Pengaturan Dan Pergerakan Hukum Kasus Pelanggaran HAM

untuk mengajukan berupa pengaduan tertulis apabila Negara-negara telah mengakui terhadap kewenangan CERD untuk menerima berupak pengaduan tertulis yang diajukan pihak-pihak tersebut. Dalam ketentuan pasal 22 konvensi ini juga mengijinkan yuridiksi ICJ dijalankan dalam kasus-kasus terhadap sengketa yang tidak diselesaikan diantara Negara- negara peserta, dan mayoritas Negara-negara peserta mengajukan syarat terhadap hal penting berdasarkan prosedur yang sudah ada dalam mewujudkan ketantuan pasal diatas. Oleh karena itu salah satu tantangan terpenting terhadap hukum hak asasi manusia internasional dalam tahun belakangan ini adalah kebijakan Afrika Selatan mengenai diskriminasi rasial yang dilembagakan, yang dikenal sebagai “apartheid” meskipun kebijakan ini terus menerus menjadi sasaran dari sejumlah organ PBB yang berurusan dengan hak asasi manusia, namun baru pada tahun 1973 Majelis Umum PBB menyetujui konvensi internasional tentang pemberantasan dan menghukum terhadap kejahatan “apartheid” dan konvensi ini berlaku mulai pada tahun 1976. 86 86 United Nations Treaty Series 195; United Kingdom Treaty series 77 1969; 1966 5 International legal Materials 352 Istilah Apartheid yang dinyatakan dalam pasal 1 konvensi ini sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, dan dengan demikian disejajarkan dengan genosida, serta didefenisikan sebagai kebijakan dan praktek segrasi dan diskriminasi rasial yang sama seperti terjadi dibenua Afrika termasuk praktek di Afrika Selatan. Dimana perbuatan-perbuatan ini meliputi pembunuhan dan perbuatan yang menimbulkan kerusakan mental dan jasmani yang cukup serius, penahanan dilakukan sewenang- wenang serta pemenjaraan illegal, serta pemaksaan kondisi hidup yang direncanakan dapat menimbulkan kehancuran pisik bagi kelompok-kelompok rasial, baik untuk seluruhnya atau sebahagian yang terjadi di Negara-negara tertentu. Adanya kelompok yang dapat menghasut, membantu, serta mendorong terhadap perbuatan Apartheid dianggap juga melakukan kejahatan, ini terlihat sebelum adanya pengadilan pidana internasional, Negara-negara peserta memiliki yuridiksi atas pengadilan dan penghukuman terhadap kejahatan tersebut. Dimana pengawasan terhadap konvensi dapat dijalankan melalui laporan berkala mengenai perkembangan dan kemajuan yang dicapai, yang disampaikan oleh Negara peserta kepada suatu kelompok yang terdiri dari tiga orang anggota CHR yang dicalonkan oleh ketua komisi, kelompk tiga orang ini adalah merupakan wakil Negara-negara peserta konvensi serta sekaligus merangkap anggota CHR yang disetujui. Penjelasan konvensi ini juga memberikan wewenang kepada komisi untuk menyiapkan studi berupa laporan tentan apartheid dan menyiapkan daftar mengenai individu, organisasi, lembaga dan wakil Negara yang dituduh bersalah melakukan adanya kejahatan, laporan dan daftar ini diserahkan ke Majelis Umum melalui lembaga ECOSOC. 2. Deskriminasi Seksual Dalam organ-organ PBB telah melakukan cukupn banyakn kegiatan untuk menyusun standar serta mengambil mlangkah-langkah untuk melarang diskriminasi berdasarkan pada jenis kelamin, konvensi mengenai penghapusan terhadap segala bentuk diskriminasi terutama kaum wanita yang disetujui Majelis Umum pada tahun 1979 dan mulai berlaku pada tahun 1981. 87 Ketentuan konvensi lain yang dibuat oleh PBB, dimana pengawasan terhadap konvensi ini dijalankan dengan mengharuskan Negara-negara peserta Serta bersama- sama dengan konvensi-konvensi internasional untuk membentuk salah satu instrument utama yang menjadi bahan acuan di berbagai bidang tersebut. Ketentuan pasal 1 konvensi mendefenisikan “diskriminasi terhadap kaum wanita” sebagai “setiap pembedaan, pengecualian dan pembatasan yang dibuat berdasarkan jenis kelamin yang berakibat dan bertujuan mengurangi atau meniadakan pengakuan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan asasi kaum wanita, penikmatan dan peggunaan hak dan kebebasan itu oleh kaum wanita dibidang politik, ekonomi, social, budaya, sipil dan bidang-bidang yang lai”. Negara peserta tidak hanya diharuskan menghapuskan deskrimansi semacam itu tetapi menurut pasal 2 diharuskan untuk memulai langkah-langkah seraya mempromosikan persamaan derajat wanita dengan pria dalamkehidupan social, public dan tujuan politik mereka terhadap Negara-negara peserta tersebut. 87 United Nations Treaty Series 2 1980; United Kingdom Treaty series 77 1969; 1966 5 International legal Materials 33 menyerahkan laporan berkala mengenai langkah-langkah yang telah diambil dengan maksud mengefektifkan ketetapan-ketetapan konvensi ini, adanya laporan-laporan untuk dibahas dan dipelajari oleh komite mengenai penghapusan diskriminasi terhadap kaum wanita yang ditetapkan serta beranggotakan 28 orang, yang dipilih oleh Negara-negara peserta, tetapi berfungsi dalam kapasitas yang bersifat independen. Untuk itu dalam hasil penelitian terhadap laporan yang diajukan atau dikirim oleh komite itu kepada komisi mengenai status kaum wanita, yang s elanjutnya meneruskan hasil pengamatannyapemantauannya kepada Majelis Umum melalui ECOSOC. Dan berdasarkan pasal 29 a ditetapkan untuk menyelesaikan persengketaan diantara Negara-negara melalui ICJ, namun seperti pada konvensi-konvensi PBB yang lain berisi ketetapan serupa, prosedur ini belum pernah digunakan dan merupakan suatu acuan untuk selanjutnya. 3. Deskriminasi Penyiksaan Dalam laporan tahunan Amnesti internasional atau laporan senat Amerika Serikat mengenai praktek-praktek hak asasi manusia suatu Negara akan membenarkan bahwa adanya penyiksaan terhadap endemi dalam dunia modern. Penyiksaan digunakan oleh pemerintah bukan hanya untuk mendapatkan informasi dari lawan politik yang dicurigai, tetapi juga untuk menindas penduduk yang ada di Negara Amerika, dan ini banyak terjadi penyiksaan-penyiksaan di berbagai Negara-negara. Dalam hal ini jelas masalah dalam mendefenisikan terhadap unsur-unsur penyiksaan serta penyiksaan dapat didekati dari sudut pandang subjektif, yang secara inheren sukar dilihat dan diukur, dan dapat pula didefenisikan secara objektif. Konvensi melarang dan menentang penyiksaan memilih pendekatan yang kedua. Pasal 1 1 konvensi ini telah mendefenisikan terhadap penyiksaan sebagai berikut : “…setiap perbuatan yang sengaja dilakukan sehingga mengakibatkan kesakitan atau penderitaan yang hebat, jasmani maupun rohani, pada seseorang, untuk tujuan-tujuan seperti mendapatkan informasi atau pengakuan dari orang itu atau dari orang ketiga, menghukumnya atas perbuatan yang dilakukan atau diduga dilakukan olehnya atau oleh orang ketiga, atau mengintimidasi atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk alas an apapun yang didasarkan pada segala jenis diskriminasi, apabila kesakitan atau penderitaan hebat seperti ti ditimpakan oleh, atau atas hasutan, atau dengan persetujuan, atau dibiarkan oleh, seseorang pejabat atau pegawai pemerintahan.” Apabila seseorang dituduh telah melakukan penyiksaan disuatu Negara, maka Negara peserta, yang didalam yuridiksinya sipenyiksa ditemukan, berkewajiban untuk mengadili atau mengekstradisi ke Negara yang memintanya. Negara peserta juga diwajibkan untuk selalu meninjau serta mencocokkan ulang peraturan, instruksi dan metode serta introgasi sebagai sarana untuk mencegah terhadinya penyiksaan dinegara mereka. Untuk itu pengawasan terhadap konvensi tentang adanya penyiksaan yang dilakukan oleh suatu komite menentang penyiksaan, yang beranggotakan terhadap kapasitasnya individu. Metode pengawasan berdasarkan konvensi adalah system laporan berkala pasal 19, dan prosedur pengaduan antara Negara yang obsional pasal 21, dan hak petisi individual yang juga obsional dan bergantung pada persetujuan Negara pasal 22. Dan konvensi mpenyiksaan, mekanisme pengawasan yang popular sampai sekarang ini dilengkapi dengan suatu inovasi yang memungkinkan komite, atas prakarsa sendiri, menyidik suatu Negara peserta jika ia menerima informasi yang dapat dipercaya yang mengesankan bahwa penyiksaan dipraktekkan secara sistematik dalam wilayah Negara peserta tersebut, penyidikan semacam ini harus bersifat rahasia, dan komite disarankan oleh pasal 20 untuk berupaya mendapatkan kerjasama serta dukungan dari Negara-negara peserta yang sedang disidik tersebut, namun jika kerjasama itu tidak diperoleh atau tidak didapatkan, komite agaknya dapat meneruskan penyidikannya, dalam hal bagaimanapun juga yang jelas apabila komite ingin melakukan suatu penyidikan diwilayah suatu Negara peserta, maka komite itu harus diberi ijin, kalau tidak, kedaulatan Negara peserta itu dilanggarm oleh komite tersebut. Dalam pandangan lain ini tidak lazim karena umumnya traktat mengharuskan Negara untuk “memilih untuk mengikuti” dan bukan “,memilih untuk tidak mengikuti” system pengawasan internasional. Berdasarkan pasal 30, sengketa diantara Negara-negara peserta juga dapat diteruskan kepada ICJ untuk diadili namun Negara-negara dapat menghindari kewajiban ini dengan mengajukan syarat pada waktu kondisi dan keadaan yang tepat sesuai dengan keadaan Negara- negara perserta.

B. Terbentuknya Kedudukan Hukum Peradilan Internasional Dan

Statuta Roma Banyaknya pelanggaran Hak Asasi Manusia, ketidakseriusan pemerintah untuk menanganinya, runtuhnya kredibilitas aparat dan perangkat hukum di Indonesia membuat banyak orang seperti aktivis Hak Asasi Manusia menjadi tidak sabar. Ketidaksabaran itu tak jarang pula bermuara pada kekeliruan. Contohnya adalah lontaran-lontaran pernyataan atau pendapat yang hendak membawa masalah pelanggaran berat Hak Asasi Manusia baik di Indonesia maupun Negara-negara lain ke Mahkamah Internasional. Abad 20 dua puluh dapat dikatakan sebagai masal paling buruk dalam sejarah umat manusia. Dalam kurun waktu 50 lima puluh tahun, lebih dari sejuta penduduk sipil yaitu meyoritas anak-anak dan perempuan terbunuh akibat konflik yang terjadi hampir diseluruh belahan dunia. Ironisnya, para korban seringkali terlupakan dan para pelaku kejahatan Hak Asasi Manusia bebas tanpa haru mempertanggungjawabkan akibat dari kejahatannya. Komunitas internasional dimana dalam hal ini diwakili oleh PBB telah menyadari akan pentingnya dibentuk suatu mekanisme yang bersifat permanen untuk mengadili para pelaku dan penjahan Hak Asasi Manusia sejak tahun 1948. Berdasarkan pengalaman peradilan Nurremberg dan Tokyo adalah untuk mengadili kejahatan perang yang terjadi di masa Perang Dunia II. Ancaman terhadap Hak Asasi Manusia semakin bertambah setalah dunia mengetahui pembantaian berjuta-juta bangsa yahudi oleh Nazi yang dipimpin oleh Adolf Hitler. Masyarkat internasional melalui PBB, merasakan instrument- instrumen yang mengatur tentang kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan dan mahkamah pengadilan internasional yang bersifat permanen sangat diperlukan. Pada malam 17 Juli 1998, sebuah Statuta untuk membentuk Mahkamah Pidana Intenasional International Criminal CourtICC akhirnya mencapai tahap penentuan dihadapan konferensi diplomatic PBB di Roma. Konferensi ini telah berlangsung sejak 15 Juni 1998. Dengan hasil penghitungan suara dimana 120 diantaranya menyetujui, 7 menentang, dan 21 abstain, para peserta menyetujui statute yang akan membentuk sebuah pengadilan bagi tindak kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional. 88 Sesuatu yang bersejarah telah hadir. Namun bagi aktifitas Hak Asasi Manusia di Amerika Serikat, kegembiraan yang hadir karena suatu langkah maju bagi upaya meniadakan impunity ini, sedikit ternoda karena Negara mereka yaitu Amerika Serikat bersama-sama dengan China dan irak justru menentang disahkannya statute ini. Kejahatan yang paling serius tersebut adalah genocide pemusnahan etnissukubangsa, crime against humanity kejahatan terhadap kemanusiaan, dan war crime kejahatan perang. 89 Alas an yang menjadi latar belakang dan tujuan dibentuknya Statuta Roma, dimuat dalam Mukadimah atau preambule Statuta. Berikut ini adalah hal-hal yang dimuat dalam mukadimah Statuta Romat yaitu : Peradialan Ad Hoc di bekas Negara Yugoslavia International Criminal Yribunal for The Former YugoslaviaICTY dan di Rwanda International Criminal Tribunal of Formes Rwanda yang telah beroperasi selama 10 tahun, telah menunjukkan betapa berguna dan pentingnya keadilan bagi kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia. Dan hal ini telah membuka jalan perlunya didirikan suatu peradilan internasional yang permanent. 90 - Menyadari bahwa semua orang dipersatukan oleh ikatan bersama, kebudayaan mereka bertaut kembali dalam suatu warisan bersama, dan perhatian mosaic yang rapuh ini dapat hancur setiap saat; - Bahwa dalam abad ini berjuta-juta anak, perempuan, dan laki-laki telah mejadi korban dari kekejaman tak terbayangkan yang sangat mengguncang nurani manusia; - Bahwa kejahatan sangat keji tersebut mengancam perdamaian, keamanan dan kesejahteraan dunia; 88 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ELSAM, op.cit, hal. viii 89 Ibid, hal.ix 90 Ibid, hal1-2