kemudian mengusulkan tindakan tersebut kepada bawahannya. Staf diminta saran dan kritiknya serta mempertimbangkan respon staf terhadap usulannya, dan
keputusan akhir ada pada kelompok Nursalam, 2007. Gaya kepemimpinan Laissez–Faire atau bebas tindak merupakan pimpinan
offisial dimana pemimpin melepaskan tanggung jawabnya, karyawan menentukan sendiri kegiatan tanpa pengarahan, supervisi dan koordinasi dan memaksa mereka
untuk merencanakan, melakukan, dan menilai pekerjaan mereka yang menurut mereka tepat Gillies, 1994.
Berbagai jenis kepemimpinan yang tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan. Semua gaya kepemimpinan dapat dipilih untuk digunakan tergantung
dari situasi dan kondisi yang ada Suyanto, 2009. Implementasi gaya kepemimpinan lebih didasarkan pada situasi kondisi serta kemampuan dari
seluruh anggota yang ada dalam organisasi. Pemilihan tipe kepemimpinan yang terbaik untuk sebuah situasi yang ada sangat dipengaruhi oleh berbagai banyak
faktor, antara lain kesulitan atau kompleksitas tugas yang diberikan, banyaknya waktu yang tersedia untuk penyelesaian tugas, ukuran kelompok kerja, pola
komunikasi dalam kelompok, latarbelakang pendidikan dan pengalaman, dan kebutuhan akan kebebasan, informasi dan prestasi Tannenbaum Schmit dikutip
dari Arwani, 2006.
3. Manajemen Konflik
3.1 Defenisi Konflik
Deutsch dikutip dari Monica 1998 mendefinisikan konflik sebagai suatu perselisihan atau perjuangan yang timbul akibat terjadinya ancaman
Universitas Sumatera Utara
keseimbangan antara perasaan, pikiran, hasrat, dan perilaku seseorang. Konflik terjadi akibat adanya pertentangan pada situasi keseimbangan yang terjadi pada
diri individu ataupun pada tatanan yang lebih luas, seperti antar–individu, antar- kelompok, atau antar–masyarakat Arwani, 2006. Marquis Huston 2010
mendefinisikan konflik sebagai perselisihan internal atau ekternal akibat adanya perbedaan gagasan, nilai, atau perasaan antara dua orang atau lebih.
Walton dalam Winardi 2001 mengatakan konflik timbul apabila terdapat ketidaksesuaian paham pada sebuah situasi sosial mengenai persoalan-persoalan
substansi dan atau antagonisme emosional. Konflik-konflik substansi biasanya berpusat pada ketidakcocokan dengan tujuan-tujuan dan alat-alat. Konflik-konflik
emosional mencakup perasaan marah, ketidaksenangan, perasaan takut, penolakan, dan benturan-benturan kepribadian.
Berdasarkan uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa konflik adalah suatu kondisi yang ditimbulkan karena adanya perbedaan pendapat atau perbedaan
cara pandang antara individu yang saling berinteraksi yang dimulai dari dalam individu itu sendiri, antarkelompok dan antarorganisasi.
3.2 Kategori Konflik
Marquis Huston 2010 mengatakan ada tiga kategori konflik yang utama : intrapersonal, interpersonal, dan interkelompok. 1 Konflik intrapersonal :
konflik yang terjadi pada individu sendiri. Keadaan ini merupakan masalah internal untuk mengklarifikasi nilai dan keinginan dan konflik yang terjadi. Hal
ini sering dimanifestasikan sebagai akibat dari kompetensi peran Nursalam, 2009. Bagi manajer, konflik intrapersonal dapat disebabkan oleh berbagai area
Universitas Sumatera Utara
tanggung jawab yang terkait dengan peran manajemen Marquis Huston, 2010. 2 Konflik interpersonal : konflik terjadi antara dua orang atau lebih dimana nilai,
tujuan dan keyakinan berbeda. Konflik ini sering terjadi karena seseorang secara konstan berinteraksi dengan orang lain, sehingga ditemukan perbedaan–perbedaan
Nursalam, 2009. Ruang lingkup ini sangat tidak terbatas, konflik bisa terjadi antara atasan dengan bawahan secara individu dalam suatu perusahaan Bachtiar,
2004. 3 Konflik interkelompok : konflik yang terjadi antara dua atau lebih dari kelompok orang, departemen, atau organisasi. Sumber konflik ini adalah
hambatan dalam mencapai kekuasaan dan otoritas kualitas jasa layanan, serta keterbatasan prasarana Marquis Huston, 2010. Konflik interkelompok
menyebabkan tugas koordinasi dan integrasi kegiatan-kegiatan tugas menjadi sulit Winardi, 2007.
3.3 Penyebab Konflik
Konflik dapat terjadi karena manusia mempunyai sifat yang terbagi dalam kuadran yaitu : 1 dominasi dominance, sifat yang paling mendasar dalam diri
manusia yang dapat menimbulkan konflik. Dominasi muncul karena manusia ingin mempertahankan kehidupan pribadi dan sosialnya dimata orang lain atau
ingin menguasai orang lain agar menuruti keinginannya yang tujuannya untuk mencapai kepuasan diri. 2 Kepengaruhan persuasiveness, hal ini terjadi jika
seseorang berusaha mempengaruhi orang lain agar mau menuruti apa yang dipengaruhkan kepadanya, jika pengaruh tersebut membawa dampak negatif pada
dirinya maka akan terjadi konflik. 3 Keteguhan hati steadiness, merupakan cerminan sikap egois dalam diri manusia, yang bila bersentuhan dengan
Universitas Sumatera Utara
kepentingan dan harga diri manusia lain bisa menimbulkan konflik dan 4 kepatuhan compliance, diartikan sebagai kepatuhan seseorang terhadap nilai-
nilai dan aturan-aturan yang berlaku di lingkungannya. Jika ada karyawan yang tidak patuh sedangkan karyawan yang lain sudah patuh akan memicu timbulnya
konflik Bachtiar, 2004. Beberapa alasan yang paling umun yang menyebabkan terjadinya konflik di
lingkungan kerja yaitu : kompetisi diantara kelompok, beban kerja yang meningkat, peran ganda, ancaman identitas profesional dan lingkungan, ancaman
keamanan dan keselamatan, sumber daya yang kurang, budaya yang berbeda, dan kondisi ruangan Tappen, 2004.
Arwani 2006 mengatakan banyak faktor yang menyebabkan terjadinya konflik diantaranya perilaku yang menentang, stress, kondisi ruangan,
kewenangan dokter-perawat, keyakinan, ekslusifisme, kekaburan tugas, kekurangan sumber daya, proses perubahan, imbalan dan masalah komunikasi.
Berikut ini uraian faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik tersebut : a. Perilaku menentang, sebagai bentuk dari ancaman terhadap suatu dialog, dapat
menimbulkan gangguan protokol penerimaan untuk berinteraksi dengan orang lain. Perilaku ini dapat berupa verbal dan nonverbal. Terdapat tiga macam
perilaku menentang, yaitu : competitive bomber yang dicirikan perilaku yang mudah menolak, menggerutu dan menggumam, mudah untuk tidak masuk
kerja, dan merusak secara agresif yang disengaja. Tipe perilaku menentang kedua adalah martyred acomodation, yang ditunjukkan dengan penggunaan
kepatuhan semu atau palsu dan kemampuan bekerjasama dengan orang lain,
Universitas Sumatera Utara
namun sambil melakukan ejekan dan hinaan. Tipe perilaku menentang ketiga adalah avoider, yang ditunjukkan dengan pengghindaran kesepakatan yang
telah dibuat dan menolak untuk berpartisipasi. b. Banyaknya stressor yang muncul dalam lingkungan kerja seseorang
menimbulkan terjadinya stress. Stres dapat mengakibatkan tekanan fisik maupun tekanan mental hal ini akan mudah memicu terjadinya konflik.
c. Kondisi ruangan yang terlalu sempit atau tidak kondusif untuk melakukan kegiatan–kegiatan rutin dapat memicu terjadinya konflik. Hal yang
memperburuk keadaan dalam ruangan dapat berupa hubungan yang monoton atau konstan diantara individu yang terlibat di dalamnya, terlalu banyaknya
pengunjung pasien dalam suatu ruangan atau bangsal mampu memperparah kondisi ruangan yang mengakibatkan terjadinya konflik.
d. Kewenangan dokter–perawat yang berlebihan dan tidak saling mengindahkan usulan–usulan di antara mereka, juga dapat mengakibatkan munculnya
konflik. Dokter yang tidak mau menerima umpan balik dari perawat, atau perawat yang merasa tidak acuh dengan saran–saran dari dokter untuk
kesembuhan klien yang dirawatnya, dapat memperkeruh suasana. e. Perbedaan nilai atau keyakinan antara satu orang lain dengan yang lainnya
dapat menyebabkan terjadinya konflik. Perawat begitu percaya dengan persepsinya tentang pendapat kliennya sehingga menjadi tidak yakin dengan
pendapat yang diusulkan oleh profesi atau tim kesehatan lainnya. Keadaan ini akan semakin kompleks jika perbedaan keyakinan, nilai, dan persepsi telah
melibatkan pihak di luar tim kesehatan yaitu keluarga pasien.
Universitas Sumatera Utara
f. Ekslusifisme yaitu adanya pemikiran bahwa kelompok tertentu memiliki kemampuan yang lebih dibandingkan kelompok lain.
g. Kekaburan tugas atau peran ganda yang disandang seseorang perawat dalam bangsal keperawatan sering mengakibatkan konflik. Seorang perawat yang
berperan lebih dari satu peran pada waktu yang hampir bersamaan masih merupakan fenomena yang jamak ditemukan dalam tatanan pelayanan
kesehatan baik di rumah sakit maupun komunitas. h. Kekurangan sumber daya manusia sering memicu terjadinya persaingan yang
tidak sehat dalam suatu tatanan organisasi. i. Proses perubahan yang terlalu cepat atau proses perubahan yang terlalu lambat
dapat memunculkan konflik. Individu yang tidak siap dengan perubahan memandang perubahan sebagai suatu ancaman.
j. Imbalan jika dikaitkan dengan pembagian yang tidak merata antara satu orang dengan orang lain dapat menyebabkan munculnya konflik. Pemberian imbalan
yang tidak didasarkan atas pertimbangan profesioanal sering menimbulkan masalah yang pada akhirnya menimbukan suatu konflik.
k. Masalah komunikasi, penyampaian informasi yang tidak seimbang, hanya orang tertentu yang diajak berbicara oleh manajer, penggunaan bahasa yang
tidak efektif, dan penggunaan media yang tidak tepat sering berujung terjadinya konflik.
3.4 Proses Konflik
Proses konflik ada enam tahapan yaitu : pertama, kondisi yang mendahului, konflik yang dipersepsi, konflik yang dirasakan, perilaku yang dinyatakan,
Universitas Sumatera Utara
penyelesaian atau penekanan konflik, dan penyelesaian akibat konflik Filley dikutip dari Monica 1998. Kondisi yang mendahului merupakan penyebab
terjadinya konflik tahap kedua. Kondisi yang ada di antara pihak yang terlibat atau di dalam diri dapat menyebabkan terjadinya konflik. Tahapan ketiga konflik
akan dipersepsikan adalah konflik intelektual dan sering melibatkan isu serta peran. Konflik ini dikenali secara logis dan tidak melibatkan perasaan orang lain
yang terlibat konflik. Konflik yang dirasakan ketika konflik melibatkan emosi. Emosi yang dirasakan antara lain rasa bermusuhan, takut, tidak percaya dan
marah. Konflik ini mungkin juga dipersepsikan bukan dirasakan, karena orang juga dapat merasakan konflik tetapi tidak mengetahui masalahnya Marquis
Huston, 2010. Pada tahapan keempat konflik akan dimanifestasikan ataupun ada perilaku yang dinyatakan seperti agresif, pasif, asersif, persaingan, debat, atau
beberapa individu memecahkan konflik. Langkah selanjutnya tahap lima yang dilakukan terhadap terjadinya konflik adalah perilaku untuk menyelesaikan atau
menekan konflik tersebut. Perilaku tersebut dapat berupa perjanjian di antara yang terlibat atau kadang melakukan tindakan penaklukan salah satu pihak. Suatu
penyelesaian masalah dengan cara memuaskan semua orang yang terlibat di dalamnya dengan prinsip win–win solution. Pada tahap terakhir dalam proses
konflik adalah akibat konflik. Konflik akan selalu menimbulkan dampak negatif dan positif. Jika konflik dikelola secara baik, orang yang terlibat di dalam konflik
akan percaya ia akan diberlakukan secara adil. Jika konflik tidak terselesaikan akan menimbulkan konflik yang lebih besar dari konflik yang utama Nursalam,
2009.
Universitas Sumatera Utara
3.5 Strategi Penyelesaian Konflik
Seorang pemimpin bertugas mengenali manajemen konflik atau strategi penyelesaian masalah yang paling tepat untuk setiap situasi. Pilihan strategi yang
tepat tergantung pada banyak variabel, misalnya situasi itu sendiri, kekuatan atau status pihak yang terlibat dan kedewasaan orang yang terlibat dalam konflik
Marquis Huston, 2010. Ada beberapa strategi yang digunakan dalam penyelesain konflik yaitu kompromi atau negosiasi, kompetisi, akomodasi,
smoothing, menghindar, dan kolaborasi Nursalam, 2009. a. Kompromi atau negosiasi : suatu strategi penyelesaian konflik dimana semua
yang terlibat saling menyadari dan sepakat pada keinginan bersama. Penyelesaian strategi ini sering diartikan sebagai lose–lose situation kedua
unsur yang terlibat menyepakati hal yang telah dibuat Nursalam, 2009. Kompromi bekerja menuju kepuasan parsial, semua pihak mencari sebuah
solusi yang dapat diterima dan bukan yang optimal dengan demikian tidak ada pihak yang menang maupun kalah secara mutlak Winardi, 2007. Strategi ini
dapat dilakukan ketika tujuan-tujuannya penting, ketika pihak lawan dengan persamaan kekuasaan sepakat untuk mencapai tujuan bersama. Strategi ini
dapat dilakukan dengan tujuannya untuk mencapai penyelesaian sementara untuk isu-isu yang kompleks, untuk mencapai solusi yang bijaksana, dan
sebagai cadangan ketika gaya kolaborasi dan kompetisi tidak berhasil Rivai, 2003.
b. Kompetisi : strategi ini dapat diartikan sebagai win–lose penyelesaian konflik. Penyelesaian ini menekankan bahwa hanya ada satu orang atau kelompok yang
Universitas Sumatera Utara
menang tanpa mempertimbangkan yang kalah. Akibat negatif dari strategi ini adalah kemarahan putus asa dan keinginan untuk memperbaiki di masa
mendatang Nursalam, 2009. Strategi ini sering digunakan apabila keputusan- keputusan cepat dan desisif diperlukan sekali misalnya dalam situasi darurat
dan persoalan-persoalan penting Rivai, 2003. c. Akomodasi : strategi ini digunakan untuk memfasilitasi dan memberikan
wadah untuk menampung keinginan pihak yang terlibat konflik. Dengan cara ini dimungkinkan terjadi peningkatan kerjasama dan pengumpulan data–data
yang akurat dan signifikan untuk pengambilan suatu kesepakatan bersama Arwani Supriyanto, 2006. Strategi ini bertujuan untuk memelihara
kerjasama, membangun penghargaan sosial bagi isu-isu berikutnya, meminimalkan kerugian, keharmonisan dan stabilitas dipandang lebih penting,
dan memberi kesempatan kepada bawahan berkembang dengan belajar dari kesalahan Rivai, 2003
d. Smoothing : strategi ini sering digunakan manajer agar seseorang mengakomodasikan atau bekerjasama dengan pihak lain. Smoothing terjadi
ketika satu pihak dalam konflik berupaya untuk memuji pihak lain atau berfokus pada hal yang disetujui bersama, bukan pada perbedaan. Pendekatan
ini tepat digunakan pada perselisihan yang kecil Marquis Huston, 2010. e. Menghindar : semua pihak yang terlibat dalam konflik menyadari masalah
yang dihadapi tetapi memilih untuk menghindar atau tidak menyelesaikan masalah Nursalam, 2009. Strategi ini biasanya dipilih jika isu tidak gawat
Universitas Sumatera Utara
atau bila kerusakan yang potensial tidak akan terjadi dan lebih banyak menguntungkan Swanburg, 2000.
f. Kolaborasi : strategi ini merupakan strategi win–win solution, dalam kolaborasi kedua belah pihak menentukan tujuan bersama dan bekerja sama dalam
mencapai suatu tujuan, karena keduanya meyakini akan tercapainya suatu tujuan yang telah ditetapkan dan masing–masing pihak yang terlibat
meyakininya Nursalam, 2009.
4. Gambaran Umum RSUP H. Adam Malik Medan