypothalamus pada kelenjar pituitary untuk menstimulasi thyroid stimulating hormon (TSH). TSH disekresi dari anterior pituitary dan meningkatkan aktivitas kelenjar thyroid untuk menghasilkan T4. Output TSH diatur oleh T4 melalui umpan balik negatif ke pituitary. Penurunan T4 dalam darah menggerakkan pelepasan TSH pituitary, menghasilkan hyperplasia thyroid, Tingginya T4 menghambat TSH dan pelepasan hormon thyrotropin.

Asupan iodium 100-150 μg/hari sudah memenuhi kecukupan gizi. Kandungan iodium urine sama dengan level asupan dan dapat digunakan untuk memperkirakan konsumsi iodium. Defisiensi iodium terjadi dengan asupan < 50μg /hari. Orang yang mengkonsumsi <50 μg/hari berisiko berkembang menjadi


(33)

goiter. Goiter hampir selalu disebabkan asupan iodium <10μg /hari. Goiter adalah pembesaran atau hypertrophy dari kelenjar thyroid. Grade goiter ada 3 yaitu : 1. Terjadi pembesaran dengan ukuran kecil dapat dideteksi dengan palpasi 2. Leher yang tebal

3. Pembengkakan kelenjar yang besar dan terlihat dari jarak jauh

Grade ketiga ini menekan trachea dan menghasilkan nafas pendek selama melakukan pekerjaan berat. Insiden tertinggi goiter ditemukan pada negara berkembang seperti Republik Cheko, Yugoslavia, India, Paraguay, Peru, Argentina, Pakistan, Afrika, Asia Tenggara dan New Guinea. Goiter mulai diberantas pada tahun 1950 melalui fortifikasi garam dengan iodium. Garam meja difortifikasi dengan 100 mg KI / kg NaCl. Susu dan roti difortifikasi dengan iodium. Iodium dalam susu awalnya berasal dari desinfektan yang digunakan dalam industri susu. Iodida dalam roti (1mg Iodium/kg roti) bermula dari pembuat oksidasi adonan oleh pabrik roti (SCN, 2004).

Komplikasi serius dari defesiensi iodium adalah kretin. Sebaran goiter pada masyarakat yang mengalami GAKI ada ± 2% populasi kretin. Kretin berdampak retardasi mental dan mempunyai karakteristik penampilan wajah dan lidah besar. Beberapa diantaranya bisu dan tuli, kerdil, displegia dan quadriplegia juga dapat terjadi. Kretin berasal dari defesiensi iodium maternal, yaitu diet yang berhubungan dengan intra uterin growth retardation (IUGR). Kerusakan mental dan fisik pada kretin tidak dapat pulih kembali. Kerusakan ini dapat dicegah dengan memberikan iodium pada ibu yang defisien pada awal kehamilan (Suitor & Crowley, 1984).

Goiter mudah didiagnosa dengan terjadinya pembengkakan di tenggorokan. Kretin susah didiagnosa karena muncul dengan berbagai cara yang berbeda. Kerusakan yang timbul menggambarkan pentingnya hormon thyroid untuk perkembangan janin. Defisiensi iodium hubungannya dengan goiter dan kretin dapat diatasi melalui program fortifikasi iodium pada garam dan suntikan minyak Iodium, maupun dengan kapsul iodium. Garam dapat difortifikasi dengan Iodida (KI) atau kalium iodat (KIO3). Iodat lebih stabil terhadap kelembaban dan sinar matahari dan digunakan sebagai suplemen di negara sedang berkembang. Iodium dalam minyak terikat secara kovalen dengan asam lemak dan dilepaskan


(34)

dengan katabolisme minyak. Suntikan minyak lebih diterima di daerah dimana makanan tidak diasinkan seperti di New Guinea. Efikasi minyak dinyatakan pada studi iodium terhadap anak sekolah yang defisiensi (Dunn et al.1995).

Ambang batas iodium dalam urine yang dipertimbangkan sebagai indikasi defisiensi iodium adalah 0.4 μmol iodium /L urine. Dosis single oral trigliserida mengandung 675 mg iodium menghasilkan konsentrasi iodium urine diatas ambang batas. Dampak defisiensi iodium terhadap berat thyroid dan plasma T4 digambarkan dengan percobaan tikus yang diberi diet normal (0.2 mg I /kg diet), diet rendah (0.1 mg I /kg diet) selama 4 bulan (Suitor & Crowley, 1984).

Tabel 1 Dampak Defisiensi Iodium pada Organ dan Hormon Tikus (Suitor & Crowley,1984).

Normal Defisiensi

Berat Kelenjar thyroid (mg) 13 23

Plasma T4 (ng / ml) 40 20

Aliran darah thyroid (ml/min per gr jaringan) 23 68 Thyroid stimulating hormon (ng / ml ) 2.4 2.9

Dampak dari GAKI pada Berbagai Tahapan Perkembangan

Dampak defisiensi iodium pada pertumbuhan dan perkembangan dinyatakan sebagai gangguan akibat kekurangan iodium. Dampak GAKI terlihat pada semua tahap pertumbuhan khususnya pada fetus, neonatus dan bayi, yaitu pada periode pertumbuhan cepat. Ketahanan dan perkembangan fetus peka terhadap defisiensi iodium. Perkembangan otak pada fetus dan neonatus dipengaruhi dengan peningkatan proporsi defisiensi iodium berat (Tabel 2). Hal ini berasal dari rendahnya thyroxine maternal pada fetus yang berhubungan dengan tingkat asupan iodium yang kurang dari 25% dibanding normal. Bila tingkat asupan kurang dari 50% dari normal disebut goitre (Stipanuk, 2000)

Telah banyak data yang menunjukkan bahwa anak yang goiter mempunyai kemampuan belajar lebih rendah dibanding anak tidak goiter. Semua dampak GAKI dapat dicegah bila defisiensi iodium diatasi sebelum kehamilan. Goiter telah digunakan selama beberapa tahun untuk memaparkan efek defisiensi iodium. Efek klinis dari asupan iodium berlebih (20 mg/hari) juga terdapat pada goiter endemik dan hipothyroidism. Penderita defisiensi iodium pada usia lanjut lebih


(35)

sensitif terhadap peningkatan asupan iodium karena persisten thyroid. Iodium menimbulkan hyperthyroidism telah dipaparkan pada banyak negara dengan latar belakang defisiensi iodium. Status iodium dapat diukur dengan determinasi dari eksresi iodium urine, dan pengukuran level hormon thyroid dan pituitary thyroid stimulating hormon (TSH) (Depkes, 2000).

Defisiensi iodium mengurangi simpanan iodium thyroid dan mengurangi produksi T4. Penurunan T4 dalam darah menimbulkan sekreasi peningkatan TSH yang meningkatkan aktivitas thyroid dengan akibat hyperplasia thyroid. Peningkatan mortality perinatal disebabkan defisiensi iodium telah ditemukan di Zaire dalam percobaan suntikan minyak beriodium dan suntikan kontrol yang diberi pada pertengahan kehamilan. Pada kelompok yang diberi perlakuan ternyata perinatal dan kematian bayi dengan kenaikan berat lahir. Berat lahir terendah secara umum dihubungkan dengan tingginya kelainan congenital dan risiko morbiditas pada anak (UNICEF, 2003).

Defisiensi iodium pada anak karakteristiknya berhubungan dengan goiter. Tingkatan goiter meningkat sejalan dengan umur, yang maksimum pada masa remaja. Prevalensi kurang iodium lebih banyak pada wanita daripada pria. Goiter pada anak sekolah 6- 12 tahun merupakan indikator defisiensi iodium pada masyarakat. Studi tentang anak sekolah yang tinggal di daerah defisiensi iodium pada sejumlah negara menunjukkan kerusakan kemampuan belajar dan IQ dibandingkan pada daerah non defisiensi iodium. Studi ini sulit untuk didesain karena sulitnya menentukan kelompok kontrol yang tepat (Gellispie et al. 2003).

Pentingnya fungsi thyroid pada neonatus berhubungan dengan fakta bahwa pada saat lahir otak bayi hanya 1/3 dari ukuran penuhnya dan tumbuh secara cepat sampai akhir tahun kedua. Hormon thyroid yang tergantung pada suplai iodium cukup penting untuk perkembangan otak normal. Hasil observasi neonatal di Zaire menemukan bahwa tingkat hypothyroidism kimiawi 10% akan mengakibatkan hypothyroidism pada bayi dan anak-anak dan jika defisiensi tidak diperbaiki akan mengakibatkan retardasi fisik dan mental. Observasi ini menunjukkan risiko besar kerusakan mental pada populasi defisiensi iodium berat (Hetzel et al. 1990).


(36)

Tahapan Perkembangan Dampak Fetus

Neonatus

Anak-anak dan Remaja

Orang Dewasa

Semua Umur

- Aborsi - Lahir Mati

- Anomali Congenital - Peningkatan Kematian

Perinatal

- Peningkatan Kematian Bayi - Cretinism Neurologi (defisiensi

mental, tuli, spastic diplegia) - Gangguan psikomotor - neonatal Goiter - Neonatal Hypothyroid - Goitre

- Juvenile hypothyroid - Kerusakan fungsi mental - Retardasi perkembangan fisik - Goitre dengan segala

komplikasinya - Hypothyroid

- Kerusakan fungsi mental - Hyperthyroid

- Rentan terhadap radiasi nuklir

Banyak penyebab yang merupakan faktor terjadinya penurunan kemampuan belajar dan IQ yang rendah sehingga mengacaukan interpretasi dari perbedaan antara daerah-daerah yang diteliti. Daerah defisiensi iodium sama dengan daerah yang mempunyai sekolah miskin, menderita banyak deprivasi sosial, status sosial ekonomi rendah dan miskin zat gizi lainnya. Beberapa studi menunjukkan bahwa defisiensi iodium dapat merusak kemampuan belajar bahkan bila dampak faktor lain seperti deprivasi sosial tidak diperhitungkan akan terjadi kerugian ekonomi dan sosial (UNICEF, 2000).

Menurut Widodo (2000) secara umum anak umur 10 - 12 tahun dapat dipastikan akan menjadi kretin bila memiliki ciri / tanda khas sebagai berikut : 1. Gerakan anak tidak terkoordinasi

2. Motivasi belajar kurang

3. Bila berjalan sering jatuh, terhuyung-huyung, langkah tidak teratur 4. Sering kejang


(37)

6. Sulit menangkap pembicaraan orang lain 7. Kurang/tidak dapat mendengar

8. Juling (starbismus)

9. Pendek dibanding seusianya 10. Kulit berbintik / berbercak 11. Ada benjolan di leher 12. Apatis, tidak bersemangat 13. Anaemia (pucat, lemah, malas)

14. Muka, tangan bengkak, lidah membesar 15. Mengalami gangguan pertumbuhan fisik

Upaya iodisasi garam, roti atau minyak telah menunjukkan pencegahan yang efektif terhadap goiter pada orang dewasa. Determinan utama otak dan pituitary T3 adalah serum T4. Hasil penelitian pada tikus yang kekurangan iodium ternyata memiliki serum T3 pada otak yang rendah. Hal ini berhubungan dengan penurunan serum T4, sehingga perlu dipertimbangkan untuk memperbaiki defisiensi iodium pada manusia. Penemuan ini menjelaskan bahwa fungsi otak pada manusia yang mempunyai serum T4 rendah di daerah endemik GAKI sangat dipengaruhi oleh selenium, suatu komponen enzim yang memfasilitasi konversi iodium (Kanarek et al. 1991)

Penilaian Status Iodium

Banyaknya populasi yang berisiko GAKI disebabkan hidup di lingkungan kurang iodium ditandai dengan tanah dimana iodium tercuci oleh es, air hujan atau lumpur. Pencucian ini banyak terjadi pada daerah pegunungan. Penilaian status iodida umumnya diarahkan pada populasi yang tinggal didaerah yang diduga defisiensi iodida. Penilaian didasarkan pada pengujian fisik dan kimia dari individu. Data yang dikumpulkan untuk penilaian ini meliputi :

- total populasi dihitung meliputi jumlah anak-anak dibawah 15 tahun

- insiden goiter yang dinyatakan dengan pengujian fisik (palpasi atau visible goiter) dan kretin dalam populasi


(38)

- penentuan serum T4 atau TSH dalam berbagai kelompok umur, khususnya neonatus dan ibu hamil memerlukan fungsi thyroid untuk perkembangan otak - tes kimia yang mengukur ekskresi iodida dalam urine berdasarkan kemampuan

iodida untuk mereduksi cerric ion (Ce4+) menjadi cerrous (Ce3+).

Pembagian tingkat keparahan (severity) telah diadopsi dari WHO, meskipun dengan pengamatan berbeda untuk menentukan severity. Secara umum, visible goiter rate (VGR) lebih mudah diverifikasi daripada palpasi. Observasi terbaru di Tanzania menunjukkan bahwa palpasi thyroid over estimasi terhadap ukuran kelenjar dibanding ultrasonografi, khususnya pada anak. Skala penilaian goiter rate, tidak esensial karena butuh waktu dan dana, dan sampel terbatas tidak cukup untuk menetapkan goiter rate (Glinoer & Delange, 2000).

Semua bayi di negara maju ditapis untuk menjamin kadar hormon thyroidnya cukup. Dalam program tapis tersebut darah neonatus diambil dan diteteskan pada kertas filter yang kemudian kering untuk dikirim ke laboratorium. Kadar serum T4 dan TSH atau keduanya diukur dengan teknik immunoassay. Monitoring hypothyroid neonatal juga telah dimulai pada beberapa daerah kurang iodium dinegara berkembang. Beberapa penelitian menyatakan pada populasi yang defisien iodium, kadar serum T4 terendah pada saat lahir dan rendah pada anak-anak daripada orang dewasa (Gellispie et al. 2003)

Kecukupan Iodium

Makin parah tingkat kekurangan iodium yang dialami makin banyak komplikasi yang ditimbulkannya. Karena sulit sekali memeriksa jumlah iodium yang dikonsumsi seseorang perhari maka sebagai penggantinya diperiksa ekskresi iodium dalam urine sehari karena dianggap dapat memberi gambaran masukan iodium orang tersebut. Besaran ini dinyatakan dalam jumlah mikrogram iodium per gram kreatinin urine, atau mikrogram iodium per desiliter. Untuk itu di Indonesia tiap lima tahun diadakan Widyakarya Nasional Pangan Gizi (WKNPG) tahun 2004 guna menyusun angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan untuk tiap orang menurut kelompok jenis kelamin dan umurnya (Tabel 3).


(39)

Tabel 3 Rekomendasi Asupan Iodium (μg / hari) WKNPG-VIII LIPI, 2004) Sebaran Umur dan

Keadaan

WKNPG_2004 IOM_2001 FAO/WHO_200 1

0 – 6 bulan 7 – 11 bulan 1 – 3 tahun 4 – 6 tahun 7 – 9 tahun

perempuan 10-12 tahun 13-15 tahun 16-18 tahun 19- 64 tahun > 64 tahun Hamil Menyusui 90 120 120 120 120 120 150 150 150 150 200 200 110 120 90 120 120 120 150 150 150 150 200 200 45 135 75 110 100 140 100 110 110 110 200 200

Banyaknya metoda suplemen iodium tergantung pada beratnya masalah GAKI pada populasi, grade iodium urine dan prevalensi goiter dan kretin. Dari segi kriteria berat – ringan GAKI, komplikasi terbesar adalah kretin endemik. Menurut Djokomoeljanto (2002) Kretin endemik ini mempunyai 3 sifat pokok : 1. secara epidemiologis selalu berhubungan dengan gondok endemik dan

defisiensi iodium berat;

2. secara klinis ditandai dengan defisiensi mental, bersama dengan :

- gejala neurologik yang mencolok; terdiri atas gangguan pendengaran dan berbicara, kelainan khas dalam cara berjalan dan sikap berdiri,

- hipothyroidi dan mencolok gangguan perkembangan pertumbuhan;

3. dengan upaya pencegahan yang baik, yaitu dengan jalan mengoreksi defisiensi iodium, dan zat gizi lainnya maka kelahiran bayi dengan kretin dapat dicegah.

Pengobatan penderita kretin dengan iodium tidak memperbaiki gangguan perkembangan fisik, mental maupun saraf, namun dapat memperbaiki hipothyroidi apabila hal itu bukan disebabkan atrofi kelenjar thyroid. Dengan demikian kretin neurologi pasti menetap, sedangkan perbaikan kretin miks-edematosa dalam hal hipothyroidinya, masih mungkin disembuhkan (Djokomoeljanto, 2002). Beberapa upaya penanggulangan GAKI telah dilakukan oleh Depkes (Tabel 4) namun hasilnya masih belum sebaik yang diharapkan.


(40)

Tabel 4 Upaya Penanggulangan GAKI oleh Depkes (Glinoer dan Delange, 2000) GAKI Ringan GAKI Sedang GAKI Berat Prevalensi

Goiter Iodium Urine Upaya

Penanggulangan

5 – 19,9%

50 – 99 mg/ l Eliminasi

dengan garam beriodium

20 – 29,9%, beberapa hypothyroidism 20 –49 mg/ l

• garam beriodium

• minyak beriodium

• oral dan suntik

≥ 30%, endemik kretin

< 20 mg/ l

• garam beriodium

• minyak beriodium

Pengalaman Djokomoeljanto (1974-2002) menunjukkan bahwa pada kasus kretin, sebagian besar terdapat defisiensi mental serta gangguan pendengaran, khususnya sensori neural dan bilateral. Pada kasus ini ditemukan 76% dengan kelainan neurologik, dan 29 % dengan kelainan tubuh pendek atau cebol (Tabel 5). Dimensi baru GAKI lebih diperkuat oleh hasil yang didapat akhir-akhir ini dari binatang percobaan. Pada binatang tersebut (domba) diberlakukan defisiensi iodium berat sebelum atau selama hamil, kemudian diperiksa efeknya terhadap perkembangan janin, khususnya perkembangan otak.

Penelitian pada domba yang kekurangan iodium menunjukkan kejadian lahir mati (still-birth) serta keguguran (abortus) meningkat. Pada akhir kehamilan, janin tampak kecil, terdapat gangguan pertumbuhan tengkorak serta adanya gangguan perkembangan skelet. Jelas terlihat adanya gangguan perkembangan otak – berat otak kurang, demikian pula jumlah selnya, seperti halnya dengan kadar DNA. Pada semua kasus kadar T4 fetus maupun ibu sangat rendah. Karena efek defisiensi iodium berat dapat diulang dengan hasil sama seperti membuat kombinasi perlakuan trioidektomi pada ibu hamil 6 minggu sebelum kehamilan, demikian pula dengan thyroidektomi fetus, maka data ini mendukung dugaan bahwa dampak kekurangan iodium pada perkembangan fetus disebabkan karena mengurangnya fungsi thyroid fetus maupun ibu.


(41)

Tabel 5 Simtomatologi kretin endemik, Sengi 1974 - 1999 (Djokomoeljanto, 2001)

A. Gangguan pendengaran - bisu tuli B. Retardasi mental

C. Gangguan neuromotor

- gangguan bicara

- cara jalan khas

- refleks meninggi

- mata juling

- berjalan terlambat

D. Hipothyroidi - cebol E. Gondok 93 % 12 % 95 % 76 % 37 % 46 % 29 % 2 % 27 % 29 % 29 % 70 %

Spektrum Kretin Endemik dan Kelainan Hipothyroid

Sudah menjadi kesepakatan internasional, bahwa istilah gondok endemik (dengan sebab yang multi faktorial) berbeda dengan GAKI (dengan sebab defisiensi iodium). Menurut Djokomoeljanto (2002) dari tahun ke tahun spektrum klinik yang dikelompokkan dalam GAKI merupakan satu evolusi perkembangan IPTEK. Pada Gambar 2 dapat dilihat gambaran spektrum GAKI yang diketahui sejak tahun 1983 hingga tahun 1993 dimulai dari aspek demografis (angka kematian) aspek klinis yang mudah dilihat (gondok, kretin endemik, hipothyroidisme) dan aspek lain yang memerlukan perhatian dan pemeriksaan khusus (gangguan perkembangan saraf dan mental). Dari aspek demografis yang terjadi di Zaire, diketahui :

• berat badan neonatus berhubungan dengan terkoreksinya defisiensi iodium pada pertengahan kehamilan

• pada berat badan sama maka Infant Mortality Rate (IMR) anak dari ibu defisiensi iodium belum dikoreksi akan lebih tinggi

• IMR menurun dengan pemberian iodium pada ibu dengan defisiensi berat. Selanjutnya dari aspek klinis yang mudah diketahui seperti :

a. Gondok endemik

Penyebab utama gondok memang defisiensi iodium tetapi juga didukung dengan zat goitrogen, kelebihan iodium, dan status gizi yang kurang baik. Namun tidak terlihatnya gondok bukan berarti bebas GAKI.


(42)

b. Kretin endemik

Pada kretin endemik ada dua komponen yaitu hipothyroidi dan kerusakan susunan saraf pusat (mental retardasi, tuli perseptif, retardasi neuromotor dan kerusakan batang otak. Berdasarkan kenyataan bahwa ternyata ‘hipothyroidisme’ juga terlihat pada orang normal maka di Indonesia difinisi seseorang termasuk kretin endemik bila dilahirkan di daerah gondok endemik dan menunjukkan dua atau tiga gejala dari : retardasi mental; tuli perseptif (sensorineural) nada tinggi; gangguan neuro-muskuler). Ia dapat disertai atau tidak disertai Hipothyroidisme. Sedangkan di Zaire tipe kretin miksudematosa merupakan predominan sehingga dihipotesiskan bahwa defisiensi selenium (Se) yang kebetulan prevalen akan melindungi otak fetus (deiodenase II bukan selenium enzim) dan bukan perifer (deiodenase I adalah selenium enzim). c. Hipothyroidisme

Hipothyroidisme terlihat jelas pada kretin tipe miksudematosa tetapi juga ditemukan pada populasi normal, sehingga hipothyroidisme dapat mengenai siapa saja asal ia kekurangan iodium berat. Data yang dikumpulkan Hartono (1999) menunjukkan bahwa meskipun kadar TSH ibu sedikit diatas 5 uU/ml namun sebagai ‘transien hipothyroidisme’ yang berdampak buruk terhadap anaknya.

d. Kretin Sub-klinik

Istilah ini diperkenalkan dari Cina yang melihat gejala anak sangat bodoh tetapi tidak menunjukkan gejala kretin klasik. Kemudian berdasarkan IQ anak sekolah dibagi menjadi : amat berat (IQ = 0-20); berat (IQ = 20-35); sedang (IQ = 35-50) dan gejala kretin sub-klinik ringan (IQ = 50-75) dan mereka menunjukkan perbaikan setelah diberi iodium. Namun pada kretin sub-klinik ternyata juga menunjukkan gangguan ringan pada perkembangan psikomotor dan pendengaran. Data epidemiologi dari Spanyol dan Indonesia menyebutkan bahwa meskipun defisiensi iodium ringan tetap akan mempengaruhi perkembangan neuropsikologis populasi. Jadi kretin sub-klinik di Cina sama dengan kretin endemik tipe neurologis (Djokomoeljanto, 2002).


(43)

e. Gangguan Perkembangan Saraf

Hasil diagnosis gejala kretin endemik klasik memiliki gangguan perkembangan saraf yang menyebabkan kelainan cara berjalan, sikap berdiri, hingga badan menjorok ke depan hampir menyerupai sindrom Parkinson. Pada anak diawali dengan kesulitan mengangkat kepala sehingga kepala seperti lunglai. Selanjutnya Gambar 2 memperlihatkan spektrum endemik kretin dan hipothyroid.

Spektrum GAKI terhadap Gangguan Perkembangan Saraf dan Mental

Gangguan Perkembangan Saraf Mixedematous

Kongenital Hipothyroid

Cerebral Cortex Myelinasi Striatum Perkembangan Sistem Syaraf Pusat Serabut Otak Cerebellum Corpus Collasum Hippocampus Mata

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Lahir-5 tahun Masa kehamilan 9 bulan

Gambar 2 Spektrum Kretin Endemik dan Kongenital Hipothyroid

Program penanggulangan GAKI secara nasional telah berjalan sejak tahun 1978, dimulai dengan iodisasi garam dilanjutkan dengan suntikan lipiodol yang akhirnya diganti dengan kapsul minyak beriodium. Dampak penanggulangan GAKI Nasional diketahui dengan membandingkan hasil pemetaan tahun 1982 dibanding dengan pemetaan tahun 1998. Terdapat penurunan yang sangat tajam dari 37 % menjadi 9,8 % (Depkes, 2003). Selain itu, target yang harus dicapai dalam program penanggulangan GAKI telah dicanangkan yaitu Indonesia bebas kretin baru tahun 2000. Kini kita sudah berada di tahun 2006 apakah Indonesia telah bebas kretin baru? Kita masih

Masa Ibu Hamil

Masa Usia Anak

T4


(44)

belum mampu menjawab dengan pasti karena tidak ada alat, indikator, metode yang dapat digunakan oleh petugas pelaksana pelayanan kesehatan di daerah endemik untuk menilai ada / tidak kretin baru.

Menurut Widodo (2000) wanita usia subur (WUS) adalah salah satu kelompok umur berisiko tinggi menderita GAKI. Dampak yang ditimbulkan jika WUS menderita kekurangan iodium dapat terbawa jika hamil dan menghambat pertumbuhan bayi yang dikandung. Pada tahun 1994 saat pengambilan data dasar penelitian dilakukan pemeriksaan TSH. Hasilnya, sebanyak 23,8 % (190 orang) dari 798 orang yang mempunyai TSH > 10 microunit/ml. Dan 70 % (559 orang) yang belum menerima kapsul iodium sejak lebih dari setahun yang lalu. Ditemukan adanya indikasi Anak-anak tersangka kretin baru. Selain 254 anak-anak usia 6-20 tahun yang dilaporkan tersangka kretin tersebut, sebenarnya setiap tahun selalu muncul penderita-penderita baru yang memiliki gejala kretin. Mereka umumnya mempunyai kelainan fisik dan mental yang nampak nyata.

Untuk melihat tanda-tanda klinis yang nampak pada penderita digunakan indeks khusus tanda-tanda klinis penderita hipothyroid, seperti digunakan pada Index Quibex untuk bayi neonatal. Tanda-tanda yang dihimpun dari berbagai literatur untuk mendeteksi adanya hambatan tumbuh kembang / tersangka kretin mulai dari neonatal hingga anak usia sekolah. Himpunan tanda-tanda klinis tersebut bersifat terbuka artinya boleh ditambahkan bila daftar tidak ada. Selanjutnya gold standard adalah hasil pemeriksaan TSH, T3, T4 atau mungkin pemeriksaan kematangan tulang. Hasil pemeriksaan tulang dan darah di rumah sakit Fakultas Kedokteran UNDIP Semarang dan UGM Yogyakarta terhadap lima anak yang baru terdaftar diduga kretin dapat dilihat pada Tabel 6. Tiga anak diduga menderita kretin berkaitan dengan GAKI, namun masih harus dipastikan dengan pemeriksaan laboratorium TSH, T3, T4 dan jika perlu Bone maturation. Selanjutnya kurang jelas ada keterkaitan dengan GAKI atau tidak.


(45)

Tabel 6 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Anak Tersangka Kretin (Widodo, 2000)

No Nama TSH

(Ref 0,32 – 5,0) u/ml

T4 (45 – 120) ng/ml

1. M. Efendi 8,9 110,7

2. Rahmawati 1,1 116,4

3. Reza 0,41 102,6

4. Nurohman 2,10 108,5

5. Rohmat 0,47 122,3

Menurut hasil pemeriksaan laboratorium, dari lima anak yang sudah dapat diambil darahnya hanya satu yang mengarah kepada tanda hiperthyrotropenemia. Apakah kondisi kasus ini sedang menuju ke arah perbaikan? Kemungkinan itu ada karena kasus ini pernah dirujuk ke RSUP Sarjito Yogyakarta dan tiga kali ditangani melalui JPS namun tidak berlanjut karena kekurangan biaya transport. Selain itu juga ditemukan anak dengan kondisi yang sangat lemah, berat badan tidak sesuai dengan umurnya (6,7 kg pada usia 2 tahun). Hormon T4 normal, namun kadar TSH lebih tinggi dari batas normal. Hal ini dikarenakan sedikitnya asupan iodium, sehingga untuk memenuhi kecukupan tiroksin diperlukan pemacu (TSH) dalam jumlah yang melebihi normal. Kondisi ini bila berlarut akan menyebabkan terjadinya hipothyroid dan jika terus berlanjut akan menjadi kretin.

Sampai saat ini berdasarkan pemetakan GAKI di Propinsi Jawa Tengah yang dilakukan oleh Tim GAKI Fakultas Kedokteran-UNDIP dan Kanwil Depkes Jateng Tahun 1996 masih ditemukan TGR pada anak perempuan usia Sekolah Dasar (SD) sebanyak 4,5 % dan VGR 0,7 %. Apabila mengikuti kriteria daerah endemik dan non endemik berdasarkan prevalensi TGR pada anak perempuan usia SD yang digunakan WHO (1994), maka daerah Kabupaten Boyolali termasuk daerah endemik ringan. Ada 89 Desa IDT yang tersebar di 16 Kecamatan dalam wilayah Kabupaten Boyolali yang di antaranya merupakan endemik GAKI (Hadisaputro, 1996).

Hilangnya zat gizi terutama zat gizi mikro pada anak usia sekolah umumnya melalui sel dari kulit dan permukaan dalam tubuh (seperti: usus, tractus urinarius, saluran napas) sebanyak 14 ug/hari. Disamping kekurangan iodium, anemia juga merupakan bagian tanda kretin pada anak SD sehingga anak menjadi pucat, lemah dan lesu yang akhirnya motivasi belajar menurun. Keadaan anak


(46)

yang ditandai dengan penurunan jumlah sel darah merah yang disebabkan oleh rendahnya kadar besi dan zat gizi mikro lainnya seperti selenium dalam darah akan menjadikan salah satu risiko tinggi anemia pada anak usia sekolah sehingga mengganggu pertumbuhan pada masa cepat atau Growth sprout (Frey, 2002).

Defisiensi zat gizi mikro essesnsial seperti iodium, besi, zinc, dan selenium biasanya merupakan hasil akhir dari keseimbangan zat gizi mikro tersebut yang negatif dalam jangka waktu lama. Apabila kadar zat gizi mikro total mulai menurun, terjadi deplesi pada berbagai lien, dan sumsum tulang. Setelah cadangan komponen zat gizi mikro habis terjadi penurunan kandungan zat gizi mikro dalam plasma dan suplai zat gizi mikro pada sumsum tulang maupun otak dan sistem syaraf ssehingga tidak mencukupi untuk regenerasi sel yang normal. Selanjutnya jumlah protoporphyrin eritrosit meningkat, mulai terjadi produksi eritrosit mikrositik dan selanjutnya kadar Hb darah menurun (Carley, 2003). Dampak peningkatan status iodium terhadap mental dan psikomotor anak sekolah (7 – 11 tahun) dilaporkan oleh Van den Briel, dan West (2000) yang menunjukkan bahwa intervensi garam beriodium selama 1 tahun dapat meningkatkan performance mental dan psikomotor pada kelompok intervensi sedangkan kelompok kontrol tidak ada perubahan. Sementara itu hasil penelitian tentang evaluasi efektivitas iodisasi garam, dan elevasi konsentrasi iodium hubungannya dengan status goiter anak sekolah di daerah endemik Goiter dilaporkan oleh Jooste dan Weight (2000) bahwa iodisasi garam sebenarnya telah menghilangkan defisiensi iodium selama satu tahun, tetapi goiter rate tidak menurun. Pengukuran goiter dengan palpasi tidak tepat untuk evaluasi jangka panjang program iodisasi.

UNICEF (1997) mengungkapkan bahwa status gizi dan kesehatan anak Indonesia masih belum sebaik negara ASEAN lainnya, sehingga dikhawatirkan akan menjadi beban negara dalam memperoleh sumberdaya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu pemberian obat cacing dalam program PMT-AS sangat membantu pemulihan kasus-kasus gizi kurang. Namun sampai saat ini anak SD masih belum semuanya mendapatkan program pemberian obat cacing dan makanan tambahan.


(47)

Investigasi variabel biologis (Serum Zn, retinal, Thyrotropin, Fe) yang berkontribusi terhadap retardasi pertumbuhan linear anak pra sekolah telah diteleliti oleh Elnour dan Hambraeus (2000) dengan hasil variabel biologis berkontribusi positif terhadap retardasi pertumbuhan linear anak pra sekolah. Artinya semakin rendah variable biologis maka pertumbuhan anak makin terhambat. Selanjutnya ketidakmampuan belajar dan pencapaian motivasi yang rendah sebagai akibat defisiensi iodium dalam jangka waktu lama telah diteliti oleh Tiwari dan Godbole et al. (1996) dengan hasil anak-anak yang defisiensi iodium berat (severe) mempunyai kemampuan belajar dan pencapaian motivasi yang rendah dibandingkan dengan anak yang defisiensi iodiumnya sedang (mild).

Selanjutnya keragaan konsumsi garam beriodium pada anak usia SD di daerah endemik GAKI, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah juga ditunjukkan oleh Hanim dan Purwoko (2001) bahwa ada lebih 19 merek dagang garam beriodium yang beredar di pasar Kecamatan Selo tetapi yang dikonsumsi oleh keluarga ditemukan 11 merek dagang garam dengan kandungan iodium rata-rata 30-50 ppm. Setelah semua garam yang beredar di warung dan pasar di desa Selo sebagai daerah endemik GAKI Kab. Boyolali di analisis ternyata Selo belum merupakan desa bergaram baik.

Penelitian penetapan kehilangan iodium dilakukan dengan cara menambahkan larutan kalium iodat berlabel radioisotop (mengeluarkan sinar gamma) ke dalam campuran cabe dan garam di dalam tabung khusus untuk radioisotop. Setelah dicampur, iodium radioisotop dibaca dengan ‘gamma counter’ lalu dibandingkan dengan hasil pembacaan iodium radioisotop standar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa iodium sisa yang masih terdeteksi sekitar 90-99 %, walaupun komposisi jumlah iodium dan cabe bervariasi. Bila selain bumbu cabe ditambahkan cuka maka sisa iodium terdeteksi sekitar 77-78 %. Bila volume iodium radioisotop ditingkatkan 2,5 kali lipat meskipun ditambahkan cabe dan cuka, maka iodium sisa yang terdeteksi 98-99 % (Purawisastra et al. 2002). Selenium dan GAKI

Hasil penelitian Rimbawan et al. (2000) tentang keterkaitan antara defisiensi selenium dan defisiensi iodium dalam menentukan masalah GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium) dan upaya penanggulangannya melalui


(48)

fortifikasi ganda menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara defisiensi iodium dengan selenium di daerah endemik GAKI di Jawa Timur. Sementara hasil penelitian Adriani et al. (2002) tentang identifikasi Gondok di daerah pantai telah menunjukkan bahwa ibu hamil di daerah pantai memiliki kandungan selenium dalam batas marginal (rata-rata 0.1 μg/ml) dan bila hal ini dibiarkan akan menimbulkan masalah kretin di daerah pantai Tuban Jawa Timur.

Hartono dan Djokomoeljanto (2002) telah melaporkan hasil penelitian tentang perkembangan sistem saraf pada anak di daerah endemik GAKI, Ngantang, Jawa Timur, Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa kadar TSH ibu hamil yang > 5 μU/ml akan memberikan dampak negatif pada perkembangan anak yang dilahirkannya (yaitu cerebral hypothyroidism). Sementara hasil penelitian Brown et al. (2003) menunjukkan ada pengaruh positif terhadap perbaikan profil darah orang sehat yang diberi suplemen Se organik (Se methionine : 50 μg/hari ) dan Se inorganik (Na2SeO3 : 50 μg/hari) selama 2 bulan sedangkan kelompok plasebo tidak. Adapun rata-rata peningkatan eritrosit sekitar 0.034 μg/ml (dengan Na2SeO3 : 50 μg/hari) dan 0.076 μg/ml (dengan Se methionine : 50 μg/hari) disamping itu juga terjadi peningkatan aktivitas ekstraseluler GPx dan sitosol GPx (cytosolic glutation peroxidase).

Manifestasi dari Gangguan Akibat Kekurangan Iodium tingkat berat adalah kretin. Berdasarkan hasil survey nasional GAKI (1998) diperkirakan masih terdapat 9000 bayi lahir kretin per tahun di Indonesia. Meskipun angka ini relatif kecil namun penderita kretin memberikan dampat yang besar bagi kualitas SDM. Penderita membebani keluarga dan masyarakat seumur hidupnya. Berbagai faktor diduga sebagai penyebab terjadinya kretin. Selain kekurangan iodium, kekurangan zat gizi mikro lain dan faktor genetik diperkirakan sebagai penyebab terjadinya kelainan tumbuh kembang pada anak. Sampai saat ini, penanganan masalah kretin belum dilakukan secara intensif mulai dari promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif (Depkes, 2000). Namun perkembangan upaya penanggulangan masalah GAKI di negara berkembang dari laporan ACC/SCN (2001) menyebutkan bahwa suplemen yang memiliki biaya tinggi mulai dihentikan kecuali untuk penanganan GAKI di daerah endemik termasuk wilayah


(1)

Lampiran 4.

Jenis Menu Makanan Harian Anak di Derah Endemik GAKI Ukuran Rumah Tangga (URT)

Waktu Jenis Hidangan 2000 kilokalori 1700

kilokalori

1400 kilokalori Nasi 2 sendok nasi 2 sendok

nasi

1 sendok nasi Tempe/Tahu/Telur ayam

bumbu semur

1 potong 1 potong ½ potong Sayur Tumpang tempe

bayam + tauge

½ piring ½ piring ½ piring Pagi

Teh manis 1 gelas 1 gelas 1 gelas

10.00 Bubur kacang hijau 1 gelas 1 gelas ½ gelas Nasi 3 sendok nasi 2 sendok

nasi

1½ sendok nasi Ayam goring (sayap) 1 potong 1 potong 1 potong Tempe /tahu bacem 2 potong 1 potong 1 potong Lalap (tomat, timun,

kobis)

½ mangkok ½ mangkok ½ mangkok Sayur asem

kobis+melinjo

1 sn sayur 1 sn sayur 1 sn sayur Sambal terasi 1 sendok makan 1 sendok teh 1 sendok

teh Siang

Nenas /papaya/pisang 1 potong 1 potong 1 potong 16.00 Buah-buahan dirujak 1 piring ½ piring ½ piring

Nasi sayur kobis /Mie goreng

3 sendok makan 2 sendok makan

1½ sendok makan Telur dadar 1 potong ½ potong ½ potong Tahu / tempe goreng 1 potong 1 potong 1 potong Sayur bayam + mie

sedap/indomie

1 sn sayur 1 sn sayur 1 sn sayur Malam

Jagung manis rebus 1 potong 1 potong 1 potong Keterangan : untuk URT nasi digunakan sendok nasi (centong), bukan sendok makan


(2)

Lampiran 5.

Nilai Zat Gizi Menurut Jenis Menu Makanan Harian Anak di Daerah Endemik GAKI

Zat gizi Nasi Pecel tahu

Nasi Tumpang

Nasi bumbu pecel/tumpang

Nasi/Mi e goreng

Karak / kerupuk Berat /porsi 150 g 109 g 83 g 94 g 1 pt: 7 g Energi (Kal) 190.7 160.3 83 166.2 15.7

Protein (g) 7.2 3.9 3.4 4.4 0.4

Karbohidrat (g) 31 30.3 28.3 24.5 1.6

Lemak (g) 4.6 2.7 2.6 5.6 1

Vitamin A (ug) 39.3 39.3 - - -

Vitamin C (mg) 3.7 3.7 - - -

Fe (mg) 3 0.9 0.5 0.5 -

Zn (mg) 0.9 0.6 0.5 0.4 -

Iodium (ug) 0.2 - 0.3 0.2 -

Selenium (ug) 9.5 9.5 9.5 9.5 -

Lampiran 6.

Rata-rata Nilai Zat Gizi Menurut Sumbangan Makanan Jajanan Anak di Daerah Endemik GAKI

Zat gizi Rata-rata Intake / Jenis

kelamin

AKG Sumbangan (%) makjan di rumah

Sumbangan (%) makjan di

SD Energi (Kal) L= 1700-2000

P= 1400-1800

2000 0.97 – 8.35 3.61 – 18.77 Karbohidrat L= 180 – 220

P= 160 – 180

1000 9.17 – 13.72 0.27 – 22.8 Protein (g) L= 35 - 45

P= 35 - 45

40 4.0 – 6.89 4.9 – 17.3 Lemak (%) L=12.0 – 19.25

P=8.75 – 13.25

20 8.75 – 19.25 42.5 - 50 Fe (mg) L=13.0-29.0

P=11.5-14.5

15 4.0 – 13.0 16.0 – 29 Zn (mg) L=5.46 – 6.11

P=4.50 – 6.62

7 - 8 1.78 – 4.46 4.5 – 6.1 Iodium (ug) L=10.6 – 11.57

P=11.2 – 11.87

120 2.06 – 9.98 2.50 – 7.36 Selenium (ug) L=12.95 – 13.3

P=12.75 – 13.4


(3)

Lampiran 7.

Daftar Bahan Pangan Goitrogenik (Chapman, 1982)

No Nama Bahan

Pangan

Kelompok Famili Nama Latin Zat Goitrogenik

1 Singkong Eupharbiaceae Manihot sp Sianida 2 Gaplek Eupharbiaceae Manihot sp Sianida

3 Gadung Dioscoreaceae Dioscore Sianida

4 Daun singkong Eupharbiaceae Manihot sp Sianida 5 Kool dan Sawi Crucifera Cabbage &

Brascia

Sianida

6 Pete cina/ Lamtoro Leguminoceae Leucaena Isothiosianat 7 Daun pepaya Carica Carica Papaya Sianida 8 Rebung Gramineae Bambosa Bamboo Sianida 9 Daun Ketela Cenvolvulaceae Ipomea Batatas Sianida 10 Kecipir Leguminoceae Psophocarpus sp Sianida 11 Terung Solanaceae Solanum sp Sianida

12 Petai Leguminoceae Parkia Belum

Diketahui 13 Jengkol Leguminoceae Pithecolobium Belum

Diketahui 14 Bawang Allium Allium sp Disulf.Alipatik 15 Asam Leguminoceae Tamarindus Indica Zat Asam 16 Jeruk Nipis Rutaceae Citrus Aurintfolia Zat Asam 17 Belimbing Wuluh Averrhoaceae Averhoa Bilimbi Asam


(4)

Lampiran 8

Tests of Normalityb

,233 47 ,000 ,802 47 ,000

,199 52 ,000 ,876 52 ,000

kategori IQ skor (Pre defisiensi Se+I amat berat

defisiensi Se+I berat group intervens

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Lilliefors Significance Correction a.

group intervensi is constant when kategori IQ skor (Pre) = defisiensi Se+I sedang. It has been om b.

Test of Homogeneity of Variancea

7,350 1 97 ,008

4,369 1 97 ,039

4,369 1 89,426 ,039

7,017 1 97 ,009

Based on Mean Based on Median Based on Median and with adjusted df

Based on trimmed mean group intervensi

Levene

Statistic df1 df2 Sig.

group intervensi is constant when kategori IQ skor (Pre) = defisiensi Se+I sedang. It has been omitted.


(5)

Lampiran 9.

Jenis intervensi suplemen iodium di berbagai Negara (ACC/SCN, 2001) Jenis

Intervensi

Tempat Dosis/ Perlakuan

Frekuen si

Periode Intervensi

Target Dampak / hasil

Suplemen iodium melalui oral

Cote d I'voere

- - 30 minggu anak Prevalensi gondok berkurang 64%

(kekurangan besi), 12% (besi cukup) - Uttar

Pradesh India

- - - Anak

usia 9-15 thun Adanya perbedaan kemampuan belajar anak yang defisiensi iodium berat dengan sedang Suplemen iodium

PRC 480 mg iodium dlm 1 mL poppy seed oil

- 12 bulan dan 18 bln

Anak sekolah

18% turun jadi 5% (12 bln anak diberi serum iodium dan minyak iodium), 18% jadi 9% (18 bln anak konsumsi garam beriodium dari pasar) Fortifikasi iodium pd biskuit Afrika Selatan

60 μgr iodium/hari

43X 43 minggu Anak sekolah 6-11 th

Prevalensi

konsentrasi iodium turun dari 97% jadi 5 %

Suplemen iodium

Bolivia 475 mg minyak beriodium

- 22 bulan Anak sklh 5-12 th

Tidak ada pengaruh pemberian

suplemen

dibanding kontrol Suplemen

Iodium

Columbia - - 22 bulan Anak sekolah Adanya perbaikan IQ Suntikan minyak beriodium

Equador - - 2 tahun anak prp

6-10 th

Tes IQ lebih baik

Suplemen iodium

Malawi - - - 6-8

tahun

Tidak ada efek perkembangan mental karena 25% partisipan keluar


(6)