Pandangan Para Mufassir terhadap ayat-ayat kepribadian pendidik

C. Pandangan Para Mufassir terhadap ayat-ayat kepribadian pendidik

1. Surah Al-An’am [6] 162-163.

a. Pandangan Quraish Shihab

Ayat ini dapat dipahami sebagai penjelasan tentang agama Nabi Ibrahim as, yang disinggung di atas sekaligus merupakan gambaran tentang sikap Nabi Muhammad SAW, yang mengajak kaumnya untuk beriman. Ayat ini memerintahkan: Katakanlah, wahai Nabi Muhammad SAW, bahwa; “Sesungguhnya shalatku, dan semua ibadahku termasuk korban dan penyembelihan binatang yang kulakukan dan hidupku bersama segala yang terkait dengannya, baik tempat, waktu, maupun aktivitas dan matiku, yakni iman dan amal saleh yang akan kubawa mati, kesemuanya kulakukan secara ikhlas dan murni hanyalah semata-mata untuk Allah, Tuhan pemelihara semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dalam Zat, sifat, dan perbuatan-Nya, antara lain dalam penciptaan alam raya dan kewajaran untuk disembah dan demikian itulah tuntunan yang sangat tinggi kedudukannya lagi luhur yang diperintahkan kepadaku oleh nalar yang sehat dan juga oleh Allah SWT, dan aku adalah orang yang pertama dalam kelompok orang- orang muslim, yakni orang-orang muslim yang paling sempurna kepatuhan dan penyerahan dirinya kepada Allah swt. (M. Quraish Shihab, 2002: 764)

Kata ( ﻚﺴﻧ ) nusuk biasa juga diartikan sembelihan, namun

yang dimaksud dengannya adalah ibadah, termasuk sholat dan

sembelihan itu. Pada mulanya, kata ini digunakan untuk melukiskan sepotong perak yang sedang dibakar agar kotoran dan bahan-bahan lain yang menyerati potongan perak itu terlepas darinya sehingga yang tersisa adalah perak murni. Ibadah dinamai nusuk untuk menggambarkan bahwa seharusnya ia suci, murni dilaksnakan dengan penuh keikhlasan demi karena Allah, tidak tercampur sedikitpun oleh selain keikhlasan kepada-Nya. Penyebutan kata shalat sebelum penyebutan kata ibadah kendati shalat adalah salah satu bagian ibadah dimaksudkan untuk menunjukan betapa peting rukun Islam yang kedua itu. Ini karena shalat satu-satunya kewajiban yang tidak dapat ditinggalkan sebanyak lima kali sehari, apa pun alasannya; berbeda dengan kewajiban-kewajiban yang lain. (M. Quraish Shihab, 2002: 764)

Kata ( ﰐﺎﳑ ) mamati/matiku ada juga yang memahaminya

dalam arti doa-doa yang dilakukan oleh Rasul SAW, setelah kematian beliau. Seperti diketahui, seperti syuhada, apalagi Rasul SAW, hidup di alam yang tidak kita ketahui hakikatnya. Di sana, beliau melihat dan mendoakan umatnya, bahkan dalam beberapa hadis dinyatakan bahwa siapa yang mengucapkan salam kepada Rasul SAW, beliau akan menjawab salam itu. “Allah akan mengembalikan ruhku supaya aku menjawab salamnya.” Demikian sabda beliau. Nah, apa yang beliau lakukan itu juga merupakan

lillahi ta’ala, tidak mengharapkan imbalan dari manusia. Pengunaan bentuk pasive voice (mabni lilmajhul), pada kalimat dan demikian itulah diperintahkan kepadaku, atau dengan kata lain tidak disebutnya siapa yang memerintah, mengandung isyarat bahwa kandungan dari apa yang beliau sampaikan itu adalah sama dengan tuntunan nalar dan kenyataan hidup. Alam raya patuh kepada Allah SWT, tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apa pun. Selanjutnya, hal itu merupakan perintah Allah melalui wahyu- wahyu-Nya sehingga kandungan perintah tersebut datang dari Allah SWT, dari nalar yang sehat serta kenyataan hidup yang nampak. (M. Quraish Shihab, 2002: 765)

Kata ( ﲔﻤﻠﺴﳌا لّؤا ) awwalu al-muslimin dipahami dalam arti

yang pertama dari segi waktu dan kedudukan selaku pemeluk agama Islam di antara kelompok umat beliau, dan yang pertama dari segi kedudukan di antara seluruh makhluk yang berserah diri kepada Allah SWT. Ayat ini menjadi semacam bukti bahwa ajakan beliau kepada umat agar meninggalkan kesesatan dan memeluk Islam, tidaklah beliau maksudkan untuk meraih keuntungan pribadi dari mereka karena seluruh aktivitas beliau hanya semua karena Allah semata-mata.

Melalui ayat di atas, Nabi SAW, diperintahkan untuk menyebut empat hal yang berkaitan dengan wujud dan aktivitas

beliau, yaitu shalat dan ibadah, serta hidup dan mati. Dua yang pertama termasuk dalam aktivitas yang berada dalam pilihan manusia. Kalau dia mau, dia dapat beribadah, kalau enggan, dia dapat meninggalkannya. Ini berbeda dengan hidup dan mati, keduanya di tangan Allah swt. Manusia tidak punya memiliki pilahan dalam kedua hal ini. Menurut asy-Sya’rawi, sebenarnya shalat dan ibadah pun adalah di bawah kekuasaan Allah SWT, karena Dia-lah yang menganugrahkan kepada manusia kekuatan dan kemampuan untuk melaksanakannya. Anggota badan ketika melaksanakannya mengikuti perintah Anda dengan menggunakan kekuatan yang Allah anugrahkan kepada jasmani untuk melaksanakannya. Di sisi lain, seseorang tidak shalat, kecuali jika dia sadar bahwa Allah yang memerintahkannya shalat. Jika demikian, semuanya di tangan Allah SWT, karena itu sangat wajar jika shalat dan semua ibadah dijadikan demi karena Allah SWT.

Adapun hidup dan mati, keadaannya lebih jelas lagi karena memang sejak semula kita telah menyadari bahwa keduanya adalah milik Allah dan berada dalam genggaman tangan-Nya. (M. Quraish Shihab, 2002: 766).

b. Pandangan Hamka

Katakan: sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku, adalah karena Allah, Tuhan semesta sekalian alam (ayat 162). Setelah di ayat yang dahulu itu dijelaskan bahwa Allah-lah sebagai Katakan: sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku, adalah karena Allah, Tuhan semesta sekalian alam (ayat 162). Setelah di ayat yang dahulu itu dijelaskan bahwa Allah-lah sebagai

Pertama Sembahyang. Karena inilah pokok. Tanda percaya kepada-Nya dan tanda cinta kepada-Nya, diri sedia selalu menghadap-Nya. Bila datang panggilan, maka di saat itu juga aku hadir. Allah Maha Besar, Allah Maha Besar! Yang lain kecil dan remeh belaka. Kemudian itu ialah ibadahku semuanya. Di sini disebut nusuki, yang diartikan pada umumnya untuk sekalian ibadah. Sedangkan pangkal pokok arti dipakai untuk penyembelihan kurban ketika mengerjakan haji untuk Allah. Kemudian itu dipakai untuk pekerjaan haji itu sendiri. Maka kemanapun hendak dipakai maknanya, namun tujuannya hanya satu, yaitu baik ketika aku menyembelih kurban ataupun seketika aku wukuf di arafah atau tawaf keliling ka’bah atau sa’i (berjalan) di antara shafa dan marwah, ataupun yang lain semuanya aku kerjakan karena Allah, untuk Allah. Bahkan bukan itu saja, hidupku inipun dan matikupun untuk Allah, karena allah. Semuanya itu aku serahkan kepada Tuhanku, Allah. Tuhan sekalian Alam ini. Tidak dua, tidak berbilang, hanya satu.

Dengan segenap kesadaran hidupku ini aku kurbankan untuk mencapai ridhaNya dan dengan segenap kesadaran pula aku bersedia bila saja datang panggilan maut, buat menghadap hadratNya. (Hamka, 2002: 157).

“Tidak ada sekutu bagi-Nya.” (pangkal ayat 163). Tiada berserikat yang lain dengan Dia di dalam menguasai, mengatur dan memelihara alam ini. “Dan begitulah aku diperintah.” Sehingga jika sekiranya orang bertanya kepadaku, mengapa engkau sembahyang, mengapa engka bernusuk (beribadah), aku akan menjawab tegas: “sebab begitulah yang diperintahkan, Tuhanku itu kepadaku.” Dan sekiranya ada orang bertanya guna apa engkau hidup, aku pun akan menjawab: “Aku diperintahkan Tuhan hidup buat menyembahNya!” Dan jika orang bertanya untuk siapa engkau bersdia mati, kalau Allah meminta pengorbanan jiwamu, sebagai tanda kasihmu akan Allah? Aku pun akan menjawab: “Aku bersedia mati untuk Allah.” Dan aku tidak takut menghadapi maut, sebab aku dengan demikian akan pulang kepada Allah. “Dan aku adalah yang mula pertama menyerah diri.” (ujung ayat 163).

Sifat-sifat ketuhanan Allah sudah terang dan nyata, jalan lurus menujunyapun sudah terang. Teranglah bahwa Dia Esa dalam seluruh kekuasaanNya. Sebab itu kepadaNyalah tiap-tiap orang yang berfikiran waras akan menyerahkan dirinya. Dan bebas merdeka tiap-tiap orang yang berfikiran waras dari pada pengaruh yang lain.

Sebab yang lain itu adalah alam belaka, makhluk belaka dan benda belaka. (Hamka, 2002: 157).

Diriku ini ingin bebas, ingin merdeka dari segala benda itu, lalu menyerah kepada Dia, Allah Yang Maha Esa itu. Menyerah diri itulah yang disebut Muslim, dan penyerahan diri itulah yang disebut Islam. Di sini Muhammad SAW, disuruh menegaskan bahwa di dalam menentukan langkah penyerahan yang sekarang ini, beliau adalah orang yang pertama. Beliau yang berjalan di muka sekali, di dalam perjalanan menuju menyerah diri kepada Allah, dan yang lain, kalau mau selamat ikuti dia.

Dan ini pulalah tuntutan tegas kepada manusia seluruhnya supaya mari bersama-sama menempuh jalan menyerah diri kepada Allah itu, menjadi Muslim. Sebab beliau bukan hanya mengajak dan menyuruh tetapi berjalan di muka sekali, menjadi orang pertama menjadi imam yang akan dicontoh diteladani.

Ucapan yang diajarkan Tuhan kepada Rasulullah SAW, ini adalah inti sejati Tauhid, tawakal yang sempurna kepada Allah, dalam tiap gerak jantung dan gerak hidup. Setiap ibadah, sejak dari sembahyang, puasa, zakat dan haji, semuanya untuk Allah. Hidup dan mati diserahkan kepada Allah, kehidupan yang nyata, sama sekali meyakinkan penyerahan yang bulat kepada Allah dan keridhaan menerima ketentuanNya.

Dipangkal ayat dijelaskan “Katakan!” Artinya ialah bahwa ucapan ini yaitu bakal hidup. Tauhid sejati dan pengabdian yang sempurna semuanya hanya kepada Allah Rabbul Alamin. Timbul ucapan yang demikian ialah karena hati telah sampai kepada puncak keyakinan bahwa yang menjaga memelihara, yang melindungi dan menentukan hanya Allah saja. Ditegaskan lagi bahwa Dia tidak bersekutu dengan yang lain. Laa syarika lahu. Tidak ada sekutu baginya. Dan segala yang aku kerjakan ini. Aku kerjakan sebab demikian aku di perintahkan dan untuk buktinya akupun tampil ke muka, aku orang yang pertama dan segala akibat dari pengakuanku ini walau mati sekalipun aku sudi menerinya.

Dalam satu doa iftitah pembukaan sembahyang, sebelum membaca surah Al-Fatihah, Nabi pun mengajarkan agar kita umatnya membaca pula ayat ini. Kita sebagai umat Nabi hendaklah meniru Nabi di dalam segala langkahnya agar sampai ke akhirat, kelak kitapun tetap di dalam rombongan mengiringinya, dan kita juga disuruh Islam yang kamil, menyerah yang sepenuhnya mengabdikan diri, beribadah kepada Allah. Dan kita diperintah mengerjakan ibadah menurut yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, maka kitapun taat. Sami’na wa atha’na. Kami dengar dan kami patuh. (Hamka, 2002: 158).

c. Pandangan Ibnu Katsir

“Katakanlah sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” Allah ta’ala menyuruh Nabi SAW, untuk memberitahukan kepada kaum musyrikin yang menyembah selain Allah dan penyembelihan ternak bukan atas nama Dia bahwa Ibrahim itu berlainan dengan mereka dalam soal itu. Sebab shalat Ibrahim adalah untuk Allah, ibadahnya atas nama Dia Yang Esa dan tiada sekutu bagi-Nya. Hal ini seperti firman Allah ta’ala, “Maka shalatlah kepada Tuhanmu dan sembelihlah kurban”, yakni ikhlaskanlah shalatmu dan sembelihanmu untuk Dia Allah Yang Esa tiada sekutu bagi-Nya. An- Nusuk artinya sembelihan.

Firman Allah Azza wa Jalla, dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri, dari umat ini karena seruan seluruh nabi sebelumnya ialah kepada Islam dan pokok ajarannya ialah penyembahan ini seperti firman Allah SWT. Demikianlah menurut penafsiran Qatadah. Penggalan ini seperti firman Allah ta’ala, “Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan kami wahyukan kepadanya,” bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah aku oleh kamu sekalian” (al- Anbiya: 25). Demikianlah, Allah ta’ala memberitukan bahwa bahwa Dia mengutus para rasulnya dengan membawa Islam. Namun, syariat Islam yang mereka bawa itu beragam selaras dengan karakteristiknya masing-masing yang menasakh sebagian syariat

sebelumnya hingga akhirnya dinasakh oleh syariat Nabi Muhammad SAW, yang tidak akan pernah dinasakh untuk selamanya, yang akan senantiasa tegak dan ditolong, dan benderanya berkibar hingga terjadinya kiamat. Oleh karena itu, nabi SAW, bersabda, “Kami golongan nabi, adalah anak-anak laki sebagai saudara dari bapak yang menganut satu agama.” Yakni saudara dari seorang ayah dan ibu yang banyak. Jadi, agama itu hanya satu, yaitu penyembahan kepada Allah Yang Esa tanpa sekutu bagi-Nya. Perbedaan syariat mereka layaknya perbedaan ibu yang melahirkan mereka. Dan ini merupakan kebalikan dari saudara seibu dari sejumlah ayah yang berbeda serta berbeda pula dari saudara kandung, yaitu yang berasal dari satu bapak dan satu ibu. Wallahu a’lam. (Muhammad Nasib Rifa’i, 2002: 329).

2. Surah Al-Qalam [68]: 4.

a. Pandangan Quraish Shihab

Kata ( ﻖﻠﺧ ) khuluq jika tidak dibarengi dengan adjektifnya,

maka ia selalu berarti budi pekerti yang luhur, tingkah laku, dan watak terpuji.

Kata ( ﻰﻠﻋ ) ‘ala mengandung makna kemantapan. Di sisi lain

ia juga mengesankan bahwa Nabi Muhammad SAW, yang menjadi mitra bicara ayat-ayat di atas berada di atas tingkat budi pekerti yang ia juga mengesankan bahwa Nabi Muhammad SAW, yang menjadi mitra bicara ayat-ayat di atas berada di atas tingkat budi pekerti yang

Keluhuran budi pekerti Nabi SAW, yang mencapai puncaknya itu bukan saja dilukiskan oleh ayat di atas dengan kata

ﻚّﻧِا (bunyi dengung) pada kata ( ﻖﻠﺧ ) dan huruf ( ل ) lam yang digunakan

( ) innaka/ sesungguhnya engkau tetapi juga dengan tanwin

untuk mengukuhkan kandungan pesan yang menghiasi kata ( ﻰﻠﻋ )

‘ala disamping kata ‘ala itu sendiri sehingga berbunyi ( ﻰﻠﻌﻟ ) la’ala,

dan yang terakhir pada ayat ini adalah penyifatan khuluq itu oleh

Tuhan Yang Maha Agung dengan kata ( ﻢﻴﻈﻋ ) ‘azhim/ agung. Yang

kecil bila menyifati sesuatu dengan “agung” belum tentu agung menurut orang dewasa. Tetapi bila Allah yang menyifati sesuatu dengan kata agung maka tidak dapat terbayang betapa keagungannya. Salah satu bukti dari sekian banyak bukti tentang keagungan akhlak Nabi Muhammad SAW, menurut Sayyid Quthub adalah kemampuan beliau menerima pujian ini dari sumber Yang

Maha Agung itu dalam keadaan mantap tidak luluh di bawah tekanan pujian yang demikian besar itu, tidak pula guncang kepribadian beliau yakni tidak menjadikan beliau angkuh. Beliau menerima pujian itu dengan penuh ketenangan dan keseimbangan. Keadaan beliau itu menurut Sayyid Quthub menjadi bukti melebihi bukti yang lain tentang keagungan beliau (M. Quraish Shihab, 2002: 381).

Sementara ulama memahami kata ( ﻢﻴﻈﻋ ﻖﻠﺧ ) khuluqin

‘azhim dalam arti agama berdasar firman-Nya innaka ‘ala shirathin mustaqim (Q.S. az-Zukhruf [43]: 43) sedang Shirath al-Mustaqim antara lain dinyatakan oleh Al-Qur’an sebagai agama. Sayyidah Aisyah ra, ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah beliau menjawab akhlak beliau adalah Al-Qur’an (HR. Ahmad). ‘Aisyah ra, ketika itu membaca awal surah al-Mu’minun untuk menggambarkan sekelumit dari akhlak beliau itu. Jika demikian, bukanlah lembaran-lembaran Al-Qur’an, dan temukan ayat-ayat perintah atau anjuran, pahami secara benar kandungannya, Anda akan menemukan penerapannya pada diri Rasul SAW. Beliau adalah bentuk nyata dari tuntunan Al- Qur’an. Selanjutnya karena kita tidak mampu mendalami semua pesan Al-Qur’an maka kita pun tidak mampu melukiskan betapa luhur akhlak Rasulullah SAW. Karena itu pula setiap upaya yang mengetengahkan sifat-sifat luhur Nabi Muhammad SAW, ia tidak ‘azhim dalam arti agama berdasar firman-Nya innaka ‘ala shirathin mustaqim (Q.S. az-Zukhruf [43]: 43) sedang Shirath al-Mustaqim antara lain dinyatakan oleh Al-Qur’an sebagai agama. Sayyidah Aisyah ra, ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah beliau menjawab akhlak beliau adalah Al-Qur’an (HR. Ahmad). ‘Aisyah ra, ketika itu membaca awal surah al-Mu’minun untuk menggambarkan sekelumit dari akhlak beliau itu. Jika demikian, bukanlah lembaran-lembaran Al-Qur’an, dan temukan ayat-ayat perintah atau anjuran, pahami secara benar kandungannya, Anda akan menemukan penerapannya pada diri Rasul SAW. Beliau adalah bentuk nyata dari tuntunan Al- Qur’an. Selanjutnya karena kita tidak mampu mendalami semua pesan Al-Qur’an maka kita pun tidak mampu melukiskan betapa luhur akhlak Rasulullah SAW. Karena itu pula setiap upaya yang mengetengahkan sifat-sifat luhur Nabi Muhammad SAW, ia tidak

“Batas pengetahuan kita tentang beliau hanyalah bahwa beliau adalah seorang manusia; dan bahwa beliau adalah sebaik-baik makhluk Ilahi seluruhnya.”

b. Pandangan Hamka

Khuluqin ‘azhim: budi pekerti yang amat agung. Budi pekerti adalah sikap hidup, karakter, atau perangai. Dibawa oleh latihan atau kesanggupan mengendalikan diri. Mula-mulanya latihan dari sebab sadar akan yang baik adalah baik dan yang buruk adalah buruk. Lalu dibiasakan berbuat yang baik itu. Kemudian menjadilah dia adat kebiasaan, tidak mau lagi mengerjakan yang buruk, melainkan selalu mengerjakan yang baik dan yang lebih baik.

Dikatakan orang bahwasanya budi pekerti itu adalah gabungan dua sikap. Yaitu sikap tubuh dan batin. Budi dalam batin, pekerti dalam sikap hidup. Keteguhan sikap Nabi Muhammad SAW, tenang dan tentram serta kesabaran ketika orang menuduhnya seorang gila, yang dia tidak marah dan kehilangan akal, itupun termasuk budi yang sangat agung keberhasilan Nabi SAW, Dikatakan orang bahwasanya budi pekerti itu adalah gabungan dua sikap. Yaitu sikap tubuh dan batin. Budi dalam batin, pekerti dalam sikap hidup. Keteguhan sikap Nabi Muhammad SAW, tenang dan tentram serta kesabaran ketika orang menuduhnya seorang gila, yang dia tidak marah dan kehilangan akal, itupun termasuk budi yang sangat agung keberhasilan Nabi SAW,

c. Pandangan Ibnu Katsir

Firman Allah ta’ala: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” Ma’mar meriwayatkan dari Qatadah, Dia pernah menanyakan kepada Aisyah tentang akhlak Rasulullah maka dia menjawab, Akhlak beliau adalah Al-Qur’an. Yaitu sebagimana yang terdapat dalam Al-Qur’an. Seseorang dari Bani Suwad mengatakan, meminta Aisyah untuk menceritakan akhlak Rasulullah. Pada suatu hari aku pernah membuatkan makanan untuknya. Akupun berkata kepada budakku, “pergilah, jika Hafzhah datang membawa makanan sebelum makananku, maka lemparkanlah makanan itu. Maka Hafshahpun datang dengan membawa makanan dan budak itupun melemparkan makanan tadi, sehingga piringnya jatuh dan pecah. Rasulullah SAW, ketika itu sudah kenyang, lalu Rasulullah SAW, mengumpulkannya dan mengatakan, mintalah pengganti piring itu kepada Bani Aswad dengan piring lain.” Aisyah berkata, dan Rasulullah SAW, sedikitpun tidak berkomentar hal itu.” (Muhammad Nasib Rifa’i, 2002: 775).

Arti pernyataan Aisyah bahwa akhlak Rasulullah SAW, adalah Al-Qur’an ialah bahwa Rasulullah telah menjadikan perintah dan larangan Al-Qur’an sebagai tabiat, akhlak, dan wataknya. Setiap

kali Al-Qur’an memerintahkan sesuatu maka beliau akan mengamalkannya. Dan, kapan Al-Qur’an melarang sesuatu maka beliau akan meninggalkannya. Disamping semua yang telah Allah watakkan kepadanya berupa akhlak-akhlak yang agung, seperti rasa malu yang amat tinggi, murah hati, berani, suka memaafkan, lemah lembut, dan semua akhlak-akhlak cantik lainnya. Sebagaimana yang ditegaskan di dalam hadis Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik, “Aku telah menjadi pembantu Rasulullah SAW, selama sepuluh tahun, namun beliau tidak pernah mengatakan, ‘Cis,’ walaupun satu kali. Dan tidak pernah mengomentari perbuatanku dengan mengatakan, mengapa kamu melakukan itu, dan tidak pernah mengomentari apa yang belum aku kerjakan, mengapa kamu belum mengerjakannya juga. Beliau adalah manusia yang paling baik akhlaknya (Muhammad Nasib Rifa’i, 2002: 776).

3. Surah Al-Maidah [5]: 8.

a. Pandangan Quraish Shihab

Al-Biqa’i menegemukakan bahwa karena sebelum ini telah ada perintah untuk berlaku adil terhadap istri-istri, yaitu pada awal surah dan akan ada pada pertengahan surah nanti, sedang ada diantara istri-istri itu yang non muslim (Ahl al-Kitab) karena surah ini pun telah mengizinkan untuk mengawininya, adalah sangat sesuai bila izin tersebut disusul dengan perintah untuk bertakwa. Karena itu ayat ini menyeru: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu

menjadi Qawwamin, yakni orang-orang yang selalu dan bersungguh- sungguh menjadi pelaksana yang sempurna terhadap tugas-tugas kamu, terhadap wanita, dan lain-lain dengan menegakkan kebenaran demi karena Allah serta menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian kamu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil, baik terhadap keluarga istri kamu yang Ahl al-Kitab itu maupun terhadap selain mereka. Berlaku adillah, terhadap siapa pun walau atas dirimu sendiri karena ia, yakni adil itu, lebih dekat kepada takwa yang sempurna daripada selain adil. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (M. Quraish Shihab, 2002: 49).

b. Pandangan Hamka

Bahagialah orang yang beriman! Makanan mereka sudah diatur, sudah dijelaskan mana yang baik-baik, untuk boleh dimakan, dan mana yang keji-keji untuk jangan dimakan pergaulannya dengan lain agama yaitu dengan ahlul-Kitabpun telah digariskan, yaitu supaya menunjukkan lapang dada atau toleransi. Sesudah itu telah dipimpin mereka berwudhu’ dan mandi junub atau penggantian dengan tayammum, untuk membersihkan jasmani dan rohani. Sekarang diberi tuntunan lagi tentang sikap hidup ditengah masyarakat sekali lagi diseru; “Wahai orang-orang beriman hendaklah kamu menjadi manusia yang lurus karena Allah!”.

(pangkal ayat 8). Disini terdapat kalimat qawwamin dari kata qiyam, yang artinya tegak lurus. Mar’ur ra’si maufuru kamarah! Kepala tegak, harga diri penuh1 berjiwa besar karena hati bertauhid. Tidak ada tempat merundukkan diri melainkan Allah. Sikap lemah lembut, tetapi teguh memegang kebenaran. Kata orang sekarang “Berpribadi”. Bukan lemah lunglai- direbah-rebahkan angin kemana hendak dibawanya, lemah pendirian dan mudah ditawar. Bukan begitu orang mukmin. Wajah yang sekurang-kurangnya lima kali sehari semalam menghadap Tuhan, yang tegak berdiri seketika memulai sembahyang, yang ruku hanya kepada Allah dan sujud kepada Allah tidaklah mudah direbahkan oleh yang lain. Tidak termuram terhuyung-huyung karena ditimpa musibah tidak pula melambung laksana balon ketika masih berisi angin seketika mendapat keuntungan, sehabis angin mengerucut turun (Hamka, 2002: 156).

“Menjadi saksi dengan adil.” Kalau seorang mukmin diminta kesaksiannya dalam suatu hal atau perkara, hendaklah dia memberikan kesaksian yang sebenarnya saja, yakni yang adil. Tidak membelok-belok karena pengaruh sayang atau benci, karena lawan atau kawan, karena yang dihadapi akan diberikan kesaksian tentangnya kaya lalu segan karena kayanya. Atau miskin, lalu kesihan karena kemiskinanya. Katakan apa yang engkau tahu dalam hal itu, katakan yang sebenarnya, walaupun kesaksian itu akan

menguntungkan orang yang tidak engakau senangi atau merugikan orang yang engkau senangi. “Dan janganlah menimbulkan benci padamu penghalangan dari satu kaum, bahwa kamu tidak akan adil.” Misalnya orang yang akan engkau berikan kesaksianmu atasnya itu, dahulu pernah berbuat suatu penghalangan yang menyakitkan hatimu, maka janganlah kebencianmu itu menyebabkan kamu memberikan kesaksian dusta untuk melepaskan sakit hatimu kepadanya, sehingga kamu tidak berlaku adil lagi. Kebenaran yang ada dipihak dia, jangan dikhianati karena rasa bencimu. Karena kebenaran akan kekal dan rasa benci adalah perasaan bukan asli dalam jiwa, itu adalah hawa dan nafsu yang satu waktu akan mereda teduh. “Berlaku adillah! Itulah yang akan melebihdekatkan kamu kepada takwa”. (Hamka, 2002: 156).

Keadilan adalah pintu yang terdekat kepada takwa, sedang rasa benci adalah membawa jauh dari Tuhan. Apabila kamu telah dapat menegakkan keadilan jiwamu sendiri akan merasa kemenangan yang tiada taranya dabn akan membawa martabatmu naik di sisi manusia dan yang di sisi Allah. Lawan adil adalah zalim; dan zalim adalah salah satu puncak maksiat kepada Allah. Maksiat akan menyebabkan jiwa sendiri menjadi merumuk dan merana. “Dan takwalah kepada Allah.” Artinya, peliharalah hubungan yang baik dengan Tuhan, supaya diri lebih dekat kepada Tuhan.

“Sesungguhnya Allah amat mengetahui apa tujuan yang kamu kerjakan.” (ujung ayat 8).

Jika manusia di bawah pengawasasn Tuhan, adakah dia setia memegang keadilan atau tidak. Jika masyarakat Islam telah diberi Allah karunia kekuasaan, mengatur pemerintahan, adakah dia adil atau tidak. Selalu dikisahkan dalam Al-Qur’an bahaya yang menimpa suatu umat karena zalimnya. Apabila yang berkuasa tidak adil, maka yang dikuasai akan menderita dan patah hati, masa bodoh. Akhirnya hilanglah waibawa dan kemegahan umat itu, dan mudahlah masuk kekuatan musuh kedalamnya, dan mudahlah dirampas kemerdekaannya. Itulah ancaman azab siksaan dunia, dan akan datang lagi di akhirat.

Sebagaimana telah kita terangkan dalam kata pendahuluan tafsir surat ini, diantara surah al-Maidah ini dengan surah an-Nisa adalah lengka melengkapi dan isi mengisi. Sebab itu di dalam merenungkan ayat 8 dari surah Al-Miadah ini, soyogiyanyalah kita pertalikan merenungkannya dengan ayat 134 dari surah An-Nisa yang telah lalu. Dan kedua ayat ini jelas membayangkan dalam rangka rangka keduanya diturunkan di madinah bahwa masyarakat Islam mulai tegak, dan kekuasaan mulai terbentuk sebab itu disamping keteguhan iman kepada Allah, wajiblah tegak adil dalam masyarakatdan keadilan jalan yang paling dengan menuju takwa. Setalah keadilan tegak, datanglah janji Allah (Hamka, 2002: 157).

c. Pandangan Ibnu Katsir

“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu sebagai para penegak kebenaran karena Allah,” berarti jadilah kamu sebagai para penegak kebenaran karena Allah Azza wajalla, bukan karena manusia dan ingin pepularitas. Dan jadilah kamu “sebagai saksi yang adil dan janganlah kebencian terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk tidak berlaku adil”, maksudnya baik terhadap temanmu ataupun musuhmu. Oleh karena itu Dia berfirman: “Berlaku adillah! Keadilan lebih dekat kepada ketakwaan.” (Muhammad Nasib Rifa’i, 2002: 54).

4. Surah Ash-Shaff [61]: ayat 2-3

a. Pandangan Quraish Shihab

Hai oarang-orang yang mengaku beriman, kenapa kamu mengatakan yakni berjanji akan berjihad atau mengapa kamu mengucapkan apa yang kamu perbuat yakni tidak sesuai dengan kenyataan? Amat besar kemurkaan di sisi Allah, bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. (M. Quraish Shihab, 2002: 189).

Setelah menyebut apa yang dibenci Allah, disebutnya apa yang disukai-Nya dengan menyatakan: Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya yakni untuk menegakkan agama-Nya dalam bentuk satu barisan yang kokoh yang saling kait-berkait dan menyatu jiwanya lagi penuh disiplin Setelah menyebut apa yang dibenci Allah, disebutnya apa yang disukai-Nya dengan menyatakan: Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya yakni untuk menegakkan agama-Nya dalam bentuk satu barisan yang kokoh yang saling kait-berkait dan menyatu jiwanya lagi penuh disiplin

Dalam pengantar surah ini, penulis telah kemukakan riwayat at-tirmidzin tentang turunnya surah ini. Dengan demikian ayat di atas dinilai sebagai kecaman yang ditujukan kepada mereka yang berjanji akan berjihad tetapi ternyata enggan melakukannya. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menuturkan bahwa mayoritas ulama menyatakan bahwa ayat ini turun ketika kaum muslimin mengharapkan diwajibkannya jihad atas mereka, tetapi ketika Allah mewajibkannya, mereka tidak melaksanakannya. Dengan demikian ayat ini serupa dengan firman-Nya dalam Q.S.al-Baqarah [2]: 246 yang berbicara tentang orang-orang Yahudi yang satu ketika mengharap diizinkan untuk berperang tetapi “tatkala perang diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali sedikit di antara mereka.” Riwayat lain mengatakan bahwa ayat di atas turun sebagai kecaman terhadap mereka yang mengatakan: “Kami telah membunuh (musuh), menikam, memukul dan telah melakukan ini itu”, padahal mereka tidak melakukannya. Dengan demikian ayat di atas mengecam juga orang-orang munafik yang mengucapkan kalimat syahadat dan mengaku muslim tanpa melaksanakan secara baik dan benar tuntunan agama Islam. (M. Quraish Shihab, 2002: 190).

Melihat lanjutan ayat yang berbicara tentang perjuangan/ peperangan, maka agaknya ayat di atas turun berkaitan dengan sikap sementara kaum muslimin yang enggan berjuang, padahal sebelumnya telah menyatakan keinginannya melaksanakan apa yang disukai Allah swt. Kendati demikian, semua riwayat-riwayat itu dapat ditampung kandungannya oleh ayat di atas, karena memang ulama menggunakan kata sebab nuzul bukan saja terhadap peristiwa yang terjadi menjelang turunnya ayat, tetapi juag peristiwa yang dapat dicakup oleh kandungan ayat, baik peristiwa itu terjadi sebelum maupun sesudah ayat itu, selama masih dalam masa turunnya Al-Qur’an.

Kata ( ﱪﻛ ) kabura berarti besar tetapi yang dimaksud adalah

amat keras, karena sesuatu yang besar terdiri dari banyak hal/ komponen. Kata ini digunakan di sini untuk melukiskan sesuatu lyang sangat aneh, yakni mereka mengaku beriman, mereka sendiri yang meminta agar dijelaskan tentang amalan yang paling disukai Allah untuk mereka kerjakan, lalu setelah dijelaskan oleh-Nya mereka mengingkari janji dan enggan melaksanakannya. Sungguh hal tersebut adallah suatu keanehan yang luar biasa besarnya. (M. Quraish Shihab, 2002: 190).

Kata ( ﺎﺘﻘﻣ ) maqtan adalah kebencian yang sangat keras. Dari

sini ayat di atas menggabung dua hal yang keduanya sangat besar, sehingga apa yang diuraikan di sini sungguh sangat mengundang murka Allah. Ini ditambah lagi dengan kalimat ( ﷲاﺪﻨﻋ ) ‘inda Allah/

di sisi Allah yang menunjukkan kemurkaan itu jatuh langsung dari Allah swt. Karena itu menurut al-Qusyairi sebagimana dikutip oleh al-Biqa’i “Tidak ada ancaman terhadap satu dosa seperti ancaman yang dikemukakan ayat ini.”

Thabathaba’i sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab menggarisbawahi perbedaan antara mengatakan sesuatu apa yang tidak dia dikerjakan, dengan tidak mengerjakan apa yang dikatakan. Yang pertama adalah kemunafikan, sedang yang kedua adalah kelemahan tekad. Yang kedua ini pun merupakan keburukan. Allah menjadikan kebahagiaan manusia melalui amal kebajikan yang dipilihnya sendiri, sedang kunci pelaksanaannya adalah kehendak dan tekad, yang keduanya tidak akan memberi dampak positif kecuali jika ia mantap dan kuat. Nah, tidak adanya realitas perbuatan setelah ucapan, merupakan pertanda kelemahan tekad dan ini tidak akan menghasilkan kebajikan bagi yang bersangkutan (M. Quraish Shihab, 2002: 12).

Sayyid Quthub mengomentari dengan menyatakan, bahwa disana terlihat penyatuan akhlak pribadi dengan kebutuhan masyarakat, di bawah naungan akidah keagamaan. Kedua ayat pertama (ayat 2-3) mengandung sanksi dari Allah swt, serta kecaman terhadap orang beriman yang mengucapkan apa yang mereka tidak kerjakan. Ini menggambarkan sisi pokok dari kepribadian seorang muslim, yakni kebenaran dan istiqamah/ konsistensi serta kelurusan sikap, dan bahwa batinnya sama dengan lahirnya, pengamalannya sesuai dengan ucapannya secara mutlak dan dalam batas yang sangat jauh yaitu persoalan peperangan yang akan disinggung pada ayat berikutnya (M. Quraish Shihab, 2002: 192).

b. Pandangan Hamka

“Wahai orang-orang yang beriman! Karena apa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan?” (ayat 2). Mula sekali dipanggil nama yang patuh, yaitu orang-orang beriman! Panggilan itu adalah panggilan yang yang mengandung penghormatan yang tinggi. Tetapi panggilan itu diiringi dengan pertanyaan, dan pertanyaan itu mengandung keherana dan keingkaran; kamu telah mengaku diri orang yang beriman, dan Tuhan pun telah memanggil kamu dengan panggilan yang penuh penghormatan itu. Tetapi kamu kedapatan mengatakan dengan mulutmu apa yang tidak pernah kamu kerjakan. Sebab mengatakan dengan mulut apa yang tidak pernah dikerjakan tidaklah patut timbul dari orang yang telah mengaku

beriman kepada Allah. Syaikh Jamaluddin al-Qasimi menulis dalam tafsirnya; “Mengatakan barang yang tidak pernah dikerjakan adalah berdusta, dan berdusta sangatlah jauh daripada orang yang mempunyai muruah, yaitu tahu harga diri. Sedang muruah itu adalah dasar yang utama yang menyebabkan timbulnya iman. Karena iman yang asli ialah kembali pada fitrah yang pertama, yaitu kemurnian jiwa dan agama yang benar itulah dia. Kalau iman yang asli itu telah tumbuh, dengan sendirinya pula dia akan menumbuhkan pula berbagai dahan dan ranting perangai-perangai yang utama dalam berbagai ragamnya, yang diantaranya ialah “iffah” artinya dapat mengendalikan diri. Kesanggupan mengendalikan harga diri menyebabkan timbulnya pula tahu akan harga diri, dan itulah dia muruah. Dan seorang yang telah mau berbohong tanda muruahnya telah luntur. Artinya imannya yang luntur. Karena suatu ucapan lidah adalah kabar berita yang mengandung arti. Arti yang terkandung ditunjukkan susunan kata. Arti terletak di dalam batin, dan ucapan yang keluar dari dalam mulut yang berbeda di antara yang terucap dengan yang sebenarnya di dalam hati. Dengan demikian maka pelakunya telah masuk kedalam perangkap syaitan (Hamka, 2002: 123).

“Amatlah dibenci di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan” (ayat 3). Perkataan yang tidak sesuai dengan perbuatan sangatlah dibenci oleh Allah. Hal yang demikian “Amatlah dibenci di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan” (ayat 3). Perkataan yang tidak sesuai dengan perbuatan sangatlah dibenci oleh Allah. Hal yang demikian

Al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib, cucu Rasulullah SAW, berkata bahwa dia manghafal uacapan Rasulullah SAW, yang demikian bunyinya:

Artinya: “Tinggalkanlah yang meragukanmu (dan gantilah), dengan apa yang tidak meragukan. Sesungguhnya kebenaran itu ketenangan dan kedustaan itu menyebabkan timbulnya keraguan.” (Fachrurazi, 2006: 951).

Sebab hati orang yang beriman tidak boleh ragu-ragu. Ragu- ragu hanya dapat hilang apabila hidup bersikap jujur. Kejujuran untuk memupuk iman. Iman itu mesti selalu dijaga. Kalau dilihat sepintas lalu saja tidaklah mungkin orang yang beriman diberi nasihat supaya jangan berbohong, jangan berdusta. Tetapi tidak jaran kejadian, karena kurang pemeliharaan iman itu jadi rusak karena dusta. Sebab itu kita dapatilah di dalam Al-Qur’an beberapa peringatan kepada orang-orang yang beriman supaya dia bertakwa. (lihat surah Ali Imran [3]: 102). Di surah itu juga ayat 156 di peringatkan supaya mereka jangan serupa dengan orang-orang yang kafir. Dalam surah 4, An-Nisa ayat 136 diperingatkan dengan jelas. “Wahai orang-orang yang beriman. Berimanlah kepada Allah Sebab hati orang yang beriman tidak boleh ragu-ragu. Ragu- ragu hanya dapat hilang apabila hidup bersikap jujur. Kejujuran untuk memupuk iman. Iman itu mesti selalu dijaga. Kalau dilihat sepintas lalu saja tidaklah mungkin orang yang beriman diberi nasihat supaya jangan berbohong, jangan berdusta. Tetapi tidak jaran kejadian, karena kurang pemeliharaan iman itu jadi rusak karena dusta. Sebab itu kita dapatilah di dalam Al-Qur’an beberapa peringatan kepada orang-orang yang beriman supaya dia bertakwa. (lihat surah Ali Imran [3]: 102). Di surah itu juga ayat 156 di peringatkan supaya mereka jangan serupa dengan orang-orang yang kafir. Dalam surah 4, An-Nisa ayat 136 diperingatkan dengan jelas. “Wahai orang-orang yang beriman. Berimanlah kepada Allah

c. Pandangan Ibnu Katsir

“Hai orang-orang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?” merupakan pengingkaran Allah terhadap orang yang menetapkan suatu janji atau mengatakan suatu ucapan, namun ia tidak memenuhinya. Diterangkan dalam sebuah hadis shahih bahwa Rasulullah SAW, bersabda:

َنﺎَﺧ َذِا : ، َﻒَﻠْﺧَٔاَﺪَﻋَوا ،َبَﺬَﻛ َثﺪَﺣاَذِاَو ٌثَﻼَﺛ َﻦُِﲤْٔااَذِاَو ِﻖِﻓﺎَﻨُﻤْﻟاُﺔَﻳآ ( ىرﺎﺨﺒﻟا ﻩاور )

“Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga: bila berjanji, dia tidak pernah memenuhinya, bila berbicara, dia berdusta, bila diberi amanat, dia khianat.” (Al-Imam Az-Zabidy, 2010: 37). Inilah sebabnya Allah mempertegas dengan ayat yang

selanjutnya, “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” Ibnu Abbas r.a mengatakan, “Orang-orang beriman dulu sebelum datang perintah

tentang jihad pernah mengatakan, Kami sangat senang bila telah menunjukkan kepada kami suatu amal perbuatan yang paling dicintai-Nya, maka kami akan melaksanakannya. Kemudian Rasulullah SAW, memberitahukan kepada mereka bahwa amal perbuatan yang paling disukai-Nya adalah amalan yang tidak dinodai dengan keraguan dan berjihad terhadap orang-orang yang berbuat durhaka kepada-Nya, yaitu orang-orang yang tidak mau beriman dan tidak mau mengikrarkannya. Ketika turun perintah jihad, ada beberapa orang beriman yang tidak menyukai hal itu dan sangat berat dihati mereka. Maka Allah pun menurunkan ayat, “Hai orang- orang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat.” (Muhammad Nasib Rifa’i, 2002: 686).

5. Surah Fushshilat [41]: ayat 30

a. Pandangan Quraish Shihab

Setelah ayat-ayat yang lalu menjelaskan adanya teman-teman bagi para pendurhaka yang menjerumuskan ke neraka, ayat-ayat di atas menguraikan lawan mereka yaitu orang-orang beriman dan konsistensi melaksanakan petunjuk imannya. Allah berfirman: Sesungguhnya orang-orang yang percaya dan mengatakan dengan lidahnya bahwa: “Tuhan kami hanyalah Allah” mengatakannya sebagai cerminan kepercayaan mereka tentang kekuasaan dan kemahaesaan Allah kemudian mereka memohon atau bersungguh- sungguh beristiqamah meneguhkan pendirian mereka dengan

melaksanakan tuntunannya, maka buat mereka bukan teman-teman buruk yang memperindah keburukan yang menemani mereka sebagaimana halnya para pendurhaka, tetapi akan turun kepada mereka yakni akan dikunjungi dari saat ke saat serta secara bertahap hingga menjelang ajal mereka oleh malaikat-maikat untuk meneguhkan hati mereka sambil berkata: “Janganlah kamu takut menghadapi masa depan dan janganlah kamu bersedih atas apa yang telah berlalu; dan bergembiralah dengan perolehan surga yang telah dijanjikan Allah melalui rasul-Nya kepada kami. (M. Quraish Shihab, 2002: 409).

Setelah para malaikat itu menerangkan kaum beriman, mereka melanjutkan guna menunjukkan keakraban mereka. Mereka berkata: “Kamilah atas perintah dan restu Allah yang menjadi pelindung-pelindung kamu yang sangat dekat keapada kamu dan selalu siap menolong dan membantu kamu dalam kehidupan dunia dan demikian juga di akhirat dan yakinlah bahwa bagi kamu di sana yakni di dalam surga apa yang kamu inginkan dari aneka kenikmatan apapun dan bagi kamu juga di sana apa yang kamu minta. Itu sebagai hidangan pendahuluan bagi kamu. Sebenarnya masih sangat banyak anugrah lainnya. Semua itu adalah anugrah dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Kalimat ( ) Rabbuna Allah mengandung pengkhususan,

sehingga ia diterjemahkan Tahan kami hanya Allah. Pengkhususan itu lahir dari bentuk ma’rifah/ definit pada kedua kata di atas.

Kata ( ) tsumma mengisyaratkan kelangsungan serta

kemantapan istiqomah itu dalam waktu yang berkepanjangan. Bukannya berarti bahwa istiqomah tersebut baru terjadi setelah berlangsungnya wktu yang lama dari ucapan mereka. Bisa juga kata tsumma mengisyratkan tinggi dan pentingnya istiqomah dibandingkan dengan sekedar ucapan Rabbuna Allah. Karena kalau itu hanya berbentuk uacapan yang diyakini, maka istiqamah adalah buah ucapan tersebut sehingga secara otomatis istiqomah mengandung ucapan, keyakinan dan amalan sekaligus.

Kata ( اﻮﻣﺎﻘﺘﺳٕا ) istiqamu terambil dari kata ( مﺎﻗ ) qama yang

pada mulanya berarti lurus/ tidak mencong. Kata ini kemudian dipahami dalam arti konsisten dan setia melaksanakan apa yang diucapkan. Sufyan ats-Tsaqafi bermohon kepada nabi Muhammad SAW, untuk diberi jawaban yang menyeluruh tentang Islam sehingga dia tidak perlu lagi bertanya kepada orang lain. Beliau menjawab singkat: “Qul Amantu bilah, tsumma istaqim/ Ucapkanlah aku beriman kepada Allah lalu konsistenlah” (HR. Muslim). Ucapan pada mulanya berarti lurus/ tidak mencong. Kata ini kemudian dipahami dalam arti konsisten dan setia melaksanakan apa yang diucapkan. Sufyan ats-Tsaqafi bermohon kepada nabi Muhammad SAW, untuk diberi jawaban yang menyeluruh tentang Islam sehingga dia tidak perlu lagi bertanya kepada orang lain. Beliau menjawab singkat: “Qul Amantu bilah, tsumma istaqim/ Ucapkanlah aku beriman kepada Allah lalu konsistenlah” (HR. Muslim). Ucapan

Huruf ( س ) sin dan ( ت ) ta’ pada kata istiqamu dipahami oleh

banyak ulama dalam arti kesungguhan. Al-Biqa’i memahaminya dalam arti permohonan. “Konsistensi dalam kepercayaan tentang keesaan Allah serta pengamalan konsekuensinya hingga datangnya ajal, memerlukan taufik dan bantuan Allah, karena itu ayat di atas

menggunakan kata ( ّﰒ ) tsumma dan permohonan agar kepercayaan

tersebut terus terpelihara. Yakni tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan Tuhan, berhala, malaikat, bintang dan lain-lain. Ibadah pun tidak dilakukan dengan riya’, bahkan selalu beramal sesuai yang diridhai-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya walau berlangsung dalam waktu yang lama.” Demikian tulis Al-Biqa’i. (M. Quraish Shihab, 2002: 410).

b. Pandangan Hamka

Inilah pokok! Yaitu: “Tuhan kami Allah!” tidak ada Tuhan melainkan Dia! Kita mesti menetapkan pendirian ini dan memegangnya teguh-teguh, tidak dilepaskan lagi. Istiqamu =

pokok kata (mashdar)nya ialah Istiqamah = .

Teguh pendirian adalah tegak lurus, teguh tegak dengan pendirian itu. Tidak bergeser, tidak beranjak. Tidak dapat dicondongkan kekiri kekanan. Tidak dapat dimundurkan kebelakang ataupun dimajukan kemuka, dengan arti keluar dari tempat tegak berdiri itu. Apapun terjadi, pendirian ini tidak dilepaskan. Istiqaamah. “Tuhan kami Allah, kalau bersama sebagai muslim. Tuhanku Allah. Kalau kita sendiri sebagai pribadi. Bergabung semua dalam satu pendirian, sebagai umat.

Tuhan kami Allah. Maka arti istiqaamah itu bolehlah dirumuskan dalam bahasa kita: tetap pendirian. Tetap pendirian bertuhan kepada Allah, dengan membayarkan haknya dan hakikatnya. Tetap pendirian bertuhan kepada Allah dalam hati sanubari, dalam tindakan hidup, dalam kesyukuran menerima nikmat, dalam kesabaran dalam menerima cobaan. Karena pendirian yang tetap itu pasti mendapat ujian (Hamka, 2002: 225).

c. Pandangan Ibnu Katsir

Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami Allah,’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka,” yaitu: mereka memurnikan akidah dan amal hanya karena Allah semata sesuai dengan yang telah disyariatkan Allah kepada mereka. Dan mereka tetap dalam keadaan seperti itu sehingga mereka bertemu dengan Allah. Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hafizh Abu Ya’la al-Mushil bahwa Anas bin Malik ra.

berkata: “Rasulullah membacakan kepada kami ayat, sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami ialah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, sungguh telah diucapkan oleh banyak orang kemudian kebanyakan mereka kafir. Maka barangsiapa orang yang mengatakannya sampai mati maka sungguh orang itu telah beristiqomah di atasnya.”

Selanjutnya ibnu Jarir meriwayatkan dari Sa’id bin Imran, dia berkata, “Aku pernah membacakan ayat ini disamping Abu Bakar ra. Kemudian beliau mengatakan, “Mereka adalah orang-orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.” Dan diriwayatkan dari Ibnu Abi Hatim dengan sanadnya dari Ikrimah, katanya Ibnu Abbas ra, pernah dimintai fatwa, ayat apakah di dalam AL-Qur’an yang paling ringan? Beliau menjawab firman Allah swt, sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, Tuhan kami ialah Allah kemudia mereka meneguhkan pendirian mereka, yaitu di dalam bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah semata. “Adapula pula riwayat yang mengatakan bahwa Ibnu Abbas ra, pernah mengatakan, “sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, Tuhan kami ialah Allah kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, yaitu di dalam menunaikan semua hal yang difardhukan. (Muhammad Nasib Rifa’i, 2002: 204).

“Ajarkan kepadaku, wahai Rasulullah SAW, suatu perkataan di dalam Islam yang akan aku tanyakan lagi kepada orang lain setelah engkau.” Rasulullah SAW, menjawab:

Artinya: “Katakanlah, Aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah.” (Misbah, 2010: 182).

6. Surah Al-Insyirah [94]: ayat 7

a. Pandangan Quraish Shihab

Setiap kesulitan selalu disusul atau dibarengi oleh kemudahan, demikian pesan ayat-ayat yang lalu. Kalau demikian, yang dituntut hanyalah kesungguhan bekerja dibarengi dengan harapan serta optimisme akan kehadiran bantuan Ilahi. Hal ini lah yang dipesankan oleh ayat-ayat di atas dengan menyatakan: Maka, apabila engkau telah selesai, yakni sedang berada di dalam keluangan setelah tadinya engkau sibuk, maka bekerjalah dengan sungguh-sungguh hingga engkau letih atau hingga tegak dan nyata suatu persoalan baru dan hanya kepada Tuhanmu saja tidak kepada siapa pun selain-Nya hendaknya engkau berharap dan berkeinginan penuh guna memperoleh bantuan-Nya dalam menghadapi setiap kesulitan serta melakukan satu aktivitas.

Kata ( ﺖﻏﺮﻓ ) faraghta terdiri dari rangkaian huruf ( غﺮﻓ )

faragha yang berarti kosong setelah sebelumnya penuh, baik secara faragha yang berarti kosong setelah sebelumnya penuh, baik secara

dimulainya pekerjaan selanjutnya dinamai ( غﺮﻓ ) faragh. (M. Quraish

Shihab, 2002: 420).

Kata ( ﺐﺼﻧﺎﻓ ) fa-nshab terdiri dari rangkaian huruf ( ف ) fa’,

yang biasa diterjemahkan maka, dan ( ﺐﺼﻧٕا ) inshab, yang

merupakan bentuk perintah dari kata ( ﺐﺼﻧ ) nashaba.

Kata nashaba ini pada mulanya berarti menegakkan sesuatu sehingga nyata dan mantap. Seperti misalnya gunung (baca QS. al-

Ghasyiyah [88]: 19). Dari kata ini juga dibentuk kata ( ﺐﻴﺼﻧ )

nashib/nasib yang biasa dipahami sebagai bagian tertentu yang telah ditegakan sehingga menjadi nyata dan jelas dan atau tidak dapat dielakan. Upaya menegakkan itu biasanya dilakukan dengan nashib/nasib yang biasa dipahami sebagai bagian tertentu yang telah ditegakan sehingga menjadi nyata dan jelas dan atau tidak dapat dielakan. Upaya menegakkan itu biasanya dilakukan dengan

Ayat di atas tidak menjelaskan apakah yang terjadi sebelum

( غﺮﻓ ) faragh/kekosongan, keluangan. Namun, yang pasti adalah

sesuatu yang tadinya penuh, yakni ada sesuatu kesibukan. Di sisi lain, ayat di atas tidak juga menjelaskan dalam hal apakah kesungguhan yang dituntut itu atau persoalan apakah yang perlu ditegakkan.

Sementara ulama tafsir berusaha menjelaskan hal-hal di atas. Misalnya: Apabila engkau berada dalam keluangan, isilah waktumu dengan berdoa hingga engkau letih; atau apabila engkau telah selesai dalam peperangan, bersungguh-sungguhlah beribadat; atau setelah dalam urusan duniawi, laksanakanlah shalat.

Penulis cendrung untuk tidak menetapkan ragam kesungguhan atau persoalan yang dimaksud karena “apabila objek suatu kata tidak disebutkan, maka objeknya bersifat umum dan mencakup segala sesuatu yang dapat dicakup oleh semua kata tersebut”. Atas dasar itu, kita dapat berkata apa bahwa ayat di atas memerintahkan melakukan kesungguhan atau menegakkan apa saja yang sedang dihadapi, tetapi tentunya dengan syarat dibenarkan oleh Allah swt, sebagaimana yang diisyaratkan oleh akhir ayat surah ini.

Diriwayatkan bahwa Sayyidina Umar Ibn al-Khaththab ra, pernah berkata: “Saya benci melihat salah seorang dari kalian menganggur, tidak melakukan sesuatu pekerjaan yang menyangkut kehidupan dunianya, tidak pula kehidupan akhiratnya.”

Ayat 7 surah Alam Nasyrah ini memberi petunjuk bahwa seseorang harus selalu memiliki kesibukan. Bila telah berakhir suatu pekerjaan, ia harus memulai lagi dengan pekerjaan yang lain sehingga dengan ayat ini seorang muslim tidak akan pernah menyia- nyiakan waktunya (M. Quraish Shihab, 2002: 421).

b. Pandangan Hamka

“Maka apabila engkau telah selesai, maka tegaklah” (ayat 7). Artinya apabila telah selesai suatu pekerjaan atau suatu rencana telah menjadi kenyataan; Fan-shab! Artinya bersiaplah buat memulai pekerjaan yang baru. Dengan kesadaran bahwa segala pekerjaan yang telah selesai atau yang akan engkau mulai lagi tidaklah terlepas dari pada kesulitan, tapi dalam kesulitan itu ada kemudahan pun akan turut serta. Ada-ada saja nanti ilham yang akan diberikan Allah kepadamu, asal engkau senantias menyadarkan segala pekerjaanmu itu kepada Iman (Hamka, 2002: 199).

c. Pandangan Ibnu Katsir

“Maka apabila telah selesai maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.”

Yaitu bila kamu telah selesai dengan urusan-urusan dunia dan kesibukannya serta telah melepaskan berbagai macam atributnya, maka siapkanlah langkah kakimu untuk beribadah dan lakukanlah dengan penuh semangat, kosongkanlah pikiran dan kedunian dan ikhlaskanlah niat serta harapan kepada Tuhanmu. Demikianlah ringkasan tafsir surah al-Insyirah. Segala puji dan kenikmatan hanyalah milik Allah. (Muhammad Nasib Rifa’i, 2002: 1006).