Tujuan Pembiayaan Ekonomi Islam. Pembiayaan Dalam Ekonomi Islam; Ar-Rahn

19 2. Keputusan Dewas Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 01 Tahun 2000 Tentang Pedoman Dasar Dewas Syari’ah Nasional-Majelis Ulama Indonesia. 17

C. Tujuan Pembiayaan Ekonomi Islam.

Islam berorientasi pada tujuan goal oriented, prinsip-prinsip yang mengarahkan pengorganisasian bertujuan secara menyeluruh dalam tata sosial islam. Secara umum tujuan-tujuan itu dapat digolongkan sebagai berikut: 1. Menyediakan dan menciptakan peluang yang sama dan luas bagi semua orang untuk berperan serta dalam kegiatan ekonomi baik individu maupun kolektif. 2. Memberantas kemiskinan absolut dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar bagi semua individu masyarakat, kemiskinan bukan hanya sebagai penyakit ekonomi, tetapi juga mempengaruhi spiritualisme individu. 3. Mempertahankan stabilitas ekonomi dan pertumbuhan serta meningkatkan kesejahteraan ekonomi.

D. Pembiayaan Dalam Ekonomi Islam; Ar-Rahn

1. Pengertian Ar-Rahn. Ar-hahn ialah jaminan barang yang dapat dijual sebagai jaminan hutang, dan kelak nantinya dapat dijual membayar hutang, jika yang berhutang tidak mampu membayar hutangnya karena kesulitan. Karna itu 17 Keputusan Dewas Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 01 Tahun 2000 Tentang Pedoman Dasar Dewas Syari’ah Nasional-Majelis Ulama Indonesia, dalam http:www.mui.or.id, 02 September 2008 20 tidak boleh mengadaikan barang wakaf. Ar-Rahn bertujuan untuk membantu nasabah dalam pembiayaan kegiatan multi guna. Kontrak Rahn dipakai dalam perbankan dalam dua hal berikut a. Sebagai prinsip, artinya sebagai akad tambahan terhadap produk lain seperti mudharabah. Bank harus menahan barang nasabah sebagai konsekuensi dari akad ini. b. Sebagai produk pinjaman, artinya bank tidak memperoleh apa-apa kecuali imbalan atas penyimpanan, pemeliharaan, asuransi dan administrasi barang yang digadaikan. Oleh karna itu produk ini biasanya diterapkan untuk keperluan sosial, seperti pendidikan dan kesehatan. Barang yang digadaikan wajib memenuhi criteria: a. Milik nasabah sendiri Jelas ukuran, sifat, jumlah, dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar. b. Dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank. 18 Secara harfiah, Rahn berarti tsubud dan dawam tetap dan lestari, seperti dakatakan maaun raahim air tetapdiam dan haalatun raahinan keadaan tetap konstan juga berarti al-habsu dan al-luzam penahanan dan pasti sebagai firman Allah dalam surat Al-Muddattsir 74:38 21 Ialah “tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya”. Akan Rahn menurut syara ialah menahan sesuatu dengan cara yang dibenarkan yang memungkinkan untuk ditarik kembali, yaitu menjadikan barang yang mempunyai nilai harta benda menurut Syara sebagai jaminan hutang hinga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang semuanyasebagianya. Ar-rahn juga termasuk transaksi yang mengunakan surat berharga sebagai jaminan dengan barang. Para pengikut mazhab Syafii mendefinisikan bahwa rahn adalah menjadikan nilai jaminan sebagai ganti utang tatkala tidak bisa melunasinya, penekanan pada “nilai” menunjukan pada tidak bolehnya rahn manfaat sesuatu yang memberikan manfaat, karna manfaat itu bisa hilang tanpa jaminan. Penggikut mazhab Hambali mendefinisikan bahwa Rahn adalah barang yang dijadikan jaminan hutang, Dimana harga barang itu sebagai ganti utang ketika tidak sangup untuk melunasinya. 2. Sifat dan Aspek Hukum Ar-rahn Sifat Rahn secara umum adalah salah satu jenis transaksi tabarru, karena apa yang diberikan Rahn untuk murtadin bukan atas imbalan akan sesuatu, ia termasuk transaksi uqud ainiyah, dimana tidak diangap sempurna kecuali bila sudah diterima ain al-maqud. Dan akad transaksi jenis ini ada 5 yakni; Hibah, Ijarah, Wadiah, Qaradh, dan Rahn. 22 Adapun sebab diisyaratkanya al-qabdh sebagai syarat kesempurnaanya akad-akad ini adalah jenis tabarru, sesuai dengan kaidah yang berbunyi “tidak sempurna tabarru itu kecuali dengan gabah” sehinga transaksi diangap tidak ada pengaruhnya sebelum qabdh, sedangkan pelaksanan terjadi setelah ada akadnya. Dalil-dalil Rahn umumnya dari Al-Quran, as-sunah, dan Ijma. Adapun dalam Al-Quran al-baqarah 2:289            Artinya: Jika kamu dalam perjalanan dan bermuamalah tidak secara tunai sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang . Para Fuqaha sepakat bahwa Rahn hukumnya boleh, baik ketika berpergian ataupun tidak kecuali mazhab Dhahiri dan mujahid yang membatasi Rahn ketika berpergian secara umum, berdasarkan dalil sunah secara mutlak serta penyebutan secara safar berpergian pada ayat. Ditambah tidak adanya penulis ketika safar pada umumnya di masa lalu. Dan tidak tidak adanya penulis juga bukan syarat boleh tidaknya rahn berdasarkan dalil sunah. Adapun ayat itu hanya memberi isyarat petunjuk buat manusia sebagai bukti ringan ketika tidak ada penulis yang menulis utang bagi mereka. 23 3. Rukun Rahn dan Unsur-unsurnya Unsur-unsur Rahn ada empat; Rahn pemlik barang, Murtahin pemegang barang, Marhun atau Rahn barang gadaian dan Marhun bih utang Adapun rukun Rahn menurut mazhab hanafi adalah; Ijab qabuldari Rahn dan Murtahin, sebagaimana disetiap transaksi yang lain. Akan tetapi tidak sempurnanya dan terlaksana kecuali dengan qabdh, yaitu perpindahan barang gadai atau utang, misalnya Rahin berkata “saya gadaikan barang ini dengan apa yang anda miliki sebagai utang saya”, dan murtahin berkata “saya terima, atau saya ridha”, dsb. Dan tidak diisyaratkan lafiz Rahn gadai. Dan seandainya membeli sesuatu kemudian menyerahkan kepada pembeli barang tertentu kemudian berkata “pegang ini sampai kuberikan kubayar harganya, dibolehkan, karena al-ibrah fi al-‘uqud lil ma’aniy. Menurut mazhab lain selain hanafi, Rukun Rahn ada empat yakni: sighat, pelaku transaksi, marhun, dan marhun bih. Dan perbedaan ini terjadi disemua jenis akad transaksi antara hanafi dan mazhab yang lain. Adapun masalah Rahn menurut jumhur lebih luas dibanding pendapat hanafi, karena rukun menurut hanafi adalah semua yang menjadi bagian dari sesuatu dan keberadaanya terbatas pada bagian itu. Karena wujudnya itu tergantung dari bagian-bagian tadi, dan adapula yang tidak tergantung padanya. Adapun rukun menurut jumhur adalah segala hal yang menjadikan sebab wujudnya sesuatu dan tidak mungkin terjadi tashawur 24 kecuali adanya hal tersebut. Apakah hal itu bagian sesuatu atau bukan, makanya pelaku adalah rukun,sehinga tidak terbayangkan terjadinya akadtanpa pelakunya, walaupun tidak termasuk bagiannya. Keadaan Rahn ada tiga yaitu; a. Terjadinya bersamaan dengan hutang. Misalnya pedagang mensyaratkan pada pembeli dengan tsaman muajal sampai waktu tertentu, kemudian diserahkan Rahn bersama harga barang dagangan. Ini dibolehkan menurut semua mazhab karena kebutuhan yang menuntut hal tersebut. b. Terjadi setelah hutang dan ini diperbolehkan karena hutangnya sudah jelas dan tetap, sehinga butuh jaminan untuk itu. Sebagian halnya dhaman atau kafalah. Dan ayat “farihaanun maqbuudhah” mengisyaratkan ke arah itu, karena rahn adalah penganti tulisan, dan tulisan terjadi setelah kejadian. c. Terjadi sebelum hutang, misalnya kugadaikan barang saya ini, kemudian utangi saya Rp. 100.000 ini dibolehkan menurut mazhab maliki dan hanafi karena itu adalah jaminan yang dibenarkan maka dibolehkan sebelum hutang, sebagaimana kafalah dan ini masuk akal. Sebagian menurut mazhab Syafi’i dan hanbali tidak dibolehkan karena jaminan yang dilakukan secara benar tidak diwajibkan sebelumnya seperti sahadah dan rahn mengikuti yang benar dan tidak boleh mendahului. 25 4. Hukum Ar-Rahn Hukum Rahn menurut Syara’ adalah Jaiz boleh. Tidak wajib menurut kesepakan ulama karena ia adalah jaminan hutang, maka tidak wajib. Sebagaimana dalam kafalah, adapun firman Allah dalam surat Al-baqarah 2:283 “farihaanun maqbuudhah” adalah arahan buat orang-orang mu’min, bukan perintah wajib untuk mereka, kemudian ayat berikutnya Allah memerintahkanya ketika tidak adanya penulis, pada hal penulisan bukanlah hal yang diwajibkan berdasarkan firman-Nya “fain amina...” begitu juga yang mengantikanya rahn tidak wajib. 19 19 Dr. Wahbah Zulhalli, Fiqih Muamalah, Kapita Selekta Al Fiqhu Al Islam wa Adillahtuhi, h. 33 26

BAB III DANA PENGUATAN MODAL LEMBAGA USAHA EKONOMI