Simptom : Hepatosplenomegali + Anemia • Enzimatopi.
3 Pengaruh dari luar sel a Toksis hemolisis
b Hemolisis – Usemik – Sindrom c Mekanis hemolitik
→ pada kelainan klep jantung d Imun hemolitis
e Infeksi.
4. Leukemia
Penyakit sel darah putih leukosit yang mengalami pembelahan secara berulang-ulang. Penyakit ini semacam kanker yang menyerang sel-sel darah
putih. Akibatnya fungsi sel darah putih terganggu, bahkan sel-sel darah merah dapat terdesak karena pertumbuhan sel darah putih yang berlebihan sehingga
sel darah merah menurun Underwood, 2002. Pada anak yang menderita gangguan akibat kurang iodium GAKI
biasanya dibarengi dengan kekurangan zat gizi mikro lain seperti zat besi, sehingga anak yang tinggal di daerah endemik GAKI juga akan menderita
anemia. Namun karena daerah endemik GAKI umumnya di daerah yang tinggi sehingga faktor VO
2
max juga tinggi maka kadar haemoglobin Hb darah anak di daerah tersebut juga tinggi. Hasil penelitian di Skotlandia menunjukkan
bahwa hasil suplemen selenium organik dan inorganik selama 28 hari mampu memperbaiki profil darah eritrosit dan leukosit penduduk yang menderita
anemia di daerah endemik GAKI Brown et al. 2003. Menurut Small 2004 proses terjadinya defisiensi besi merupakan dasar tahapan :
a. defisiensi besi prelaten
Hilangnya besi melebihi asupan besi, sehingga terjadi keseimbangan besi negatif dan penurunan cadangan besi. Saat cadangan besi menurun terjadi
kompensasi dengan peningkatan absorbsi besi dari makanan. Deteksi keadaan ini dilakukan pengukuran feritin serum.
b. defisiensi besi laten
Keadaan ini terjadi bila cadangan besi terkuras habis tetapi kadar hemoglobin darah masih lebih tinggi dari batas bawah nilai normal. Pada tahap ini terjadi
abnormallitas biokimia pada metabolisme besi yang biasanya bisa dideteksi, terutama penurunan satu rasi transferin. Peningkatan jumlah Free Erytrocite
Protophorphyrin FEP tampak pada tahap pertengahan dan akhir dari
defisiensi besi laten. Parameter yang lain yaitu peningkatan Total Iron- Binding Capacity
TIBC dan Mean Corpuscular Volume MCV biasanya dalam batas normal.
c. anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi besi terjadi bila konsentrasi hemoglobin menurun sampai dibawah nilai normal.
Dikatakan oleh Frewin, et al. 1997 bahwa tahapan terjadinya defisiensi besi pada anak di daerah endemik GAKI umumnya seiring dengan defisiensizat
gizimikro lainnya. Profil darah anak di daerah endemik GAKI menjadi akurat bila dinilai dengan menggunakan pemeriksaan hematologi dan biokimia.
Biasanya anak yang tinggal di daerah endemik GAKI memiliki konsentrasi Hb normal tetapi banyak ditemukan anak yang menderita anemia mikrositik hiper-
kromik sel darah merah dengan ukuran lebih kecil dan mengandung banyak Hb.
Selenium, Fungsi dan Sumber
Selenium Se menjadi perhatian para ilmuwan sejak tahun 1930-an, pada saat terjadi keracunan pada ternak akibat mengkonsumsi tanaman yang tumbuh di
wilayah yang kandungan selenium tanahnya tinggi. Kegunaan selenium sebagai zat gizi pada manusia pertama kali ditemukan pada tahun 1979 oleh ilmuwan
China yang melaporkan bahwa suplemen selenium dapat mencegah perkembangan penyakit Keshan yaitu suatu penyakit Cardiomyopathy pada anak-
anak yang tinggal di wilayah yang memiliki kandungan selenium rendah. Meskipun demikian, pada penyakit ini diduga ada komponen-komponen lain juga
terlibat di dalamnya, seperti infeksi virus, rendahnya asupan vitamin E, protein, metionin dan mineral mikro lainnya WHO, 1996.
Selenium merupakan salah satu mikronutrien esensial dalam jumlah yang sedikit, dan dapat menjadi racun dalam jumlah yang banyak. Selenium berasal
dari bahasa Yunani selena yang berarti bulan. Selenium bukan logam, terdapat dalam beberapa bagian proses oksidasi seperti Se
2+
, Se
4+
dan Se
6+
. Secara kimia selenium seperti sulfur, sehingga selenium dapat mensubstitusi sulfur dalam asam
amino seperti methionine, cysteine dan cystine Brody, 1999. Kandungan
selenium dalam bahan makanan sangat tergantung dari
konsentrasi kandungan selenium dalam tanah. Karena terdapat perbedaan konsentrasi kandungan selenium dalam tanah, maka daftar tabel kandungan
selenium dalam makanan dibuat berdasarkan perkiraan secara umum. Produk hewani khususnya daging lebih banyak mengandung selenium dibandingkan
tumbuh-tumbuhan. Makanan laut juga merupakan sumber selenium yang baik, meskipun bioavabilitas selenium akan menjadi rendah bila ikan sebagai makanan
laut terkontaminasi mercury karena selenium yang berikatan dengan mercury akan menjadi bentuk yang tidak dapat diserap Stipanuk, 2000.
Menurut Linder 1992 selenium dalam bahan makanan terdapat dalam bentuk organik dan inorganik. Pada umumnya selenium dalam bahan makanan
terdapat dalam bentuk organik, yaitu Selenomethionine, Selenocystine, Selenocysteine dan Se-Methyl Selenomethionine. Selanjutnya Brown et al.2003
mengemukakan bahwa bentuk inorganik selenium diantaranya selenite H
2
SeO
3
dan selenate H
2
SeO
4
. Bentuk inorganik selenium dapat ditemukan pada beberapa sayuran. Pada beberapa bagian dunia, kandungan selenium dalam
makanan pokok rendah, tetapi dapat dilengkapi dari makanan yang berasal dari hewan yang kaya akan sodium selenite Na
2
SeO
3
. Selenium memiliki fungsi fisiologis yang berhubungan dengan fungsi
vitamin E yaitu memelihara struktur dan fungsi otot, antioksidan, anti karsinogen. Selenium berperan sebagai komponen enzim glutation peroksidase. Selenium
bersama-sama vitamin E berperan sebagai katalase dan superoksida dismutase yang merupakan salah satu komponen sistem kekebalan tubuh. Glutation
berfungsi menyediakan proton H untuk mengkonversi hidrogen peroksida menjadi air dengan bantuan enzim glutation peroksidase. Selenium berpengaruh terhadap
metabolisme dan toksisitas berbagai jenis obat dan zat kimia serta berperan dalam melawan toksisitas perak, kadmium dan merkurium WHO, 1996.
Clark et al. 1996 mengemukakan bahwa Selenium dapat meningkatkan fungsi imun pada ternak, memperbesar neuropsikologis pada manusia dan
memperbaiki kondisi penyakit spesifik pada manusia. Selanjutnya dari segi kesehatan beberapa penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan mineral
Se untuk melihat total insiden penyakit kanker dengan pengurangan secara spesifik dari risiko kanker paru-paru, prostat dan colorectal. Penelitian di
Amerika terhadap 1300 laki-laki dewasa dengan pemberian suplemen selenium sebanyak 200
μghari akan menurunkan risiko terkena kanker prostat karena rendahnya prostate-specific antigen PSA.
Fungsi selenium berhubungan pula dengan iodium, seperti yang dikemukakan Arthur 1993 pada daerah endemik GAKI selain defisiensi iodium
juga ditemukan defisiensi unsur selenium secara bersamaan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rimbawan et al. 2000 menunjukkan bahwa kekurangan iodium
bukanlah satu-satunya penyebab GAKI di Kabupaten Pasuruan, tapi juga disebabkan oleh kekurangan selenium dengan bukti bahwa asupan iodium dan
seleniumnya masih kurang dari angka kecukupan, terdapat hubungan antara asupan selenium dan iodium dengan parameter penentu status iodium dan
selenium, sehingga hubungan antara kekurangan iodium dan selenium dapat dijadikan parameter dalam menentukan masalah GAKI. Hubungan antara
selenium dan iodium menurut WHO 1996 dikarenakan enzim deiodinase mengandung selenium, yang mengubah tiroksin menjadi 3,5,3-triiodotironin T
3
. Sumber makanan yang kaya akan selenium adalah daging dan seafood
Tabel 13. Secara umum kandungan selenium pada tumbuhan tergantung kandungan selenium dalam tanah. Contohnya kacang brazil yang tumbuh di
Brazil dengan kandungan selenium dalam tanah tinggi menyebabkan kandungan selenium pada kacang lebih 100
μgbuah, ketika kacang ditanam pada area yang rendah kadar selenium tanahnya menyebabkan kandungan selenium kacang
menurun sekitar 10 kalinya. Di Amerika gandum merupakan sumber selenium, tetapi buah dan sayur relatif lebih rendah kadar seleniumnya.
Tabel 13 Sumber dan Kandungan Selenium dalam Bahan Makanan Whanger, Linus Pauling Institute ;2003
Bahan Makanan Ukuran Porsi
Selenium
μg
Kacang Brazil dari tanah yang tinggi kandungan seleniumnya
10 gr 839
Udang 30 gr
34 Rajungan Crab meat 30
gr 40
Ikan Salmon 30 gr
40 Mie yang diperkaya dg Se matang
1 mangkok 35
Nasi, roti tawar coklat 1 mangkok
19 Daging ayam
30 gr 20
Daging babi Pork 30 gr
33 Daging sapi Beef 30
gr 17
Roti tepung gandum 2 lembar slices
15 Susu
80 gr 1 gelas 5
Kecukupan Selenium
Kebutuhan selenium
untuk manusia tidak sama satu dengan yang lainnya
karena dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, daya adaptasi dan kondisi fisiologis. Orang Amerika pada umumnya membutuhkan 54
μg Sehari untuk menggantikan kehilangan dalam urine dan feses, bahkan ada yang menemukan 80
μg hari untuk keseimbangan positif. Perbedaan energi kinetik Se mungkin dipengaruhi daya
adaptasi yang berbeda baik antar penduduk dari wilayah kekurangan Se maupun antara wilayah yang kekurangan Se dan cukup Se Luo et al. 1985.
Rekomendasi National Research Council 1980 menentukan perkiraan kecukupan selenium yang aman dan memenuhi kebutuhan setiap orang per hari
sebanyak 50 μg sampai 200μg. Rekomendasi tersebut berdasarkan penelitian yang
dilakukan pada hewan dan manusia. Tahun 1989 RDA untuk selenium dikoreksi dengan memperhitungkan berat badan menjadi 70
μg untuk laki-laki dan 55 μg untuk wanita. Namun hal ini telah dikoreksi lagi oleh Institute of Medicine
IOM, 2000 menjadi kecukupan selenium yang aman dan memenuhi kebutuhan setiap orang laki dan perempuan sama sebanyak 55
μghari sampai 280 μghari. Angka kecukupan untuk orang Indonesia ditentukan dengan mengacu pada
angka kecukupan orang Amerika. Kebutuhan orang dewasa di Amerika Serikat sebanyak 70
μghari untuk laki-laki dewasa dan 55 μg hari untuk perempuan
dewasa. Karena berat badan orang Indonesia lebih rendah diperkirakan kebutuhannya sekitar 60
μg untuk laki-laki dewasa dan 50 μg untuk perempuan dewasa WKNPG, 2004. Angka kecukupan yang dianjurkan oleh Food and
Nutrition Board FNB berdasarkan kecukupan selenium untuk memaksimalkan
aktivitas enzim gluthation peroxidase sebagai antioksidan dalam plasma seperti yang tercantum pada Tabel 14.
Di Cina asupan selenium sekitar 10 μg sampai 15 μg hari menyebabkan
penyakit Keshan. Penyakit Keshan ternyata dapat dicegah dengan pemberian suplemen selenium sebanyak 50
μg hari. Sedangkan di Kroatia Marijana Matek, 2000 asupan selenium sekitar 33
μg hari hal ini menunjukkan asupan selenium dalam diet sehari-hari untuk kelompok wanita yang diobservasi pada daerah
Zagreb di Kroatia lebih rendah dari mayoritas orang negara-negara Eropa, dan lebih rendah dari nilai yang direkomendasikan oleh WHO 2001.
Tabel 14 Angka Kecukupan Yang Dianjurkan Untuk Selenium Whanger, Linus Pauling Institute ;2003
Life Stage Umur
Pria μghari Wanita μghari
Bayi baru lahir 0-6 bulan
15 15
Bayi 7-12 bulan
20 20
Anak Batita 1-3 tahun
20 20
Anak dini usia 4-8 tahun
30 30
Anak 9-13 tahun
40 40
Remaja 14-18 tahun
55 55
Dewasa 19 tahun
55 55
Hamil Ibu hamil Semua umur
- 60
Menyusui Ibu menyusui Semua
umur - 70
Para ilmuwan Cina berpendapat bahwa batas minimun kebutuhan selenium sebanyak 40
μghari, hampir mendekati dengan yang direkomendasikan sebanyak 55
μg hari untuk aktivitas glutation peroksidase. Asupan dibawah 11 μghari dipastikan akan menyebabkan penyakit akibat kekurangan selenium.
Dosis keracunan selenium selenosis diperkirakan konsumsi lebih dari 900 μg
hari atau kandungan dalam plasma sebesar 100 μgdL lebih 12.7 μmolL. Level
aman maksimal asupan selenium dalam diet diperhitungkan sebesar 800 μghari,
tapi dapat lebih rendah pada beberapa individu yaitu sebanyak 600 μghari. Oleh
karena itu ditentukan uptake level untuk selenium sebanyak 400 μghari, untuk
melindungi individu yang lebih sensitive terhadap selenium. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa asupan selenium sebanyak 724
μg pada orang dewasa masih pada level aman Whanger, 2003
Akibat Kekurangan dan Kelebihan Asupan Selenium
Kepentingan selenium sebagai zat gizi pada manusia pertama kali ditemukan pada tahun 1979, pada saat ilmuwan China melaporkan bahwa
suplemen selenium dapat mencegah perkembangan penyakit Keshan, yaitu suatu penyakit kardiomiopati atau degenerasi otot jantung yang terutama terlihat pada
anak-anak dan perempuan dewasa Keshan adalah sebuah provinsi di Cina. Sedangkan penyakit Keshan-Beck menyerang anak remaja yang menyebabkan
rasa kaku, pembengkakan dan rasa sakit pada sendi jari-jari yang diikuti oleh osteoartritis secara umum, yang terutama dirasakan pada siku, lutut dan
pergelangan kaki. Meskipun demikian, penyakit ini diduga ada komponen- komponen lain juga terlibat di dalamnya, seperti infeksi virus, rendahnya asupan
vitamin E, protein, metionin dan mineral mikro lainnya. Menurut Rodrigo et al. 2003 perkembangan penyakit Keshan-Beck dapat dicegah serta dikurangi
gejalanya dengan pemberian suplemen selenium sebanyak 100 μg hari.
Kekurangan selenium pada manusia karena makanan yang dikonsumsi belum banyak diketahui. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang
mendapat makanan parenteral total yang pada umumnya tidak mengandung selenium menunjukkan aktivitas glutation peroksidase rendah dan kadar selenium
dalam plasma serta sel darah merah yang rendah. Beberapa pasien menjadi lemah, sakit pada otot-otot dan terjadi kardiomiopati serta pada pasien kanker kadar
seleniumnya rendah. Orang-orang yang mempunyai masalah dengan gastrointestinal seperti Crohn’s disease, merupakan faktor risiko mengalami
defisiensi selenium karena terganggunya proses penyerapan. Khususnya
tatalaksana diet di rumah sakit yang dilakukan pada penderita phenylketonuria PKU dapat menyebabkan rendahnya selenium dalam diet.
Endemik defisiensi Se dapat terjadi karena bahan makanan di daerah tertentu kekurangan selenium yang disebabkan biosfirnya sangat bervariasi.
Kenyataan bahwa tidak setiap orang di daerah kekurangan selenium terkena penyakit defisiensi Se. Hal ini menunjukkan bahwa daya adaptasi manusia
berlainan satu sama lainnya dan kemungkinan disebabkan faktor genetik Faisal, 1998.
Defisiensi selenium berbeda pada setiap manusia, hal ini karena daya adaptasi setiap orang berbeda satu dengan yang lainnya. Di New Zealand dan
Finlandia yang merupakan daerah rendah kandungan selenium dalam tanah dan airnya, asupan selenium dari diet sehari-hari adalah 30
μg - 50 μg hari, dibandingkan dengan asupan di USA dan Canada yaitu 100
μg – 250 μg hari. Konsentrasi selenium dalam darah anak-anak di New Zealand lebih rendah
dibandingkan anak-anak yang tinggal di negara lainnya. Faktor utama yang mempengaruhi rendahnya kandungan selenium dalam darah anak-anak di New
Zealand karena intake selenium yang rendah yang juga merupakan gambaran rendahnya kandungan selenium dalam tanah di New Zealand. Kandungan
Selenium dalam darah bervariasi karena keadaan geografi, umur, dan perbedaan jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi. Anak yang menderita
phenylketonuria dan Maple syrup
urine asupan Se-nya rendah juga konsentrasi Se
dalam darah The Lancet Internet: MedScape 15 Juli 2000.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sunarti et al. 2000 pada kasus keguguran di RSUP Dr.Sardjito mengungkapkan bahwa wanita yang mengalami
keguguran pada trimester pertama masa kehamilan mempunyai kadar selenium dibawah normal dan diatas kadar normal. Hasil penelitian tentang berbagai akibat
yang disebabkan oleh defisiensi selenium, yaitu kelainan kardiovaskuler, kardiomiopati endemik, penyakit jantung koroner, kanker saluran cerna, kanker
hematologis, limfa dan endrokrin. Penelitian berdasarkan keadaan geografi menunjukkan kecenderungan
bahwa populasi yang hidup didaerah rendah kadar selenium dalam tanah dan relative rendah asupan selenium dalam makanan mempunyai angka kematian
yang tinggi akibat kanker. Hasil studi epidemiologi kejadian kanker karena asupan selenium yang rendah bukan suatu yang pasti, tetapi mempunyai
kecenderungan kejadian kanker pada individu dengan kadar selenium rendah pada darah dan kuku. Bagaimanapun, kecenderungan ini kurang nyata pada wanita.
Contohnya, penelitian secara prospektif pada lebih dari 60.000 perawat di Amerika ditemukan tidak berhubungan antara kadar selenium dalam kuku dan
total risiko kanker. Penelitian pada laki-laki Taiwan yang terinfeksi hepatitis B atau C, konsentrasi selenium dalam plasma menurun dan mempunyai hubungan
lebih besar dengan risiko kanker hati. Rendahnya kadar selenium berhubungan pula dengan risiko kejadian kanker dan berhubungan secara nyata dengan
perokok Whanger, 2003. Kelebihan asupan selenium akan menyebabkan keracunan. Efek keracunan
selenium ditandai dengan kerontokan rambut dan perubahan morfologi kuku. Pada beberapa kasus, ditemukan juga lesi pada kulit dan abnormalitas sistem
syaraf. Meskipun demikian, mekanisme biokimia efek keracunan selenium ini masih belum jelas WHO, 1996. Apabila takarannya melebihi 3-5 kali lebih besar
dari yang direkomendasikan oleh RDA maka akan mengakibatkan keracunan Se dalam tubuh Clement, 1998. Tercatat ada beberapa penelitian yang telah
dilakukan untuk mengantisipasi risiko keracunan mineral Selenium. Lisk et al. 1995 melaporkan, bahwa dengan mengkonsumsi bawang putih dapat mencegah
defisiensi ataupun keracunan mineral Se. Akan tetapi konsumsi bawang putih dibatasi oleh kesukaan pribadi dan kondisi sosial. Oleh sebab itu dianggap kurang
efektif, sehingga Finley et al. 2001 melakukan percobaan pada tikus dengan menggunakan brokoli yang memiliki kandungan selenium cukup tinggi, dimana
hasilnya membuktikan bahwa dengan mengkonsumsi brokoli tinggi Se maka dapat mencegah terjadinya kanker kolon pada tikus. Kemudian konsumsi brokoli
tinggi Se dapat direkomendasikan untuk menghambat terjadinya kanker. Akan tetapi permasalahan baru bahwa dampak mengkonsumsi makanan yang berasal
dari spesies Bressica seperti brokoli, kol dan sejenisnya, dapat menimbulkan penyakit goiter gondok pada manusia. Goiter ini disebabkan karena adanya zat
goitrogenik yang mempengaruhi kelenjar thyroid melalui beberapa cara, yaitu
menghambat konversi iodida menjadi iodium, menghambat proses iodonisasi
asam amino tirosin dari mono-iodotirosine, menghambat penggabungan dua molekul di-iodotirosine membentuk tyroxin.
Penyerapan Selenium organik dan inorganik
Bentuk organik selenium lebih siap diserap dibandingkan bentuk inorganik, demikian pula selenium yang terkandung dalam tumbuh-tumbuhan
pada umumnya lebih mudah digunakan tubuh daripada selenium dari hewan. Tetapi ada pula para ahli yang menyatakan bahwa penyerapan bentuk organik
selenium sama efisiennya dengan bentuk inorganik, meskipun dalam tingkat yang berbeda. Bentuk utama selenium dalam tubuh adalah selenomethionine dan
selenocysteine . Makanan yang berasal dari nabati memiliki kandungan selenium
tinggi khususnya dalam bentuk selenomethionine, dibandingkan yang berasal dari hewan. Sedangkan makanan yang berasal dari hewan bentuk seleniumnya
bervariasi, diantaranya sulfide dan selenide, selenocysteine dan selenomethionine Stipanuk, 2000.
Tempat penyerapan selenium di usus halus, terutama duodenum, namun tidak terjadi penyerapan selenium di lambung dan sangat sedikit penyerapan
terjadi di jejunum dan ileum. Selenomethionine diserap seluruhnya di dalam duodenum. Bentuk selenium yang lainnya pada umumnya diserap dengan baik
juga. Penyerapan selenium mempunyai variasi rentang yang cukup luas yaitu 50 – 100. Penyerapan selenium tidak efektif untuk menunjukkan status selenium
tubuh. Penyerapan selenium pada akhirnya berhubungan dengan faktor penghambat zat gizi atau pendukung penyerapan. Vitamins A, C, dan E bersama-
sama dengan glutathione meningkatkan penyerapan selenium dan sebaliknya logam berat seperti merkuri menurunkan penyerapan lewat pengendapan dan
chelation Bender, 2002
Berdasarkan keseimbangan dan kestabilan isotop selenium dapat ditunjukkan bahwa bentuk selenomethionine lebih efektif penyerapannya
dibandingkan selenite. Selenoamino acid diserap sekitar 50-80, selenomethionine lebih baik penyerapannya dibandingkan selenocysteine.
Selenite penyerapannya bervariasi antara 44 - 70 . Selenate lebih banyak penyerapanya daripada selenite Elson, 2003.
Sistem Transpor dan Metabolisme Selenium
Mekanisme traspor selenium masih belum jelas dan masih merupakan bahan diskusi. Ada yang berpendapat bahwa selenium masuk kedalam sel darah
merah lewat sistem difusi diffusion dan pembawa carried. Bentuk inorganik selenium melewati brush border dengan cara transpor pasif, sedangkan bentuk
organik selenium selemethionine dan juga selenocysteine secara transport aktif. Selenium setelah diserap dari usus akan mengikuti transpor protein
untuk diangkut melalui darah ke hati dan jaringan lainnya. Didalam darah manusia, selenium berikatan dengan sulfihydryl groups dalam
α dan β globulins. Khususnya, lipoprotein seperti VLDL
α-2 globulin dan LDL aβ globulin.
Selenocystine yang terkandung dalam plasma protein disebut selenoprotein.
Hasil isolasi dari tikus sepertinya selenoprotein berfungsi bagi transpor selenium dan kemungkinan sebagai simpanan protein.
Mekanisme bagaimana selenium melepaskan diri dari transpot plasma protein masih belum diketahui. Jaringan yang relatif mengandung konsentrasi
selenium yang tinggi adalah ginjal, hati, jantung, pankreas dan otot. Paru-paru, otak, tulang dan sel darah merah juga mengandung selenium. Total kandungan
selenium dalam tubuh bervariasi antara 3 - 15 mg tergantung asupan dalam diet. Di dalam jaringan tubuh seperti hati, selenomethionin akan menjadi :
1 Cadangan sebagai selenomethionine dalam pool asam amino
2 Dipergunakan untuk sintesis protein ketika asam amino methionine
digunakan. 3
Di-katabolisme menjadi Se-adenocysteine SeAM dan akhirnya menjadi selenocysteine dan selenocystine.
Selenomethionine bergabung dengan protein dalam metionin dengan bentuk acylates Met-tRNA, atau melalui mekanisme trans-sulfuration menjadi
selenocysteine, kemudian dengan bantuan enzim -lyase diubah menjadi hydrogen selenide H
2
Se. Sebaliknya, selenite menjadi H
2
Se lewat selenodiglutathione dan glutathione selenopersulfide. Hydrogen selenide pada umumnya sebagai prekusor
untuk ketersediaan selenium dalam bentuk aktif yaitu dalam bentuk selenoprotein.
Selanjutnya metabolisme H
2
Se melalui proses methylasi S-adenosylmethionine menjadi methylselenol, dimethylselenide dan trimethyl-selenonium ion.
Untuk menjaga keseimbangan selenium didalam tubuh dilakukan dengan cara mengeluarkan selenium dari tubuh. Ekskresi Se melalui tiga jalan utama
yaitu paru-paru, sistem pengeluaran urin 50 - 60 atau 45 μg, lewat feses
sebesar 40 - 50, dan sisanya lewat paru-paru dan kulit. Asupan selenium yang tinggi dikeluarkan lewat paru-paru dalam bentuk dimethylselenide. Pengeluaran
selenium melalui paru-paru akan menghasilkan bau bawang putih dari bagian selenium yang menguap. Pengeluaran Se dalam bentuk feses bukan merupakan
jalur yang utama. Pengeluaran Se yang utama dalam keadaan fisiologis normal melalui sistim urine.
Status Selenium
Konsentrasi selenium dalam eritrosit, serum, plasma, urine atau rambut dapat digunakan untuk menduga status selenium pada manusia. Kandungan
selenium pada berbagai organ penting seperti selenium pada hati, ginjal, jantung, otak, jaringan otot dan lainnya, juga dapat menduga status selenium manusia.
Menurut para ahli penentuan selenium melalui kadar selenium pada serum darah, eritrosit, urin dan plasma lebih menunjukkan keadaan kadar selenium sebenarnya.
Hal ini disebabkan selenium dalam eritrosit, serum, plasma dan urin dihitung sebagai selenium dalam enzim yang mempunyai sifat fungsional yang sudah pasti.
Berlainan dengan kadar selenium dalam berbagai jaringan seperti hati, ginjal, dan otot lebih menggambarkan kadar selenium total yaitu selenium dalam enzim juga
dihitung dalam bentuk komplek IOM, 2000. Seberapa jauh adanya hubungan kadar selenium dalam serum darah,
eritrosit, plasma, urin dan rambut dapat menentukan status selenium, sangat tergantung pada ras, daerah dan pengaruh lingkungan lainnya. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa kadar selenium dengan parameter tersebut pada suatu lokasi tidak selalu menggambarkan keadaan sebenarnya terjadi defisiensi
atau tidak. Pada daerah yang defisit seleniumnya tidak semua penduduk menderita akibat gangguan kekurangan selenium atau sebaliknya pada daerah yang tinggi
deposit seleniumnya juga tidak selalu menderita keracunan selenium.
Pada proses metabolisme normal, dalam tubuh akan terbentuk radikal bebas dari senyawa oksigen, misalnya superoksida, oksigen singlet yang
merugikan. Radikal bebas biasanya bersifat oksidatif dan akan memicu pembentukan kanker melalui mutasi gen dan merangsang pembelahan sel. Zat
pengoksidasi oksidan atau radikal bebas lain juga dapat berasal dari luar tubuh makanan, asap rokok, asap mobil, pollutan, dll. Jika potensi dari zat oksidan
lebih tinggi daripada antioksidan di dalam tubuh seperti vitamin C, beta-karoten, vitamin E, dan GSH, maka keadaan ini disebut oxidative stress stress oksidatif,
yang merusak atau mengoksidasi biomolekul di dalam tubuh termasuk DNA dan berarti karsinogenik IOM, 2000.
Senyawa karsinogen dapat dimodifikasi melalui konjugasi dengan suatu gula asam glukoronat, sulfat, gugus metil, atau glutathion GSH. Beberapa
enzim glutathion-S-transferase GST berperan untuk mentransfer GSH ke berbagai karsinogen membentuk senyawa konjugasinya dengan GSH yang netral,
mudah larut di dalam air sehingga dapat di keluarkan dari tubuh. Selenium Se merupakan komponen esensial enzim glutation peroksidase
GSH-Px. Enzim glutathione peroxidase Gambar 9 akan mengkatalisasi penguraian H
2
O
2
dan hidroperoksida lipid oleh glutathione GSH sehingga lipid membran sel menjadi aman dan oksidasi Hb menjadi MetHb dapat dicegah.
Enzim GSH-Px tidak aktif bila kekurangan Se dan sebagai akibatnya tubuh akan terpapar radikal bebas dan peroksida berbahaya yang bersifat mutagenik dan
karsinogenik . Glutation peroksidase GSH-Px. bekerja secara sinergis dalam
mencegah timbulnya radikal bebas dalam tubuh. Kadar GSH-Px yang tinggi dalam darah belum tentu menunjukkan rendahnya kadar aktivitas radikal bebas
dalam tubuh, karena proses kerja antioksidan dalam tubuh bekerja secara sinergis maka apabila komponen yang satu mengalami kenaikan aktivitas maka harus
diikuti kenaikan aktivitas komponen yang lainnya. Hal ini seperti hasil penelitian Thomson et al. 1985 bahwa pemberian suplemen tinggi Se pada orang New
Zealand melalui roti putih sebanyak 200 μg hari selama 8 – 13 minggu
menunjukkan kadar aktivitas GSH-Px meningkat di dalam darah, eritrosit plasma dan platelets, tetapi tidak menghasilkan perubahan dalam komponen sistem
pertahanan tubuh terhadap lipid peroksida karena aktivitas glutathione-S-
transferase tidak berubah selama suplementasi berlangsung. Glutathione
peroxidase mengurangi katalisator dari :
Organik peroxides yang merupakan turunan dari unsaturated fatty acids lipid peroxide LOOH, nucleic acids dan molekul lainnya.
Hidrogen Peroxide H
2
O
2
dengan reaksi sebagai berikut : Penurunan aktivitas gluthation peroksidase ditemukan juga pada pasien
yang positif HIV seperti yang dikemukan oleh Beauvieux 1996 Pada pasien yang terinfeksi HIV mengalami defisiensi selenium dan vitamin A. Aktivitas
radikal bebas tinggi dan kadar GSH-Px rendah pada pasien yang positif HIV dibandingkan dengan pasien yang tidak HIV. Pemberian suplemen selenium dan
beta karoten selama 12 bulan pada pasien yang positif HIV menunjukkan kenaikan kadar GSH-Px secara signifikan. GSH-Px dan GSH mempunyai peranan
yang penting sebagai sistem pertahanan tubuh untuk menetralkan hidrogen peroksida, suplemen selenium juga dapat melindungi sel dari oxidative stress.
Gambar 9 Reaksi aktivitas Glutathione-S-transferase Thomson et al. 1985 Penelitian yang dilakukan oleh Sunarti et al. 2000 tentang kadar
selenium dan aktivitas glutathion peroksidase pada kasus keguguran di RSUP Dr.Sardjito menunjukkan bahwa kadar selenium pada wanita keguguran lebih
rendah atau lebih banyak dari yang dianjurkan, serta aktivitas glutation peroksidase lebih terlihat pada wanita hamil yang tidak mengalami keguguran
sebagai kontrol. Keguguran dimungkinkan berkaitan dengan kerusakan DNA dan membran biologik akibat kurangnya sistem pertahanan antioksidan terhadap
radikal bebas atau akibat toksisitas selenium. Kadar selenium yang rendah menyebabkan penurunan aktivitas enzim glutathion peroksidase sehingga enzim
ini tidak dapat menetralkan hidroksida yang ada di dalam tubuh. Radikal bebas
H
2 2
atau LOOHROOH
2H
2
0 atau LOHROH + H
2
2 G-SH GS-SG
Glutathione peroxidase
turunan hidroksi peroksida dapat menyebabkan kerusakan DNA, kerusakan protein, dan terjadinya lipid peroksidasi. Kerusakan komponen membran sel
kemungkinan merupakan salah satu penyebab keguguran. Selenium dalam proses sebagai zat gizi antioksidan berinteraksi dengan
zat gizi mikro lainnya secara sinergis antara lain vitamin C dan khususnya vitamin E. Vitamin E juga sebagai zat antioksidan, mengurangi beberapa gejala akibat
kekurangan selenium pada hewan. Kekurangan copper juga akan meningkatkan oksidatif stress dan dapat menurunkan aktivitas gluthation peroxsidase dalam
plasma pada hewan yang kekurangan copper. Peran vitamin E berhubungan erat dengan unsur selenium dan enzim
gluthation peroksidase. Tokoferol adalah senyawa antioksidan yang kuat. Gejala pada hewan percobaan dapat ditafsirkan sebagai terjadinya proses peroksidasi
berlebihan pada jaringan jika tidak ada perlindungan terhadap peroksidasi oleh vitamin E. Enzim gluthation peroksidase memulihkan gluthation teroksidasi
menjadi gluthation, sehingga dengan reaksi tersebut terbentuknya hidroperoksida yang bersifat sangat merusak dapat dikendalikan sampai minimum. Jika
gluthation berperan menguraikan hidroperoksida yang sudah terbentuk, vitamin E berperan mencegah terbentuknya hidroperoksida dan dengan demikian mencegah
pula kerusakan oleh peroksida IOM, 2000. Dari Gambar 10 dapat dilihat adanya hubungan sinergis antara vitamin E
dengan GSH-Px. berawal dari proses autoksidasi asam lemak tidak jenuh PUFA sehingga akan terbentuk hidroperoksida. Vitamin E berfungsi memutus rantai
proses autoksidasi sehingga mencegah timbulnya hidroperoksida, sedangkan GSH-Px. bekerja memunahkan hidroperoksida yang sudah terbentuk sehingga
mencegah terjadinya kerusakan asam lemak tidak jenuh. Oleh karena itu asam lemak tidak jenuh khususnya asam lemak esensial seperti linoleat, linolenat dan
arakhidonat dapat terlindungi dari peroksidasi. Pada proses pemutusan rantai autoksidasi oleh vitamin E akan terbentuk vitamin E radikal. Vitamin E radikal
direduksi oleh vitamin C sehingga menghasilkan bentuk vitamin E dan vitamin C radikal, yang kemudian dinetralkan kembali menjadi vitamin C oleh GSSG.
Gambar 10 Hubungan Sinergis Zat Gizi sebagai Antioksidan Thomson et al. 2003
Selanjutnya The Lancet Internet: MedScape 15 Juli 2000 mengemukakan bahwa selenium berfungsi sebagai penambah kekebalan bila
dalam darah mengandung penuh selenium 95 ppb. Pada kondisi tersebut seseorang akan meningkat penggandaan sel-T yang diduga sebagai perluasan
klonal untuk peningkatan imunitas. Limfosit dari para relawan ditambah dengan selenium seperti natrium selenit dengan dosis 200 mikrogram per hari
menunjukkan peningkatan tanggapan terhadap rangsangan antigen dan peningkatan kemampuan untuk mengembangkan limfosit sitotoksik dan
menghancurkan sel tumor. Disamping itu aktivitas sel pembunuh alami meningkat 82, dan juga peningkatan 118 sitotoksisitas tumor yang menjadi perantara
limfosit sitotoksik dibandingkan pada awalnya.
Lama Intervensi dan Dosis Suplemen Se dan I
Suplemen selenium dan iodium diberikan setiap hari selama dua bulan 8 minggu. Hasil penelitian Thomson et al. 1985 dan Whanger, Linus Pauling
Institute 2003 menunjukkan bahwa pemberian suplemen tinggi Se pada orang New Zealand melalui roti tawar sebanyak 200
μg hari selama delapan minggu
menunjukkan kadar aktivitas GSH-Px meningkat di dalam darah, tetapi tidak menghasilkan perubahan dalam komponen sistem pertahanan tubuh terhadap lipid
peroksida karena aktivitas glutathione-S-transferase tidak berubah selama suplementasi berlangsung. Sedangkan yang diberikan selama 13 minggu tidak
menunjukkan perbedaan hasil yang nyata. Dengan demikian lama intervensi Se untuk pertahanan tubuh paling efektif selama delapan bulan. Selanjutnya karena
Se bersifat toksik maka Muhilal 2004 menganjurkan dilakukan penelitian dose- response
untuk melihat hubungan antara dosis dan efek samping yang terjadi sebagai dampak pemberian suplemen Se untuk tujuan perbaikan profil darah
dengan menggunakan nilai uptake level UL adalah nilai asupan zat gizi Se dan I tertinggi yang tidak menimbulkan efek sampingtoksisitas.
Suplemen Selenium Se dan Iodium I diberikan dengan dosis yang didasarkan angka kecukupan yang dianjurkan AKG paling rendah agar tidak
menimbulkan efek samping pada anak yang diteliti. Disamping itu asupan terendah yang tidak menimbulkan efek samping dapat digunakan untuk estimasi
UL dari zat gizi Se dan I. Dosis suplemen iodium yang diberikan juga mengacu pada rekomendasi WHOUNICEFICCIDD 1992 yaitu sebesar 50
μg hari untuk anak usia 9-12 tahun. Sementara dosis Se yang diberikan mengacu pada besarnya
ekskresi Se sebesar 50 - 60 atau 45 μg Elson, 2003.
KERANGKA PEMIKIRAN
Gambar 11 Kerangka Pemikiran Perlunya Intervensi Gizi Ganda melalui Suplemen Iodium dan Selenium pada Anak dengan Tanda Khas
Kretin di Daerah Endemik GAKI
Sosial – Ekonomi rendah
Asupan Zat Gizi Kurang Infeksi
Daerah Endemik GAKI
• Rendah Iodium • Rendah Selenium
• Garam ber-iodium 30 ppm
• Kandungan Se Iodium dlm air
minum + bahan makanan rendah
Absorpsi Zat Gizi Terganggu
Imunitas Seluler Terganggu
Morbiditas tinggi
Status Gizi Rendah Kemampuan Kognitif rendah
Tumbuh Kembang Fisik Otak Terganggu sifat Permanen
Intervensi Zat Gizi Mikro pada Anak SD usia 9-12 tahun Melalui Suplemen Selenium dan Iodium dosis rendah selama 2 bulan
Selenium + Iodium
Plasebo
Pengaruh Terhadap : Profil Darah, Status Gizi, Skor IQ, Jumlah Tanda Khas Kretin
Iodium Dosis 50
μghari Selenium dosis
45 μghari
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Persiapan penelitian mulai dilakukan pada Agustus 2005 yaitu mengurus perijinan wilayah sampai pada lokasi sekolah dasar SD dan perijinan
Laboratorium di BATAN Yogyakarta dan Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta untuk analisis kadar mikronutrien, serta Laboratorium Klinik Prodia
Surakarta untuk analisis profil darah. Survey awal atau pendahuluan untuk Penapisan sampel dan penentuan dosis selenium dan iodium dimulai pada
Desember 2005 – April 2006. Penelitian utama dilakukan setelah semua sampel terseleksi dan menyatakan bersedia mengikuti penelitian hingga selesai April
2006 – Mei 2007. Penelitian ini sudah mendapatkan ethical clearance dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran UNS, Surakarta, No:
2181H.27.17.1PL2005 Tanggal 21 Des 2005. Lokasi penelitian di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, tepatnya di dua
desa wilayah kerja Puskesmas Cepogo, yaitu desa Wonodoyo dan Jombong.
Gambar 12 Foto SDN Jombong 1 dan SDN Jombong 2 di Desa Jombong, Kecamatan Cepogo, Boyolali sebagai Lokasi Penelitian
Pemilihan lokasi berdasarkan penyebaran masalah GAKI pada anak SD usia 9-12 tahun di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Secara keseluruhan ada
89 desa di 16 Kecamatan. Masing-masing desa endemik mewakili Kecamatan di daerahnya yang dipilih secara random sampling sebagai dasar pemilihan lokasi
digunakan hasil pemantauan status gizi anak usia sekolah pada tahun 2000 oleh DKK Boyolali TGR 14.5 dan VGR 12 dan anak cenderung kretin 11.4.
Kemudian diambil satu Kecamatan dan terpilih Kecamatan Cepogo sebagai lokasi penelitian dan terpilih SD yaitu :
1. SDN Jombong I, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali.
2. SDN Jombong II, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali.
3. SDN Wonodoyo I, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali.
4. SDN Wonodoyo II, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali.
Desain Penelitian
Penelitian ini dilakukan tiga tahap Tabel 15 yang terdiri dari penelitian pendahuluan untuk Penapisan sampel dengan menggunakan kriteria inklusi Tabel
17 dilanjutkan dengan penentuan bio-availabilitas kapsul sodium selenat kapsul dosis 45ug sesuai anjuran kecukupan gizi AKG dan penelitian epidemiologi
yang berupa intervensi gizi mikro Sodium selenat dan Iodium pada anak usia SD laki-laki dan perempuan berumur 9 – 12 tahun.
Dalam penelitian ini diberikan sejumlah alasan untuk memadukan pendekatan metode kuantitatif dan kualitatif, yaitu:
1. mengidentifikasi aspek dan variabel yang muncul dari hasil pengamatan
2. mengilustrasikan model statistik kuantitatif dengan studi kasus kualitatif
jumlah tanda khas kretin 3.
meningkatkan validitas konvergensi hasil data laboratorium 4.
meningkatkan validitas eksternal generalisasi daerah endemik GAKI
Tabel. 15 Desain dan Lokasi Penelitian Tahap Penelitian
Desain Lokasi penelitian
Waktu 1. Penelitian
pendahuluan untuk
Penapisan sampel
Rapid assesment Survey cepat dengan
menggunakan kriteria inklusi Tabel 16
Daerah : a.
Kecamatan Cepogo, Kab.
Boyolali, Jawa Tengah
Laboratorium : Lab. Teknologi
Maju BATAN- Yogyakarta
Feb-April 2006
2. Penentuan nilai bio-
availabilitas sodium selenat
kapsul dosis 45 ug dan
kapsul iodium 50 ug
Desain in-vitro Laboratorium :
Teknologi Maju BATAN-
Yogyakarta Februari
2006
3. Penelitian epidemiologi
pada anak SD Desain Experimental
Quasi Before After Quasi Experiment
: a.
Persiapan, seleksi sampel
b. Pemberian obat cacing
‘albendazole’ 400 mg c.
Pre-test pemeriksaan darah, BB, TB
TLidah, tes IQ d.
Intervensi gizi dan monitoring minum
kapsul 4 kelp selama 2 bl
e. Post-test
f. Pengukuran dampak
fisik status gizi, kesh setelah 4 bl intervensi
Daerah : a.
Kecamatan Cepogo, Kab.
Boyolali, Jawa Tengah
Laboratorium : Balai Kesehatan
Yogyakarta Juni 2006
s.d Nopember
2006
Tabel 16 Kriteria Inklusi untuk Penentuan Sampel Saat Penapisan
No. Kriteria
1 Umur 9 – 12 tahun kelas IV dan V. Umur 9 pada anak perempuan
telah mengalami menstruasi pertama, sedangkan pada anak laki-laki sebenarnya umur 9 tahun 10 bulan
2 Lahir di desa endemik GAKI terpilih
3 Status gizi kurang
4 Tidak menderita penyakit diare
5 Tidak mempunyai kelainan kongenital cacat bawaan
6 Tidak menderita panasdemam, DBD, batuk pilek yang berat.
7 Tidak menderita penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas ISPA
8 Tampak menderita penyakit Thyroid ada benjolan di leher
9 Sulit diajak bicara, sulit menangkap pembicaraan orang lain dan
kurangtidak dapat mendengar 10
Apatis, tidak bersemangat 11
Tidak anaemia pucat, lemah, malas anemia berat Hb 8 gdl 12
Muka, tangan bengkak, lidah membesar 13
Cebol kerdil dibanding seusianya 14
Motivasi belajar kurang 15
Telah mendapatkan penjelasan tentang penelitian 16 Menyetujui
Informed Consent 17
Bersedia untuk mematuhi semua prosedur penelitian 18
Tidak berpartisipasi dalam penelitian lain Kriteria No. 14-16 perlu dicantumkan sebagai kriteria inklusi karena sejak tahun
1996 kesepakatan Helsinki telah diamandemen kembali untuk Ethical Clearance jenis penelitian high risk maupun jenis penelitian kuratif.
Populasi dan Sampling
Dalam penelitian ini yang dijadikan populasi adalah anak SD kelas IV dan kelas V pada usia 9-12 tahun yang tinggal di desa endemik GAKI di Kabupaten
Boyolali, Jawa Tengah. Sampel, unit observasi dan unit analisis adalah : • Sampel desa diambil secara random sampling dan terpilih dua desa
Jombong, Wonodoyo di kecamatan Cepogo. • Unit observasi dalam penelitian ini ada empat SDN yaitu SDN Jombong I
dan II dan SDN Wonodoyo I dan II. Unit analisis dalam studi ini adalah murid SDN laki laki dan perempuan
usia 9-12 tahun yang aktif sekolah di kelas IV dan V SDN terpilih. Kemudian
dibuat daftar murid calon subyek atas dasar daftar absensi dan secara random diambil sebagai unit analisis. Selanjutnya dilakukan Penapisan sampel dengan
menggunakan 6-11 tanda ciri khas kretin endemik. Apabila terdapat 6-11 tanda artinya anak memiliki risiko menjadi kretin. Adapun 15 tandaciri khas kretin
endemik tersebut Widodo, 2000 adalah : • Gerakan anak tidak terkoordinasi
• Motivasi belajar kurang • Bila berjalan sering jatuh, terhuyung-huyung, langkah tidak teratur
• Sering kejang • Sulit diajak bicara
• Sulit menangkap pembicaraan orang lain • Kurangtidak dapat mendengar
• Juling starbismus • Cebol kerdil dibanding seusianya
• Kulit berbintik berbercak • Ada benjolan di leher
• Apatis, tidak bersemangat • Anaemia pucat, lemah, malas
• Muka, tangan bengkak, lidah membesar • Mengalami gangguan pertumbuhan fisik
Selanjutnya untuk menentukan jumlah sampel digunakan rumus Murti, 2006 yaitu:
n = [Z
α
√ 2p1-p + Z
β √ p
1
1-p
1
+ p 1 – p
p
1
- p 2
n = besar sampel masing-masing kelompok
p = proporsi subyek dalam kelompok kontrol = 0.33
p
1
= proporsi subyek dalam kelompok studi = 0.12 prevalensi kretin Jawa Tengah tahun 1998 ada 12
p = proporsi gabungan = p
1
+ p : 2 = 0.226
p
1
- p = perbedaan proporsi subyek dalam kelompok studi dan kontrol
perbedaan minimal yang bermakna secara klinik = 0.0481
α = batas kemaknaan, menggunakan : 0.05
Z
α
= Z
0.025
= 1.96 1-
β = power, biasanya 0.90 atau 0.80 dalam penelitian dipakai 0.90
Z β =
Z
0.10
= 1.282 1 – p = 0.774
1 – p1 = 0.88 n = 2.285 : 0.0481 = 46.8
∼ 47 anak kelompok 1 – p
= 0.67 perlakuan Proporsi subyek dalam kelompok studi ditentukan berdasarkan besarnya
prevalensi anak penderita kretin di Jawa Tengah sebesar 12. Jadi berdasarkan rumus tersebut total sampel = 4 kelompok x 47 anak = 188 anak. Untuk
mengantisipasi terjadinya lost follow up maka jumlah sampel ditambah 10 menjadi 206. Semua sampel diberi obat cacing, namun sebelumnya dilakukan
random sampling Sekolah Dasar dengan mengundi lintingan kertas tertutup untuk menentukan kelompok perlakuan A,B,C,D. Hasil sampling SD untuk jenis
perlakuan dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Hasil Randomisasi SD untuk Penentuan Jenis Perlakuan
No. Model Dosis
Nama Kelompok
SDN terpilih secara acak
1 Kapsul Iodium 50
μgoranghari + Selenium 45
μgoranghari
Kelompok : A Wonodoyo II
Cepogo 51 anak 2
Kapsul iodium saja 50 μgoranghari
Kelompok : B Wonodoyo II
Cepogo 52 anak 3
Kapsul Selenium 45 μgoranghari Kelompok : C Jombong II Cepogo
52 anak 4
Kapsul tanpa Se I Plasebo Kelompok : D
Jombong I Cepogo 51 anak
Total sampel pada saat penapisan ada 206 anak Setelah perlakuan 4 bulan terjadi drop out 91 anak sehingga jumlah
sampel yang memenuhi syarat untuk dianalisis ada 115 anak n1=18, n2=35, n3=34, n4 = 28 anak. Sebanyak 50 anak mengikuti terapi gizi klinik di
Semarang karena dikhawatirkan akan menjadi kasus kretin baru. Sembilan belas anak sudah lebih dari 20 hari tidak minum suplemen kepatuhan minum suplemen
kurang dari 80. Tiga belas anak pindah sekolah, dan 9 anak takut diambil darahnya. Dengan demikian drop out sampel mencapai 44.17 . Tingginya drop
out sampel hingga mencapai 50 juga dialami oleh Soekarjo, et al. 2004 yang
meneliti tentang suplementasi vitamin A dan zat besi pada remaja di Jawa Timur. Pada umumnya penelitian epidemiologi yang bersifat kuratif bukan promotif-
preventif akan mengalami drop out tinggi sampai 50 Ahmed et al., 2001. Dalam penelitian ini saat penapisan menggunakan set power statistik 90 namun
setelah terjadi drop out sampel maka power statistik menjadi 87.
Variabel dan Definisi Operasional
1. Profil darah anak usia 9-12 tahun adalah pemeriksaan kadar hemoglobin Hb
dalam gdl, kadar hematokrit Ht dalam , kadar eritrosit, leukosit, MCV, MCH, MCHC, kadar Se
μgdl dan kadar I μgdl. Selanjutnya hasil pemeriksaan profil darah untuk menentukan :
• Pre-Post test jenis anemia anak SD usia 9-12 tahun Harga absolut dihitung dari konsentrasi eritrosit, konsentrasi Hb dan Ht.
Rumus MCV, MCH dan MCHC dapat dilihat pada Box.1 Mean corpuscular volume MCV dalam femtoliter fl =
Hematokrit 11 Konsentrasi eritrosit per liter
Mean corpuscular haemoglobin MCH dalam pikogram pg =
Konsentrasi hemoglobin gdl Konsentrasi eritrosit per liter
Mean corpuscular haemoglobin consentarion MCHC Dalam gram per deciliter gdl = Konsentrasi hemoglobin gdl
Hemotokrit ll Box 1 Rumus MCV, MCH dan MCHC Irianto dan Waluyo, 2004.
Anemia akan ditemukan apabila konsentrasi hemoglobin kurang dari 13 gdl pada pria, atau 11,5 gdl pada perempuan, hematokrit juga mengalami
penurunan. Naiknya konsentrasi eritrosit disebut polisitaemia, biasanya disertai dengan meningkatnya konsentrasi hemoglobin dan hematokrit.
• Pre-Post test status Selenium dan Iodium pada anak usia 9-12 tahun merupakan hasil analisis pengukuran kadar Se dan iodium dalam plasma
darah kemudian dibandingkan dengan nilai kadar normal Se = 0.1-6.1 μg dl.
dan Iodium 3-6.5 μg dl. Cara pengukuran preparasi sampel dilakukan di
Lab. Klinik Prodia Solo dan analisis menggunakan metode APN analisis pengaktif nuklir dikerjakan di BATAN Balai Kesehatan Yogyakarta.
Kalkulasi indeks merupakan hasil keseluruhan pengelompokan berdasarkan cut off point
normal atau defisiensi. • Pre-Post test jumlah eritrosit dan leukosit pada anak usia 9-12 tahun
merupakan hasil analisis pengukuran jumlah eritrosit dan leukosit dalam darah kemudian dibandingkan dengan nilai kadar normal eritrosit : 4.2-5.4
mlmm
3
dan leukosit : 5-10 mlmm
3
atau juta ml. Preparasi dan analisis sampel dilakukan di Lab Klinik Prodia Solo dengan kalkulasi indeks hasil
keseluruhan pengelompokkan berdasarkan cut off point normal atau defisiensi.
Langkah kerja laboratoris untuk pemeriksaan darah rutin adalah : a.
Penentuan Kadar Hb : menggunakan metode Cyanmethemoglobin. Ke dalam tabung reaksi, dimasukkan tepat 5 ml larutan reagen Hb larutan pengencer
Drabkin, pengukuran menggunakan buret. Dipipet dengan pipet Hb terstandarisasi 0.02 ml darah tepat. Darah dalam pipet dimasukkan kedalam
larutan reagen Hb. Pipet dibilas dengan menghisap larutan dan mengeluarkannya sampai 3x dan dijaga jangan sampai timbul gelembung
udara. Tabung diputar supaya darah bercampur dengan reagen Hb. Didiamkan selama 10 menit agar terbentuk sianmet-Hb. Dibaca dengan
Spektrofotometer pada 540 nm. Blanko digunakan larutan reagen Hb. Perhitungan g Hb sampel = densitas sampel dibagi densitas standar
dikalikan g Hb standar Underwood, 2002.
b. Penentuan Kadar Ht : menggunakan volume packed red cells VPRC. Darah
yang digunakan telah diberi antikoagulan heparin. Darah dimasukkan ke dalam pipa kapiler. Ujung pipa kapiler berisi darah ditutup. Normal VPRC
untuk laki-laki 45 dan perempuan 41 dari volume seluruhnya Underwood, 2002.
c. Perhitungan MCV Mean Corpuscular Volume adalah rata-rata volume
masing-masing eritrosit, dihitung dari volume eritrosit dibagi banyaknya eritrosit dalam 1 liter darah. MCV dinyatakan dalam femtoliter fl. Normal
MCV pada semua kelompok umur sama, yaitu 80-94 fl Underwood, 2002.
d. Perhitungan MCH Mean Corpuscular Hemoglobin merupakan rata-rata
banyaknya Hb dalam tiap eritrosit.
MCH dinyatakan dalam pico-gram pg. Normal MCH pada anak usia sekolah yaitu 20-27 pg. Underwood, 2002.
e. Perhitungan MCHC Mean Corpuscular Hemoglobin Consentration
merupakan persentase banyaknya Hb terhadap volume eritrosit.
MCHC dinyatakan dalam gram 100 mililiter g100ml. Normal MCHC pada semua kelompok umur sama, yaitu 33-38 g100 ml Underwood, 2002.
f. Jenis anemia menurut ukuran besarnya eritrosit. Menurut Underwood 2002
dan Tierny et al. 2003 ada tiga jenis anemia, yaitu anemia makrositik jenis anemia yang memiliki ukuran eritrosit lebih besar dari normal, anemia
mikrositik jenis anemia yang memiliki ukuran eritrosit lebih kecil dari
g Hb sampel = Densitas sampel x g Hb standar Densitas standar
MCV = Volume Packed Red Cells VPRC Banyaknya eritrosit 1 liter
MCHC = Hb g 100 ml darah VPRC
MCH = Hb g 100 ml darah Banyaknya eritrosit liter
normal, dan anemia monositik jenis anemia yang memiliki ukuran eritrosit normal.
g. Jenis anemia menurut kadar Hb dalam eritrosit. Menurut Underwood 2002
dan Tierny et al. 2003 ada tiga jenis, yaitu anemia hiperkromik jenis anemia yang memiliki kandungan Hb dalam eritrosit berlebih, anemia
hipokromik jenis anemia yang memiliki kandungan Hb dalam eritrosit kurang, dan anemia monokromik jenis anemia yang memiliki kandungan
Hb dalam eritrosit tidak banyak berubah. 2.
Status Gizi Antropometri adalah keadaan gizi anak sebagai hasil dari asupan dan metabolisme dari berbagai zat gizi di dalam tubuh, yang diukur secara
antropometri dan dinilai berdasarkan indeks berat badan menurut umur BBU dan tinggi badanmenurut umur TBU.
Pre-Post test status gizi anak SD usia 9-12 tahun dengan indikator BBU dan TBU Dengan kriteria sebagai berikut :
a. Termasuk Status Gizi Obese bila : 3 SD
b. Termasuk Status Gizi Lebih Gemuk = Over Weight : +2 Z 3 SD
c. Termasuk Status Gizi Normal bila : -2
≤ Z ≤ 2 SD d.
Termasuk Status Gizi Kurang bila : -3 Z - 2 SD e.
Termasuk Status Gizi Stunted bila : Z -3 SD 3.
Skor IQ adalah hasil test IQ anak menurut metode Raven 1995 yaitu untuk Pre-Post test skor IQ terhadap gejala kretin sub-klinik
• IQ 25 : idiot Retardasi mental berat
• IQ=25-40 : Imbecile Retardasi mental sedang
• IQ=40-55 : Moron Retardasi mental ringan
• IQ=55-70 : garis batas dengan gangguan ringan pada perkembangan
psikomotor dan pendengaran • IQ=70-85
: di bawah garis normal dapat termasuk gejala kretin sub- klinik ringan
Data Karakteristik anak SD usia 9-12 tahun yang diambil dengan wawancara : a.
Umur Anak Difinisi operasional : umur pada saat penelitian dilakukan dalam tahun
Penuh tahun, bulan
Prosedur pengukuran : dihitung berdasarkan catatan sekolah b.
Jenis kelamin Difinisi operasional : jenis kelamin anak yang diintervensi laki-laki dan
perempuan Prosedur pengukuran : dikutip dari catatan sekolah dan observasi
langsung c.
Kondisi kesehatan anak Difinisi operasional : catatan kesehatan anak selama 3 bulan terakhir
Prosedur pengukuran : laporan dari yang bersangkutan keluarga teman guru
d. Kebersihan anak selama pemeriksaan
Difinisi operasional : hasil pemeriksaan kebersihan anak berdasarkan
pemeriksaan lubang hidung, telinga, kuku jari tangan dan korengan tidak untuk mengetahui
potensi kecacingan. Prosedur pengukuran : diamati dan diperiksa oleh peneliti
Kalkulasi Indeks : 1. Kotor sekali
2. kotor 3. bersih
4. bersih sekali
Kontrol Kualitas Data
Untuk menjaga tingkat kepercayaan reliabilitas data yang dikumpulkan, maka peneliti berusaha dengan cara :
1. Bekerja bersama satu Tim dengan Puskesmas Cepogo, Bidan Desa, Kepala
Sekolah, Guru kelas dan Guru UKS di setiap SD lokasi penelitian dan Peneliti sendiri sebagai pengumpul data di SD
2. Melakukan pertemuan koordinasi antara peneliti dengan Dinas Kesehatan
Kabupaten DKK, dan Dinas Pendidikan Nasional Kantor cabang Cepogo untuk mendiskusikan setiap masalah yang timbul di lapangan.
3. Penyuntingan data dilakukan segera setelah data terkumpul oleh peneliti
dengan bimbingan dan arahan komisi pembimbing.
Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung kepada subyek dengan menggunakan kuesioner. Selain itu dilakukan wawancara mendalam
kepada Kepala Puskesmas Cepogo, Kepala Sekolah Dasar terpilih, Guru Kelas dan Guru UKS setiap SD terpilih. Selanjutnya untuk mengidentifikasi masalah
dengan pendekatan Fish Bone yaitu melihat masalah dari aspek manusia, lingkungan, metode, alat dan materi. Langkah-langkah yang dilakukan untuk
pengumpulan data adalah : 1.
Menggalang komitmen dengan DKK Boyolali, Kapuskes dan dokter Puskesmas, Bidan desa, Dinas Pendidikan Nasional cabang Cepogo.
Dilanjutkan sosialisasi tentang pelaksanaan penelitian pemberian kapsul iodium dan selenium frekuensi dan dosis. Hal ini bertujuan untuk
menghindarkan over dosis. 2.
Setelah sosialisasi kegiatan penelitian dengan pihak DKK Boyolali dan Diknas Boyolali selanjutnya sosialisasi dengan pihak SD dan orangtua murid
di setiap lokasi SD terpilih. Dalam hal ini peneliti didampingi pihak Puskesmas.
3. Setelah informed consent diperoleh dari pihak orangtua murid dan disaksikan
kepala SD atau guru kelas, maka kegiatan penelitian utama segera dapat dilakukan dengan sampel yang berdasarkan hasil Penapisan.
4. Peneliti bersama dengan tim Puskesmas yang sudah dilatih melakukan
pengukuran antropometri, tebal lidah, dan wawancara mendalam tentang konsumsi anak setiap hari, dilanjutkan dengan pengambilan darah oleh tim
paramedis dari Prodia Solo. Pengambilan data primer lain seperti identitas dan riwayat kesehatan sampel dilakukan oleh peneliti. Data sekunder besar
prevalensi GAKI diverifikasi dengan data dari berbagai pihak terkait. 5.
Jenis paket intervensi yang diberikan adalah : • Kapsul selenium dosis 45 μghari dan iodium dosis 50 μghari disediakan
oleh peneliti untuk dikonsumsi selama 2 bulan SDN Wanodoyo II. • Kapsul iodium dengan dosis rendah 50 μghari saja diberikan selama 2
bulan SDN Wonodoyo I
• Kapsul selenium dosis 45 μghari saja disediakan oleh peneliti untuk dikonsumsi selama 2 bulan SDN Jombong II.
• Kapsul tanpa iodium maupun selenium Plasebo diberikan selama 2 bulan SDN Jombong I
Secara teknis, masing-masing subyek penelitian diambil darahnya pada pagi hari melalui Vena median cubiti sebanyak 3 ml dan ditampung dalam
tabung EDTA untuk pengukuran kandungan zat gizi selenium dan iodium dalam plasma. Garam diambil dari masing-masing rumah tangga untuk pengukuran
kadar iodium. Demikian juga air diambil dari rumah tangga secara sub-sampel untuk pengukuran iodium, dan selenium. Asupan iodium dan selenium diperoleh
dengan wawancara 24-hour recall dan FFQ Food Frequency Qiestionaire untuk mengetahui asupan protein hewani dan zat goitrogenik. Informasi
distribusi kapsul iodium dan selenium dilakukan dengan lembar catatan kepatuhan minum kapsul Lampiran 1. Semua data kegiatan penelitian di
lapangan kemudian diolah dengan cara : • Hasil wawancara 24-hour recall diolah dengan komputer program Nutri-Soft
2005 kemudian dibandingkan dengan AKG. • Pengukuran iodium dan selenium pada plasma darah anak SD dengan metode
NAA Neutron Activation Analysis.
Analisis Data
Data yang diperoleh di tabulasi dan dianalisis dengan software SPSS for windows Release 13. Data kualitatif diolah untuk penyusunan pola
kecenderungan dan analisis hubungan antar berbagai pola yang diperoleh. Sedangkan data kuantitatif diolah untuk menganalisis perubahan profil darah antar
kelompok, status gizi, status kesehatan dan skor IQ anak antar kelompok yang diberi suplemen dan kelompok kontrol sebelum dan sesudah diberikan
perlakuan menggunakan Independent T-test dilanjutkan analisis Ancova Table test.
Uji Chi-square digunakan untuk menguji kesamaan distribusi peubah non parametrik antar kelompok perlakuan. Uji ANOVA digunakan untuk
membandingkan perbedaan peubah parametrik sebelum perlakuan seperti kadar Hb, Ht, eritrosit, leukosit, MCV, MCH, MCHC, kadar Se dan I, status gizi
underweight dan stunted, skor IQ dan jumlah tanda khas kretin anak. Uji efektivitas suplementasi menggunakan selisih nilai
∆ parameter profil darah, status gizi, skor IQ dan jumlah tanda khas ketin pada anak sebelum dan sesudah
perlakuan. Sebelum semua data diolah perlu dilakukan tes kenormalan data dengan Kolmogorov Smirnov Goodness of Fit.
Untuk mengkoreksi adjusted peubah perancu confounder yang diduga berpengaruh terhadap besaran selisih dampak setelah 2 bulan perlakuan
menggunakan uji ANCOVA. Kemudian bila uji ancova nyata dilanjutkan analisis hubungan antar variabel digunakan Regresi Linier Sederhana dilanjutkan analisis
multivariate two factor nested design untuk mengetahui nilai odds ratio kretin
endemik pada anak menurut standar nilai kandungan Se dan I dalam plasma darah.
Protokol Penelitian
1. Penapisan Anak
a. Kriteria penerimaan Tabel 16
b. Kriteria penolakan
• anak SD umur kurang dari 9 dan atau lebih 12 tahun pada waktu penapisan skrining
• tidak bersedia memberikan ‘inform consent’ tidak kooperatif • sedang menderita penyakit tertentu
2. Pengelompokan Anak
a. Anak kelas IV+V dari SDN Wanodoyo II mendapat kapsul selenium
dosis 45 μghari dan iodium dosis 50 μghari yang disediakan oleh
peneliti untuk dikonsumsi selama 2 bulan Kelompok A b.
Anak kelas IV+V dari SDN Wonodoyo I mendapat kapsul iodium dengan dosis 50
μghari saja diberikan selama 2 bulan Kelompok B c.
Anak kelas IV+V SDN Jombong II mendapat kapsul selenium dosis 45 μghari saja disediakan oleh peneliti untuk dikonsumsi selama 2 bulan
Kelompok C. d.
Anak kelas IV+V SDN Jombong I mendapat kapsul tanpa iodium maupun selenium Plasebo diberikan selama 2 bulan Kelompok D
3. Dosis dan Pemberian Suplemen
Dosis suplemen iodium yang diberikan mengacu pada rekomendasi WHO UNICEFICCIDD 1992 yaitu sebesar 50
μg hari untuk anak usia 9-12 tahun. Sementara dosis Se yang diberikan mengacu pada besarnya ekskresi
Se sebesar 50 - 60 atau 45 μg Elson, 2003. Dosis rendah yang
ditetapkan tersebut masih berada pada batas aman safe level intake. Seluruh suplemen untuk penelitian ini diproduksi oleh PT Kimia Farma tepatnya
Divisi Riset dan Pengembangan di Bandung. Pengujian Laboratorium Analisis Kimia Farma di Surabaya untuk pemeriksaan bentuk, warna, isi,
waktu hancur dan ketepatan kadar selenium selenat maupun iodium dapat disimpulkan telah memenuhi syarat seperti yang diharapkan dalam penelitian.
a. Pemilihan suplemen
Suplemen utama dalam penelitian ini adalah kapsul selenium dan iodium. Untuk mengkondisikan bebas kecacingan diberikan terlebih dulu obat
cacing ‘albendazole’ dosis 400 mg cukup satu kali di minum sebelum penelitian.
i. Kapsul selenium Se adalah kapsul suplemen yang mengandung
selenium selenat 45 μg yang diberikan kepada anak setiap hari selama
dua bulan ii.
Kapsul iodium I adalah kapsul suplemen yang mengandung iodium 50 μg yang diberikan kepada anak setiap hari selama dua bulan
iii. Kapsul plasebo adalah kapsul yang secara fisik sama dengankapsul
prlakuan tetapi hanya mengandung selulosa yang diberikan setiap hari selama dua bulan.
Pemberian suplemen secara tersamar Pada tahap I semua anak menerima obat cacing ‘Albendazole’ 400 mg dalam
satu kapsul. Kemudian randomisasi dan terdapat empat kelompok A, B,C,D i.
Pada tahap II suplemen kapsul iodium dan selenium dimulai di setiap kelompok dengan dosis harian 50
μghari 1 kapsul iodium dan dosis harian 45
μghari 1 kapsul selenium diberikan saat anak mengikuti pelajaran sekolah setelah istirahat pertama.
ii. Tahap III setelah suplemen diberikan selama 2 bulan dilakukan
monitoring dampak selama 2 bulan dengan pemantauan tiap bulan. Jadi ada 4 kali pengukuran antropometri, 2 kali pre dan post pengukuran
profil darah dan skor IQ 4.
Kepatuhan anak Kepatuhan anak untuk minum kapsul iodium dan selenium dapat
diandalkan keterjaminannya karena setiap anak minum kapsul di sekolah di depan guru dan tim peneliti lapangan yang ditunjuk dari Puskesmas Cepogo.
Adapun formulir catatan harian untuk melihat kepatuhan anak dapat dilihat pada Lampiran 2.
5. Pengukuran respon intervensi gizi dan pencatatan data
a. Semua data mulai dari awal sampai akhir penelitian dicatat setelah ‘item’
kegiatan selesai untuk menghindari ‘data hilang’ atau data kurang lengkap. Artinya sebelum periode ‘run-in’ berakhir maka semua
pencatatan data baik primer, sekunder maupun yang bersifat fakultatif harus sudah dievaluasi kelengkapan dan kebenarannya. Karena dalam
penelitian ini ada kegiatan pemantauan selama 4 bulan selama intervensi zat gizi, maka diperlukan pencatatan data antara. Data antara ini ada 4x
hasil pemantauan dan pengukuran dari antropometri, dan tebal lidah. b.
Penilaian respon subyektif Menggunakan kuesioner dilakukan pemantauan setiap minggu untuk
mengetahui apakah ada keluhan subyektif dari anak yang diberi intervensi gizi dan beberapa efek samping yang dirasakan oleh anak yang
telah minum suplemen iodium dosis harian 50 μghari 1 kapsul dan
suplemen selenium dosis harian 45 μghari 1 kapsul.
6. Pengambilan darah
Sampel darah diambil dari pembuluh vena anak pada pagi hari sebanyak dua kali awal dan akhir penelitian pre test dan post test. Darah langsung
dimasukkan kedalam tabung yang sudah diberi EDTA. Plasma diperoleh dengan cara memutar darah sisa analisis hematologi Hb, Ht, MCV, MCH,
MCHC, Leukosit dan eritrosit menggunakan centrifuge selama 15 menit 2000
rpm. Selanjutnya plasma darah disimpan dalam ‘Eppendorf plastic tubes’ dengan suhu -20 C. Preparasi sampel darah yang akan diukur dan dianalisis
kandungan selenium maupun iodiumnya dilakukan di Laboratorium Klinik Prodia. Analisis kandungan zat gizi sampel darah dilakukan dengan
menggunakan APN Analisis Pengaktif Neutron di Laboratorium Teknologi Maju BATAN, Yogyakarta dan Laboratorium Balai Kesehatan Yogyakarta.
7. Pengukuran Kemampuan Kognitif
Kemampuan Kognitif untuk mendapatkan skor IQ anak dilakukan oleh seorang psikolog dengan menggunakan metode Raven Cognitive Classical.
Ada tiga kolom lembar jawab seperti contoh Lampiran 3.
HASIL PENELITIAN
Hasil Penelitian Pendahuluan
Dosis rendah yang ditetapkan untuk suplemen iodium yang diberikan kepada anak mengacu pada rekomendasi WHO UNICEFICCIDD 1992 yaitu
sebesar 50 μg hari. Sementara dosis Se yang diberikan mengacu pada besarnya
ekskresi Se sebesar 50 - 60 atau 45 μg Elson, 2003. Selanjutnya dilakukan
penelitian pendahuluan untuk memastikan apakah ada pengaruh pengganggu dosis rendah yang ditentukan dengan bioavailabilitasnya. Mengingat usia anak 9-12
tahun merupakan masa growth spurt-II sehingga diharapkan dengan penambahan dosis rendah Se dan I akan dapat memperbaiki profil darah, status gizi, status
kesehatan dan skor IQ anak. Penelitian bioavailabilitas dosis rendah kapsul iodium dan selenium dengan menggunakan prosedur baku bioavailabilitas zat
gizi, yaitu prosedur duplo analisis pengaktif neutron APN di Laboratorium Teknologi Maju BATAN dan di Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta.
Selain itu menurut IOM 2001 penentuan dosis rendah Iodium 50 μghari berdasarkan rata-rata untuk masa pertumbuhan anak usia 10-20 tahun
laki-laki sebesar 130 μghari dan untuk anak perempuan 100 μghari.
Pertimbangan dosis rendah Sodium Selenat 45 μghari karena kebutuhan anak
perempuan dan laki-laki mencapai 280 μghari. Penelitian ini tidak menggunakan
tikus sebagai sarana analisis bio-availabilitas, tetapi cukup menggunakan tabung dengan saraf ayam yang ditanam untuk mengetahui test reliabilitas TR. Hasil
penjumlahan Internal Consistency + TR dinyatakan sebagai nilai Test bio- availabilitasnya BATAN, 1999. Adapun hasil analisis bio-availabilitas jenis
prosedur Duplo AAS di BATAN adalah : Tabel 18 Hasil Analisis Bio-availabilitas Kapsul Iodium dan Selenium
Sampel Nilai Kandungan
Murni Hasil Kecepatan
Tumbuh Sel Reliabilitas
Validitas In-Vitro Kapsul Sodium
Selenat 48
harusnya 50 Tampak pada
hari ke-22 S : 0.65R0.85
=0.77 Kapsul Iodium
50 harusnya 50
Tampak langsung pada menit ke-10
S : 0.65R0.85 =0.85
Hasil Penapisan Sampel
Jumlah SDMI di Kecamatan Cepogo ada 47, namun tidak semuanya berada di wilayah endemik GAKI. Ada 27 SDMI yang berada di wilayah desa
endemik GAKI. Dari 27 SDMI tersebut secara random diambil 6 SD, namun karena siswa yang berasal dari dua SD kebanyakan memiliki 8-15 tanda khas
kretin maka mereka diambil untuk mengikuti terapi giziklinik diSemarang. Dengan demikian dalam penelitian ini hanya menggunakan 4 SD yaitu SDN
Jombong I dan II, serta SDN Wonodoyo I dan II. Jumlah keluarga dengan TGR 14.5 di kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali tercatat ada 4595 keluarga
dengan anak usia sekolah dasar. Jumlah anak SD kelas IV dan V yang tinggal di daerah endemik GAKI sebanyak 1813 anak. Dari 1813 anak kelas IV dan V
tersebut yang tinggal di desa endemik GAKI seperti Jombong, dan Wonodoyo ada sekitar 206 anak Data Penilaian Kinerja Puskesmas, 2005. Setelah
dilakukan penapisan terhadap 206 calon sampel menunjukkan bahwa ciri khas hipothyroid
cebol ada 29 . Adapun hasil penapisan tanda khas kretin dapat dilihat pada Gambar 13, dan penapisan tes IQ pada Gambar 14.
Gambar 13 Hasil Penapisan Gejala Tanda Khas Kretin
18
46 32
22 29
Dengar Gangg.Bicara
jln lambat Pendek
Gondok
30 15
55 IQ 35 Imbecile
IQ=40-70Moron IQ=70-85Dull Normal
Gambar 14 Hasil Penapisan Tes IQ Berdasarkan rumus besar sampel seharusnya jumlah sampel untuk
penelitian intervensi zat gizi selenium dan iodium dosis rendah harian ini sebesar 206 anak. Setelah perlakuan 4 bulan terjadi drop out 91 anak sehingga jumlah
sampel yang memenuhi syarat untuk dianalisis ada 115 anak n1=18, n2=35, n3=34, n4=28 anak. Kejadian drop out 91 anak disebabkan ada 50 anak
mengikuti terapi gizi klinik di Semarang, 19 anak lebih dari 20 hari tidak minum suplemen, 13 anak pindah sekolah, 9 takut diambil darahnya. Dengan demikian
drop out sampel mencapai 44.17 . Hal ini seperti yang dialami oleh Soekarjo et
al. 2004 yang melalukan studi suplementasi zat besi pada remaja. Adapun besar
sampel dan asal sampel dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Besar dan Asal Sampel pada Waktu Penapisan
No. Asal Sampel
Jumlah Sampel
1 SDN Gedangan I, Kecamatan Cepogo,
Kabupaten Boyolali. Kelas IV dan V 40 anak
2 SDN Gedangan II, Kecamatan Cepogo,
Kabupaten Boyolali. Kelas IV dan V 39 anak
3 SDN Jombong I, Kecamatan Cepogo,
Kabupaten Boyolali Kelas IV dan V 31 anak
4 SDN Jombong II, Kecamatan Cepogo,
Kabupaten Boyolali Kelas IV dan V 39 anak
5 SDN Wonodoyo I, Kecamatan Cepogo,
Kabupaten Boyolali. Kelas IV dan V 39 anak
6 SDN Wonodoyo II, Kecamatan Cepogo,
Kabupaten Boyolali. Kelas IV dan V 18 anak
Besar sampel yang digunakan pada saat penapisan 206 anak
Retardasi Mental Berat-Sedang
Retardasi Mental Ringan
Di bawah Rata-rata
Selanjutnya sebaran sampel yang mengikuti kegiatan penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20 Persentase Sebaran Partisipasi Subyek Penelitian
Sebaran Sampel
Asal Sekolah
Awal perlakuan
Akhir perlakuan
Partisipasi subyek asal
sekolah Total
Partisipasi Desa
SDN Jombong I
31 anak 28 anak
90.32
SDN Jombong II
40 anak 34 anak
80 85.16
SDN Wonodoyo I
42 anak 35 anak
88.1
SDN Wonodoyo II
18 anak 18 anak
100 94.05
Total
131 115 87.78
Hasil Penelitian Epidemiologi Karakteristik Anak Menurut Pemeriksaan Fisik
Karakteristik anak dalam penelitian ini sebagai tanda anak yang diperkirakan akan mempengaruhi perubahan pertumbuhan dan perkembangan
intelektual yang terjadi pada diri anak. Dalam penelitian ini ada karakteristik umur, jenis kelamin, dan tanda khas kretin.
1. Umur dan Jenis Kelamin Anak