C. Media Konstruksi Berita
Asal mula konstruksi sosial ialah dari filsafat konstruktivisme, yang dimulai dari gagasan konstruksi kognitif. Teori konstruktivisme yang meyakini bahwa
makna atau realitas bergantung pada konstruksi pikiran dapat dirunut pada teori Popper 1973. Teori ini membagi tiga pengertian tentang alam semesta antara lain,
dunia fisik atau keadaan fisik, dunia kesadaran atau dunia mental dan dunia dari isi objektif pemikiran manusia. Bagi Popper objektivisme tidak dapat dicapai pada
dunia fisik, melainkan selalu melalui dunia pemikiran manusia.
28
Teori ini menolak pandangan teori positivis yang memisahkan antara subjek dan objek komunikasi. Dalam pandangan teori ini, bahasa tidak hanya dilihat
sebagai alat untuk memahami realitas objektif dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivis menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam
kegiatan komunikasi serta hubungan sosial lainnya. Istilah konstruksi sosial atas realitas pertama kali diperkenalkan oleh Peter L.
Berger bersama Thomas Luckmann melalui bukunya yang berjudul “The Social Construction of Reality, a Treatise in the Sociological of Knowledge”
1966. Dalam buku tersebut, Berger dan Luckmann menjelaskan tentang proses sosial
melalui tindakan dan interaksinya, di mana individu menciptakan secara terus- menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Berger
mengutarakan bahwa manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis dan plural.
29
28
Elvinaro Ardianto dan Bambang Q-Anees, Filsafat Ilmu Komunikasi Bandung : Simbiosa Rekatama Media, 2007, h. 153.
29
Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, Yogyakarta: LkiS, 2002. h. 18.
Realitas tidak dibentuk secara ilmiah ataupun diturunkan oleh Tuhan, tetapi dibentuk dan dikonstruk. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-
beda atas suatu realitas. Selain plural, konstruksi sosial itu juga bersifat dinamis. Sebagai hasil konstruksi sosial, maka realitas tersebut merupakan realitas
subjektif dan realitas objektif sekaligus. Dalam realitas subjektif, realitas tersebut menyangkut makna, interpretasi dan hasil relasi antara individu dengan objek.
Sedangkan dalam realitas objektif, realitas sebagai sesuatu yang dialami, bersifat eksternal, berada di luar, atau istilah Berger, tidak dapat ditiadakan dengan
angan-angan. Dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktivis, realitas merupakan
konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu.
30
Max Weber melihat realitas sosial ialah perilaku sosial yang memiliki makna subjektif, karena itu perilaku memiliki
tujuan dan motivasi. Alasan untuk memberikan perhatian pada berita yang begitu besar dalam kajian media adalah berita merupakan sumber utama informasi tentang
dunia dalam hal geografi dan politiknya.
31
Tentang proses konstruksi realitas, prinsipnya setiap upaya “menceritakan” konseptualisasi sebuah peristiwa, keadaan, atau benda tak terkecuali menganai hal-
hal yang berkaitan dengan politik adalah usaha mengkonstruksi realitas. Laporan tentang kegiatan orang yang berkumpul di sebuah lapangan terbuka guna
mendengarkan pidato politik pada musim pemilu, misalnya, adalah hasil konstruksi realitas mengenai peristiwa yang lazim disebut kampanye pemilu itu. Begitulah
setiap hasil laporan adalah hasil konstruksi realitas atas kejadian yang dilaporkan.
30
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006, h. 188.
31
Graeme Burton, Yang Tersembunyi di Balik Media Pengantar Kepada Kajian Media Yogyakarta : Jalasutra, 2008, h. 155.
Karena sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka kesibukan utama media massa adalah
mengkonstruksi berbagai realitas yang akan disiarkan. Media menyusun realitas dari berbagai peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna.
Dengan demikian seluruh isi media tiada lain adalah realitas yang telah dikonstruksi constructed reality dalam bentuk wacana yang bermakna.
Dalam proses konstruksi realitas, bahasa adalah unsure utama. Ia merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah alat konseptualisasi
dan alat narasi. Begitu pentingnya bahasa, maka tak ada berita, cerita, ataupun ilmu pengetahuan tanpa bahasa. Selanjutnya, penggunaan bahasa simbol tertentu
menentukan format narasi dan makna tertentu. Sedangkan jika dicermati secara teliti, seluruh isi media entah media cetak ataupun elektronik menggunakan bahasa,
baik bahasa verbal kata-kata tertulis ataupun lisan maupun bahasa non-verbal gambar, foto, gerak-gerik, grafik, angka, dan label.
32
“Teori tentang konstruksi realitas dengan bahasa sebagai instrumennya, dibahas Berger, Peter L dan Thomas Luckman, The Social Construction of Reality, A
Treatise in the Sociology of Knowledge, New York: Anchor Book, 1967, khususnya pada halaman,34-36. Mereka mengatakan, proses konstruksi realitas dimulai ketika
seorang konstruktor melakukan objektivikasi terhadap suatu kenyataan yakni melakukan persepsi itu diinternalisasikan ke dalam diri seorang konstruktur. Dalam
tahap inilah dilakukan konseptualisasi terhadap suatu objek yang dipersepsi. Langkah terakhir adalah melakukan eksternalisasi atas hasil dari proses
permenungan secara internal tadi melalui pernyataan-pernyataan. Alat membuat pernyataan tersebut tiada lain adalah kata-kata atau konsep atau bahasa”.
33
Lebih jauh dari itu, terutama dalam media massa, keberadaan bahasa ini tidak lagi sebagai alat semata untuk menggambarkan sebuah realitas, melainkan bisa
menentukan gambaran makna citra mengenai suatu realitas- realitas media- yang
32
Ibnu Hamid, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa, Granit. Jakarta: 2004,Cet. Pertama. Hal: 11
33
ibid. Hal: 12
akan muncul dibenak khalayak. Terdapat berbagai cara media massa mempengaruhi bahasa dan makna ini. Mengembangkan kata-kata baru beserta makna asosiatifnya,
memperluas mkna dari sitilah-istilah yang ada, mengganti makna lama sebuah istilah dengan makna baru, memantapkan konvensi makna yang telah ada dalam suatu
system bahasa. Oleh karena persoalan makna itulah, maka penggunaan bahasa berpengaruh
terhadap konstruksi realitas, terlebih atas hasilnya baca, makna, atau cerita. Sebabnya ialah, karena bahasa mengandung makna. Padahal, manakala kita
bercerita kepada orang lain, sesungguhnya esensi yang ingin kita sampaikan adalah makna. Begitu juga, rakitan antara satu kata angka dengan kata angka lain
menghasilkan suatu makna. Penampilan secara keseluruhan sebuah wacana bahkan bisa menimbulkan makna tertentu
34
Konstruksi realitas pada media massa sendiri ialah bagaimana media membentuk kata, frasa, dan kalimat dari suatu peristiwa menjadi sesuatu yang
bermakna dalam menyampaikan berita kepada khalayak. Dari sisi konstruksionis, media, wartawan, dan berita memiliki keterkaitan antara lain:
1 Fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi karena melibatkan sudut pandang tertentu dari wartawan. Fakta dan realitas bukanlah sesuatu yang tinggal
diambil, ada, dan menjadi bahan dari berita. Fakta dapat dikonstruksikan. 2 Media merupakan agen konstruksi karena dia bukan saluran yang bebas.
Media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakkannya. Media dipandang
sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas.
34
Ibid. Hal: 13
3 Berita bukan refleksi dari realitas, melainkan konstruksi dari realitas tersebut. Berita adalah hasil dari konstruksi sosial yang selalu melibatkan pandangan, ideologi
dan nilai-nilai dari wartawan dan media. 4 Berita bersifat subjektif, artinya bahwa opini tidak dapat dihilangkan karena
ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif. 5 Wartawan merupakan agen konstruksi realitas karena tidak dapat
menyembunyikan rasa keberpihakan, etika dan pilihan moral dalam menyusun berita. Dalam hal ini, wartawan tidak bisa menyembunyikan pilihan moral dan
keberpihakannya, karena ia merupakan bagian yang intrinsik dalam pembentukan berita.
Sekarang ini masyarakat sangat haus akan infromasi. Sedangkan media juga sedang marak-maraknya dalam memanjakan khalayak untuk memperoleh segala
macam informasi. Ketika media massa menjadi tempat terjadinya konstruksi sosial, berarti berbicara tentang kerja rutin media. Artinya, media selain menulis realitas
juga turut membentuk konstruksi sosial. Dengan kata lain, media meramu lebih dahulu pesan-pesan yang hendak disampaikan sehingga pesan tersebut seakan-akan
merupakan suatu realitas. Organisasi media tidak hanya mempunyai struktur dan pola kerja, tetapi juga memiliki ideologi profesional.
Realitas pada media, tidak serta merta melahirkan berita, melainkan melalui proses interaksi antara penulis berita wartawan dengan fakta. Terjadi proses
dialektika antara apa yang dipikirkan dan apa yang dilihat oleh wartawan tersebut, sehingga isi berita merupakan realitas yang telah mengalami proses konstruksi
kembali. Pembuatan berita pada dasarnya merupakan proses penyusunan atau konstruksi kumpulan realitas sehingga menimbulkan wacana yang bermakna.
Ada dua kriteria atau persyaratan yang dapat dikatakan merupakan tuntutan atau panduan bagi wartawan dalam melakukan proses rekonstruksi realitas.
Pertama , kriteria atau persyaratan teknis. Misalnya sebuah laporan jurnalisme
sebaiknya memiliki kelengkapan 5W+1H what, who, where, when, why, dan how. Kemudian berkaitan dengan jenis berita apakah hard news, soft news, spot news,
developing news atau continuing news. Konstruksi realitas yang disusun oleh
wartawan untuk menjadi calon berita ini diharapkan memiliki nilai berita news value
yang penting dan menarik. Kedua, persyaratan yang berkaitan dengan kualitas atau bobot produk berita. Kualitas atau bobot produk berita ini berarti
produk jurnalisme suratkabar atau majalah hendaknya bersifat objektif. Namun ironisnya, dari kedua kriteria tersebut, dikenal adanya istilah gatekeeping atau proses
penyaringan informasi yang dilakukan oleh wartawan suratkabar. Dalam proses gatekeeping tersebut, ketika wartawan melakukan proses
konstruksi realitas, wartawan masih dipengaruhi oleh dua faktor lagi, yaitu faktor konteks eksternal dan faktor konteks internal yang terdiri dari internal institusi dan
internal individu. Faktor konteks eksternal, misalnya sistem politik yang berlaku pada suatu negara dapat pula mempengaruhi institusi surat kabar, khususnya
wartawan dalam mengkonstruksi realitas sehingga pada akhirnya dapat pula mempengaruhi penampilan dari isi atau perwajahan sebuah surat kabar. Faktor
konteks internal, internal institusi berarti bahwa setiap institusi surat kabar memiliki motif atau kepentingan yang berbeda satu dengan yang lain sedangkan internal
individu berarti bahwa individu wartawan sendiri ketika bekerja merekonstruksi realitas bukan merupakan individu yang pasif.
Pada kenyataannya, realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu, baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial itu memiliki makna
manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara objektif. ”Sumber: John Fiske,
Introduction to Communication Studies 2
nd
Edition. London: Roudledge, 1990.
D. Sekilas Profil Kompas Cyber Media dan Republika Online