Relativisme Kultur dan Pentingnya Peran Pendidikan bagi Pemajuan dan Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia
Relativisme Kultur dan Pentingnya Peran Pendidikan bagi Pemajuan dan Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia
Sekalipun seringkali dikemukakan dengan yang hidup sebagai bagian dari massa penuh semangat bahwa agama-agama besar
rakyat -- inilah yang eksis dalam statusnya di dunia ini tak ada satu pun yang
sebagai representasi kepentingan kolektif mengingkari hak-hak manusia untuk hidup,
suatu kolektiva, entah yang berformat suku bekerja
entah yang berformat bangsa. Tradisi lama keselamatannya di dunia dan akhirat,
dan menguasai
milik
demi
ini umumnya juga mengenal pembeda- namun toh tak dapat diingkari hal berikut
bedaan peran dan hak diantara golongan ini. Ialah bahwa banyak tradisi lama -- juga
dengan akibat bahwa yang mengklaim kebenarannya dari ajaran
penduduk,
sesiapapun yang terbilang kaum minoritas agama -- yang masih mendakwakan bahwa
akan termarjinalisasi dan terdiskriminasi hak dan kewenangan itu ada di tangan para
secara tak sepatutnya. Maka, manakala oleh penguasa, dan tidak di tangan rakyat. Para
sesuatu sebab dan berdasarkan suatu penguasa -- dan bukan individu-individu
argumen
orang
membenar-benarkan membenar-benarkan
masih dalam tataran alam ideal, yang seperti itu, ini akan berarti bahwa orang
relativisme
kultur
realisasinya masih akan memerlukan upaya yang berargumen seperti itu -- sadar atau
sungguh-sungguh guna tidak -- sebenarnya akan tidak berkeberatan
yang
mengefektifkan perubahan tradisi dan untuk menangguhkan berlakunya suatu
usaha ini harus kaidah tertentu dalam suatu deklarasi
keyakinan.
Semua
dikerjakan melalui suatu proses berjangka internasional tentang universalitas hak-hak
panjang, yang tidak akan lain daripada asasi manusia. Manakala pendapat seperti
usaha pendidikan guna “memberantas buta ini memperoleh dukungan yang luas, maka
hak di kalangan rakyat”. Maka bukanlah tak ayal lagi, itu akan berarti terjadinya
barang kebetulan manakala segera setelah toleransi untuk memperpanjang praktik
usainya Kongres di Wina itu Perserikatan diskriminasi
Bangsa-Bangsa mencanangkan tahun 1995- kriminalisasi di berbagai belahan bumi ini.
2004 sebagai “Dasawarsa untuk Pendidikan Hak-Hak Asasi Manusia”.
Mengupayakan perubahan dengan langkah- langkah yang bergaya memaksakan, namun
Pencanangan “Dasawarsa untuk Pendidikan demikian, adalah pula bukan langkah yang
Hak-Hak Asasi Manusia, 1995-2004” ini bijaksana, dan salah-salah malah dapat
boleh dikatakan sebagai suatu pernyataan diprasangkakan
yang tak meragukan lagi akan adanya pelanggaran hak-hak manusia yang asasi
sebagai
langkah
kesepakatan bulat negara-negara anggota untuk hidup dalam suasana kebudayaannya
Bangsa-Bangsa mengenai sendiri. Bukankah pasal 27 Deklarasi Umum
Perserikatan
pentingnya pendidikan untuk memajukan Hak-Hak Asasi Manusia menjamin bahwa
pemahaman khalayak ramai di kalangan “setiap orang berhak untuk secara bebas
bangsa-bangsa dunia mengenai hak-hak mengambil
akan berpotensi kultural komunitasnya sendiri …” ?
menyadarkan jutaan manusia di bumi ini Bukankah pula sementara itu pasal 15 ayat
menyamakan visi 1(a) Kovenan Internasional tentang Hak-hak
akan
pentingnya
mengenai masa depan kehidupan manusia Ekonomi,
di bumi yang kian menyatu ini. Kalaupun menjanjikan bahwa “setiap negara peserta
Sosial dan
Kultural
juga
merasa perlu demi Kovenan mengakui hak setiap orang untuk
orang
masih
kesejahteraannya untuk mengukuhi tradisi mengambil
lokalnya dan ideologi kebangsaannya, kultural” ?
dalam kehidupan masa depan di bumi yang kian menyatu ini orang pun mestilah harus
Berkeyakinan akan sifat universalitas hak- mulai sanggup menerima apa yang disebut hak asasi manusia di satu pihak, akan tetapi
the third culture of human kind sebagai idom di lain pihak juga mengakui realitas betapa
baru. Inilah prasyarat yang diperlukan demi masih kuatnya partikularitas dan relativitas
dimungkinkannya kehidupan bersama yang kultur yang bertahan di berbagai negeri,
sekatan-sekatan yang kesepakatan yang dicapai dalam Kongres
damai
tanpa
melambangkan adanya diskriminasi di Wina pada tahun 1993 dapatlah dinilai
antara sesama manusia di tengah kehidupan sebagai kompromi yang realistis tanpa
yang tidak hanya bersifat multikultural meninggalkan prinsip. Universalitas hak-
melainkan juga telah kian plural. hak asasi manusia adalah sesuatu yang