Prinsip Kedaulatan dan Impunity

Menurut pandangan Jean Bodin menganggap kedaulatan sebagai atribut dan cirri khusu dari Negara. Menurut Jean Bodin kedaulatan merupakan hal yang pokok dari setiap kesatuan berdaulat yang disebut Negara. Tanpa kedaulatan maka tidak ada Negara dan karenanya kedaulatan merupakan kekuasaan mutlak dan abadi dari Negara yang tidak terbatas dan tidak dapat dibagi-bagi. 74 Menurut Bodin yang dinamakan kedaulatan itu mengandung satu-satunya kekuasaan sebagai : Selanjutnya Bodin juga mengatakan, bahwa tidak ada kekuasaan lain yang lebih tinggi yang dapat membatasi Negara. 75 1. Asli, artinya tidak diturunkan, dari sesuatu kekuasan lain. 2. Tertinggi, tidak ada kekuasan lain yang lebih tinggi yang dapat membatasi kekuasaannya. 3. Bersifat abadi atau kekal; 4. Tidak dapat dibagi-bagi karena hanya ada satu kekuasaan tertinggi saja. 5. Tidak dapat dipindahkan atau diserahkan kepada sesuatu badan lain. Jean Bodin adalah orang pertama yang member bentuk ilmiah pada teori kedaulatan, akan tetapi persoalan mengenai kekuasaan tertinggi dalam Negara itu telah dikenal sejak jaman Aristoteles dan sarjana-sarjana hukum romawi pada zaman dahulu. Ajaran dari Bodin ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Thomas Hobbes dan John Austin sebagai pengikut aliran Positivisme. 76 Sekalipun terdapat perbedaan-perbedaan penapat dalam memberikan penjelasan terhadap sifat kedaulatan namun, para pengarang abar ke 16 dan 17 mempunyai Demikian juga Puffendorf pengikut ajaran Hobbes tetap meyakini, bahwa kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi dalam Negara. 73 Mochtar Kusumadmaja, 1976, Bandung, Pengantar Hukum Internasional, Bagian I Umum, Binacipta, hal. 15 74 Fred isjwara, Bandung, Pengantar Ilmu Politik, Bina Cipta, hal. 108 75 Mochtra Affandi, 1971, Bandung, Ilmu-ilmu Negara, Alumni, hal. 160 76 Fred Isjwara, op.cit, hal. 109-110 dasar pandangan yang sama yakni, bahwa kedaulatan itu tidak dapat dibagi- bagi. 77 Perubahan pandangan ini setelah adanya perjanjian perdamaiaan Westphalia pada tahun 1648, yang telah mengakhiri perang tiga puluh tahun di Eropa. Dalam abad ke 18 terjadi perubahan pandangan mendasar terhadap sifat kedaulatan yaitu disalah satu pihak terdapat pengarang-pengarang yang membedakan antara kekuasaan atau kedaulatan mutlak dengan kedaulatan terbatas. 78 Prinsip kedaulatan tersebut dalam perkembangannya mengalami perubahan, misalnya dalam kepustakaan hukum internasional disebut sebagau Negara yang berdaulat adalah Negara yang mampu dan berhak mengurus sendiri kepentingan- kepentingan dalan negeri maupun luar negeri dengan tidak bergantung kepada Negara lainnya. 79 Menurut paham sarjana-sarjana barat klasik, prinsip kedaulatan ekstern ini sudah merupakan pengertian yang using yang selalu dilebih-lebihkan pemakaiannya. Sarjana-sarjana klasik ini menyatakan, bahwa Negara-negara baru terlalu menitik beratkan pengertian kedaulatan ekstern ini sedemikian rupa, padahal sekarang ini justru merupakan zaman kerjasama internasional yang pada hakikatnya menuntut dilepaskannya anggapan yang mutlak dari kedaulatan itu. Jean Bodin menyelidiki kedaulatan ini dari aspek dalam batas-batas lingkungan wilayahnya dimana kedaulatan intern ini adalah kekuasaan tertinggi dari Negara untuk mengurus wilayah dan rakyatnya. Grotius menyelidiki kedaulatan dari aspek ekstrennya, yaitu kedaulatan dalam hubungannya dengan Negara-negara lain. Kedaulatan ekstern ini lebih umum dikenal dengan kemerdekaan dan persamaan derjat. 80 Pada permulaan perkembangannya immunitas Negara telah diterima, bahwa suatu Negara secara mutlak tidak dapat diganggu gugat dihadapan forum hakim Negara Ini terjadi setelah perang dunia ke-2 usai, dimana banyak Negara-negara baru muncul yang menonjolkan peranan kedaulatan negara dalam hubungan internasional seperti Negara-negara Asia, Afrika dan Negara-negara Sosialis. 77 Oppenheim,-Lauterpacht, 1961, London, international Law, Vol. I Longmans, Green and Co, hal. 120 78 Ibid, hal. 127 79 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, op.cit, hal. 43 80 Fred Isjwara, op.cit, hal. 117-118 lain. Hal ini terjadi juka Negara tersebut dijadikan pihak sebagai tergugat yang dituntut atas tindakan yang merugikan pihak penggugat perorangan dimana tuntutan atas Negara tersebut dilakukan di forum pengadilan di luar wilayah Negara yang dituntut forum pengadilan asing. 81 Pengadilan-pengadilan di Amerika Serikat merupakan yang pertama merumuskan doktrin imunitas mutlak. Keputusan hakim Marshall dalam perkara “The Scooner Exhange” lawan “Mc. Faddon” pada tahun 1812 telah berulang kali dijadikan sebagai acuan sikap yudisial mengenai doktrin imunitas mutlak. Praktek demikian berdasarkan atas penerimaan doktrin imunitas mutlak atau absolute Absolute Immunity dimana sejak abad ke- 19 berbagai keputusan hukum telah mengecualikan Negara lain dari yuridiksi pengadilan nasional. 82 Imunitas kedaulatan yang pada permulaannya memiliki sifat mutlak ternyata dalam penerapannya, melalui berbagai putusan pengadilan, telah mengalami perubahan mendasar menjadi mimunitas terbatas yang lebih dikenal dengan sebutan doktrin tindakan Negara. Dalam doktrin ini Negara memiliki pribadi ganda, yaitu sebagai kesatuan yang berdaulat public dan sebagai perseorangan biasa perdata. Dalam keputusan Marshall dalam perkara diatas diakatan, bahwa sifat dan dasar hukum imunitas Negara asing terhadap yuridiksi pengadilan setempat merupakan perpaduan antara dua prinsip dasar fundamental principle hukum internasional dimana keduanya merupakan aspek hukum kedaulatan, yaitu prinsip dan kepribadian Negara. Perubahan pandangan terhadap Negara dalam arti untuk apa Negara itu dari keonsep Negara hukum dalam arti sempit menjadi Negara hukum modern telah mengakibatkan dipersoalkannya imunitas kedaulatan suatu Negara asing di hadapapan pengadilan nasional. 83 Perlindungan terhadap suatu Negara dalam bentuk imunitas kedaulatan hanya dapat diberikan apabila Negara bersangkutan telah bertindak dalam kualitasnya sebagai suatu kesatuan berdaulat. Dari kesadaran inilah suatu Negara berada dalam status “iure imperil”. dan perlindungan tidak dapat diberikan terhadap suatu kepentingan Negara asing apabila Negara tersebut berada dalam status “iure gestiones” yaitu sebagai perseorangan biasa. 84 81 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 1999, Bandung, imunitas Kedaulatan Negara di Forum Pengadilan Aing, PT. Alumni. Hal. 1 82 Ibid, hal. 2-3 83 Ibid, hal. 17 84 Ibid, hal. 8

A. Pengaturan Dan Pergerakan Hukum Kasus Pelanggaran HAM

Internasional Di Nursemberg 1. Deskriminasi Rasial Dalam prinsip terhadap penghapusan semua bentuk deskriminasi adalah merupakan salah satu tujuan utama PBB sejak awal, piagam PBB, lembaga- lembaga yang diciptakan sesuai dengan piagam itu Bill of rights internasional, semua menjadikan persamaan perlakuan terhadap semua manusia dalam tema utamanya, oleh karena itu tidaklah mengherankan apbila berbagai lembaga PBB telah mencurahkan cukup banyak energy dlam menyusun instrument-instrumen dalam rangka memerangi jenis deskriminasi yang paling meluas dinegara-negara, yaitu diskriminasi rassial, diskriminasi budaya, dan diskriminasi seksual sudah menjamur disetiap Negara. Ketentuan pertama secara spesifik untuk menganni dikriminasi rasial adalah konvensi internasional mengenai penghapusan semua bentuk diskriminasi rasial, yang sudah disetujui oleh Majelis Umum tahun1965 dan diberlakukan pada tahun 1969. 85 Dengan cara pengawasan yang pokok adalah suatu system pelaporan berkala oleh Negara peserta menyerupai system pelaporan yang diatur dalam konvensi- konvensi internasional, tetapi konvensi ini juga memberikan suatu hak individu Konvensi ini melarang diskriminasi rasial yang dimuat oleh pasal 1 sebagai berikut : “Setiap pembedaan, pengucilan, larangan, atau preferensi berdasarkan ras, warna kulit, atau as asal usul keturunan, bangsa atau etnis, yang bertujuan atau berakibat meniadakan atau mengurangi pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan, di atas dasar yang sama dengan orang lain, terhadap hak asasi manusia dan kebebasan asasi dalam bidang kehidupan politi, ekonomi, social, budaya, atau bidang kehidupan public lainnya”. Negar-negara peserta diwajibkan menurut pasal 2 1 untuk menggunakan segala cara yang sesuai guna menghilangkan deskriminasi rasial didalam wilayah mereka, dan menjamin bahwa semua hak sipil, politik, ekonomi, dan social tanpa dekriminasi, untuk mengawasi konvensi ini ditetapkan pasal 8 dibentuklah semua komite penghapusan diskriminasi rasial Committe on the elimination of racial Discrimination-CERD terdiri dari 18 tokoh independen yang dipilih oleh Negara- negara peserta. 85 United Nations Treaty Series 195; United Kingdom Treaty series 77 1969; 1966 5 International legal Materials untuk mengajukan berupa pengaduan tertulis apabila Negara-negara telah mengakui terhadap kewenangan CERD untuk menerima berupak pengaduan tertulis yang diajukan pihak-pihak tersebut. Dalam ketentuan pasal 22 konvensi ini juga mengijinkan yuridiksi ICJ dijalankan dalam kasus-kasus terhadap sengketa yang tidak diselesaikan diantara Negara- negara peserta, dan mayoritas Negara-negara peserta mengajukan syarat terhadap hal penting berdasarkan prosedur yang sudah ada dalam mewujudkan ketantuan pasal diatas. Oleh karena itu salah satu tantangan terpenting terhadap hukum hak asasi manusia internasional dalam tahun belakangan ini adalah kebijakan Afrika Selatan mengenai diskriminasi rasial yang dilembagakan, yang dikenal sebagai “apartheid” meskipun kebijakan ini terus menerus menjadi sasaran dari sejumlah organ PBB yang berurusan dengan hak asasi manusia, namun baru pada tahun 1973 Majelis Umum PBB menyetujui konvensi internasional tentang pemberantasan dan menghukum terhadap kejahatan “apartheid” dan konvensi ini berlaku mulai pada tahun 1976. 86 86 United Nations Treaty Series 195; United Kingdom Treaty series 77 1969; 1966 5 International legal Materials 352 Istilah Apartheid yang dinyatakan dalam pasal 1 konvensi ini sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, dan dengan demikian disejajarkan dengan genosida, serta didefenisikan sebagai kebijakan dan praktek segrasi dan diskriminasi rasial yang sama seperti terjadi dibenua Afrika termasuk praktek di Afrika Selatan. Dimana perbuatan-perbuatan ini meliputi pembunuhan dan perbuatan yang menimbulkan kerusakan mental dan jasmani yang cukup serius, penahanan dilakukan sewenang- wenang serta pemenjaraan illegal, serta pemaksaan kondisi hidup yang direncanakan dapat menimbulkan kehancuran pisik bagi kelompok-kelompok rasial, baik untuk seluruhnya atau sebahagian yang terjadi di Negara-negara tertentu. Adanya kelompok yang dapat menghasut, membantu, serta mendorong terhadap perbuatan Apartheid dianggap juga melakukan kejahatan, ini terlihat sebelum adanya pengadilan pidana internasional, Negara-negara peserta memiliki yuridiksi atas pengadilan dan penghukuman terhadap kejahatan tersebut. Dimana pengawasan terhadap konvensi dapat dijalankan melalui laporan berkala mengenai perkembangan dan kemajuan yang dicapai, yang disampaikan oleh Negara peserta kepada suatu kelompok yang terdiri dari tiga orang anggota CHR yang dicalonkan oleh ketua komisi, kelompk tiga orang ini adalah merupakan wakil Negara-negara peserta konvensi serta sekaligus merangkap anggota CHR yang disetujui.