60 Jika ditinjau dari segi kesempatan yang diberikan kepada negara-negara untuk
menjadi peserta, maka perjanjian investasi ASEAN ini dapat dikatakan sebagai perjanjian internasional khusus yaitu perjanjian internasional yang substansinya
merupakan kaidah hukum yang khusus berlaku bagi para pihak yang bersangkutan saja, dalam hal ini adalah negara-negara anggota ASEAN, oleh karena memang
mengatur hubungan hukum antara intra-ASEAN, jadi merupakan kepentingan dari para pihak saja. Perjanjian internasional seperti ini kadang disebut juga dengan
perjanjian internasional tertutup, oleh karena pihak ketiga tidak diperkenankan untuk menjadi pihak atau peserta di dalam perjanjian itu.
Jika ditinjau dari kaidah hukumnya, maka perjanjian investasi ASEAN ini maka dapat dikatakan sebagai perjanjian internasional yang melahirkan kaidah hukum yang
berlaku dalam suatu kawasan tertentu.Perjanjian internasional semacam ini dapat dikatakan merupakan perjanjian internasional tertutup karena berlaku bagi suatu
kawasan saja.Negara-negara diluar kawasan yang bersangkutan tidak diperkenankan untuk menjadi pihak dalam perjanjian.Perjanjian seperti inilah yang selanjutnya lazim
disebut dengan perjanjian internasional regional.
C. Akibat Hukum Setelah diratifikasinya Perjanjian Investasi ASEAN
Persetujuan suatu negara untuk terikat pada suatu perjanjian internasional mengandung dua aspek yaitu aspek eksternal dan aspek internal. Aspek eksternalnya
adalah keterikatan negara yang bersangkutan terhadap perjanjian dalam hubungannya dengan lain yang juga sama-sama terikat pada perjanjian itu. Suatu negara yang
Universitas Sumatera Utara
61 menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional berarti
negara itu menyatakan ketersediannya untuk menaati dan menghormati perjanjian internasional itu. Negara itu terikat pada perjanjian internasional yang telah
disetujuinya bersama-sama dengan negara lain maupun dalam hubungan antar mereka satu dengan lainnya. Perjanjianitu akan melahirkan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban baik secara bersama-sama maupun secara timbal balik antara negara- negara yang sama-sama telah menyatakan persetujuannya untuk terikat. Semuanya itu
tunduk pada prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional pada umumnya dan hukum perjanjian internasional pada khusunya.Dengan demikian, aspek eksternal
ini relatif lebih pasti karena adanya suatu bidang hukum yang mengaturnya yaitu hukum internasional dan didalamnya termasuk hukum perjanjian internasional yang
berlaku bagi semua negara di dunia.
65
Mengenai aspek internalnya, berkenaan dengan masalah di dalam negeri dari negara yang bersangkutan. Misalnya, organ manakah dari pemerintah negara itu yang
berwenang menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional, bagaimana mekanismenya sampai dengan dikeluarkannya persetujuan ataupun
penolakan untuk terikat pada perjanjian, serta konsekuensinya terhadap hukum nasional dari keterikatan negara itu pada suatu perjanjian internasional. Pengaturan
tentang hal ini tentu aja akan berbeda dengan negara yang satu dengan yang lainnya, yang disebabkan karena setiap negara memiliki sistem hukum, politik, maupun
konstitusi yang berbeda-beda.
66
Dalam pengambilan keputusan tentang pernyataan suatu negara untuk terikat pada suatu proses perjanjian internasioanl, terkandung suatu proses yang dari awal
sampai dengan akhir mencerminkan demokrasi, hukum, politik, dan konstitusi dari
65
I Wayan Parthiana, Perjanjian Internasional Bag. 1. Op. Cit., hlm. 144
66
Ibid. hlm. 145.
Universitas Sumatera Utara
62 negara yang bersangkutan. Hal ini dapat dipahami, karena terikatnya suatu negara
pada suatu perjanjian internasional, berarti pula mengikat terhadap warganegara dari negara itu sendiri.Walaupun negaralah yang terikat, tetapi secara faktual warganegara
dari negara itu sendirilah yang sebenarnya menikmati hak-hak dan memikul kewajiban yang timbul dari perjanjian tersebut.Oleh karena itu, wajarlah adanya
pengaturan di dalam sistem hukum nasional masing-masing negara tentang persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional.
67
Kegiatan atau proses adopsi perjanjian internasional untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional sebagaimana yang disebutkan diatas salah satunya
dapat dilakukan dengan cara ratifikasi, yang sudah dikenal secara umum dalam masyarakat internasional sebagai pengesahan suatu perjanjian internasional dimana
negara turut menandatangani naskah perjanjian internasional. Pengaturan internasional mengenai ratifikasi ada tertulis dalam Konvensi Wina
tahun 1969 mengenai perjanjian internasional, yang mana ratifikasi didefenisikan sebagai tindakan internasional dimana suatu negara menyatakan kesediannya atau
melahirkan persetujuan untuk diikat oleh suatu perjanjian internasional. Karena itu ratifikasi tidak berlaku surut, melainkan baru akan mengikat sejak penandatanganan
ratifikasi.
68
Dengan adanya perumusan tentang ratifikasi sebagai “the international act so named by a state establishes on the international plane its consent to be bound by a
treaty”, Kovensi Wina menghindari perumusan prosedur ratifikasi. Karena praktik dari berbagai negara menunjukan proses atau cara ratifikasi yang berbeda-beda,
seperti telah dikemukakan oleh Gerhard von Glahn “Virtually every state has developed detailed domestic regulations spelling out the process of treaty
67
I Wayan Parthiana, Loc. Cit..
68
Vienna Convention on the Law of Treaties, pasal 2, ayat 1 b.
Universitas Sumatera Utara
63 ratification
”. Di Amerika Serikat misalnya, seperti juga di Indonesia, ratifikasi oleh badan legislatif dan eksekutif. Di Inggris, ratifikasi dilakukan oleh takhta atas nasihat
menteri yang bersangkutan. Di negara-negara tertentu lainya ratifikasi dilakukan oleh kabinet atas saran menteri yang bersangkutan.
69
Di Indonesia, menurut Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional, ratifikasi adalah salah satu bentuk pengesahan, yaitu perbuatan hukum
untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional. Jadi, dengan adanya ratifikasi maka Indonesia mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional.
70
Namun dalam suatu pengesahan perjanjian internasional penandatanganan suatu perjanjian tidak serta merta dapat diartikan sebagai pengikatan para pihak terhadap
perjanjian tersebut. Karena proses penandatanganan yang merupakan tahap akhir dalam suatu proses pembentukan perjanjian internasional bukan berarti merupakan
pengikatan diri sebagai pihak seperti biasanya dalam perjanjian bilateral. Penandatanganan suatu perjanjian internasional multirateral memerlukan pengesahan
untuk dapar mengikat. Perjanjian internasioanal tidak akan mengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut disahkan.
Di Indonesia, pengesahan perjanjian internasional menjadi hukum positif Indonesia menggunakan sistem campuran, yakni oleh badan eksekutif dan legislatif
dalam bentuk undang-undang atau keputusan presiden sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 9 ayat 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000. Pengesahanratifikasi
perjanjian internasional dalam bentuk undang-undang diurusi oleh Direktorat Perjanjian Politik, Keamanan dan Kewilayahan Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia.Sedangkan yang menangani pengesahanratifikasi dalam bentuk keputusan
69
Budiono Kusumohamidjojo, Suatu Studi Terhadap Aspek Operasional Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Bandung: Binacipta, 1986, hal. 7.
70
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Pasal 1 angka 2.
Universitas Sumatera Utara
64 presiden adalah Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Kementerian Luar
Negeri Republik Indonesia. Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila
berkenaan dengan : 1. Masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara;
2. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; 3. Kedaulatan atau hak berdaulat negara;
4. Hak Asasi Manusia dan lingkungan hidup 5. Pembentukan kaidah hukum baru;
6. Pinjaman danatau hibah luar negeri.
71
Selanjutnya dalam Pasal 11 ayat 1 Undang-Undang Perjanjian Internasional mengatur pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi
sebagaimana diatur di dalam Pasal 10, dilakukan dengan keputusan presiden. Dilihat dari materi perjanjian investasi ASEAN yaitu ASEAN Comprehensive
Investment Agreement ACIA sebagai perjanjian yang berlaku saat ini mengatur mengenai masalah ekonomi atau lebih tepatnya masalah investasi.Maka bentuk
pengesahan ACIA menurut Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Perjanjian Internasional harus melalui Keputusan Presiden.
Namun, setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pengesahan perjanjian antara negara
Republik Indonesia dan negara lain atau badan internasional tidak lagi dapat
71
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Pasal 10.
Universitas Sumatera Utara
65 dilakukan dengan Keputusan Presiden tapi dengan Peraturan Presiden. Hal Tersebut
sesuai dengan ketentuan pasal 46 ayat 1 huruf c butir 1 UU Nomor 10 tahun 2004. Oleh karena itu, pada tanggal 8 Agustus 2011 diundangkanlah ASEAN
Comprehensive Investment Agreement melalui Peraturan Presiden Nomor 49 tahun 2011, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 80 tahun 2011 dan dinyatakan
berlaku pada tanggal ditetapkan. Dengan ini, Indonesia menyatakan persetujuan untuk terikat pada ASEAN
Comprehensive Investment Agreement ACIA maka menyatakan ketersediannya untuk menaati dan menghormati perjanjian internasional tersebut bersama-sama
dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya. Oleh karena ini juga, perjanjian internasional ini akan melahirkan hak-hak dan kewajiban baik secara bersama-sama
maupun secara timbal balik antara negara-negara anggoa ASEAN yang sama-sama telah menyatakan persetujuannya untuk terikat. Juga negara-negara anggota ASEAN
tunduk pada prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah internasional pada umumnya serta ACIA pada khususnya.
Universitas Sumatera Utara
66
BAB IV PERJANJIAN INVESTASI ASEAN DALAM RANGKA MENGHADAPI