Faktor-faktor Penentu Adopsi Benih Terong Hibrida
56 Tabel 10. Hasil analisis statistik peubah-peubah penentu adopsi benih terong
hibrida
Peubah DF Β
Wald Odds
rasio
P hitung Exp
β
Ketahanan terhadap organisme
penggangguX
13
1 3.026 5.927
20.61 0.015
Kemudahan buah untuk dijual X
11
1 3.049 2.904
21.087 0.088
+
Harga jual buah tinggi X
10
1 -5.159 10.592 0.006
0.001 Brand image X
8
1 2.863
5.389 17.522
0.02 Konstanta
-1.329 0.468
0.265 0.494
Chi square df=4 30.189
Probabilitas 0.000
Nagelkerke R square 0.623
Count R Square percentage correct 89.100
sangat nyata pada taraf uji 1, nyata pada taraf uji 5, + cenderung nyata pada taraf uji 10
Dari uji Stepwise diperoleh ada empat peubah yang menjadi penentu keputusan petani untuk mengadopsi teknologi benih terong hibrida yaitu:
ketahanan terhadap OPT X
13
, kemudahan buah untuk dijual X
11
, harga jual buah tinggi X
10
dan brand image X
8
dengan nilai probabilitas dari masing- masing peubah penjelas kurang dari 0.1. Model logit untuk penentu faktor adopsi
teknologi benih hibrida adalah: Logit Y = -1.329 + 2.863X
8
– 5.159 X
10
+ 3.049 X
11
+ 3.026 X
13
Nilai probabilitas p = 0.000 lebih kecil dari 0.01, artinya model tersebut cukup baik yang mengestimasi pengaruh nyata terhadap peluang petani mengadopsi
benih terong hibrida secara total. Selain itu, nilai p 0.01 juga memberikan indikasi bahwa paling sedikit ada satu koefisien parameter yang tidak sama
dengan nol, artinya berpengaruh nyata terhadap peluang petani untuk mengadopsi benih terong hibrida secara total. Model ini juga menjelaskan bahwa peubah-
peubah penjelas atau peubah bebas cukup baik untuk menjelaskan peubah tak
57 bebas atau peubah respon. Hal ini dapat dilihat dari nilai count R
2
percentage correct
, artinya peluang peubah penjelas peubah bebas dapat menjelaskan peubah respon peubah tak bebas sebesar 89.100 persen.
Brand Image
Peubah brand image mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi benih hibrida secara nyata pada taraf uji kurang dari 5 dengan nilai Odds ratio
sebesar 17.522, yang berarti bahwa petani yang memiliki brand image atau petani yang loyal memiliki peluang untuk mengadopsi benih hibrida sebesar 17.522 kali
lebih besar dibandingkan dengan petani yang tidak memiliki brand image atau tidak loyal. Koefisien
β brand image bersifat positif, artinya memiliki nilai Odds ratio
lebih besar dari satu. Sebagai implikasinya, bahwa peluang seorang petani yang setuju bahwa brand image merupakan faktor penentu untuk
mengadopsi secara total terhadap adopsi tidak total lebih besar dibandingkan dengan peluang petani yang tidak setuju untuk mengadopsi secara total terhadap
adopsi tidak total. Rogers 1983 mengemukakan bahwa ada 5 langkah yang berpengaruh
dalam pengambilan keputusan terhadap suatu inovasi yaitu: 1 pengenalan knowledge, yakni pemahaman baru terhadap suatu inovasi, 2 persuasi
persuation, sikap terhadap suatu inovasi, 3 keputusan decision untuk menerima atau menolak inovasi, 4 implementasi implementation terhadap
inovasi dan 5 konfirmasi confirmation yang merupakan penguatan dari keputusan yang telah dibuat.
Adopsi teknologi benih terong hibrida, sebagaimana benih hibrida komoditas sayuran lainnya, petani cenderung melakukan pengenalan dengan
mempelajari dan melihat secara langsung pada tanaman yang ditanam oleh petani lain atau mendapat informasi dari pasar. Petani dan pedagang memiliki hubungan
komunikasi dan tukar pengalaman terkait dengan benih hibrida atau komoditas baru yang diintroduksikan sebagai langkah supply chain. Petani yang sudah
berpengalaman dan mengenal dekat produsen atau brandperusahaan cenderung untuk melakukan uji coba menggunakan benih hibrida yang diintroduksi, tanpa
mempedulikan resiko kerugian yang akan diperoleh. Dalam penelitian ini nilai resiko digambarkan dari peubah bantuan dana uji coba atau biaya pengujian yang
58 disediakan oleh perusahaan untuk demonstrasi plot di lahan petani, dan
ketersediaan benih sampel untuk pengujian awal. Kedua peubah tersebut mempunyai nilai signifikansi lebih dari 10, sehingga tidak mempengaruhi
keputusan petani untuk mengadopsi benih terong hibrida, yang berimplikasi bahwa petani tidak mempedulikan resiko dalam mengadopsi teknologi benih
hibrida. Brand image
adalah sekumpulan asosiasi merk yang terbentuk dan melekat di benak konsumen. Rangkuty 2004 mengemukakan bahwa citra merk terdiri
dari 3 komponen pendukung yaitu: citra pembuat corporate image, citra pemakai user image dan citra produk product image. Citra merk yang kuat
akan membuat asumsi positif bagi konsumen terhadap suatu produk tertentu, sehingga konsumen tidak akan ragu untuk mengadopsi suatu produk tertentu.
Brand image dapat menimbulkan nilai emosional bagi konsumen, yang
selanjutnya akan membangun perasaan positif ketika mengadopsi suatu produk tertentu Kartajaya 2006. Dalam teknologi benih hibrida brand image dapat
terbentuk ketika petani yakin bahwa teknologi benih hibrida yang telah dipasarkan oleh suatu perusahaan tertentu benar-benar memiliki nilai manfaat bagi petani,
atau suatu varietas hibrida tertentu menguasai pasar. Teknologi benih hibrida sayuran di Indonesia mulai ada pada tahun 1988, yakni tomat Precious, cabai Hot
Beauty, Terong Farmers Long dari Known You, Taiwan. Adopsi benih terong hibrida yang telah dikomersialisasi sejak tahun 1992, secara nyata baru dapat
diadopsi secara nyata pada tahun 2000, yakni terong Mustang East West Seed Indonesia 2010. Hal ini terjadi karena petani mulai memiliki brand image yang
dibangun dari penguasaan pasar nasional benih hibrida tomat Arthaloka, tomat Permata, paria Giok.
Harga Jual Buah Tinggi
Peubah harga jual buah tinggi merupakan faktor yang berpengaruh sangat nyata pada taraf uji kurang dari 1 terhadap adopsi benih terong hibrida dengan
nilai Odds ratio sebesar 0.006, artinya peluang petani yang setuju bahwa harga jual buah tinggi berpengaruh pada adopter total terhadap adopter tidak total
adalah 0.006 kali dibandingkan petani yang tidak setuju pada adopter total terhadap adopter tidak total. Koefisien pada harga jual produk bersifat negatif,
59 artinya memiliki nilai Odds ratio lebih kecil dari satu. Hal ini berindikasi bahwa
petani yang setuju bahwa harga jual produk segar tinggi berpengaruh terhadap adopter
total dibanding adopter tidak total memiliki peluang lebih kecil dibandingkan petani yang tidak setuju bahwa harga jual produk segar yang tinggi
berpengaruh terhadap adopter total dibanding tidak total. Terong, sebagaimana produk sayuran lainnya memiliki harga yang berfluktuasi di pasar, yang
dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan.
Menurut petani di wilayah penelitian permintaan buah terong sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sayuran lain yang bersifat substitusi terkait dengan
pola konsumsi masyarakat terhadap terong. Umumnya harga buah terong rendah pada bulan Ramadhan dan Idul Fitri karena permintaan terong cenderung rendah.
Pada saat harga tinggi petani memilih untuk menggunakan benih hibrida dan benih lokal seperti halnya terong bulat. Harga jual terong bulat di wilayah
Karawang cenderung lebih tinggi yakni 36 dibanding terong hibrida yang menjadi salah satu alasan bagi petani untuk tetap menggunakan benih lokal dan
hibrida. Berdasarkan wawancara lebih lanjut dengan petani responden, didapatkan bahwa sepanjang tahun 2011 harga jual buah terong relatif tinggi
dengan kisaran harga terendah Rp. 400.00 selama bulan Agustus 2011, dan harga di bulan-bulan lainnya berkisar antara Rp.1,500.00, namun harga jual terong bulat
relatif stabil di atas Rp.1,000.00.
Kemudahan Buah Terong untuk Dijual
Peubah kemudahan buah terong untuk dijual merupakan faktor yang cenderung berpengaruh nyata pada taraf uji kurang dari 10 terhadap adopsi
benih terong hibrida dengan nilai Odds ratio sebesar 21.087, artinya peluang petani yang setuju bahwa harga jual buah tinggi berpengaruh pada adopter total
terhadap adopter tidak total adalah 21.087 kali dibandingkan petani yang tidak setuju pada adopter total terhadap adopter tidak total. Nilai koefisien pada
peubah ini bersifat positif, artinya nilai Odds ratio lebih besar dari satu. Hal ini berindikasi bahwa peluang petani yang setuju bahwa kemudahan buah terong
untuk dijual pada adopter total terhadap adopter tidak total lebih besar dibandingkan peluang petani yang tidak setuju pada adopter total terhadap tidak
total.
60
Gambar 19. Kualitas buah terong setelah penyimpanan 3 hari pada suhu ruang
Produk sayuran bersifat mudah rusak karena kandungan air yang tinggi terkait dengan karakter morfologi yakni adanya stomata yang berperan dalam
penguapan. Resiko kerusakan ini akan semakin tinggi di wilayah tropik, dengan tanpa dukungan infrastruktur penyimpanan, yakni terjadi peningkatan penguapan
air dari dalam buah yang menyebabkan buah menjadi kisut Gambar 19. Grubben dan Denton 2004 mengemukakan bahwa buah terong sangat peka
terhadap dehidrasi yang cepat setelah panen, yang dapat memudarkan warna kulit buah, buah menjadi kisut dan kusam. Umumnya terong dengan ukuran lebih
panjang dan muda lebih cepat tingkat dehidrasinya dibandingkan dengan terong bulat sehingga daya simpan buah terong berkisar antara 2-4 hari pada kondisi
suhu ruang. Pada saat panen, petani harus memilih stadia yang tepat dan segera membawa ke tempat yang teduh dan dingin untuk menghindari dehidrasi buah
terong, dan segera dijual untuk menghindari resiko kerugian pasca panen Chen et al
. 2003. Petani cenderung memilih produk yang mudah dijual untuk mengurangi resiko penyimpanan, karena biaya infrastruktur penyimpanan sangat
tinggi. Varietas terong hibrida di wilayah penelitian umumnya sudah lebih dari 15 tahun dipasarkan, sehingga baik petani maupun konsumen sudah memiliki
pengetahuan yang cukup terhadap nilai jual atau nilai tambah dari terong hibrida tersebut. Kemudahan buah terong untuk dijual tentunya sangat erat dengan
penerimaan pasar atau brand image dari terong hibrida tersebut, baik bagi petani, pedagang maupun konsumen.
61
Ketahanan terhadap Organisme Pengganggu
Peubah ketahanan terhadap organisme pengganggu OPT merupakan faktor yang berpengaruh nyata pada taraf uji kurang dari 5 terhadap adopsi benih
terong hibrida dengan nilai Odds ratio sebesar 20.61, artinya peluang petani yang setuju bahwa ketahanan terhadap organisme pengganggu tanaman berpengaruh
pada adopter total terhadap adopter tidak total adalah 20.61 kali dibandingkan petani yang tidak setuju pada adopter total terhadap adopter tidak total. Nilai
koefisien pada peubah ini bersifat positif, artinya nilai Odds ratio lebih besar dari satu. Koefisien yang positif memberikan implikasi bahwa peluang petani yang
setuju untuk mengadopsi teknologi benih hibrida pada adopter total terhadap adopter
tidak total lebih tinggi dibandingkan dengan peluang petani yang tidak setuju pada adopter total terhadap adopter tidak total.
Salah satu kendala dalam usaha tani terong adalah serangan organisme pengganggu tanaman atau OPT. Pengaruh gangguan OPT ini dapat menurunkan
produksi sampai ke titik 0, yakni jika serangan terjadi pada fase vegetative Groot 2002. Beberapa organisme pengganggu tanaman terong yang sangat penting
adalah bakteri layu Ralstonia solanacearum yang dikenal sebagai penyakit mati bujang, layu Phomopsis vexan, Phytoptora capsici dan geminivirus. Ketiga OPT
ini dapat menyerang tanaman terong di semua musim mulai dari fase vegetatif sampai fase panen, terutama di lahan-lahan yang terkontaminasi atau memiliki
virulensi yang tinggi Grubben dan Denton 2004, Daunay et al. 2001. Menurut Hanson 2003 bakteri layu merupakan organisme pengganggu
tanaman yang paling penting pada usaha tani kelompok Solanaceae, sehingga diperlukan pengembangan varietas yang mempunyai ketahanan tinggi terhadap
pathogen tersebut. Disebutkan pula bahwa tingkat virulensi atau perkembangan
bakteri layu sangat cepat dan pathogen ini dapat tinggal di tanah dalam kurun waktu yang sangat lama, sementara sifat penularan selain soil borne juga bisa
dengan mekanik melalui peralatan atau pun aliran air. Fegan dan Prior 2004 mengemukakan bahwa phylotype bakteri layu di Indonesia mempunyai klaster
tersendiri, yakni phylotype IV, yang sangat berbeda dengan Asia phyloype I, Amerika II dan Afrika III. Selanjutnya dikemukakan bahwa kehilangan hasil
pada budidaya sayuran lainnya seperti tomat maupun cabai akibat serangan layu
62 bakteri bisa mencapai 100 di negara Asia. Inang dari Ralstonia solanacearum
ini sangat luas, yakni seluruh famili solanaceae terong-terongan, cucurbitaceae maupun keluarga kacang-kacangan. Ralstonia solanacearum bersifat soilborne,
sehingga dapat tinggal lama di dalam tanah dalam waktu lama, sementara media penyebaran inokulum bisa melalui air irigasi, maupun peralatan budidaya
tanaman. Sifat soilborne dan cara penyebaran mekanik menuntut petani untuk melakukan sanitasi dan rotasi untuk meminimalkan resiko kegagalan yang
disebabkan oleh bakteri layu. Kendala bakteri layu dalam usaha tani terong sangat tinggi di dataran rendah tropis, dibandingkan di dataran tinggi lebih dari
1,000 meter di atas permukaan laut. Umumnya usaha tani terong dilakukan di dataran rendah, sehingga resiko kegagalan panen akibat serangan bakteri layu juga
sangat tinggi Hanson 2004, Grubben dan Denton 2004
Gambar 20. Serangan layu bakteri Ralstonia solanacearum pada pertanaman terong di Cirebon
Grubben dan Denton 2004 mengemukakan bahwa baik di Asia maupun di Eropa, pengembangan varietas hibrida pada terong berfokus pada peningkatan
ketahanan terhadap bakteri layu, dengan melakukan identifikasi dan karakterisasi plasmanutfah terong dengan ketahanan yang tinggi. Hal ini terkait dengan
peningkatan serangan bakteri layu yang bersifat soilborne, tingkat ketahanan yang bervariasi pada letak geografis yang berbeda terkait dengan ras atau strain dan
biovar yang berbeda. Wawancara lebih lanjut dengan petani responden
63 didapatkan bahwa ketahanan terhadap bakteri layu dari varietas-varietas hibrida
merupakan salah satu harapan petani untuk dilakukan peningkatan, terkait dengan penurunan tingkat ketahanan dari varietas-varietas yang telah dipasarkan, jika
dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya. Gambar 20 menunjukkan serangan bakteri layu pada plasmanutfah terong dengan tingkat ketahanan yang
rendah dan dapat menyebabkan kegagalan panen. Grubben dan Denton 2004 mengemukakan bahwa varietas hibrida
“Kalenda” yang dikembangkan oleh INRA-IRAT pada tahun 1975 dan merupakan varietas hibrida pertama yang memiliki ketahanan terhadap bakteri
layu untuk daerah tropis, mendominasi pasar lebih dari 20 tahun di Afrika karena ketahanan terhadap bakteri layu, produksi tinggi dan mudah untuk dijual terkait
dengan karakter yang diinginkan oleh pasar atau konsumen dan petani, yakni buah ukuran besar, warna kulit buah hitam dan keras. Namun ketahanan bakteri layu
dan adaptasi secara geografis varietas ini tidak sesuai dengan kondisi Indonesia dengan tingkat virulensi bakteri yang tinggi.
Gambar 21. Serangan penyakit Phytophtora capsici pada buah terong dan Phomopsis vexans pada tanaman terong di Indramayu
Chen et al. 2003 mengemukakan bahwa seperti halnya bakteri layu, Phomopsis vexans
dan Phytoptora capsici Gambar 21 juga termasuk organisme pengganggu yang dapat tinggal lama dalam tanah dan plant debris sampah sisa
Phytophtora capsici Phomopsis vexans
64 tanaman. Sifat tersebut menuntut petani untuk melakukan rotasi dan sanitasi,
terutama jika tidak menggunakan varietas yang tahan. Saat ini belum ada varietas komersial yang memiliki ketahanan terhadap kedua organisme tersebut.
Pengembangan varietas hibrida di Indonesia dan di Asia umumnya memperbaiki tingkat ketahanan terhadap OPT dan peningkatan produktivitas.
Namun karena produktivitas dipengaruhi oleh ketahanan OPT, maka pemuliaan ke arah ketahanan bakteri layu menjadi prioritas utama terkait dengan permintaan
pasar. Varietas-varietas yang memiliki ketahanan OPT tinggi cenderung memiliki daya saing yang lebih tinggi dibandingkan varietas yang memiliki ketahanan
terhadap OPT yang rendah Groot 2002. Intensitas penanaman atau penggunaan lahan di wilayah penelitian tergolong tinggi, walaupun rotasi tanaman tetap
dilakukan, yang dapat dilihat pada pola tanam petani. Dengan kondisi lahan seperti itu, maka diperlukan teknologi pertanian, misalnya menggunakan varietas
hibrida yang memiliki karakter sesuai dengan kondisi tanah dan iklim yang ada. Selain bakteri dan fungi yang menjadi penyebab gangguan organisme
pengganggu tanaman, saat ini petani responden memiliki kendala serangan virus kuning geminivirus dalam usaha tani terong. Virus ini Gambar 22 disebarkan
oleh kutu putih Bemisia tabaci dan menyerang hampir seluruh tanaman Solanaceae, Cucurbitaceae, Legumenaceae dan beberapa gulma. Kerugian akibat
serangan virus ini bisa mencapai 100 jika terjadi pada fase vegetatif. Jones 2003; de la Pena 2006; Mutscheler et al. 2011
Petani menggunakan pestisida sebagai alternatif dalam pengendalian organisme pengganggu tanaman, atau dikategorikan sebagai risk reducing input,
karena merupakan input yang dapat meningkatkan nilai harapan dari suatu probabilitas hasil Ameriana 2008. Penggunaan pestisida dapat meningkatkan
biaya produksi, namun pengurangan penggunaan pestisida dapat meningkatkan resiko gagal panen. Bertolak dari risk reducing input tersebut, petani terdorong
untuk menggunakan atau memilih varietas yang memiliki ketahanan terhadap organisme pengganggu tanaman. Shepherd 2006 mengemukakan bahwa
penggunaan pestisida kimia akan mempengaruhi kualitas dan keamanan komoditas sayuran, sebaliknya serangan organisme pengganggu tanaman juga
akan mempengaruhi kualitas komoditas hortikultura. Dicontohkan pada kasus
65 serangan 500 serangga pada pohon mangga di India yang menyebabkan petani
harus menambah biaya pestisida kimia sebesar 45 dari total biaya usaha tani.
Gambar 22. Serangan geminivirus pada pertanaman terong di Karawang Petani responden di ketiga wilayah penelitian juga berpendapat bahwa
walaupun benih terong hibrida dipilih dalam usaha tani karena memiliki ketahanan terhadap organisme pengganggu, namun tingkat ketahanan tersebut
berbeda-beda, dan bervariasi dari waktu ke waktu, tergantung pada besar serangan di wilayah masing-masing. Hal ini sesuai dengan pendapat Chen et al. 2003
bahwa varietas-varietas terong yang dipilih dalam usaha tani harus sesuai dengan kondisi serangan organisme pengganggu di masing-masing wilayah sejalan
dengan peningkatan tingkat serangan atau virulensi dari organisme tersebut. Harapan yang diinginkan oleh petani terhadap varietas-varietas terong hibrida
adalah ketahanan terhadap organisme pengganggu yang saat ini sangat besar yakni geminivirus dan layu Phomopsis vexans. Hal yang sama dikemukakan
Ameriana 2008 bahwa ada 5 tingkatan petani dalam persepsi kultivar tomat di wilayah Pengalengan dan Lembang, mulai dari kurang tahan sampai tahan,
sehingga petani tetap berharap untuk mendapatkan varietas yang lebih tahan terhadap serangan organisme pengganggu, baik bakteri, jamur maupun virus.
Geminivirus pada terong Eggplant Yellowing Mosaic Virus, EYMV
66
Benih merupakan salah satu input dalam usaha tani terong hibrida. Biaya benih dalam usaha tani terong hibrida hanya 1 dibandingkan dengan biaya input
lainnya, sehingga petani tidak pernah mempertimbangkan harga benih dalam berusaha tani. Biaya benih dalam usaha tani terong lokal berkisar antara
Rp.50,000.00 - Rp.200,000.00 per hektar, sementara itu biaya benih terong hibrida berkisar antara Rp.300,000.00 – Rp. 450,000.00 per hektar. Harga benih hibrida
mencapai 300 dibandingkan dengan benih lokal. Dalam penelitian ini biaya benih bukan merupakan faktor penentu adopsi benih hibrida.
Tabel 11. Hasil analisis crosstab secara terpisah masing-masing peubah penjelas
Peubah Adopsi tidak
Total Adopsi Total
P hitung
Tidak setuju
Setuju Tidak
setuju
Setuju
Harga benih murah 16.4
9.1 61.8
12.7 0.145
Produktivitas 3.6 21.8
9.1 65.5
0.839 Ketahanan terhadap OPT
16.4 9.1
41.8 32.7
0.592 Kualitas buah
1.8 23.6
14.5 60
0.280 Kemudahan buah untuk
dijual 1.8
23.6 3.6
70.9 0.747 Harga jual produkbuah
tinggi 1.8
23.6 49.1
25.5 0.000 Kemudahan pemeliharaan
tanaman 3.6
21.8 7.3
67.3 0.639 Peran pemodal
20.0 5.5
69.1 5.5
0.144 Ketersediaan benih sampel
21.8 3.6
61.8 12.7
0.808 Promosi 16.4
9.1 34.5
40.0 0.246
Kebanggaan adopter awal 14.5
10.9 18.2
56.4 0.024
Dorongan teman 9.1
16.4 54.5
20.0 0.012
Bantuan dana uji coba 21.8
3.6 63.6
10.9 0.975
Brand image 12.7
12.7 14.5
72.7 0.027
Produktivitas merupakan salah satu komponen penentu keuntungan usaha tani, namun produktivitas ini sangat tergantung terhadap ketahanan terhadap OPT.
Hal ini berhubungan dengan jumlah tanaman hidup yang dapat dipanen sampai akhir pertanaman. Dalam penelitian ini produktivitas juga bukan merupakan
faktor penentu dalam adopsi benih terong hibrida.
67 Chen et al 2003 mengemukakan bahwa dalam usaha tani terong, pemilihan
varietas harus tepat sesuai dengan permintaan pasar, karena terong memiliki keragaman yang tinggi dalam bentuk, ukuran dan warna buah. Permintaan pasar
untuk masing-masing daerah di Indonesia cenderung berbeda. Selain itu bagi petani sendiri, pemilihan varietas harus disesuaikan dengan kecocokan lahan yang
digunakan terkait dengan ketahanan penyakit, produktivitas dan vigor tanaman. Selain melakukan pengujian secara serempak terhadap ke-14 peubah
penjelas, untuk mendeskripsikan hubungan antara masing-masing peubah penjelas terhadap peubah respon dilakukan analisis crosstab tabulasi silang seperti
terlihat pada Tabel 11. Dari ke-14 peubah diperoleh 4 peubah yang nyata pada taraf uji kurang dari 5 yaitu: harga jual produk buah tinggi, kebanggaan menjadi
adopter awal, dorongan teman, dan brand image. Artinya keempat peubah
tersebut secara terpisah memiliki hubungan dengan peubah respon. Dari keempat peubah penentu adopsi secara terpisah, hanya 2 peubah yang sama dengan
pengujian stepwise, yaitu harga jual produk buah terong dan brand image. Produktivitas, harga benih, ketersediaan benih sample untuk uji coba serta
bantuan dana uji coba bukan merupakan faktor penentu adopsi benih terong hibrida.
Selain keempat faktor di atas, penguasaan pasar digunakan untuk melihat
tingkat penetrasi dan adopsi benih hibrida. Pada Gambar 23 dapat dilihat pola sebaran penguasaan benih terong hibrida dan non hibrida di wilayah Jawa Barat
Utara. Total penguasaan pasar benih terong hibrida pada dari tahun 2004 sampai
dengan tahun 2011 di ketiga wilayah penelitian mencapai lebih dari 80, yang didominasi oleh tipe terong panjang. Penguasaan pasar benih terong tipe panjang
didominasi oleh benih hibrida, yakni sebesar 92.8, sedangkan pasar benih terong bulat 100 dikuasai oleh varietas bersari bebas dan varietas lokal. Eksistensi
pasar benih lokal seperti terong bulat, kalapa atau kapol dan pondoh disebabkan belum adanya varietas hibrida tipe tersebut, sementara bentuk-bentuk terong lokal
lainnya umumnya ditanam di pekarangan. Kenari, terong bulat tipe asoi hasil pemuliaan lokal merupakan satu-satunya yang dikomersialisasikan di wilayah
penelitian, dengan penguasaan pasar sebesar 2 lebih rendah dibandingkan
68 dengan terong lokal, artinya plasmanutfah lokal terong bulat mendominasi lebih
tinggi dibandingkan dengan varietas terong bulat hasil pemuliaan, sehingga petani tidak mengadopsi varietas tersebut.
Sumber : data 2004-2010 dari PT East West Seed Indonesia; 2011 dari PT East West Seed Indonesia dan Toko pertanian di wilayah penelitian.
Gambar 23. Penguasaan pasar benih terong hibrida dari tahun 2004-2011 Penguasaan benih terong hibrida dari tahun 2004 sampai tahun 2011 ini
relatif stabil dan jika mengacu pada data dari Kementrial Pertanian pada Tabel 1 bahwa lebih dari 90 varietas yang dilepas adalah benih terong hibrida tipe
panjang, sementara terong tipe lainnya bersifat bersari bebas. Dominasi yang tinggi dari benih terong panjang dan kemungkinan masuknya varietas hibrida
untuk terong tipe lain dikhawatirkan dapat mendesak plasmanutfah lokal yang saat ini masih bertahan sebesar 20 di pasar. Benih lokal yang tetap digunakan
oleh petani di wilayah penelitian adalah benih yang belum tersedia hibrida dengan kualitas sesuai yang diinginkan pasar dan konsumen.