Retribusi Daerah. Dalam undang- undang tersebut terdapat pengalihan pajak dari pajak pusat menjadi pajak daerah. Pajak daerah menurut Undang-undang
No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mengalami beberapa perubahan. Terdapat empat penambahan pajak daerah baru.
Penambahan pajak daerah yang baru tersebut adalah Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan, dan BPHTB.
Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak pemerintah pusat dan digolongkan sebagai pajak langsung serta dipungut setiap tahun. Walaupun
Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak pusat tetapi dalam pengelolaannya dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak melalui Kantor
Pelayanan Pajak Pratama dan hasilnya akan dibagi dua yaitu 10 untuk pemerintah pusat dan 90 pemerintah daerah.
B. Pengertian, Subjek dan Objek BPHTB
1. Pengertian BPHTB
Pengertian Bea Perolehan Hak Atas Tanah danatau Bangunan BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan
atau bangunan. Dasar hukum BPHTB adalah Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan. Kemudian pajak ini masuk dalam Undang-Undang Nomor. 28 Tahun 2009 tentang PDRD Pasal 85 sampai dengan Pasal 93.
Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk Hak Pengelolaan, termasuk bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria UUPA, Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun,
dan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. Hal ini berarti BPHTB hanya boleh dikenakan atas perolehan hak yang diatur dalam
UUPA, Undang-Undang Rumah Susun, dan Hak Pengelolaan. Perolehan hak-hak atas tanah lain yang berkembang di masyarakat adat tetapi tidak
diakui oleh UUPA tidak boleh dikenakan BPHTB.
3
Sedang dalam UU No. 28 tahun 2009 tentang PDRD, yang dimaksud dengan BPHTB adalah : “Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah danatau bangunan.”
2. Subjek dan Objek BPHTB
Subjek BPHTB seperti halnya dengan subjek PPh adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah danatau bangunan, yang
tercantum dalam ketentuan Pasal Pasal 86 UU PDRD yaitu:
3
Marihot P. Siahaan, Bea Perolehan Atas Tanah dan Bangunan, Teori dan Praktek, Edisi
Revisi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, h. 41.
1 Yang menjadi Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan
yang memperoleh hak atas tanah danatau bangunan. 2
Subyek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak
menurut Undang-Undang ini.
Sedangkan yang menjadi obyek pajak sesuai dengan ketentuan Pasal 85 ayat 2 UU PDRD adalah perolehan hak atas tanah danatau bangunan.
Perolehan hak atas tanah danatau bangunan meliputi: a.
pemindahan hak karena : 1
jual beli; 2
tukar menukar; 3
hibah; 4
hibah wasiat; 5
waris; 6
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya; 7
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan; 8
penunjukkan pembeli dan lelang; 9
pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10 penggabungan usaha;
11 peleburan usaha;
12 pemekaran usaha;
13 hadiah;
b. pemberian hak baru karena :
1 kelanjutan pelepasan hak;
2 di luar pelepasan hak.
Kemudian dalam Pasal 85 ayat 4 UU PDRD ditentukan obyek pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh:
a. perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan atas perlakuan timbal
balik; b.
negara untuk menyelenggarakan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
c. badan atau perwakilan organisasi internasional yang diterapkan dengan
Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut.
d. orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan
hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama; e.
orang pribadi atau badan karena wakaf; f.
orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah. Dalam kaidahnorma yang lama UU BPHTB, pengenaan BPHTB
karena waris dan hibah wasiat dalam pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 111 Tahun 2000 mengatur Pengenaan Bea Perolehan Hak
atas Tanah Dan Bangunan Karena Waris dan Hibah Wasiat, dijelaskan bahwa:
a. Perolehan hak karena waris adalah perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan oleh ahli waris dari pewaris, yang berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
b. Perolehan hak karena hibah wasiat adalah perolehan hak atas tanah dan
atau bangunan oleh orang pribadi atau badan dari pemberi hibah wasiat, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
Namun dalam UU PDRB, peralihan karena proses pewarisan atau hibah wasiat tidak diatur pengenaan BPHTB-nya. Namun demikian terhadap
persoalan ini dapat saja dimasukkan dalam pengkaidahannya dalam peraturan daerah yang diamanatkan dalam Perda yang dibuat oleh KebupatenKota.
Jadi terhadap penerima hibah atas tanah danatau bangunan dari keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan tidak ada
hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan, bukan merupakan obyek Pajak Penghasilan tetapi merupakan objek pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
BPHTB. BPHTB merupakan pajak yang dikenakan atas setiap perolehan hak
atas tanah danatau bangunan di Indonesia, baik karena pemindahan hak dari orang pribadi atau badan kepada orang pribadi atau badan lainnya maupun
karena pemberian hak baru oleh pemerintah atau negara kepada orang pribadi atau badan. Karena perolehan hak atas tanah danatau bangunan merupakan
perbuatan atau peristiwa hukum yang diperoleh orang pribadi atau badan.
3. Dasar Perhitungan BPHTB