Keragaman dan Konservasi Plasmanutfah
8 Indonesia hanya memiliki luas daratan sebesar 1.3 dibandingkan luas total
daratan di dunia, namun tercatat ada 10 spesies berbunga, 12 mamalia, 17 burung, termasuk 400 spesies palem dan 25,000 jenis tumbuhan berbunga. Selain
itu karena Indonesia merupakan wilayah dengan berbagai “bioekologi spesifik” yang masing-masing sangat kondusif bagi timbulnya keragaman genetika
tanaman, hewan dan mikroba, disamping peran manusia yang tinggal di wilayah tersebut Sutoro 2006.
Sebagai salah satu komoditas tertua di Indonesia, keragaman plasmanutfah terong dapat dengan mudah dilihat secara visual dari bentuk, ukuran dan warna
buah, selain dari karakter organ tanaman Doganlar et al. 2002; Collonnier 2001; Kasyhap 2003; Frary et al. 2007. Keragaman yang tinggi ini terkait dengan sifat
menyerbuk silang dari beberapa spesies terong serta interaksinya dengan lingkungan tumbuh Nothmann 1986; Lawande dan Chavan 1998; Kashyap
2003. Namun demikian kekerabatan genetika memerlukan analisis molekuler dilihat dari peta DNA masing-masing plasmanutfah. Peta keragaman genetika
dan kekerabatan dapat digambarkan secara sistematika dalam klaster dendrogram atau phylogenic systematic Westhead et al. 2002. Keragaman genetika memiliki
bentuk berbeda dengan keragaman genotip, yang terjadi sebagai akibat dari perubahan struktur genetika dan merupakan potensi yang khas dalam jangka
panjang terkait dengan proses evolusi Raven et al. 1999. Keragaman komposisi genetika ini merupakan dasar dalam meningkatkan keberlangsungan kehidupan
individu dan populasi selama seleksi alam. Komponen ini dibentuk oleh DNA dan protein serta interaksinya dalam klasifikasi Lie 1997.
Daunay et al. 2001, Grubben dan Denton 2004 mengemukakan bahwa keragaman genetika genetic diversity merupakan modal yang besar dalam
pengembangan varietas baru. Keragaman ini terkait dengan karakter ketahanan terhadap organisme pengganggu tanaman terutama di daerah tropis yang sangat
tinggi, disamping potensi adaptasi secara geografis. Beberapa perusahaan yang berbasis pemuliaan tanaman di Asia telah memanfaatkan keragaman genetik pada
terong dalam menghasilkan varietas hibrida yang beradaptasi luas di daerah tropis dengan ketahanan terhadap layu bakteri yang tinggi. AVRDC sebagai lembaga
penelitian dan pengembangan di Asia telah melakukan konservasi plasmanutfah
9 dari beberapa negara, serta memberikan informasi, teknologi dan menyumbang
materi genetika, mulai dari bentuk plasmanutfah sampai galur-galur hasil pengembangan sebagai bahan baku pengembangan varietas Gniffke 2006
Penelitian dan pengembangan varietas atau galur transgenik juga sudah mulai dilakukan di beberapa negara terutama untuk ketahanan terhadap serangga,
misalnya penggerek buah dan batang fruit and shoot borer dan ketahanan terhadap kondisi abiotik.
Behera dan Singh 2002 mengemukakan bahwa keragaman genetika pada terong banyak dimanfaatkan untuk memperbaiki karakter ketahanan terhadap
organisme pengganggu, terutama plasmanutfah dari species liar. Seperti yang diungkapkan oleh Daunay et al. 2001 penggunaan species liar memerlukan
teknis khusus, yakni dengan perkawinan interspesifik yang dilanjutkan dengan kultur embrio untuk mendapatkan benih F1. Solanum khasianum sering
digunakan dalam perkawinan interspesifik karena memiliki karakter ketahanan terhadap organisme pengganggu tanaman. Solanum torvum, yang lebih dikenal
dengan nama lokal tekokak di Jawa Barat atau terong pipit di Kalimantan disebutkan merupakan plasmanutfah terong liar yang memiliki banyak karakter
positif dalam ketahanan terhadap organisme tanaman, seperti: ketahanan terhadap bakteri layu Ralstonia solanacearum, Phomopsis vexans, dan Phytopthora
capsici. Species ini memiliki sifat incompatibilitas dalam penyerbukan, sehingga sulit untuk mendapatkan galur rekombinasi terkait dengan bunga yang mandul
pada setiap keturunannya. Daunay et al 2001, Grubben dan Denton 2004 mengemukakan bahwa
sumber keragaman genetika pada terong dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu: • Genepool kultivar terong lokal dan terong modern Solanum melongena;
keragaman ini penting terkait dengan ukuran buah 10 gram sampai 1000 gram, warna buah putih, hijau, ungu, bergaris atau lurik, coklat, hitam
atau merah muda, dan bentuk buah dari bulatglobe sampai mengular, permukaan kulit halus atau bergerigi.
• Genepool dari 20 species yang mudah melakukan kawin silang dengan terong kelompok pertama dan menghasilkan tanaman fertil, sebagai contoh
Solanum aethiopicum.
10 • Genepool dari 20 species yang dapat melakukan kawin silang dengan
prosedur khusus, baik dengan kultur embrio maupun perlakuan colchicin dengan interspecific cross, sebagai contoh adalah Solanum macrocarpon.
Usaha pertanian yang intensif serta tuntutan permintaan pasar yang beragam memicu petani untuk beralih menggunakan varietas hibrida dari varietas
tradisional atau plasmanutfah lokal. Hal ini berimplikasi terhadap kepunahan plasmanutfah lokal karena sifat seragam dari varietas hibrida dan keragaman
genetika yang rendah, sehingga perlu dilakukan konservasi plasmanutfah Sutoro 2006; Daunay et al 2001. Selanjutnya dikemukakan bahwa konservasi
plasmanutfah dapat dilakukan baik secara in situ maupun ex situ bergantung pada sifat dari perbanyakan dari masing-masing komoditas Sutoro 2006 dan Engle
2008, namun untuk komoditas sayuran lebih diutamakan secara ex situ terkait dengan segi kemudahan. Konservasi ex situ memerlukan biaya besar di awal
untuk pembangunan infrastruktur serta selama proses penyimpanan. Konservasi plasmanutfah ini harus dilakukan sejalan dengan ratifikasi Convention on
Biological Diversity CBD sebagai pengakuan hak National Sovereignity Right of Plant Genetics Resources di Indonesia.