1.2 Perumusan Masalah
Apakah ekstrak etanol Daun sirih Piper betle L memiliki kemampuan menurunkan kadar asam urat darah.
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk membuktikan khasiat ekstrak etanol Daun sirih Piper betle L dalam menurunkan kadar asam urat darah tikus putih jantan galur Sprague-Dawley yang
dibuat hiperurisemia dengan pemberian kafeina.
1.4 Hipotesis
Ekstrak etanol daun sirih Piper betle L dapat menurunkan kadar asam urat darah tikus putih jantan galur Sprague-Dawley yang diinduksi dengan kafeina.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam meningkatkan upaya kesehatan dengan mengembangkan obat tradisonal sehingga
dapat dimanfaatkan dengan berdasarkan landasan ilmiah.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Daun Sirih Piper betle L
Tinjauan mengenai tumbuhan ini meliputi klasifikasi tumbuhan, nama daerah,
deskripsi tumbuhan, khasiat dan kegunaan serta kandungan kimia. 2.1.1
Klasifikasi
Berdasarkan ilmu taksonomi, klasifikasi tanaman sirih adalah sebagai
berikut Depkes RI, 1980:
Kingdom : Plantae
Divisio : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Piperales
Familia : Piperaceae
Genus : Piper
Spesies : Piper betle L.
2.1.2 Nama Daerah Depkes RI, 1980
Sumatera : ranub Aceh, blo, sereh Gayo, belo Batak Karo, demban
Batak Toba, sirieh, sirih, suruh Palembang, Minanagkabau, canbai Lampung.
Jawa : seureuh Sunda, sedah, suruh Jawa, sere Madura. Bali : base, sedah
Nusa Tenggara : nahi Bima, kuta Sumba, mota Flores, orengi Ende,
taa Sikka, malu Solor, mokeh Alor.
Kalimantan : uwit Dayak, buyu Bulungan, uduh sifat Kenya, sirih
Sampit, uruesipa Seputan.
Sulawesi : ganjang, gapura Bugis, baulu Bare, buya, dondili Buol,
bolu Parigi, komba Selayar, lalama, sangi Talaud
Maluku : ani-ani Hok, papek, raunge, rambika Alfuru, nein Bonfia,
kakinuam Waru, amu Rumakai, Elpaputi, Ambon, Ulias, garmo Buru, bido Macan.
Irian : reman Wendebi, manaw Makimi, namuera Saberi, etouwon
Armahi, nai wadok Saarmi, mera Sewan, mirtan Berik, afo Sentani, wangi Sawa, freedor Awija, dedami Marind.
2.1.3 Pertelaan
Tanaman sirih merupakan tumbuhan memanjat, tinggi 5 m sampai 15 m. Helaian daun berbentuk bundar telur atau bundar telur lonjong, pada bagian
pangkal berbentuk jantung atau agak bundar, tulang daun bagian bawah gundul atatu berambut sangat pendek, tebal, berwarna putih, panjang 5 cm sampai 18 cm,
lebar 2,5 cm sampai 10,5 cm. Bunga berbentuk bulir, berdiri sendiri di ujung cabang dan berhadapan dengan daun. Daun pelindung berbentuk lingkaran,
bundar telur terbalik atau lonjong, panjang kira-kira 1 mm. Bulir jantan, panjang gagang 1,5 cm sampai 3 cm, benang sari sangat pendek. Bulir betina, panjang
gagang 2,5 cm sampai 6 cm. Kepala putik 3 sampai 5. Buah buni, bulat, dengan
ujung gundul. Bulir masak berambut kelabu, rapat, tebal 1 cm sampai 1,5 cm. Biji
membentuk lingkaran Depkes RI, 1980. 2.1.4
Budidaya
Tanaman ini dapat diperbanyak dengan stek. Stek diambil dari sulur yang tumbuh bagian atas sepanjang 40 cm sampai 50 cm. Untuk pertumbuhan sirih
memerlukan sandaran pohon dengan jarak 1,5 cm, panjang stek atau 3 - 4 m. Tiap selang dua baris dibuat selokan yang digunakan untuk mengairi sirih di musim
kemarau, karena dalam keadaan kering, pembentukan daunnya akan berkurang atau berhenti sama sekali. Bila sandaran sudah berakar baik pada permulaan
musin hujan dibuat lubang sekitar sandaran. Sebaliknya dengan memotong sulur panjang yang sudah dewasa pada pangkalnya, daunnya dihilangkan, kemudian
sulur dibagi menjadi 3 atau 4 bagian dan ditanam secara mendatar. Dengan pemeliharaan yang cukup baik, sirih akan bertahan selama bertahun-tahun. Cara
pemeliharaannya mudah, hanya memerlukan air dengan penyiraman yang cukup, menjaga kelembapan, dan pemupukan, terutama pupuk dasar. Sirih bisa ditanam
ditempat panas atau agak terlindung Depkes RI, 1980.
2.1.5 Ekologi dan Penyebaran
Sirih ditemukan di bagian timur pantai Afrika, di sekitar Pulau Zanzibar, daerah sekitar Sungai Indus ke timur menelusuri Sungai Yang Tse Kiang,
Kepulauan Bonin, Kepulauan Fiji, dan Kepulauan Indonesia. Sirih tersebar di Nusantara dalam skala yang tidak terlalu luas. Di Jawa tumbuh liar di hutan jati
atau hutan hujan sampai ketinggian 300 m diatas permukaan laut. Untuk
memperoleh pertumbuhan yang baik diperlukan tanah yang kaya akan humus, subur dan pengairan yang baik Depkes RI, 1980.
2.1.6 Deskripsi Daun Sirih
Pemerian daun sirih adalah memiliki bau aromatik khas; rasa pedas, khas. Secara makroskopik yaitu daun tunggal, warna coklat kehijauan sampai coklat.
Helaian daun berbentuk bundar telur sampai lonjong, ujung runcing, pangkal berbentuk jantung atau agak bundar berlekuk sedikit, pinggir daun rata agak
menggulung ke bawah, panjang 5 cm sampai 18,5 cm, lebar 3 cm sampai 12 cm; permukaan atas rata, licin agak mengkilat, tulang daun agak tenggelam;
permukaan bawah agak kasar, kusam, tulang daun menonjol, permukaan atas berwarna lebih tua dari permukaan bawah. Tangkai daun bulat, warna coklat
kehijauan, panjang 1,5 cm sampai 8 cm.
Gambar 1. Daun sirih Secara mikroskopik yaitu epidermis atas terdiri dari satu lapis sel, bentuk
persegi empat, kutikula tebal licin, pada pengamatan tangensial tampak berbentuk poligonal dengan dinding samping lurus. Epidermis bawah serupa dengan
epidermis atas, pada pengamatan tangensial tampak berbentuk poligonal dengan
dinding samping agak berombak. Pada kedua permukaan daun terdapat rambut penutup dan rambut kelenjar. Rambut pada epidermis atas lebih sedikit dari pada
epidermis bawah. Rambut penutup terdiri dari satu sel, bentuk kerucut pendek, ujung runcing, panjang 18 µm sampai 25 µm, dinding tebal, kutikula licin.
Rambut kelenjar mempunyai kepala kelenjar bersel satu, bentuk bulat. Stomata tipe anomositik, panjang 25 µm sampai 35 µm, terdapat banyak pada epidermis
bawah, pada epidermis atas tidak ada stomata. Hipodermis terdapat pada kedua permukaan daun, hipodermis atas umumnya terdiri dari dua lapis sel, hipodermis
bawah umumnya satu lapis; sel hipodermis berbentuk persegi empat, besar, jernih, tersusun rapat; pada hipodermis terdapat sel minyak berisi minyak atsiri berwarna
kekuningan. Jaringan palisade terdiri dari 1 lapis sel, terletak di bawah hipodermis atas, mengandung banyak butir hijau daun, juga terdapat sel minyak seperti sel
minyak pada hipodermis. Jaringan bunga karang terdiri dari beberapa lapis sel, bentuk sel tidak beraturan, tersusun agak mendatar; sel minyak seperti pada
palisade. Berkas pembuluh tipe kolateral, di antara jaringan floem terdapat sel minyak. Di atas berkas pembuluh pada tulang daun utama umumnya terdapat
saluran sizogen; pada parenkim yang sederet dengan palisade, terdapat banyak butir hijau daun; terdapat juga sel berisi hablur bentuk prisma yang tidak larut
pada penambahan asam klorida pekat Depkes RI, 1980.
2.1.7 Kandungan Kimia
Daun sirih mengandung banyak minyak atsiri yang terdiri dari hidroksi kavikol, kavibetol, estragol, eugenol, metil eugenol, karvakrol, terpinen,
seskuiterpen, fenilpropan, tannin Depkes RI, 1980.
2.1.8 Khasiat dan kegunaan
Khasiat daun sirih adalah sebagai antisariawan, antibatuk, dan antiseptik Depkes RI, 1980. Selain itu juga sebagai antiradang, peluruh kentut, dan
menghilangkan gatal. Efek zat aktif eugenol daun untuk mencegah ejakulasi, mematikan cendawan Candida albicans yang merupakan penyebab keputihan,
antikejang, analgetik, dan anestetik Standar of ASEAN, 1993. Tannin daun untuk mengurangi sekresi cairan pada vagina, pelindung hati, antidiare, dan
antimutagenik Hariana, 2006. Daun sirih mempunyai efek sebagai antibakteri karena mengandung
banyak senyawa fenol sehingga dapat membunuh kuman-kuman penyebab penyakit. Secara tradisional, daun sirih memang disebutkan sebagai obat sariawan
namun belum diketahui bagaimana mekanisme kerjanya, sebagai antibakteri atau berfungsi lain. Daun sirih mengandung minyak atsiri, salah satu diantara
komponennya adalah karvakrol. Karvakrol bersifat sebagai desinfektan dan anti jamur sehingga bisa digunakan untuk obat antiseptik pada bau mulut dan
keputihan. Zat lainnya yaitu eugenol dan metil eugenol yang dapat digunakan untuk mengurangi rasa sakit pada gigi Depkes RI. Dirjen BPOM, 2000 .
2.2 Simplisia
2.2.1 Pengertian Simplisia
Simplisia adalah bahan yang digunakan untuk obat dan belum mengalami perubahan proses apapun, dan kecuali dinyatakan lain umumnya berupa bahan
yang telah dikeringkan Gunawan et al, 2004.
Berdasarkan hal itu maka simplisia dibagi menjadi tiga golongan, yaitu simplisia nabati, hewani, dan pelikan mineral Gunawan et al, 2004.
A. Simplisia nabati adalah simplisia yang dapat berupa tanaman utuh bagian tanaman, eksudat tanaman, atau gabungan antara ketiganya.
B. Simplisia hewani adalah simpisia berupa hewan utuh atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa bahan kimia murni.
C. Simplisia pelikan mineral adalah simplisia berupa bahan pelikan atau mineral yang belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan
belum berupa bahan kimia murni Eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman
atau dengan cara tertentu sengaja dikeluarkan dari selnya. Eksudat tanaman dapat berupa zat-zat atau bahan-bahan nabati lainnya yang dengan cara tertentu
dipisahkan atau diisolasi dari tanamannya. Simplisia hewani adalah simplisia berupa hewan utuh atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum
berupa bahan kimia murni. Simplisia pelikan atau mineral adalah simplisia yang berupa bahan pelikan atau mineral yang belum diolah dengan cara sederhana dan
belum berupa bahan kimia murni Depkes RI, 1979. Simplisia nabati dan simplisia hewani tidak boleh mengandung organisme
patogen, dan harus bebas dari cemaran mikroorganisme, serangga, dan binatang lain maupun kotoran hewan. Simplisia tidak boleh menyimpang bau dan
warnanya, tidak boleh mengandung lendir, atau menunjukkan adanya kerusakan. Sebelum diserbukkan, simplisia nabati harus dibebaskan dari pasir, debu, atau
pengotoran lain yang berasal dari tanah maupun benda anorganik asing Depkes RI, 1995.
2.2.2 Faktor-fakor yang Mempengaruhi Kualitas Simplisia Gunawan et al,
2004
Kualitas simplisia dipengaruhi oleh faktor bahan baku dan proses pembuatannya :
A. Bahan baku simplisia Berdasarkan bahan bakunya, simplisia dapat diperoleh dari tanaman liar
dan atau dari tanaman yang dibudidayakan. Jika simplisia diambil dari tanaman budidaya maka keseragaman umur, masa panen, dan galur asal
usul, garis keturunan tanaman dapat dipantau. Sementara jika diambil dari tanaman liar maka banyak kendala dan variabilitas yang tidak bisa
dikendalikan seperti asal tanaman, umur, dan tempat tumbuh. B. Proses pembuatan simplisia
Dasar pembuatan simplisia meliputi beberapa tahapan. Adapun tahapan tersebut dimulai dari pengumpulan bahan baku, sortasi basah, pencucian,
pengubahan bentuk, pengeringan, sortasi kering, pengepakan, dan penyimpanan.
C. Pengumpulan Bahan Baku Tahapan pengumpulan bahan baku sangat menentukan kualitas bahan
baku. Faktor yang paling berperan dalam tahapan ini adalah masa panen. Berdasarkan garis besar pedoman panen, pengambilan bahan baku
tanaman dilakukan pada saat yang berbeda-beda untuk setiap bagian tumbuhan, seperti biji, buah, bunga, daun atau herba, kulit batang, umbi
lapis, rimpang, dan akar. Panen daun dilakukan pada saat proses fotosintesis berlangsung maksimal, yaitu ditandai dengan saat-saat
tanaman mulai berbunga atau buah mulai masak. Untuk pengambilan pucuk daun, dianjurkan pada saat warna pucuk daun berubah menjadi daun
tua. D. Sortasi basah
Sortasi basah adalah pemilahan hasil panen ketika tanaman masih segar. Sortasi dilakukan terhadap tanah dan kerikil, rumput-rumputan, bahan
tanaman lain atau bagian lain dari tanaman yang tidak digunakan, dan bagian tanaman yang rusak dimakan ulat dan sebagainya.
E. Pencucian Pencucian simplisia dilakukan untuk membersihkan kotoran yang melekat,
terutama bahan-bahan yang berasal dari dalam tanah dan juga bahan-bahan yang tercemar pestisida. Pencucian bisa dilakukan dengan menggunakan
air yang berasal dari beberapa sumber, yaitu mata air, sumur, dan air PAM. Sebelum pencucian terkadang perlu dilakukan proses pengupasan
kulit luar, terutama untuk simplisia-simplisia yang berasal dari kulit batang, kayu, buah, biji, rimpang, dan bulbus.
F. Pengubahan bentuk Pada dasarnya tujuan pengubahan bentuk simplisia adalah untuk
memperluas permukaan bahan baku. Semakin luas permukaan maka bahan baku akan semakin cepat kering.
G. Pengeringan Proses pengeringan simplisia, terutama bertujuan untuk menurunkan kadar
air sehingga bahan tersebut tidak mudah ditumbuhi kapang dan bakteri; menghilangkan aktivitas enzim yang bisa menguraikan lebih lanjut
kandungan zat aktif; serta memudahkan dalam hal pengelolaan proses selanjutnya ringkas, mudah disimpan, tahan lama, dan sebagainya.
Faktor yang mempengaruhi pengeringan diantaranya adalah waktu pengeringan, suhu pengeringan, kelembaban udara di sekitar bahan,
kelembaban bahan atau kandungan air dari bahan, ketebalan bahan yang dikeringkan, sirkulasi udara, dan luas permukaan bahan.
H. Sortasi kering Sortasi kering adalah pemilahan bahan setelah mengalami proses
pengeringan. Pemilahan dilakukan terhadap bahan-bahan yang terlalu gosong, bahan yang rusak, atau dibersihkan dari kotoran hewan.
I. Penyimpanan Setelah tahap pengeringan dan sortasi kering selesai maka simplisia perlu
ditempatkan dalam suatu wadah tersendiri dan disimpan di tempat yang memenuhi persyaratan. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyimpanan
adalah cahaya, oksigen atau sirkulasi udara, reaksi kimia yang terjadi antara kandungan aktif dengan wadah, penyerapan air, kemungkinan
terjadinya proses dehidrasi, pengotoran dan atau pencemaran, baik yang diakibatkan oleh serangga, kapang atau pengotor yang lain. Persyaratan
wadah untuk penyimpanan simplisia adalah harus inert tidak mudah bereaksi dengan bahan lain; tidak beracun; mampu melindungi bahan
simplisia dari cemaran mikroba, kotoran, dan serangga; mampu melindungi bahan simplisia dari penguapan kandungan zat aktif, pengaruh
cahaya, oksigen, dan uap air.
2.2.3 Pemeriksaan Mutu Simplisia Depkes RI. Dirjen BPOM, 2000
Pemeriksaan mutu simplisia mencakup susut pengeringan, kadar abu, kadar abu yang tidak larut asam, kadar sari larut air, dan kadar sari larut etanol.
A. Susut pengeringan Susut pengeringan adalah pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada
temperatur 105
o
C selama 30 menit atau sampai berat konstan, yang dinyatakan sebagai nilai persen . Tujuannya untuk memberikan batasan
maksimal rentang tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan. Nilai untuk susut pengeringan jika tidak dinyatakan lain
adalah kurang dari 10. B. Kadar abu
Untuk penentuan kadar abu, bahan dipanaskan pada temperatur dimana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap sehingga
hanya tersisa unsur mineral dan anorganik. Tujuannya adalah untuk memberikan gambaran tentang kandungan mineral internal dan eksternal
yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak. Nilai untuk kadar abu sesuai yang tertera dalam monografi.
C. Kadar abu yang tidak larut asam Jumlah unsur mineral dan anorganik di dalam simplisia yang tidak larut
dalam asam dinyatakan sebagai kadar abu yang tidak larut asam. Nilai untuk kadar abu yang tidak larut asam sesuai yang tertera dalam
monografi.
D. Kadar sari larut air Penetapan kadar sari larut air dilakukan untuk mengetahui kandungan
terendah zat yang terlarut dalam air. Nilai untuk kadar sari larut air sesuai dengan monografinya.
E. Kadar sari larut etanol Penetapan kadar sari larut etanol dilakukan untuk mengetahui kandungan
terendah zat yang larut dalam etanol tetapi mungkin tidak larut dalam air. Nilai untuk kadar sari larut etanol sesuai dengan monografinya.
2.3 Ekstrak dan Ekstraksi
2.3.1 Pengertian
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut
yang sesuai Depkes RI Dirjen POM, 2000. Ekstrak dikelompokkan atas dasar sifatnya, yaitu Voight, 2005 :
A. Ekstrak encer adalah sediaan yang memiliki konsistensi semacam madu dan dapat dituang.
B. Ekstrak kental adalah sediaan yang liat dalam keadaan dingin dan tidak dapat dituang. Kandungan airnya berjumlah sampai 30 . Tingginya
kandungan air menyebabkan ketidakstabilan sediaan obat karena cemaran bakteri.
C. Ekstrak kering adalah sediaan yang memiliki konsistensi kering dan mudah dituang, sebaiknya memiliki kandungan lembab tidak lebih dari
5.
D. Ekstrak cair, ekstrak yang dibuat sedemikiannya sehingga 1 bagian simplisia sesuai dengan 2 bagian ekstrak cair.
Ekstraksi merupakan kegiatan penarikan kandungan kimia yang terdapat pada simplisia. Ragam ekstraksi yang tepat sudah tentu bergantung pada tekstur
dan kandungan air bahan tumbuhan yang diekstraksi dan pada jenis senyawa yang diisolasi. Umumnya kita perlu membunuh jaringan tumbuhan untuk mencegah
terjadinya oksidasi enzim atau hidrolisis Harbone, 1996. Karena didalam simplisia mengandung senyawa aktif yang berbeda-beda dan mempunyai struktur
kimia yang berbeda-beda, sehingga metode didalam penarikan senyawa aktif didalam simplisia harus memperhatikan faktor seperti : udara, suhu, cahaya,
logam berat. Proses ekstraksi dapat melalui tahap menjadi : Pembuatan serbuk, pembasahan, penyarian, dan pemekatan Depkes RI Dirjen POM, 2000.
2.3.2 Metode Ekstraksi
Macam-macam metode penyarian dalam ekstraksi yang dapat dilakukan diantaranya Depkes RI Dirjen POM, 2000 :
A. Ekstraksi dengan pemerasan, penekanan, atau pengahalusan mekanik B. Ekstraksi dengan menggunakan pelarut :
1. Cara Dingin a. Maserasi
Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan.
b. Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
sempurna exchaustive extraction yang umumnya dilakukan pada temperature ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan,
tahap maserasi dan perkolasi sebenarnya penetesan, penampungan ekstrak secara terus menerus sampai diperoleh ekstrak.
2. Cara Panas a. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperature titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relative konstan
dengan adanya pendinginan balik. b. Soxhletasi
Soxhletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru. Umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi
berlanjut sampai jumlah pelarut relative konstan dengan adanya pendingin balik.
c. Digesti Digesi adalah maserasi kinetik dengan pengadukan berlanjut pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, secara umum dilakukan pada temperatur 40
o
C-50
o
C. d. Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air mendidih, temperatur terukur 96
o
C - 98
o
C selama waktu tertentu 15-20 menit. Infus pada umumnya digunakan untuk menarik atau mengekstraksi
zat aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati. Hasil dari ekstrak ini akan menghasilkan zat aktif yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh
kuman dan kapang, sehingga ekstrak yang diperoleh dengan infus tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam.
e. Dekok Dekok adalah infus yang waktunya lebih lama lebih dari 30 menit dan
temperatur sampai titik didih air. f. Destilasi uap
Destilasi uap adalah ekstraksi kandungan senyawa mudah menguap dari bahan segar atau simplisia dengan uap air. Cara ini didasarkan pada
peristiwa tekanan parsial senyawa kandungan menguap dengan fase uap air dari ketel secara berlanjut sampai sempurna dan diakhiri dengan
kondensasi fase uap campuran menjadi destilat air bersama senyawa kandungan yang memisah sempurna atau memisah sebagian.
C. Cara ekstraksi lainnya : 1. Ekstraksi ultrasonik
Ekstraksi dengan menggunakan gelombang ultrasonik lebih dari 20.000 Hz memberikan efek pada proses ekstraksi dengan prinsip meningkatkan
permeabilitas dinding sel, menimbulkan gelombang spontan serta menimbulkan fraksi interfase.
2. Ekstraksi energi listrik Energi listrik digunakan dalam bentuk medan listrik, medan magnet serta
elektrik discharges yang dapat mempercepat proses ekstraksi dan
meningkatkan hasil dengan prinsip menimbulkan gelombang spontan dan menyebarkan gelombang tekanan berkecepatan ultrasonik.
2.4 Asam urat
Gambar 2. Struktur asam urat
2.4.1 Sifat Fisika dan Kimia Asam Urat
Asam urat dikenal dengan nama kimia sebagai 2,6,8-trioksipurin merupakan asam lemah organik dengan berat molekul 169. Asam urat merupakan
senyawa yang termasuk dalam golongan senyawa purin yang paling mudah dioksidasi. Oksidasi asam urat dalam bentuk larutan netral dan alkalis
menghasilkan karbondioksida serta terbentuknya alantoin dan produksi degredasi lainnya pada suasana asam akan teroksidasi menjadi aloksan Kasper et al, 2004.
Asam urat yang bersifat asam lemah disebabkan dari mudah terionisasinya atom hidrogen pada posisi 9 pK1 = 5,71 dan posisi 3 pK2 = 10 dari molekul
tersebut. Hanya disosiasi proton pertama yang perlu dipertimbangkan, karena pK2 yang bernilai 10,3 berada diatas nilai pada cairan fisiologik yang memilki pH 14.
Jadi hanya asam urat dan garam natrium urat yang terdapat dalam cairan tubuh. Garam natrium urat jauh lebih larut dalam air bila dibandingkan dengan asam
urat. Namun kelarutan garam tersebut memiliki batas tertentu pada cairan plasma. Serum darah akan jenuh dengan garam natrium urat pada konsentrasi 6,4
mg100ml. Pada konsentrasi tersebut, larutan akan menjadi tidak stabil dan garam natrium urat akan mengendap dengan cepat membentuk kristal natrium urat yang
tertimbun pada persendian Kasper et al, 2004.
2.4.2 Metabolisme Asam Urat
Manusia mengubah nukleosida purin yang utama, adenosin dan guanosin menjadi asam urat yang dieksresikan keluar setelah mengalami beberapa kali
reaksi. Adenosin pertama-tama mengalami deaminasi menjadi ionosin oleh enzim adenosin deaminase. Fosforisasi ikatan N-glikosidat, akan melepas senyawa
ribosa-1-fosfat dan basa purin. Hipoxantin dan guanosin selanjutnya membentuk xantin dalam reaksi yang dikatalisasi masing-masing oleh enzim xantin oksidase
dan guanase. Kemudian xantin teroksidasi menjadi asam urat dalam reaksi kedua yang dikatalisasi oleh enzim xantin oksidase. Dengan demikian, xantin oksidase
merupakan lokasi yang esensial untuk intervensi farmakologis pada penderita hiperurisemia dan penyakit gout Rodwell et al, 1998.
Eksresi keseluruhan asam urat pada manusia yang normal berkisar rata- rata 400-600 mg24 jam. Duapertiga asam urat yang terbentuk dieliminasi melalui
ginjal, sedangkan sepertiganya melalui saluran pencernaan Weatheral DJ et al, 1987.
Banyak senyawa yang terdapat secara alami dan digunakan dalam farmakologi mempengaruhi absorpsi dan sekresi natrium urat pada ginjal. Sebagai
contoh, pemberian aspirin dengan dosis tinggi secara kompetitif akan menghambat reabsorpsi asam urat sehingga berdampak pada peningkatan eksresi
zat tersebut Rodwell, et al. 1998.
Pada mamalia yang tingkatannya lebih rendah, enzim urikase akan memecah asam urat dengan membentuk produk akhir alantoin yang bersifat
sangat larut air. Namun demikan, karena manusia tidak mengandung enzim urikase, maka produk katabolisme senyawa purin pada manusia adalah asam urat.
amfibi, burung, dan reptil juga tidak memiliki enzim urikase dan mengeksresikan asam urat serta guanin sebagai produk akhir katabolisme senyawa purin Rodwell,
et al. 1998.
2.4.3 Patologis Asam Urat
Pada manusia, asam urat merupakan produk buangan akhir dari degradasi senyawa purin. Zat tersebut tidak memiliki kegunaan fisiologis sehingga dapat
dianggap bahan buangan. Karena ketidakberadaan enzim urikase pada manusia, maka terdapat kemungkinan adanya timbunan asam urat yang apabila melewati
batas tertentu akan menimbulkan gangguan patologis. Pada kondisi normal kadar asam urat pada laki-laki 3,4-7,0 mgdl
sedangkan pada perempuan antara 2,4-5,7 mgdl. Jika kelebihan produksi ataupun penurunan eksresi asam urat dalam tubuh akan meningkat yang disebut
hiperurisemia. Keadaan hiperurisemia tersebut dapat menimbulkan penyakit gout sebagai akibat adanya penimbunan kristal natrium urat pada persendian yang
disertai rasa nyeri Howkin, et al. 1997. A. Hiperurisemia
Hiperurisemia adalah suatu keadaan dimana kadar asam urat dalam darah meningkat dan mengalami kejenuhan. Berdasarkan definisi tersebut
konsentrasi asam urat yang melebihi dari 7,0 mgdl pada laki-laki dan 5,7
mgdl sudah dianggap hiperurisemia dan beresiko terkena gout. Hiperurisemia juga dapat dibedakan berdasarkan kenyataan apakah pasien
mengeksresikan asam urat dengan jumlah total atau berlebihan lebih dari 600 mg24 jam. Hiperurisemia dapat disebabkan oleh adanya kelainan
ginjal yang menyebabkan kenaikan asam urat serum. Selain itu peningkatan produksi asam urat akibat suatu penyakit seperti kanker dan
adanya kelainan enzim yang berperan dalam metabolisme senyawa purin Howkin, et al. 1997.
Beberapa sistem enzim berperan dalam pengaturan metabolisme senyawa purin. Ketidaknormalan pada sistem tersebut dapat meningkatkan
kenaikan produksi asam urat. Terdapat dua enzim yang berperan dalam pengaturan
metabolisme asam urat yang berhubungan dengan
hiperurisemia. Yang pertama yaitu peningkatan aktifitas enzim fosforibosil pirofosfat PRPP. Fosforibosil pirofosfat PRPP adalah salah satu zat
kunci dalam pembentukan nukleotida purin dan juga pembentukan asam urat. Semakin tingginya konsentrasi fosforibosil pirofosfat PRPP yang
terbentuk maka asam urat yang diproduksi semakin meningkat. Yang kedua yaitu defisiensi dari hipoxantin guanin fosforibosi transferasi
HGRPT. Hipoxantin
guanin fosforibosi
transferasi HGRPT
bertanggung jawab dalam pengubahan guanin menjadi guanosin monofosfat GMP dan hipoxantin menjadi inosin monofosfat IMP.
Pengubahan tersebut memerlukan PRPP sebagai kosubstrat. Defisiensi enzim HGRPT dapat meningkatkan metabolisme guanin dan hipoxantin
menjadi asam urat dan juga lebih banyak PRPP yang berinteraksi dengan
glutamin pada langkah pertama metabolisme senyawa purin Howkin, et al. 1997.
B. Gout Kata gout berasal dari bahasa latin “Gutta” yang berarti “tetes”. Kata
tersebut mulai digunakan sekitar tahun 1270 dan dipercaya bahwa gout disebabkan oleh tetesan cairan yang beracun “noxa” pada persendian
Weatheral DJ et al, 1987. Penyakit gout merupakan suatu proses inflamasi yang terjadi karena penumpukan kristal asam urat pada sekitar
jaringan sendi akibat kadar asam urat serum yang melebihi kelarutannya. Kristalisasi natrium urat dalam jaringan lunak dan persendian akan
membentuk endapan yang dinamakan tofus. Proses ini menyebabkan suatu reaksi inflamasi akut, yaitu artritis akut gout, yang dapat berlanjut menjadi
artritis kronis gout. Pemeriksaan dengan mikroskop cahaya terpolarisasi memperlihatkan kristal natrium urat yang terbentuk jarum dan bersifat
berefringen negatif tampak berwarna kuning jika sumbu memanjangnya sejajar dengan bidang cahaya terpolarisasi dalam cairan sendi merupakan
tanda diagnostik penyakit gout Garreth et al, 1995. Keadaan klinis yang khas dengan artritis gout adalah serangan yang
mendadak dari sendi, terutama pada sendi metatarsophalangeal jari pertama ibu jari. Serangan pertama kali sangat sakit dan sering dimulai
pada tengah malam. Sendi tersebut cepat membengkak, panas, pembesaran vena-vena superfisial. Meskipun serangan pertama terjadi pada
metatarsophalangeal ibu jari, tetapi sendi-sendi perifer yang besar seperti lutut, tumit, pergelangan kaki dan tangan, sering juga terkena.
2.4.4 Obat Anti Hiperurisemia Ganiswarna, 1995; Tjay et al, 2002
A. Obat urikosorik Obat-obat urikosurik meningkatkan klirens ginjal dari asam urat dengan
menghambat reabsorpsi tubular asam urat, memperbesar eksresi dan mengurangi konsentrasi asam urat di serum. Terapi dengan obat-obat
urikosurik sebaiknya dimulai dengan dosis rendah untuk menghindari efek urikosuria dan terbentuknya endapan asam urat. Aliran urin yang teratur
dan cukup serta pembasaan urin dengan natrium bikarbonat pada beberapa hari pertama terapi dengan obat urikosurik dapat menghilangkan
kemungkinan adanya kristalisasi asam urat. Efek samping yang sering terjadi pada pengobatan dengan terapi urikosurik adalah iritasi saluran
pencernaan, ruam kulit, hipersensitivitas, dan kristalisasi asam urat di urin. Obat-obat urikosurik memiliki kontraindikasi terhadap pasien yang alergi
pada masing-masing obat dan pada penderita yang mengalami ketidaknormalan fungsi ginjal. Obat-obat urikosurik diantaranya adalah:
1. Probenesid Obat ini biasanya diberikan pada dosis 250 mg dua kali sehari selama 1-2
minggu kemudian dilanjutkan 500 mg selama 2 minggu. Setelah itu dosis dilanjutkan 500 mg setiap 1-2 minggu hingga keadaan menjadi normal
atau sampai dosis maksimum 3 g. 2. Sufinpirazon
Suatu urikosurik yang poten yang memiliki efek paradoksal antara eksresi asam urat untuk menurunkan asam urat dalam plasma dengan hemodilusi.
Diberikan dengan dosis mulai dari 50 mg dua kali sehari dan meningkat
secara bertahap setiap 10 hari sekali hingga mencapai dosis pemeliharaan sebesar 100 mg 3-4 kali sehari.
3. Salisilat Obat ini memiliki efek paradoksikal dari dosis tinggi dan dosis rendah.
Dosis kecil 1 g atau 2 g sehari meghambat eksresi asam urat, sehingga kadar asam urat dalam darah meningkat. Dosis 2 atau 3 g sehari biasanya
tidak mengubah eksresi asam urat. Tetapi pada dosis lebih dari 5 g perhari terjadi peningkatan eksresi asam urat melalui urin, sehingga kadar asam
urat dalam darah menurun. Hal ini terjadi karena pada dosis rendah salisilat menghambat sekresi tubuli sedangkan pada dosis tinggi salisilat
juga menghambat reabsorpsinya dengan hasil akhir peningkatan eksresi asam urat. Efek urikosurik ini bertambah bila urin bersifat basa. Dengan
alkalinasi urin, kelarutan asam urat dalam urin meningkat sehingga tidak terbentuk kristal asam urat dalam tubuli ginjal.
B. Penghambat Sintesis Asam Urat Allopurinol
Gambar 3. Struktur allopurinol Alopurinol adalah obat yang diakui poten sebagai penghambat sintesis
asam urat. Baik alopurinol maupun metabolit terbesarnya yaitu oksipurinol, keduanya bekerja sebagai penghambat enzim xantin oksidase.
Xantin oksidase merupakan enzim yang berperan dalam pengubahan hipoxantin menjadi xantin dan xantin menjadi asam urat. Alopurinol juga
menurunkan konsentrasi intraseluler dari PRPP. Alopurinol mengalami biotransformasi oleh enzim xantin oksidase menjadi aloxantin yang masa
paruhnya lebih panjang daripada alopurinol. Karena itu alopurinol cukup diberikan satu kali sehari.
Untuk mencegah timbulnya gout akut, alopurinol dianjurkan diberikan tiap hari sekali sebesar 100 mg peroral. Dosis untuk penyakit gout ringan 200-
400 mg sehari, 400-600 mg sehari untuk penyakit yang lebih berat. Untuk penderita gangguan fungsi ginjal dosis cukup 100-200 mg sehari. Dosis
untuk hiperurisemia sekunder 100-200 mg sehari. Efek samping yang sering terjadi adalah reaksi kulit. Bila timbul kemerahan kulit, obat harus
dihentikan karena gangguan mungkin menjadi lebih berat. Reaksi alergi berupa demam, menggigil, dan pruritas juga pernah dilaporkan. Gangguan
saluran cerna juga kadang-kadang terjadi.
2.5 Kafeina
Gambar 4. Struktur kafeina
Kafeina adalah komponen alkaloid derivat xantin yang mengandung gugus metil yang akan dioksidasi oleh xantin oksidase membentuk asam urat sehingga
dapat meningkatkan kadar asam urat dalam tubuh. Maka, dalam penelitian ini kafeina digunakan sebagai penginduksi asam urat yang poten yang dapat
menyebabkan hewan coba menjadi hiperurisemia Azizahwati et al, 2005. Kafeina merupakan alkaloid yang tergolong dalam keluarga methylxanthine
bersama-sama senyawa teofilin dan teobromin. Pada keadaan asal, kafeina ialah serbuk putih yang pahit. Rumus kimianya ialah C6H10N4O2 dan nama sistematik
kafeina ialah: 1,3,7-trimetilxanthine Wade A, 1982. Metilxantin cepat diabsorbsi setelah pemberian oral, parenteral, atau rektal.
Sedian bentuk cair atau tablet tidak bersalut akan diabsorpsi secara cepat dan lengkap. Kadar puncak plasma dapat dihasilkan dalam waktu 1 jam, sedangkan
eleminasi metilxantin terutama melalui metabolisme hati sebagian besar dieksresikan bersama urin dalam bentuk asam urat. Kurang dari 15 kafeina
akan ditemukan di urin dalam bentuk utuh, waktu paruh plasma kafeina antara 3-7 jam Wade A, 1982.
Kafeina mengurung reseptor adenosin di otak. Adenosin ialah senyawa nukleotida yang berfungsi mengurangi aktivitas sel saraf saat tertambat pada sel
tersebut. Seperti adenosin, molekul kafeina juga tertambat pada reseptor yang sama, tetapi akibatnya berbeda. Kafeina tidak akan memperlambat aktivitas sel
saraf sebaliknya menghalang adenosin untuk berfungsi. Dampaknya aktivitas otak meningkat dan mengakibatkan hormon epinefrin dirembes. Hormon tersebut akan
menaikkan detak jantung, meninggikan tekanan darah, menambah penyaluran darah ke otot-otot, mengurangi penyaluran darah ke kulit dan organ dalam, dan
mengeluarkan glukosa dari hati. Tambahan, kafeina juga menaikkan permukaan neurotransmitter dopamine di otak Wade A, 1982.
Kafeina dapat dikeluarkan dari otak dengan cepat, tidak seperti alkohol atau perangsang sistem saraf pusat yang lain. Tambahan lagi, kafeina tidak
mengganggu fungsi mental tinggi dan tumpuan otak. Pengambilan kafeina secara berkelanjutan akan menyebabkan badan menjadi toleran dengan kehadiran
kafeina. Oleh itu, jika pengambilan kafeina diberhentikan proses ini dinamakan penarikan atau tarikan, badan menjadi terlalu sensitif terhadap adenosin
menyebabkan tekanan darah turun secara mendadak yang seterusnya mengakibatkan sakit kepala dan sebagainya Ganiswarna, 1995.
Terlalu banyak kafeina dapat menyebabkan intoksikasi kafeina yaitu mabuk akibat kafeina. Antara gejala penyakit ini ialah keresahan, kerisauan, insomnia,
keriangan, muka merah, kerap kencing diuresis, dan masalah gastrointestinal. Gejala-gejala ini bisa terjadi walaupun hanya 250 mg kafeina yang diambil. Jika
lebih 1 g kafeina diambil dalam satu hari, gejala seperti kejangan otot muscle twitching, kekusutan pikiran dan perkataan, aritmia kardium gangguan pada
denyutan jantung dan bergejolaknya psikomotor psychomotor agitation bisa terjadi. Intoksikasi kafeina juga bisa mengakibatkan kepanikan dan penyakit
kerisauan.
2.6 Na-CMC Wade A et al, 1994