8
rendahnya tingkat ekonomi dan sedikitnya populasi Afrika Selatan dibandingkan dengan negara anggota BRICS lainnya.
6
Meskipun demikian, bergabungnya Afrika Selatan merupakan kesempatan bagi negara itu dan juga Benua Afrika. Afrika Selatan memang negara yang
terkecil dalam hal luas lahan, jumlah penduduk, tabungan, dan nilai ekspor dan impor sebagai persentase dari PDB. Sehingga menjadi wajar jika kemudian
muncul kekhawatiran ketika Afrika Selatan harus bergabung dengan negara- negara yang lebih besar. Selain dianggap sebagai
“pintu gerbang ke Afrika”, alasan lain masuknya Afrika Selatan juga didasarkan pada kenyataan bahwa
Afrika Selatan memiliki perekonomian terbesar di Sub-Sahara Afrika dan sistem perbankan canggih.
Adapun dalam buku yang ditulis oleh Stephanie Jones, berjudul BRICs and Beyond: Lessons on Emerging Markets, menerangkan bagaimana BRICS
akan berkembang sebagai kekuatan ekonomi baru yang akan mengganggu dominasi ekonomi Barat, karena di dalam BRICS yang diisi oleh negara-negara
ekonomi berkembang ini memberikan kesempatan lebih untuk saling membuka peluang ekonomi seperti pasar produksi dan investasi. Meskipun bagi Afrika
Selatan sendiri bergabungnya ke dalam BRICS tentu akan menimbulkan resiko juga. Alasannya juga masih sama yaitu, kekhawatiran Afrika Selatan hanya
dijadikan sebagai pasar bagi negara anggota lainnya.
7
6
South Africa’s position in BRICS dalam Quarterly Bulletin – January to March 2013 Gauteng Province: Provincial Treasury Republic of South Africa.
7
Stephanie Jones. 2012. BRICs and Beyond: Lessons on Emerging Markets. London: Wiley Publisher.
9
Dari beberapa tulisan diatas setidaknya memberikan gambaran mengenai bagaimana hubungan yang terjadi antara Afrika Selatan dan BRICS. Dijelaskan
juga bahwa tujuan Afrika Selatan bergabung dengan BRICS adalah ekonomi, namun kita juga perlu melihat efek yang ditimbulkan kemudian. Jika para penulis
diatas lebih banyak menunjukan sikap pesimisme yang muncul dari keanggotaan Afrika Selatan di kelompok BRICS. Maka dari itu pada penelitian kali ini, akan
lebih dibahas mengenai dampak yang telah dirasakan oleh Afrika Selatan setelah bergabung ke dalam BRICS.
E. Kerangka Teori
Dari pertanyaan penelitian yang telah disampaikan sebelumnya, maka teori yang akan digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian adalah teori
Neoliberal Institusionalisme. Selain itu ada pula beberapa konsep yang akan digunakan, yaitu konsep kerjasama, dan konsep aliansi.
1. Teori Neoliberal Institusionalisme
Teori neoliberal institusionalisme berasal dari asumsi-asumsi dasar seperti yang terdapat dalam teori liberalisme. Sehingga beberapa asumsinya juga
merupakan pengembangan dari teori liberalisme. Seperti asumsinya tentang penyelesaian masalah-masalah internasional melalui aksi sosial yang lebih
kolaboratif dan kooperatif daripada konfliktual.
8
Hal inilah yang kemudian mendorong setiap negara untuk berusaha menghindari terjadinya perang dengan
melakukan upaya-upaya kerjasama yang lebih menguntungkan.
8
Robert Jackson
George Sorensen.
2009. Pengantar
Studi Hubungan
Internasional.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 139.
10
Robert Keohane dan Josep Nye adalah dua pemikir yang memberikan pengaruh besar dalam pengembangan teori ini. Neoliberalisme Institusional
menyatakan bahwa institusi internasional menolong untuk memajukan kerjasama di antara negara-negara.
9
Secara lebih spesifik Robert Keohane mendefinisikan institusi internasional sebagai seperangkat peraturan formal dan informal yang
saling berhubungan dan berkesinambungan yang akan menjelaskan pola perilaku negara, aktivitas yang memaksa, dan bentuk-bentuk harapan. Institusi
internasional dapat diartikan sebagai salah satu dari tiga bentuk, yaitu organisasi formal antara pemerintah atau organisasi antar negara non pemerintah, rejim
internasional, dan konvensi.
10
Neoliberal institusionalisme meyakini bahwa kerjasama bukanlah sebuah kebetulan, melainkan tindakan yang disadari untuk mencapai tujuan bersama dan
institusi internasional ada sebagai salah satu cara memfasilitasi kerjasama internasional. Memang tidak semua institusi internasional memfasilitasi kerjasama
pada tatanan global, tetapi hampir seluruh bentuk kerjasama internasional dituangkan dalam sebuah bentuk institusi. Neoliberal institusionalisme juga
memandang institusi sebagai mediator dan alat untuk menciptakan kerjasama diantara para aktor dalam sistem.
11
Selain itu kerjasama dalam neoliberal institusionalisme juga akan menghasilkan adanya absolute gain keuntungan absolut. Absolute gain adalah
9
Joseph Nye. 2009. Understanding International Conflict, 7
th
Ed. New York: Pearson Longman. Hal. 155.
10
Robert O. Keohane. 1989. International Institutions and State Power Essay in International Relations Theory. London: Westvie Presshal. Hal. 3-4.
11
Robert Jackson
George Sorensen.
2009. Pengantar
Studi Hubungan
Internasional.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 154
11
keuntungan yang dapat diperoleh setiap negara dalam melakukan interaksinya dengan negara lain dengan bentuk kerjasama. Hanya dengan kerjasama negara
dapat meraih hasil yang pasti absolut.
12
Pemikiran ini memandang keuntungan dari kerjasama tersebut absolut didapat setiap negara meski tidak mungkin kedua
negara mendapatkan keuntungan yang sama besar. Namun hal ini tentunya memastikan setidaknya keuntungan akan diraih bagi negara yang dapat
melakukan kerjasama. Dalam perkembangan kontemporer, hasil yang didapatkan dari kerjasama
dalam sebuah institusi internasional dapat berupa kemajuan ekonomi bersama, seperti Uni Eropa. Sebab dalam sebuah kerangka Uni Eropa setiap negara
diharuskan untuk saling bekerjasama untuk tercapainya tujuan bersama. Mekanisme yang ada di dalamnya juga mendorong setiap negara
mengesampingkan kepentingannya akan tetapi dengan tujuan bahwa kepentingan bersamanya dapat terealisasi dengan baik. Keberhasilan Uni Eropa dalam
menyatukan banyak kepentingan negara menjadi kepentingan bersama, khususnya integrasi ekonomi akan dirasakan oleh semua negara anggotanya.
Dengan menggunakan teori neoliberal institusionalisme dalam kasus ini, kita dapat melihat bagaimana negara-negara anggota BRICS membentuk
kelompok ini. Kelompok BRICS juga merupakan salah satu bentuk organisasi internasional dengan tujuan ekonomi. Tujuan ini selanjutnya akan mendorong
negara-negara di dalamnya untuk saling memberikan kontribusinya melalui mekanisme yang telah disepakati guna tercapainya tujuan tersebut.
12
Robert Powell. 1991. Absolute and Relative Gains in International Relations Theory. The American Political Science Rewiew, Vol. 85, No. 4 December. Hal. 303-305
12
2. Konsep Kerjasama
Kerjasama terjadi biasanya didorong oleh kepentingan nasional national interest suatu negara, di mana negara memiliki tujuan-tujuan yang ingin dicapai
sesuai dengan kebutuhan negara. Kepentingan nasional identik pada tujuan nasional, seperti pembangunan ekonomi, peningkatan kualitas sumber daya
manusia, dan lain sebagainya. Pada hakikatnya negara tidak akan dapat berdiri sendiri, artinya negara membutuhkan bantuan dari negara lain. Oleh karena itu,
kepentingan nasional mengundang para pengambil keputusan decision makers
untuk menetapkan langkah kebijakan yang akan diambil, baik itu kerjasama.
Kerjasama dapat tumbuh dari suatu komitmen individu terhadap kesejahteraan bersama atau sebagai usaha pemenuhan kepentingan pribadi. Kunci
dari perilaku kerjasama ada pada sejauh mana setiap pribadi percaya bahwa yang lainnya akan bekerjasama. Sehingga isu utama dari konsep kerjasama didasarkan
pada pemenuhan kepentingan pribadi, di mana hasil yang menguntungkan kedua belah pihak dapat diperoleh dengan bekerja sama daripada dengan usaha sendiri
atau dengan persaingan.
13
Hal yang demikian juga dapat berlaku pada negara yang melakukan kerjasama antar negara. Sehingga negara memiliki kepentingan yang
dapat menguntungkan negaranya dari kerjasama yang dijalaninya.
Kerjasama dapat berlangsung dalam berbagai konteks yang berbeda. Kebanyakan hubungan dan interaksi yang berbentuk kerjasama terjadi langsung di
antara dua pemerintah yang memiliki kepentingan atau menghadapi masalah yang sama secara bersamaan. Bentuk kerjasama lainnya dilakukan antara negara yang
13
James E. Dougherty Robert L. Pfaltzgraff. 1997. Contending Theories. New York: Harper and Row Publisher. Hal. 217.