BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pertumbuhan perekonomian sebuah negara tidak lepas dari adanya peran penting sebuah lembaga keuangan. Lembaga keuangan memiliki peranan sebagai
pembangun tatanan perekonomian dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Secara umum lembaga keuangan terbagi menjadi 2
dua, yaitu lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non-bank. Keberadaan sistem ekonomi Islam di Indonesia ini tampaknya mulai
diakui oleh sebagian besar masyarakat. K.H. Ma’ruf Amin mengatakan bahwa sebagai sebuah bangsa muslim terbesar dengan jumlah penduduk kurang lebih
90 beragama Islam, tuntunan atau kiat Islam dalam segala aspek yang berkaitan dengan ekonomi Islam menjadi sangat relevan.
1
Seiring dengan perkembangan perekonomian Islam tersebut, institusi– institusi syariah, termasuk di dalamnya industri asuransi syariah, mengalami
perkembangan pula. Data terakhir perkembangan industri asuransi syariah yang penulis dapatkan dalam sebuah Seminar Nasional Badan Eksekutif Mahasiswa
Jurusan BEMJ Asuransi Syariah UIN syarif Hidayatullah Jakarta dengan narasumber Fahmi Basyah, ST., AAIK., AIIS., QIP. Head Of Sharia Division
1
Ma’ruf Amin, Kata Pengantar, dalam Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah Life and General: konsep dan sistem operasional,
Cet.I, Jakarta:Gema Insani Pers,2004, h. xxiii
PT. Asuransi Umum Bumiputeramuda 1967 menunjukkan bahwa jumlah
perusahaan perasuransian syariah, dalam hal ini perusahaan Asuransi Jiwa Syariah, Asuransi Umum Syariah, Unit Asuransi Syariah maupun Unit
Reasuransi Syariah mengalami peningkatan dari 11 perusahaan pada tahun 2003 menjadi 42 perusahaan pada tahun 2009. Lihat Tabel 1.1
Tabel 1.1 Asuransi Syariah di Indonesia
No Company
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
1. Sharia
Life Insurance
2 2 2 2 2 2 2 2.
Sharia General
Insurance 1 1 1 1 1 1 1
3. Sharia Unit Of Life Insurance
2 3
8 9
13 13
17 4.
Sharia Unit Of General Insurance 6
11 13
15 19
19 19
5. Sharia
Unit Of
Reinsurance - 1 2 3 3 3 3
TOTAL 11 18 26 30 37 38 42
Sumber : Seminar Pengembangan SDM Asuransi Syariah, 2009 Asuransi syariah mendasarkan legalitasnya pada hukum positif UU No. 2
Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dan KUHD pasal 246. Tetapi, hal tersebut tidak dapat dijadikan landasan hukum yang kuat bagi asuransi syariah.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia DSN-MUI terpanggil untuk membuatkan sebuah fatwa yang
berkaitan dengan kegiatan asuransi syariah, selaku lembaga keuangan syariah non
-bank. Dalam fatwanya, DSN-MUI menyatakan bahwa Asuransi Syariah Ta’min, Takaful atau Tadhamun adalah usaha saling melindungi dan tolong-
menolong di antara sejumlah orangpihak melalui investasi dalam bentuk aset danatau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko
tertentu melalui akad perikatan yang sesuai dengan syariah.
2
Dalam membentuk fondasi yang kokoh agar tidak menyebabkan struktur industri asuransi syariah menjadi rapuh, perlu adanya sebuah standar akuntansi
asuransi syariah. Bagi asuransi syariah, standar akuntansi merupakan sarana bagi perusahaan untuk membuat pelaporan dan penyajian laporan keuangan yang
sesuai dengan karakteristik perusahaannya untuk dapat menyajikan informasi yang cukup, akurat, relevan, tepat waktu, dapat dipercaya dan sebagai alat
transparansi dan akuntabilitas baik bagi nasabah, regulator dan juga manajemen.
3
Selama ini standar akuntansi yang menjadi acuan pada industri asuransi adalah standar yang diterbitkan oleh Dewan Standar Ikatan Akuntan Indonesia
IAI, yaitu PSAK no. 28 tentang Akuntansi Asuransi Kerugian dan PSAK no. 36 tentang Akuntansi Asuransi Jiwa. Namun standar tersebut masih belum
memenuhi ketentuan untuk perlakuan-perlakuan bisnis pada lembaga asuransi syariah, karena itu perlu acuan tambahan.
4
AAOIFI Accounting and Auditing Organization For Islamic Financial Institutions
yang merupakan acuan utama bagi lembaga keuangan syariah di
2
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 21DSN-MUIX2001. Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.
3
Sofyan Safri Harahap, Kata Sambutan, dalam Abdul Ghoni dan Erny Arianty. Akuntansi Asuransi Syariah, Antara Teori dan Praktek
, Jakarta: Insco Consulting.2007, h.v
4
Ibid., h. 13
dunia, secara khusus belum membuat conceptual frame work asuransi syariah, padahal di Financial Accounting Standars FAS AAOIFI no. 12 secara jelas
menganut sistem 2 entitas, tapi tidak dijelaskan karakteristik asuransi syariah. Sehingga FAS no. 12 mengacu pada AAOIFI no. 1 dan 2 yang mengatur secara
umum tentang lembaga keuangan syariah dan secara khusus tentang perbankan syariah.
5
Melihat hal tersebut, para pakar syariah dan akuntansi harus mencari dasar bagi penerapan standar akuntansi untuk asuransi syariah yang berbeda dengan
perbankan syariah dan asuransi konvensional yang menganut sistem 1 entitas, sedangkan asuransi syariah menganut 2 entitas yaitu dana peserta tabarru’ dan
dana pengelola. Upaya para pakar syariah dan akuntansi tersebut akhirnya terwujud
dengan disyahkannya Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan untuk selanjutnya disingkat dengan PSAK No. 108 pada bulan April 2009 untuk
Akuntansi Transaksi Asuransi Syariah yang bertujuan mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian dan pengungkapan transaksi asuransi syariah. PSAK 108
tersebut oleh DSN-MUI juga telah dinyatakan tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI yaitu pada tanggal 5
Mei 2009 dalam surat pernyataan kesesuaian syariah nomor U-153DSN- MUIV2009. PSAK 108 mengharuskan adanya pemisahan dana tabarru’ dan
dana pengelola, penghitungan risk based capital RBC juga didasari dari jumlah
5
Ibid., h. 17
dana tabarru’ atau dana peserta. Hal tersebut membuat asuransi syariah harus mengantisipasi adanya penguatan modal.
Dalam industri asuransi syariah, tingkat Risk Based Capital untuk selanjutnya disingkat dengan RBC, merupakan sebuah indikasi yang
menunjukkan tingkat kesehatan keuangan perusahaan asuransi. Dalam Keputusan Menteri Keuangan RI no. 424KMK.06.2003 pasal 2 dinyatakan bahwa
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi setiap saat wajib memenuhi tingkat solvabilitas paling sedikit 120 seratus dua puluh per seratus dari risiko
kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban.
6
Penghitungan tingkat solvabilitas dengan menggunakan metode RBC Risk Based Capital pada dasarnya adalah rasio dari nilai kekayaan bersih atau
“net worth” perusahaan bersangkutan, yang dihitung berdasarkan peraturan akuntasi standar PSAK 108, dibagi dengan nilai kekayaan bersih, yang dihitung
kembali dengan mengikutsertakan risiko-risiko pemburukan yang mungkin terjadi.
Dalam mengantisipasi dampak dari kondisi krisis keuangan global dan untuk merespon perkembangan kondisi industri asuransi saat ini, serta untuk
melindungi masyarakat yang menjadi pemegang polis, yaitu dibayarkannya manfaat asuransi pada saat terjadinya risiko kerugian atau kematian, pemerintah
sebagai regulator yang melakukan pengawasan dan pembinaan kepada industri
6
Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424KMK.062003, pasal 2 ayat 1.
asuransi di Indonesia telah mengeluarkan peraturan yang terkait dengan peraturan no. 424KMK.06.2003, yaitu peraturan Ketua Bapepam dan Lembaga Keuangan
nomor PER-2BL2009 tentang Pedoman Perhitungan Batas Tingkat Solvabilitas Minimum Bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Dalam
peraturan tersebut, dinyatakan bahwa perhitungan Batas Tingkat Solvabilitas Minimum untuk selanjutnya disingkat dengan BTSM untuk usaha asuransi dan
reasuransi dengan prinsip konvensional harus dilakukan terpisah dengan usaha asuransi dan reasuransi yang berprinsip syariah. Bagi perusahaan asuransi atau
perusahaan reasuransi yang memiliki Unit Syariah, BTSM total perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi tersebut merupakan hasil penjumlahan BTSM
untuk usaha asuransi atau usaha reasuransi dengan prinsip konvensional dan BTSM untuk usaha asuransi atau usaha reasuransi dengan prinsip syariah.
7
Yang menjadi permasalahan di sini adalah PSAK 108 mewajibkan penghitungan RBC didasarkan atas dana rekening tabarru’ atau dana peserta,
karena sistem pencatatan antara dana pesertatabarru’ dan dana pengelola dilakukan secara terpisah. Selama ini, industri menggunakan dana peserta dan
dana pengelola sebagai dasar perhitungan. Selain itu, parameter batas tingkat solvabilitas minimum yang telah ditetapkan untuk entitas asuransi syariah
disamakan dengan usaha asuransi dan reasuransi konvensional, yaitu sebesar
7
Peraturan Ketua Bapepam dan Lembaga Keuangan nomor PER-2BL2009 tentang Pedoman Perhitungan Batas Tingkat Solvabilitas Minimum Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi.
120. Dengan demikian, penyusutan tingkat RBC pada entitas asuransi syariah sangat mungkin terjadi.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis sangat
tertarik untuk membuat skripsi, dengan judul ”DAMPAK PENERAPAN PSAK 108 TERHADAP TINGKAT SOLVABILITAS MINIMUM PERUSAHAAN
ASURANSI SYARIAH Studi Pada Unit Syariah PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah