Analisis Struktur Ruang dalam Pengembangan Infrastruktur Hijau di Kota Medan

(1)

ANALISIS STRUKTUR RUANG DALAM PENGEMBANGAN

INFRASTRUKTUR HIJAU DI KOTA MEDAN

TESIS

Oleh

EFENDI PANE

097003021/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2011

S

E K

O L

A

H

P A

S C

A S A R JA

N


(2)

ANALISIS STRUKTUR RUANG DALAM PENGEMBANGAN

INFRASTRUKTUR HIJAU DI KOTA MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

EFENDI PANE

097003021/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2011


(3)

Judul Tesis : ANALISIS STRUKTUR RUANG DALAM PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR HIJAU DI KOTA MEDAN

Nama Mahasiswa : Efendi Pane

Nomor Pokok : 097003021

Program Studi : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE) K e t u a

(Ir.Jeluddin Daud, M.Eng) (Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec) Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof.Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE)(Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 18 Agustus 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE

Anggota : 1. Jeluddin Daud, M.Eng 2. Wahyu Ario Pratomo, SE. M.Ec

3. Ir. Supriadi, MS 4. Drs. Rujiman, MA


(5)

ANALISIS STRUKTUR RUANG DALAM PENGEMBANGAN

INFRASTRUKTUR HIJAU DI KOTA MEDAN

ABSTRAK

Pemanfatan ruang terbuka hijau lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya tanaman seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan dan sebagainya. Dalam konteks pembangunan wilayah Kota Medan, pengembangan infrastruktur juga harus mengedepankan aspek kelestarian lingkungan dan secara bersamaan memperhatikan aspek ekonomi, sosial dan budaya yang ada. Sehingga pembangunan infrastruktur yang ada tidak memberikan dampak negatif kepada lingkungan maupun masyarakat yang ada di sekitarnya. Secara ekologis dan planologis, RTH dapat berfungsi sebagai infrastruktur hijau yang turut membentuk ruang-ruang kota yang harmonis untuk memenuhi kebutuhan ekologis dan keindahan kota maupun sebagai pembatas ruang secara planologis. Untuk itu perlu diteliti kecenderungan perkembangan kawasan terbangun dan pertumbuhan penduduk di Kota serta prioritas program yang harus dilakukan untuk penerapan infrastruktur hijau di Kota Medan.

Metode penelitian yang digunakan adalah analisis trend dan metode AHP. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari beberapa instansi terkait.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecenderungan pertambahan luasan kawasan terbangun berdasarkan UUPR 26 2007 yaitu 70% dari luas wilayah Kota Medan atau sekitar 18.557 Ha akan tercapai pada tahun 2040 atau 29 tahun lagi. Sedangkan kapasitas atau daya dukung ideal wilayah Kota Medan untuk menampung jumlah penduduk maksimal yaitu sekitar 2.248.707 jiwa atau 8.482 jiwa/km2. Berdasarkan hasil tersebut diperkirakan akan terjadi kepadatan penduduk maksimal pada tahun 2104 atau 93 tahun lagi dari sekarang, sesuai ambang batas daya tamping ideal wilayah. Komponen-komponnen infrastruktur hijau yang dimiliki Pemerintah Kota berdasarkan hasil citra landsat seluas 1.203,72 Ha atau 4,54% dari luas wilayah Kota Medan


(6)

ANALYSIS OF SPACE STRUCTURE IN MEDAN CITY’S DEVELOPING GREEN INFRASTRUCTURE

ABSTRACT

The use of green open space tends to grow plants and flowers naturally or cultivating the area as farm, plantation, yard, etc. Medan development context, infrastructure development must make the environment sustainability as a priority and economic, social, cultures aspects, in order to make the infrastructure development will not bring negative impact on environment and the surrounding community.

Green open space can be functioned as green infrastructure that build harmonize city spaces ecologically and city view or space barrier in Plano logy. In order to implement the green open space, a research is needed to analyze the tendency developed area, population growth, and priority in Medan city green infrastructure development.

The method in this heresiarch was trend analysis and AHP. Data was secondary data that obtained from related agencies.

The result showed that the tendency of growing developed area based on UUPR 26 2007 was 70% or 18,557 Ha will achieved in 2040 or 29 years from now. Meanwhile, the ideal carrying capacity of Medan area to accommodate the population growth was 2.248.707 people or 8.482 people / km2. Based on the result above, it was predicted that over crowded population in 2104 or 93 years from now as in ideal area capacity. Green infrastructure components owned by the city that based on Landsat image was 1.203,72 Ha or 4,54% from Medan city area.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan berkatNya kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul “Analisis Struktur Ruang dalam Pengembangan Infrastruktur Hijau di Kota Medan” ini disusun untuk melengkapi kewajiban dalam memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Perencanaan Wilayah dan Pedesaan (PWD) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Keberhasilan penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung. Untuk itu sangat manusiawi sekali bila dalam lembaran pengantar ini saya menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada Bapak Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE selaku Ketua Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) sekaligus Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Ir. Jeluddin Daud, M.Eng., dan Bapak Wahyu Ario

Pratomo, SE., M.Ec., selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah berjerih payah

dan tanpa mengenal waktu bersedia memberikan bimbingan kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

2. Bapak/Ibu Dosen Pembanding yang telah memberikan banyak masukan dan saran bagi kesempurnaan tesis ini.

3. Seluruh Dosen Program Studi Perencanaan Pengembangan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara atas segala keikhlasannya dalam memberikan ilmu pengetahuan dan pengalamannya.

4. Seluruh mahasiswa PWK Angkatan 2009 dan staf administrasi atas keakrabannya, bantuan dan kerjasama yang telah diberikan selama ini.

5. Istri tercinta dan anak-anak tersayang atas pengertian yang mendalam serta memberikan dorongan semangat selama ini dan,


(8)

6. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu namanya yang turut serta membatu dalam penyelesaian tesis ini hingga dapat diselesaikan dengan tepat waktu

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritikan sehat, saran dan masukan dari semu pihak. Akhir kata, semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua kalangan.

Medan, Agustus 2011 Penulis


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Medan pada tanggal 20 Mei 1971, anak keenam dari delapan bersaudara dari Ayahanda B. Pane dan Ibunda Alm. K. Br. Simanjuntak. Penulis memiliki tiga orang anak, satu putri bernama Febrianti Pane dan dua orang putra bernama Gilber Pane dan Ralp Jeremy Pane buah pernikahan dari istri tercinta Nuriantina Sianturi Sarjana Pertanian.

Pendidikan Penulis dimulai dari Pendidikan di Sekolah Dasar di SD Negeri 060838 Medan dan tamat pada tahun 1984, kemudian melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP/SMP) di Sekolah Katholik St. Thomas 1 Medan Jalan S. Parman dan tamat pada tahun 1987, kemudian melanjutkan lagi pada Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA/SMA) di Sekolah Katholik St. Thomas 2 Medan jalan S. Parman Medan dan tamat pada tahun 1990 dan pada tahun 1990 penulis melanjutkan pendidikan di Universitas HKBP Nommensen Medan Fakultas Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian dan tamat tahun 1996 dengan menyandang gelar Sarjana Pertanian (SP).

Pada tahun 1998 penulis diterima bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara dan bertugas di Dinas Perikanan dan Kelautan Pemerintah Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah di Pandan. Kemudian pada tahun 2000 penulis mendapat mutasi kerja ke Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan bertugas di Dinas Kehutan Provinsi Sumatera Utara, sampai pada tahun 1996 penulis dipercaya untuk memegang jabatan sebagai Kepala Seksi Kawasan dan Perpetaan Hutan pada Bidang Penatagunaan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, kemudian mutasi di Kantor Kehutanan Provinsi Sumatera Utara penulis juga di percaya untuk menduduki jabatan sebagai Kepala Seksi Pengukuran dan Perpetaan Hutan pada Bidang Inventarisasi dan Penatagunaan Hutan dan Lahan pada Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara sampai dengan saat ini.

Kemudian pada tahun 2009 penulis melanjutkan pendidikan di Pascasarjana Program Studi Magister Perencanaan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana


(10)

Universitas Sumatera Utara dan pada tanggal 18 Agustus 2011 penulis mempertahankan Tesis dengan Judul “Analisis Struktur Ruang dalam Pengembangan Infrastruktur Hijau di Kota Medan”.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iv

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Pengembangan Kawasan Perkotaan ... ... 8

2.2. Struktur Ruang ... 11

2.3. Infrastruktur Hijau ... 14

2.4. Fungsi Ruang Terbuka Hijau ... 18

2.5. Ruang Terbuka Hijau Sebagai Acuan Perencanan Tata Ruang 21 2.6. Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah Kota ... 24


(12)

2.7. Penelitian Terdahulu ... 25

2.8. Kerangka Pemikiran ... 27

BAB III METODE PENELITIAN ... 29

3.1. Lokasi Penelitian ... 29

3.2. Alat dan Bahan Penelitian ... 29

3.3. Metode Penelitian ... 29

3.3.1. Analisis Trend ... 30

3.3.2. Identifikasi Kondisi Eksisting ... 32

3.3.3. Penyusunan Rencana Infrastruktur Hijau ... 32

3.3.4. Prioritas Program untuk Penerapan Rencana Infrastruktur Hijau ... 38

BAB IV DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN ... 41

4.1. Kondisi Geografis Kota Medan ... 41

4.2. Gambaran Umum Demografis Kota Medan ... 45

4.3. Pola Penggunaan Lahan ... 49

4.4. Kawasan Ruang Terbuka Hijau.. ... 51

4.5. Keadaan Perekonomian Kota Medan . ... 53

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 58

5.1. Analisis Trend Perkembangan Kawasan Terbangun Kota Medan ... 58

5.2. Analisis Trend Pertumbuhan Penduduk Kota Medan... 60

5.2.1. Penyusunan Rencana Infrastruktur Hijau ... 68


(13)

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 92

6.1. Kesimpulan ... 92

6.2. Saran ... 92


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1. Skala Perbandingan Secara Berpasangan ... 40

4.1. Luas Wilayah Kota Medan Menurut Kecamatan ... 43

4.2. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Medan Tahun 2007 – 2009 ... 46

4.3. Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Kota Medan Tahun 2007 – 2009 ... 47

4.4. Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Kota Medan Tahun 2007 – 2009 ... 55

4.5. Struktur Perekonomian Kota Medan Tahun 2007 – 2009 ... 56

5.1. Hasil Analisis Citra Landsat Multitemporal ... 58

5.2. Trend Perkembangan Kawasan Terbangun Kota Medan ... 60

5.3. Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kota Medan Tahun 2003 – 2009 ... 61

5.4. Trend Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Medan ... 64

5.5. Hasil Analisis LQ menurut fasilitas di Kota Medan ... 71

5.6. Komponen-komponen Infrastruktur Hijau Kota Medan ... 84

5.7. Prioritas Strategis Penerapan Infrastruktur Hijau Menurut Kriteria ... 86

5.8. Hasil Analisis Prioritas Alternatif Program yang Dipilih... 87


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian ……….. 28

3.1. Struktur Analisis Hirarki Proses ... 39

4.1. Peta Wilayah Administrasi Kota Medan ……... 44

4.2. Peta Kepadatan Penduduk Tahun 2010 ……….. 48

4.3. Peta Penggunaan Lahan Eksisting 2010……….. 50

4.4. Peta Rencana Pola Ruang Kota Medan ………... 52

4.5. Pertumbuhan Ekonomi Kota Medan Tahun 2007 – 2009 (%)…. 53 5.1 Peta Hasil Interpretasi Peta Citra Landsat Tahun 2005 Kawasan Terbuka Kota Medan………... 66

5.2. Pembangunan Perumahan oleh Pengembang ... 67

5.3. Peta Kondisi Fasilitas Pendidikan Masing-masing Kecamatan di Kota Medan ... 69

5.4. Peta Kondisi Fasilitas Kesehatan Masing-masing Kecamatan di Kota Medan... 70

5.5. Stadion Teladan Medan ... 73

5.6. Taman di Depan Lapangan Stadion Teladan Medan ... 73

5.7. Sempadan Jalan Tol Belmera ... 74

5.8. Sempadan Rel Kereta Api ... 75


(16)

5.10. Taman Hutan Kota Sudirman ... 77

5.11. Sempadan Sungai Babura... 80

5.12. Sempadan Sungai Deli... 80


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Perkembangan Luas Terbangun Kota Medan. ... 96

2. Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Medan ... 98

3. Kondisi Umum Kota Medan ... 100

4. Kuesioner ... 104

5. Gambar Infrastruktur Hijau Kota Medan ... 109


(18)

ANALISIS STRUKTUR RUANG DALAM PENGEMBANGAN

INFRASTRUKTUR HIJAU DI KOTA MEDAN

ABSTRAK

Pemanfatan ruang terbuka hijau lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya tanaman seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan dan sebagainya. Dalam konteks pembangunan wilayah Kota Medan, pengembangan infrastruktur juga harus mengedepankan aspek kelestarian lingkungan dan secara bersamaan memperhatikan aspek ekonomi, sosial dan budaya yang ada. Sehingga pembangunan infrastruktur yang ada tidak memberikan dampak negatif kepada lingkungan maupun masyarakat yang ada di sekitarnya. Secara ekologis dan planologis, RTH dapat berfungsi sebagai infrastruktur hijau yang turut membentuk ruang-ruang kota yang harmonis untuk memenuhi kebutuhan ekologis dan keindahan kota maupun sebagai pembatas ruang secara planologis. Untuk itu perlu diteliti kecenderungan perkembangan kawasan terbangun dan pertumbuhan penduduk di Kota serta prioritas program yang harus dilakukan untuk penerapan infrastruktur hijau di Kota Medan.

Metode penelitian yang digunakan adalah analisis trend dan metode AHP. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari beberapa instansi terkait.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecenderungan pertambahan luasan kawasan terbangun berdasarkan UUPR 26 2007 yaitu 70% dari luas wilayah Kota Medan atau sekitar 18.557 Ha akan tercapai pada tahun 2040 atau 29 tahun lagi. Sedangkan kapasitas atau daya dukung ideal wilayah Kota Medan untuk menampung jumlah penduduk maksimal yaitu sekitar 2.248.707 jiwa atau 8.482 jiwa/km2. Berdasarkan hasil tersebut diperkirakan akan terjadi kepadatan penduduk maksimal pada tahun 2104 atau 93 tahun lagi dari sekarang, sesuai ambang batas daya tamping ideal wilayah. Komponen-komponnen infrastruktur hijau yang dimiliki Pemerintah Kota berdasarkan hasil citra landsat seluas 1.203,72 Ha atau 4,54% dari luas wilayah Kota Medan


(19)

ANALYSIS OF SPACE STRUCTURE IN MEDAN CITY’S DEVELOPING GREEN INFRASTRUCTURE

ABSTRACT

The use of green open space tends to grow plants and flowers naturally or cultivating the area as farm, plantation, yard, etc. Medan development context, infrastructure development must make the environment sustainability as a priority and economic, social, cultures aspects, in order to make the infrastructure development will not bring negative impact on environment and the surrounding community.

Green open space can be functioned as green infrastructure that build harmonize city spaces ecologically and city view or space barrier in Plano logy. In order to implement the green open space, a research is needed to analyze the tendency developed area, population growth, and priority in Medan city green infrastructure development.

The method in this heresiarch was trend analysis and AHP. Data was secondary data that obtained from related agencies.

The result showed that the tendency of growing developed area based on UUPR 26 2007 was 70% or 18,557 Ha will achieved in 2040 or 29 years from now. Meanwhile, the ideal carrying capacity of Medan area to accommodate the population growth was 2.248.707 people or 8.482 people / km2. Based on the result above, it was predicted that over crowded population in 2104 or 93 years from now as in ideal area capacity. Green infrastructure components owned by the city that based on Landsat image was 1.203,72 Ha or 4,54% from Medan city area.


(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Perkotaan sebagai pusat permukiman dan sekaligus pusat pelayanan (jasa) terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah pengaruhnya (hinterland) akan mempunyai struktur (tata) ruang tertentu dalam rangka penyesuaian terhadap fungsinya untuk mencapai tingkat efisiensi pelayanan.

Bagi Pemerintah Kota Medan, penataan ruang merupakan bagian integral dari kebijakan pembangunan kota yang bersifat strategis. Upaya penataan ruang dilakukan dalam bentuk penyusunan rencana garis besar kota dan rencana induk kota, wilayah pusat pertumbuhan industri, kawasan industri, perdagangan, permukiman, konservasi dan lain sebagainya (Bappeda Kota Medan, 2001).

Penyusunan rencana tata ruang Kota Medan sendiri pada hakekatnya merupakan penjabaran Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional dan Provinsi ke dalam strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang kota. Oleh karenanya RTRW Kota Medan adalah kebijakan yang menetapkan lokasi dan kawasan yang harus dilindungi dan dibudidayakan serta wilayah yang diprioritaskan pengembangannya pada waktu perencanaan. Rencana detail tata ruang Kota Medan dipergunakan sebagai acuan dalam pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang termasuk acuan untuk menerbitkan izin mendirikan bangunan.


(21)

Rencana tata ruang yang disusun tidak hanya sebagai aspek prosedural dalam penyelenggaraan pembangunan kota, tetapi juga sebagai kegiatan yang dapat menunjang tercapainya berbagai sasaran pembangunan kota, dengan mewujudkan mekanisme prosedur yang tepat dan efektif, terutama dalam penggunaan lahan, baik untuk kepentingan pemerintah, masyarakat, maupun swasta.

Selain hal tersebut di atas pendekatan operasional penataan ruang Kota Medan juga dimaksudkan untuk menghasilkan rencana tata ruang yang mempunyai daya antisipasi tinggi terhadap perkembangan sehingga tidak kalah cepat dengan kebutuhan pembangunan kota serta realistis, operasional dan mampu berfungsi sebagai instrument koordinasi bagi program-program pembangunan dari berbagai sumber pendanaan. Oleh karena Kota Medan juga diinginkan menjadi pusat kegiatan ekonomi regional dan internasional, penataan ruang Kota Medan juga diarahkan kepada pola pembangunan perkotaan yang mempunyai kesesuaian tinggi dengan sistem sosial budaya, sosial ekonomi, sosial ekologisnya.

Perencanaan tata ruang kawasan perkotaan mutlak diperlukan, sebagai arahan umum pembangunan yang akan dilaksanakan guna mendukung kegiatan ekonomi, sosial dan lingkungan masyarakat kota. Pembangunan yang dilakukan seharusnya tidak mengurangi areal produktif untuk pertanian dan kawasan konservasi alam. Berkembangnya konsep-konsep pembangunan yang lebih mempertimbangkan aspek lingkungan telah mewarnai perencanaan-perencanaan wilayah saat ini. Salah satu konsep dasar yang berkembang sejak tahun 1980an adalah Eco-city yang menunjukkan hubungan dari rangkaian isu perencanaan perkotaan dan pembangunan


(22)

ekonomi melalui keadilan sosial dengan mengedepankan demokrasi lokal dalam konteks keberlanjutan.

Dimensi pembangunan yang berkelanjutan merupakan salah satu sasaran dari konsep dasar Eco-city yang dikembangkan oleh para perencana, akademisi, pemerintah daerah dan kelompok komunitas untuk perencanaan pengembangan wilayah. Dalam konteks ini, maka harus terjadi keseimbangan pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan dan tidak melebihi daya dukung (carrying capacity) suatu wilayah, dengan tujuan bahwa pembangunan yang dilakukan saat ini tidak mengurangi pilihan bagi generasi yang akan datang. Dengan demikian perencanaan kawasan perkotaan harus diawali dengan perencanaan penataan ruang yang mendukung perkembangan kota yang berkelanjutan. Penentuan struktur ruang dan pola ruang yang tepat menjadi syarat mutlak bagi perkembangan kawasan perkotaan. Berdasarkan perencanaan penataan ruang yang berkelanjutan tersebut, maka dapat dibuat suatu perencanaan infrastruktur yang mantap guna mendukung kehidupan perekonomian, sosial dan lingkungan di wilayah kota. Infrastruktur seringkali diidentikkan dengan sarana dan prasarana dalam bentuk fisik atau yang biasa digunakan untuk mendukung aktivitas ekonomi dan sosial berupa bangunan, jalan, saluran air, rumah sakit, pasar, terminal, sekolah atau yang mengarah pada bangunan infrastruktur (Grey Infrastructure). Saat ini telah berkembang konsep mengenai infrastruktur yang lebih luas lagi, yang sangat mempengaruhi keberlanjutan dan perkembangan suatu komunitas yaitu infrastruktur hijau (Green Infrastructure) seperti taman, hutan kota, kawasan konservasi, sarana rekreasi, jalur hijau dan


(23)

sebagainya yang berhubungan dengan alam atau lingkungan. Kedua infrastruktur tersebut harus dikembangkan dan direncanakan secara seimbang dengan memperhatikan aspek keberlanjutan untuk mencapai kemajuan suatu wilayah untuk pertumbuhan yang gemilang (Smart Growth).

Pertambahan penduduk yang meningkat pesat memunculkan berbagai permasalahan dalam pembangunan, diantaranya adalah meningkatnya kebutuhan akan ruang untuk pemenuhan berbagai kebutuhan hidup lahan budidaya, perumahan, perindustrian dan kegiatan lainnya. Upaya pemenuhan kebutuhan yang meningkat menyebabkan tekanan terhadap ruang dan sumberdaya alam, terutama dikarenakan perekonomian Indonesia masih sangat tergantung kepada pemanfaatan sumberdaya alamnya (Purwoko, 2009).

Meningkatnya penduduk yang bermukim di perkotaan itu menimbulkan dampak terhadap desakan kebutuhan lahan untuk permukiman dan infrastruktur perkotaan. Salah satu tantangan yang ada adalah masih terbatasnya luasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di perkotaan.

Kota akan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan sosial-budaya, ekonomi dan politik yang melatar belakanginya. Perkembangan tersebut ditunjukkan dengan adanya perubahan yang terjadi secara terus menerus sebagai fenomena tersendiri yang tidak bisa dihentikan (Sijmon dalam Sari 2008). Perubahan yang terjadi dikarenakan adanya kegiatan pembangunan yang selalu berjalan di setiap bagian kota, terutama di pusat kota. Perkembangan kota dari masa ke masa sangat berpengaruh terhadap penataan kota.


(24)

Aktivitas masyarakat juga sangat mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan suatu kota. Menurut Rapoport (Sari, 2008), aktivitas rutin masyarakat memiliki nilai sosial budaya yang mendasari, dan nilai sosial budaya tersebut melandasi bagaimana masing-masing individu berperilaku, sehingga aktivitas yang terbentuk mempunyai ciri khas. Selanjutnya aktivitas yang terjadi memunculkan bentuk kawasan yang terlihat dari penggunaan ruangnya, karena apapun aktivitas yang dilakukan terkait dengan ruang dan waktu. Hal ini memperlihatkan bahwa pola struktur ruang dapat diidentifikasi melalui pendekatan yang bersifat non fisik dalam hal ini aktivitas masyarakatnya, yang secara langsung terkait juga dengan penggunaan ruang (space use).

Kota Medan memiliki luas wilayah 26.510 Ha dengan luas terbangun sekitar 16.435 Ha atau 62% dari luas wilayah Kota Medan, sedangkan ruang terbuka hijau yang dimiliki Kota Medan termasuk sempit, hal ini dikarenakan jumlah penduduk yang terus bertambah baik dari dalam kota itu sendiri maupun urbanisasi penduduk. Perkembangan Kota Medan yang sangat pesat dengan jumlah penduduk 2.121.053 jiwa pada akhir tahun 2009 (BPS Kota Medan, 2010). Pertumbuhan penduduk yang sangat pesat tersebut telah diikuti dengan pertambahan fasilitas perumahan tetapi tidak diikuti dengan penambahan RTH.

Saat ini, kota Medan hanya memiliki RTH sebesar 3 persen dari 30 persen (20 persen publik dan 10 persen privat) yang diamanatkan dalam Undang-Undang Penataan Ruang (UUPR) No. 26 Tahun 2007. Simanjuntak dan Hutabarat, (2011) Kota Medan diprediksi hanya mempunyai 795 hektar ruang terbuka hijau dari total


(25)

26.510 hektar luas Kota Medan atau sekitar 3 persen saja, dimana kondisi yang ada RTH Publik yang dimiliki sebagai asset Pemerintah Kota Medan untuk RTH Taman adalah 0,08% (Dinas Pertamanan Kota Medan, 2010). Sehingga perlu inovasi dalam pembangunan perkotaan untuk menciptakan RTH melalui pengembangan taman dan penataan saluran serta bantaran sungai.

Pemerintah Kota Medan masih belum memaksimalkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) karena masih banyak bangunan perumahan maupun hotel yang dibangun dekat sungai dan kurangnya taman kota, selain itu penyebab minimnya RTH di daerah perkotaan disebabkan oleh tidak tegasnya regulasi atau peraturan yang mengatur ketentuan penyediaan RTH, adanya permintaan yang tinggi dari masyarakat untuk membangun, pola pembangunan yang cenderung horizontal, dan hilangnya budaya menanam pohon dari masyarakat perkotaan. Apabila penyebab-penyebab tersebut dapat diperbaiki, diharapkan RTH akan semakin tersedia dalam jumlah yang maksimal dan nantinya masa depan perkotaan akan semakin terjamin.

Dengan dilakukan penelitian ini diharapkan dapat terungkap struktur ruang terhadap infrastruktur hijau di Kota Medan yang dilihat dari penataan ruang di Kota Medan. Pengetahuan mengenai pola ruang kota ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pemandu awal dalam langkah penataan kembali infrastruktur hijau Kota Medan sebagai antisipasi perencanaan dan pembangunan di Kota Medan pada masa yang akan datang agar dapat berkembang dengan optimal.


(26)

1.2.Perumusan Masalah

1. Bagaimana kecenderungan perkembangan kawasan terbangun di Kota Medan ? 2. Bagaimana pertumbuhan penduduk di masa yang akan datang dan daya dukung

(carryng capacity) wilayah di Kota Medan ?

3. Bagaimana prioritas program yang harus dilakukan untuk penerapan infrastruktur hijau di Kota Medan ?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Menganalisis kecenderungan perkembangan kawasan terbangun di Kota Medan. 2. Menganalisis pertumbuhan penduduk di masa yang akan datang dan menghitung

daya dukung (carryng capacity) wilayah di Kota Medan.

3. Menganalisis prioritas program yang harus dilakukan untuk penerapan infrastruktur hijau di Kota Medan.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai masukan bagi pemerintah Kota Medan dalam merumuskan kebijakan pengembangan infrastruktur hijau dalam perencanaan pembangunan kota.

2. Sebagai sarana pengembangan ilmu dan pengetahuan yang secara teori telah dipelajari di Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

3. Sebagai bahan pengembangan penelitian lebih lanjut yang sejenis dengan metode penelitian yang berbeda.


(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengembangan Kawasan Perkotaan

Menurut UU Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007, yang dimaksud kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Permasalahan utama pada kawasan perkotaan umumnya adalah konversi lahan, penyediaan infrastruktur, laju pertambahan penduduk yang pesat dan arus urbanisasi. Pembangunan yang menyebar secara tidak teratur adalah perluasan pembangunan dengan intensitas kepadatan yang rendah dengan memanfaatkan lahan-lahan yang sebelumnya tidak terbangun. Sebagai contoh di Amerika Serikat diperkirakan kehilangan 50 acre setiap jam untuk pembangunan suburban dan perluasan kota (Longman, 1998). Pembangunan yang menyebar tidak teratur ini menuntut pemerintah lokal untuk menyediakan pelayanan publik bagi komunitas di pemukiman yang baru dan seringkali pajak yang dibayarkan oleh masyarakat tidak mencukupi untuk pembangunan fasilitas tersebut. Sebagai perbandingan di Kota Prince William, Virginia, diperkirakan biaya untuk penyediaan pelayanan untuk pemukiman perumahan baru yang diambil dari pajak-pajak dan pungutan lainnya adalah sebesar $1,600 per rumah (Shear and Casey, 1996).


(28)

Dalam pengembangan kawasan yang berorientasi ekonomi, pusat-pusat kegiatan yang membentuk kota metropolitan membutuhkan jaringan infrastruktur yang dapat memberikan pelayanan terhadap aktivitas ekonomi yang ada dan menjadi kekuatan pembentuk struktur ruang pada kawasan tersebut. Konsep kota metropolitan merupakan suatu bentuk pemukiman berskala besar yang terdiri dari satu atau lebih kota besar dan kawasan yang secara keseluruhan terintegrasi, membentuk suatu system struktur ruang tertentu dengan satu atau lebih kota besar sebagai pusat dalam keterkaitan ekonomi, sosial dan lingkungan serta mempunyai kegiatan ekonomi jasa dan industri yang beragam (Dardak, 2007). Konsep pengembangan kawasan perkotaan harus dilakukan dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.

Daya dukung (Carrying capacity)

Pembatasan faktor ekologi diimplementasikan berdasarkan prinsip keseimbangan ekologis, dengan tujuan untuk menghitung berapa banyak kebutuhan ruang terbuka hijau agar tercipta keseimbangan ekologis (Zhang et al. 2007). Metode ini diimplementasikan untuk perencanaan sistem ruang terbuka hijau di Hanoi, berdasarkan analisis elemen-elemen kunci ekologis termasuk carrying capacity populasi, keseimbangan karbon-oksigen dan keseimbangan supply-demand sumber daya air. Carrying capacity populasi adalah jumlah penduduk terbesar yang dapat didukung oleh ekosistem untuk makanan dan energi berdasarkan kondisi produksi


(29)

yang tetap, produktivitas lahan, standar hidup dan kelayakan (Pham D.U.,Nobukazu N. 2007).

Konservasi lingkungan dan pembangunan berkelanjutan adalah konsep yang bertujuan untuk mencapai harmonisasi antara ekonomi dan lingkungan, dan mengelola kualitas lingkungan dengan pertumbuhan ekonomi yang baik. Konsep ini didasari asumsi bahwa lingkungan alami mempunyai batas untuk mendukung aktivitas manusia seperti variasi penggunaan lahan. Lebih dari itu, dikatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan akan memberikan pengaruh negate pada produktivitas ekonomi dan mengakibatkan polusi lingkungan yang meningkatkan biaya aktivitas ekonomi dan sebagai konsekuensinya membatasi pertumbuhan ekonomi. Maka, pengembangan kota harus dikontrol secara hati-hati dengan kapasitas lingkungan agar tetap sustain (Kyushik, O. et al. 2004).

Ekologis umumnya mempertimbangkan carrying capacity sebagai angka maksimum jumlah individu yang dapat didukung oleh lingkungan dan penurunan kemampuan wilayah dalam mendukung generasi yang akan datang (Chung, 1988). Perencanaan biasanya mendefinisikan carrying capacity sebagai kemampuan alami atau system yang dibuat oleh manusia untuk menampung pertumbuhan populasi atau pembangunan fisik dengan mempertimbangkan degradasi atau kerusakan (Schneider et al., 1978). Carrying capacity juga dikatakan sebagai kemampuan alam dan system buatan manusia untuk mendukung permintaan dari berbagai penggunaan dan mengikuti batasan alam dalam system yang akan datang dengan ketidak stabilan, degradasi atau kerusakan yang terjadi (Godschalk and Parker, 1975). Ilmu sosial


(30)

terpusat pada manusia, carrying capacity dapat juga didefinisikan sebagai skala ekonomi yang system alami dan wilayah dapat sustain (Seoul Development Institute, 1999).

Secara umum konsep carrying capacity wilayah perkotaan didefinisikan sebagai aktivitas manusia, pertumbuhan populasi, penggunaan lahan, pembangunan fisik, yang dapat berkelanjutan dengan lingkungan perkotaan tanpa menimbulkan degradasi dan kerusakan yang parah (Oh et al., 2002). Konsep ini didasari asumsi bahwa ada batasan lingkungan yang pasti bilamana terlampaui dapat menyebabkan kerusakan lingkungan alam yang parah (Kozlowski, 1990). Pendekatan konsep carrying capacity dapat berguna ketika batasan diidentifikasi untuk masa yang akan datang. Perbedaan kapasitas system sebagai acuan ke depan untuk pengelolaan fasilitas perkotaan seperti penyediaan air, pengolahan limbah dan transportasi (Oh, 1998).

2.2. Strktur Ruang

Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman, sistem jaringan serta sistem prasarana maupun sarana. Semua hal itu berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial-ekonomi yang secara hirarki berhubungan fungsional. Tata ruang merupakan wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik yang direncanakan ataupun tidak. Wujud struktural pemanfaatan ruang adalah susunan unsur-unsur pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan buatan yang


(31)

secara hirarkis dan struktural berhubungan satu dengan yang lainnya membentuk tata ruang.

Adapun elemen-elemen yang membentuk struktur ruang kota (Sinulingga, 2005) yaitu:

a. Kumpulan dari pelayanan jasa termasuk di dalamnya perdagangan, pemerintahan, keuangan yang cenderung terdistribusi secara berkelompok dalam pusat pelayanan.

b. Kumpulan dari industri sekunder (manufaktur) pergudangan dan perdagangan grosir yang cenderung untuk berkumpul pada suatu tempat.

c. Lingkungan permukiman sebagai tempat tinggal dari manusia dan ruang terbuka hijau.

d. Jaringan transportasi yang menghubungkan ketiga tempat di atas.

Bentuk struktur ruang kota apabila ditinjau dari pusat pelayanan (retail

1. Monocentric city

) terbagi menjadi tiga, yaitu (Sinulingga, 2005):

Monocentric city adalah kota yang belum berkembang pesat, jumlah penduduknya belum banyak, dan hanya mempunyai satu pusat pelayanan yang sekaligus berfungsi sebagai CBD (Central Bussines District).


(32)

Perkembangan kota mengakibatkan pelayanan oleh satu pusat pelayanan tidak efisien lagi. Kota-kota yang bertambah besar membutuhkan lebih dari satu pusat pelayanan yang jumlahnya tergantung pada jumlah penduduk kota. Fungsi pelayanan CBD diambil alih oleh pusat pelayanan baru yang dinamakan sub pusat kota (regional centre) atau pusat bagian wilayah kota. Sementara itu, CBD secara berangsur-angsur berubah dari pusat pelayanan retail (eceran) menjadi kompleks kegiatan perkantoran komersial yang daya jangkauan pelayanannya dapat mencakup bukan wilayah kota saja, tetapi wilayah sekeliling kota yang disebut juga wilayah pengaruh kota.

CBD dan beberapa sub pusat kota atau pusat bagian wilayah kota (regional centre) akan membentuk kota menjadi polycentric city atau cenderung seperti multiple nuclei city yang terdiri dari:

a. CBD, yaitu pusat kota lama yang telah menjadi kompleks perkantoran

b. Inner suburb (kawasan sekeliling CBD), yaitu bagian kota yang tadinya dilayani oleh CBD waktu kota belum berkembang dan setelah berkembang sebagian masih dilayani oleh CBD tetapi sebagian lagi dilayani oleh sub pusat kota

c. Sub pusat kota, yaitu pusat pelayanan yang kemudian tumbuh sesuai perkembangan kota

d. Outer suburb (pinggiran kota), yaitu bagian yang merupakan perluasan wilayah kegiatan kota dan dilayani sepenuhnya oleh sub pusat kota


(33)

e. Urban fringe (kawasan perbatasan kota), yaitu pinggiran kota yang secara berangsur-angsur tidak menunjukkan bentuk kota lagi, melainkan mengarah ke bentuk pedesaan (rural area)

3. Kota metropolitan

Kota metropolitan adalah kota besar yang dikelilingi oleh kota-kota satelit yang terpisah cukup jauh dengan urban fringe

Adapun model struktur ruang apabila dilihat berdasarkan pusat – pusat pelayanannya diantaranya:

dari kota tersebut, tetapi semuanya membentuk satu kesatuan sistem dalam pelayanan penduduk wilayah metropolitan.

1. Mono centered

Terdiri dari satu pusat dan beberapa sub pusat yang tidak saling terhubung antara sub pusat yang satu dengan sub pusat yang lain.

2. Multi nodal

Terdiri dari satu pusat dan beberapa sub pusat dan sub sub pusat yang saling terhubung satu sama lain. Sub sub pusat selain terhubung langsung dengan sub pusat juga terhubung langsung dengan pusat.

3. Multi centered

Terdiri dari beberapa pusat dan sub pusat yang saling terhubung satu sama lainnya.


(34)

Pada model ini tidak terdapat node sebagai pusat maupun sub pusat. Semua node memiliki hirarki yang sama dan saling terhubung antara yang satu dengan yang lainnya.

2.3. Infrastruktur Hijau

Kawasan perkotaan di Indonesia cenderung mengalami permasalahan yang tipikal, yaitu tingginya tingkat pertumbuhan penduduk terutama akibat arus urbanisasi sehingga menyebabkan pengelolaan ruang kota makin berat. Jumlah penduduk perkotaan yang tinggi dan terus meningkat dari waktu ke waktu tersebut akan memberikan implikasi pada tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang kota, sehingga penataan ruang kawasan perkotaan perlu mendapat perhatian yang khusus, terutama yang terkait dengan penyediaan kawasan hunian, fasilitas umum dan sosial serta ruang-ruang terbuka hijau publik (open spaces) di perkotaan. Lingkungan perkotaan hanya berkembang secara ekonomi, namun menurun secara ekologi. Padahal keseimbangan lingkungan perkotaan secara ekologi sama pentingnya dengan perkembangan nilai ekonomi kawasan perkotaan.

Menurunnya kuantitas dan kualitas ruang terbuka publik tersebut, baik berupa ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka non-hijau, telah mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan perkotaan seperti seringnya terjadi banjir di perkotaan, tingginya polusi udara dan meningkatnya kerawanan sosial (kriminalitas, tawuran antar warga), serta menurunnya produktivitas masyarakat akibat stress dan yang jelas berdampak kepada pengembangan wilayah kota tersebut.


(35)

Ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan merupakan bagian dari penataan ruang kota yang berfungsi sebagai kawasan hijau pertamanan kota, kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau kegiatan olahraga kawasan hijau dan kawasan hijau pekarangan.Ruang terbuka hijau adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur. Pemanfatan ruang terbuka hijau lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya tanaman seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan dan sebagainya.

Dalam konteks pembangunan wilayah perkotaan, pengembangan infrastruktur juga harus mengedepankan aspek kelestarian lingkungan dan secara bersamaan memperhatikan aspek ekonomi, sosial dan budaya yang ada. Sehingga pembangunan infrastruktur yang ada tidak memberikan dampak negatif kepada lingkungan maupun masyarakat yang ada di sekitarnya. Secara ekologis dan planologis, RTH dapat berfungsi sebagai infrastruktur hijau yang turut membentuk ruang-ruang kota yang harmonis untuk memenuhi kebutuhan ekologis dan keindahan kota maupun sebagai pembatas ruang secara planologis.

Ruang Terbuka Hijau dapat meningkatkan stabilitas ekonomi masyarakat dengan cara menarik minat wisatawan dan peluang-peluang bisnis lainnya, orang-orang akan menikmati kehidupan dan berbelanja dengan waktu yang lebih lama di sepanjang jalur hijau, kantor-kantor dan apartemen di areal yang berpohon akan disewakan serta banyak orang yang akan menginap dengan harga yang lebih tinggi dan jangka waktu yang lama, kegiatan dilakukan pada perkantoran yang mempunyai


(36)

banyak pepohonan akan memberikan produktifitas yang tinggi kepada para pekerja (Forest Service Publikations, 2003).

Ruang terbuka hijau, mempunyai mamfaat keseimbangan alam terhadap struktur kota. Ruang terbuka hijau janganlah dianggap sebagai lahan yang tidak efisien, atau tanah cadangan untuk pembangunan kota, atau sekedar program keindahan. Ruang terbuka hijau mempunyai tujuan dan manfaat yang besar bagi keseimbangan, kelangsungan, kesehatan, kenyamanan, kelestarian, dan peningkatan kualitas lingkungan itu sendiri (Hakim dan Utomo, 2004).

Pohon adalah simbol kehidupan. Penanaman pohon-pohon besar peneduh jalan dan taman secara teratur memberikan keteduhan kota dan jiwa warga kota ( PP RI No 30, 2005 ). Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Berdasarkan bobot kealamiannya, bentuk RTH dapat diklasifikasi menjadi:

a. bentuk RTH alami (habitat liar/alami, kawasan lindung) dan

b. bentuk RTH non alami atau RTH binaan (pertanian kota, pertamanan kota, lapangan olah raga, pemakaman).

Berdasarkan sifat dan karakter ekologisnya diklasifikasi menjadi: a. bentuk RTH kawasan (areal, non linear), dan


(37)

Berdasarkan penggunaan lahan atau kawasan fungsionalnya diklasifikasi menjadi:

a. RTH kawasan perdagangan, b. RTH kawasan perindustrian, c. RTH kawasan permukiman, d. RTH kawasan pertanian,

e. RTH kawasan-kawasan khusus, seperti pemakaman, hankam, olah raga, alamiah. Status kepemilikan RTH diklasifikasikan menjadi:

a. RTH publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan publik atau lahan yang dimiliki oleh pemerintah (pusat, daerah), dan

b. RTH privat atau non publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan milik privat.

2.4. Fungsi Ruang Terbuka Hijau

Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengembalikan kondisi lingkungan perkotaan yang rusak adalah dengan pembangunan ruang terbuka hijau kota yang mampu memperbaiki keseimbangan ekosistem kota. Upaya ini bisa dilakukan dengan cara membangun ruang terbuka hijau yang memiliki beranekaragam manfaat. Manfaat ruang terbuka hijau diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Identitas Kota

Jenis tanaman dapat dijadikan simbol atau lambang suatu kota yang dapat dikoleksi pada areal RTH. Propinsi Sumatra Barat misalnya, flora yang


(38)

dikembangkan untuk tujuan tersebut di atas adalah Enau (Arenga pinnata) dengan alasan pohon tersebut serba guna dan istilah pagar-ruyung menyiratkan makna pagar enau. Jenis pilihan lainnya adalah kayu manis (Cinnamomum burmanii), karena potensinya besar dan banyak diekspor dari daerah ini (Fandeli, 2004).

2. Nilai Estetika

Komposisi vegetasi dengan strata yang bervariasi di lingkungan kota akan menambah nilai keindahan kota tersebut. Bentuk tajuk yang bervariasi dengan penempatan (pengaturan tata ruang) yang sesuai akan memberi kesan keindahan tersendiri. Tajuk pohon juga berfungsi untuk memberi kesan lembut pada bangunan di perkotaan yang cenderung bersifat kaku. Suatu studi yang dilakukan atas keberadaan RTH terhadap nilai estetika adalah bahwa masyarakat bersedia untuk membayar keberadaan RTH karena memberikan rasa keindahan dan kenyamanan (Tyrväinen, 1998).

3. Penyerap Karbondioksida (CO2)

RTH merupakan penyerap gas karbon dioksida yang cukup penting, selain dari fito-plankton, ganggang dan rumput laut di samudera. Dengan berkurangnya kemampuan hutan dalam menyerap gas ini sebagai akibat menyusutnya luasan hutan akibat perladangan, pembalakan dan kebakaran, maka perlu dibangun RTH untuk membantu mengatasi penurunan fungsi RTH tersebut. Jenis tanaman yang baik sebagai penyerap gas Karbondioksida (CO2) dan penghasil oksigen adalah damar (Agathis alba), daun kupu-kupu (Bauhinia purpurea), lamtoro gung


(39)

(Leucaena leucocephala), akasia (Acacia auriculiformis), dan beringin (Ficus benjamina). Penyerapan karbon dioksida oleh RTH dengan jumlah 10.000 pohon berumur 16-20 tahun mampu mengurangi karbon dioksida sebanyak 800 ton per tahun (Simpson and McPherson, 1999).

4. Pelestarian Air Tanah

Sistem perakaran tanaman dan serasah yang berubah menjadi humus akan mengurangi tingkat erosi, menurunkan aliran permukaan dan mempertahankan kondisi air tanah. Pada musim hujan laju aliran permukaan dapat dikendalikan oleh penutupan vegetasi yang rapat, sedangkan pada musim kemarau potensi air tanah yang tersedia bisa memberikan manfaat bagi kehidupan di perkotaan. RTH dengan luas minimal setengah hektar mampu menahan aliran permukaan akibat hujan dan meresapkan air ke dalam tanah sejumlah 10.219 m3 setiap tahun (Urban Forest Research, 2002).

5. Penahan Angin

RTH berfungsi sebagai penahan angin yang mampu mengurangi kecepatan angin 75 - 80% (Hakim dan utomo, 2004). Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam mendesain RTH untuk menahan angin adalah sebagai berikut:

a. Jenis tanaman yang ditanam adalah tanaman yang memiliki dahan yang kuat. 1) Daunnya tidak mudah gugur oleh terpaan angin dengan kecepatan sedang 2) Memiliki jenis perakaran dalam.


(40)

4) Tinggi dan lebar jalur hutan kota cukup besar, sehingga dapat melindungi wilayah yang diinginkan.

b. Penanaman pohon yang selalu hijau sepanjang tahun berguna sebagai penahan angin pada musim dingin, sehingga pada akhirnya dapat menghemat energi sampai dengan 50 persen energi yang digunakan untuk penghangat ruangan pada pemakaian sebuah rumah. Pada musim panas pohon-pohon akan menahan sinar matahari dan memberikan kesejukan di dalam ruangan (Forest Service Publikations, Trees save energy, 2003).

6. Ameliorasi Iklim

RTH dapat dibangun untuk mengelola lingkungan perkotaan untuk menurunkan suhu pada waktu siang hari dan sebaliknya pada malam hari dapat lebih hangat karena tajuk pohon dapat menahan radiasi balik (reradiasi) dari bumi. Jumlah pantulan radiasi matahari suatu RTH sangat dipengaruhi oleh panjang gelombang, jenis tanaman, umur tanaman, posisi jatuhnya sinar matahari, keadaan uaca dan posisi lintang. Suhu udara pada daerah berhutan lebih nyaman dari pada daerah yang tidak ditumbuhi oleh tanaman. Selain suhu, unsur iklim mikro lain yang diatur oleh RTH adalah kelembaban.

Pohon dapat memberikan kesejukan pada daerah-daerah kota yang panas (heat island) akibat pantulan panas matahari yang berasal dari gedung-gedung, aspal dan baja. Daerah ini akan menghasilkan suhu udara 3-10 derajat lebih tinggi dibandingkan dengan daerah pedesaan. Penanaman pohon pada suatu areal akan


(41)

mengurangi temperatur atmosfer pada wilayah yang panas tersebut (Forest Service Publikations, 2003. Trees Modify Local Climate, 2003).

7. Habitat Hidupan Liar

RTH bisa berfungsi sebagai habitat berbagai jenis hidupan liar dengan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Hutan kota dapat menciptakan lingkungan alami dan keanekaragaman tumbuhan dapat menciptakan ekosistem lokal yang akan menyediakan tempat dan makanan untuk burung dan binatang lainnya (Forest Service Publikations, 2003. Trees Reduce Noise Pollution and Create Wildlife and Plant Diversity, 2003).

2.5. Ruang Terbuka Hijau Sebagai Acuan Perencanaan Tata Ruang

Pada dasarnya, penataan ruang bertujuan agar pemanfaatan ruang yang berwawasan lingkungan, pengaturan pemanfaatan ruang pada kawasan lindung dan budi daya dapat terlaksana, dan pemanfaatan ruang yang berkualitas dapat tercapai. Upaya penataan ruang juga dilakukan untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan pertumbuhan ekonomi dan pemerataannya.

Pengembangan tata ruang ditujukan untuk memberikan hasil yang sebesar besarnya dan bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat, pendekatan yang akan dikembangkan mencakup dua hal:

a. Pengaturan pemanfaatan ruang yang adil untuk masyarakat


(42)

Di dalam Undang-Undang Penataan Ruang Nomor 26 tahun 2007 pasal 29 ayat (2) dijelaskan bahwa proporsi 30 (tiga puluh) persen merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikrolimat, maupun sistem ekologis lain, yang selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estitika kota. Untuk lebih meningkatkan fungsi dan proporsi ruang terbuka hijau di kota, pemerintah, masyarakat, dan swasta didorong untuk menanam tumbuhan di atas bangunan gedung miliknya.

Tujuan perencanaan tata ruang wilayah kota adalah mewujudkan rencana tata ruang kota yang berkualitas, serasi dan optimal, sesuai dengan kebijaksanaan pembangunan daerah serta sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan kemampuan daya dukung lingkungan. Fungsi rencana tata ruang wilayah kota adalah:

1. Sebagai penjabaran dari rencana tata ruang provinsi dan kebijakan regional tata ruang lainnya.

2. Sebagai matra ruang dari pembangunan daerah.

3. Sebagai dasar kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah kota.

4. Sebagai alat untuk mewujudkan keseimbangan perkembangan antar wilayah kota dan antar kawasan serta keserasian antar sektor.

5. Sebagai alat untuk mengalokasikan investasi yang dilakukan pemerintah, masyarakat dan swasta.

6. Sebagai pedoman untuk penyusunan rencana rinci tata ruang kawasan. 7. Sebagai dasar pengendalian pemanfaatan ruang


(43)

8. Sebagai dasar pemberian izin lokasi pembangunan skala besar.

Lebih jauh, rencana tata ruang kota dipergunakan sebagai acuan dalam penyusunan maupun pelaksanaan program pembangunan di wilayah kota yang bersangkutan:

a. Bagi departemen/instansi pusat dan pemerintah provinsi, digunakan dalam penyusunan program-program dan proyek-proyek pembangunan lima tahunan dan tahunan secara terkoordinasi dan terintegrasi.

b. Bagi pemerintah kota, digunakan dalam penyusunan program-program dan proyek-proyek pembangunan lima tahunan dan tahunan di wilayah kota yang bersangkutan.

c. Bagi pemerintah kota dalam penetapan investasi yang dilaksanakan pemerintah, masyarakat dan swasta, digunakan sebagai acuan dalam perijinan pemanfaatan ruang serta pelaksanaan kegiatan pembangunan di wilayah kota.

Materi dalam rencana tata ruang kota memuat 3 (tiga) bagian utama yaitu: 1) Tujuan pemanfaatan ruang wilayah kota, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan kemanan, yang meliputi: a) Tujuan pemanfaatan ruang; b) Konsep pembangunan tata ruang kota dan c) Strategi pembangunan tata ruang

kota. 2) Rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah kota, yang meliputi: a) Rencana struktur tata ruang, yang berfungsi memberi arahan kerangka

pengembangan wilayah, yaitu: Rencana sistem kegiatan pembangunan, Rencana sistem permukiman perdesaan dan perkotaan dan Rencana sistem prasarana wilayah; b) Rencana pola pemanfaatan ruang, yang ditujukan sebagai penyebaran kegiatan


(44)

budidaya dan perlindungan. 3) Rencana umum tata ruang wilayah, meliputi: a) Rencana pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budidaya, b). Rencana

pengelolaan kawasan perkotaan, perdesaan dan kawasan tertentu, c) Rencana pembangunan kawasan yang diprioritaskan dan d) Rencana pengaturan penguasaan dan pemanfaatan serta penggunaan ruang wilayah.

2.6. Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah Kota

Pengendalian merupakan upaya-upaya pengawasan, pelaporan, evaluasi dan penertiban terhadap pengelolaan, penanganan dan intervensi sebagai implementasi dari strategi pengembangan tata ruang dan penatagunaan sumber daya alam, agar kegiatan pembangunan yang memanfaatkan ruang sesuai dengan perwujudan rencana tata ruang kota yang telah ditetapkan.

Berdasarkan uraian tersebut, maka rencana tata ruang merupakan suatu rencana yang mengikat semua pihak, yang berbentuk alokasi peruntukan ruang di suatu wilayah perencanaan. Rencana tata ruang dengan demikian merupakan keputusan publik yang mengatur alokasi ruang, dimana masyarakat, swasta dan pemerintah perlu mengacunya. Oleh karena itu, suatu rencana tata ruang akan dimanfaatkan untuk diwujudkan apabila dalam perencanaannya sesuai dan tidak bertentangan dengan kehendak seluruh pemanfaatnya serta karakteristik dan kondisi wilayah perencanaannya, sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam pemanfaatan ruang bagi para pemanfaatnya.


(45)

Rahayu (2005) dalam penelitiannya Studi Persepsi terhadap Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kenyaman Kawasan Simpang Lima Sebagai Ruang Terbuka Publik” menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif yang akan disajikan dengan tabel distribusi frekuensi. Hasil temuan studi yang diperoleh memperlihatkan tingkat kenyamanan di ruang terbuka publik Kawasan Simpang Lima Semarang masih kurang dan tingkat kenyamanan ini sangat dipengaruhi olah faktor pendukung yang ada. Pengunjung yang berkunjung ke tempat ini mempunyai tujuan yang berbeda dan hal ini menunjukkan fungsi ruang terbuka yang semakin komplek dan sangat dibutuhkan keberadaannya bagi masyarakat kota. Untuk itu maka sangat penting kiranya bagi pemerintah kota untuk meningkatkan fasilitas dan kondisi yang lebih baik untuk menunjang kenyamanan ruang terbuka publik. Di samping itu juga perlu adanya kesadaran masyarakat untuk memelihara dan menjaga keberadaan ruang terbuka baik dari segi fisik (fasilitas) maupun non fisik.

Tinambunan (2006) dalam penelitiannya ‘Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Kota Pekanbaru” menggunakan metode deskriptif dan overlay GIS menyimpulkan bahwa Kawasan terbuka hijau di Kota Pekanbaru berjumlah 12.790,73 hektar. Kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan luas wilayah berjumlah 25.290,4 hektar. Terdapat kekurangan ruang terbuka hijau sekitar 12.499,67 hektar. Sesuai dengan luas kawasan hijau yang ditetapkan 40 persen dari luas wilayah belum mencukupi. Ruang terbuka hijau yang ditetapkan hanya berjumlah 16,83 persen. Seluruh Kecamatan di Kota Pekanbaru masih kekurangan ruang terbuka hijau berdasarkan luas wilayah. Kekurangannya masing-masing adalah Kecamatan


(46)

Pekanbaru Kota dengan luas 90 hektar, Senapelan 266 hektar, Limapuluh 162 hektar, Sukajadi 204 hektar, Sail 130 hektar, Rumbai 5.305, 47 hektar, Bukit Raya 2.206,56 hektar, dan Tampan 4.135,24 hektar. Kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk terdapat 6 kecamatan yang belum memenuhi syarat. Kekurangan ruang terbuka hijau pada kecamatan tersebut adalah Pekanbaru Kota 122,27 hektar, Senapelan 145,94 hektar, Limapuluh 164,62 hektar, Sukajadi 246,34 hektar, Sail 86,26 hektar, dan Tampan 390,95 hektar. Kecamatan Rumbai dan Bukit Raya masih mencukupi.

Utami (2010) dalam penelitiannya Analisis Kebutuhan Taman Pemakaman Umum sebagai Pendukung Ruang Terbuka Hijau di Kota Medan, menggunakan metode pedoman pemerintah yang ada, metode angka kematian kasar, dan metode angka harapan hidup menunjukkan bahwa pengadaan TPU oleh Pemerintah Kota Medan sangat mendesak. Jumlah luasan yang dihasilkan berbeda secara signifikan berdasarkan ketiga metode tersebut. Penelitian ini menyimpulkan bahwa penggunaan metode perhitungan Taman Pemakaman Umum dengan melalui Angka Kematian Kasar dianggap sesuai dilaksanakan di Kota Medan karena mewakili angka kematian yang sesungguhnya.

2.8. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini didasari oleh permasalahan utama semakin berkurangnya lahan-lahan alami di Kota Medan yang berubah menjadi kawasan terbangun. Peningkatan luasan kawasan terbangun akan mengurangi luasan ruang terbuka. Kecendrungan


(47)

pertumbuhan kota dan populasi penduduk akan mengakibatkan kebutuhan ruang terbangun meningkat. Kondisi ini akan diprediksi dengan melihat tren jumlah penduduk dan kawasan terbangun untuk masa yang akan datang. Hal tersebut menentukan kebutuhan luasan infrastruktur hijau minimal yang harus ada. Di sisi lain, ruang terbuka yang ada saat ini merupakan wilayah yang berpotensi untuk ditingkatkan sebagai infrastruktur hijau. Melalui identifikasi karakteristik wilayah akan diperoleh gambaran kondisi ruang terbuka saat ini. Penelitian ini disusun dalam suatu kerangka pikir sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut:

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Kota Medan

Prioritas Program Infrastruktur Hijau Kota Medan Pertambahan Penduduk Pesat

Ruang Terbangun Terus Bertambah

Ruang Terbuka Berkurang

Pembangunan aspek lingkungan tidak seimbang


(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di wilayah administrasi Kota Medan.

3.2. Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan bahan yang dipergunakan antara lain adalah: software pengolahan data citra dan GIS (Arc View), peta citra tahun 2005, tahun 2009, peta-peta tematik, GPS, kuisioner dan kamera digital.

3.3. Metode Penelitian

Identifikasi kondisi ruang terbuka dilakukan dengan analisis foto udara, peta-peta tematik dan data-data statistik. Hasil analisis ini berupa: sebaran, proporsi dan penggunaan ruang terbuka hijau.

Analisis trend perkembangan penduduk dan ruang terbangun dilakukan dengan analisis saturation model menggunakan model lung logistik dan analisis citra multitemporal. Selain itu juga dilakukan perhitungan terhadap keseimbangan pembiayaan pembangunan infrastruktur. Analisis tersebut untuk memperoleh gambaran kebutuhan infrastruktur hijau minimal yang harus ada pada masa yang akan datang.

Kedua analisis tersebut di atas, selanjutnya dipadukan untuk mengantisipasi kebutuhan infrastruktur hijau di masa yang akan datang dengan memanfaatkan


(49)

potensi ruang terbuka yang ada pada saat ini. Penyusunan rencana infrastruktur hijau dilakukan dengan analisis: foto citra landsat dan LQ.

Kemudian dilakukan pengumpulan pendapat para stakeholder untuk mencari alternatif prioritas program yang dikehendaki sebagai strategi penerapan infrastruktur hijau yang terbaik. Hal ini dilakukan dengan menggunakan teknik analisis hirarki proses.

3.3.1. Analisis Trend

Pertama, dilakukan analisis trend ruang terbangun. Analisis tersebut menggunakan hasil interpretasi citra satelit untuk beberapa tahun (multitemporal) berdasarkan hasil penelitian Radnawati (2005), dengan maksud untuk menghitung jumlah luasan lahan terbuka yang terkonversi menjadi ruang terbangun sebagai konsekuensi dilakukan pembangunan.

Penghitungan dilakukan dengan menggunakan model pertumbuhan logistik (saturation model) dengan rumus:

Pt+q = _____k_____ 1 + 10 (α+βt)

Di mana:

t = X3-X2=X2-X1

β = 1/t (Log(Y1(Y3-Y2)/Y3(Y2-Y1)) α = Log ((Y1-Y2)/(10βtY2-Y1)) k = Y1(1+10α)

X1,X2,X3 = tahun ke n

Y1,Y2,Y3 = luas lahan terbangun tahun ke n t = selisih tahun pengambilan data

q = selisih antara tahun ke n dengan tahun awal Pt+q = prediksi lahan terbangun tahun ke n (ha) Data tahun 2001,2005, 2009,


(50)

Asumsi yang digunakan bahwa luas kawasan terbangun maksimal adalah sebesar 70% dari luas total wilayah (sesuai dalam peraturan UUPR No.26 Tahun 2007). Luas tersebut bisa dikatakan sebagai carrying capacity wilayah, sehingga diharapkan pembangunan fisik tidak melebihi batas luasan itu. Selanjutnya dihitung nilai α dengan menggunakan rumus di atas dengan nilai k (carrying capacity) diketahui yaitu luas total wilayah dikali 70%. Demikian juga dengan nilai β dihitung dengan menurunkan dari rumus setelah diketahui nilai α. Sehingga dapat diperoleh persamaan model pertumbuhan logistik sesuai rumus di atas. Perhitungan diatas dilakukan dengan bantuan software pengolahan data.

Kedua yang dilakukan adalah analisis trend jumlah penduduk. Analisis trend dilakukan dengan menggunakan data-data statistik Kota Medan beberapa tahun terakhir dengan menggunakan model saturation, yaitu model dugaan untuk jangka panjang atau biasa dikenal dengan model Lung Logistik (Warpani,1980). Model ini merupakan modifikasi dari model eksponensial dan dianggap paling sesuai untuk menggambarkan trend perkembangan penduduk di negara berkembang. Nilai k dari model tersebut juga menggambarkan daya dukung wilayah (carrying capacity). Rumus yang digunakan menurut Wibisono (2007) adalah:

Pt + q = ____k______ 1 + 10 (α+βt)

dimana: t = X3 – X2 = X2-X1

β = 1/t (Log(Y1(Y3-Y2)/Y3(Y2-Y1)) α = Log (Y1-Y2)/(10βtY2-Y1)) k = Y1(1 + 10 α)

X1,X2,X3 = tahun ke n


(51)

t = selisih tahun pengambilan data

q = selisih antara tahun ke n dengan tahun awal Pt+q = prediksi jumlah penduduk tahun ke n (jiwa) Data tahun 2003-2009, X1=2003, X2=2006, X3=2009

Ketiga, dilakukan perhitungan keseimbangan pembiayaan pembangunan infrastruktur. Infrastruktur dipisahkan menjadi infrastruktur yang bersifat fisik (grey infrastructure) dan infrastruktur lingkungan (green infrastructure). Analisis tersebut akan memberikan perbandingan pembiayaan yang dikeluarkan pemerintah daerah Kota Medan untuk kedua infrastruktur tersebut berdasarkan APBD Kota Medan.

3.3.2. Identifikasi Kondisi Eksisting

Identifikasi dilakukan dengan menggunakan foto udara, dan data statistik. Obyek-obyek yang terdapat pada peta-peta tematik dan data statistik diidentifikasi dan dideliniasi pada foto udara dengan menggunakan software-software pengolahan data Sistem Informasi Geografis (SIG), seperti: Arc View, Hasil identifikasi berupa peta sebaran, distribusi, proporsi, luas dan penggunaan ruang terbuka.

3.3.3. Penyusunan Rencana Infrastruktur Hijau

Analisis Location Quotient (LQ) dimaksudkan untuk mengetahui pusat-pusat pelayanan lingkungan, dalam hal ini mengidentifikasi infrastruktur hijau yang ada di Kota Medan berdasarkan data statistik. Selanjutnya ditentukan hirarki pelayanan lingkungan dengan melihat ada dan tidaknya infrastruktur lingkungan di wilayah tertentu dengan menggunakan data statistik pada buku Medan Dalam Angka.

Menurut Warpani (1980), perhitungannya dengan menggunakan rumus sebagai berikut:


(52)

LQ = Si/Ni = Si/S S/N Ni/N

Di mana: Si = jumlah fasilitas lingkungan di daerah i S = jumlah seluruh fasilitas di daerah i

Ni = jumlah fasilitas lingkungan di seluruh Kota Medan N = jumlah seluruh fasilitas di wilayah Kota Medan

Hal ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan suatu daerah dalam sektor tertentu. Kesimpulan yang diperoleh baru merupakan kesimpulan sementara yang masih harus dikaji dan ditilik kembali menggunakan teknik analisis yang lain.

Analisis skalogram digunakan untuk mengetahui hirarki wilayah dan menentukan daerah yang menjadi daerah layanan dari infrastruktur yang ada serta dapat diketahui jumlah dan jenis infrastruktur yang ada.

Skalogram yang digunakan adalah yang sederhana tanpa pembobotan. Hirarki wilayah ditentukan oleh jumlah dan jenis fasilitas lingkungan yang ada di wilayah tertentu. Analisis ini dimaksudkan untuk membantu identifikasi karakteristik wilayah, sehingga diketahui wilayah mana yang memiliki potensi berkembangnya suatu jenis fasilitas lingkungan atau wilayah mana yang menjadi pusat fasilitas lingkungan. Kawasan konservasi air diperoleh dari hasil penelitian Radnawati (2005) dengan mempertimbangkan faktor-faktor: curah hujan, penggunaan lahan, lereng, jenis tanah dan geologi. Hasil analisis ini diperoleh kawasan konservasi air dengan kriteria sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Wilayah terpilih untuk pengembangan infrastruktur hijau adalah wilayah dengan criteria sangat tinggi yang merupakan ruang terbuka dengan luasan yang signifikan dan kompak.


(53)

Hasil tersebut selanjutnya ditelaah kembali dengan menggunakan foto udara untuk memperoleh wilayah-wilayah yang layak untuk dijadikan kawasan konservasi air dan terintegrasi dengan sistem infrastruktur hijau yang akan dibuat.

Selanjutnya, dilakukan analisis melalui foto udara untuk menentukan obyek-obyek yang berpotensi sebagai Hubs dan Links. Selain menggunakan peta citra tahun 2005 dan 2009, analisis ini juga didukung oleh peta-peta tematik lainnya seperti: Peta Penggunaan Lahan, dan Peta RTRW Kota.

Analisis tersebut menggunakan software-software pengolahan data penginderaan jauh SIG, seperti: Arc View, dan lain-lain. Untuk mengidentifikasi penutupan lahan, sebaran, luasan dan sebagainya yang berkaitan dengan perhitungan dan pembuatan peta-peta.

Penentuan elemen-elemen infrastruktur hijau berdasarkan standar luasan dan letak menurut English Nature Greenspaces (Davies et al.2006) adalah:

1. Paling sedikit terdapat ruang terbuka seluas 2 Ha untuk jarak 300 meter dari lokasi pemukiman.

2. Paling sedikit terdapat ruang terbuka hijau seluas 2 Ha per 1000 jiwa penduduk. 3. Paling sedikit terdapat satu buah ruang terbuka seluas 20 Ha dengan jarak 2 Km

dari pemukiman.

4. Paling sedikit terdapat satu buah ruang terbuka seluas 100 Ha dengan jarak 5 Km dari pemukiman.

5. Paling sedikit terdapat satu buah ruang terbuka seluas 500 Ha dengan jarak 10 Km dari pemukiman.


(54)

6. Ruang terbuka yang berdekatan saling terhubung, sedangkan prioritas dan pengembangan ditentukan oleh perencanaan dan stakeholder di tingkat lokal. Kriteria yang digunakan dalam penentuan elemen-elemen infrastruktur hijau adalah:

1. Konteks: kebutuhan, keinginan, aspirasi dan masalah dari kelompok atau individu sebagai pertimbangan untuk melakukan konservasi, merubah atau membangun.

2. Kualitas: berdasarkan standar kecukupan dan kenyamanan pelayanan lingkungan yang diberikan.

3. Interaksi: mempunyai multi fungsi sebagai network yang bersinergis antara supply dan demand.

Selain itu syarat suatu area ditetapkan sebagai hub adalah area yang terikat dalam network infrastruktur hijau dan memberikan tempat atau persinggahan untuk kehidupan liar dan tempat berlangsungnya proses-proses ekologi. Hubs dapat dalam bentuk apa saja dengan berbagai ukuran, dengan klasifikasi sebagai berikut (Williamson, K. 2003):

a. Cadangan alami (Reserves), yaitu areal konservasi yang luas seperti Taman Nasional, taman yang dikelola oleh pemerintah, dan daerah perlindungan satwa liar.

b. Lanscape alami yang ditata (Manage native lanscapes), yaitu lahan milik yang dimanfaatkan oleh orang banyak, seperti hutan negara atau hutan kota, dikelola untuk ekstraksi sumberdaya alam dan nilai rekreasi.


(55)

c. Lahan untuk kegiatan usaha (Working Lands), seperti: pertanian pada tanah milik, hutan, lading penggembalaan yang dikelola untuk produksi komoditi yang didominasi oleh kawasan yang tidak dibangun.

d. Taman-taman kota dan kawasan lindung (Parks and open space area), dalam jumlah yang lebih kecil menyebar sebagai ekologi wilayah yang penting, termasuk taman rekreasi, lapangan golf.

e. Lahan terbuka yang dalam kondisi rusak, tanah terbuka, lahan bekas pertambangan, dan semak (Recycled Lands) yang dapat diperbaiki untuk menyediakan pelayanan lingkungan yang lebih baik.

Penentuan suatu area sebagai Hubs sangat tergantung oleh tujuan yang ingin diperoleh masyarakat kota. Karena itu ukuran dan criteria Hubs sangat ditentukan oleh fungsi minimum yang diberikan area tersebut, hasil dari studi secara ilmiah yang spesifik. Misalnya berapa luas area dan kondisi biogeofisik yang diperlukan untuk mendapatkan kualitas air yang baik, kualitas udara yang baik, atau habitat yang sesuai untuk burung, dan lain-lain. Pada penelitian ini analisis kecukupan elemen infrastruktur hijau (hubs) menggunakan standar luas area yang diacu dari English Nature Greenspaces melalui teknik analisis buffering.

Secara umum syarat bagi masing-masing hubs menurut tujuannya adalah:

a. Hubs konservasi keanekaragaman hayati: memiliki kekayaan jenis tumbuhan atau satwa liar yang spesifik dan langka.

b. Hubs konservasi air: berdasarkan analisis biogeofisik wilayah tersebut sangat penting untuk menjaga kestabilan proses hidrologi dan tata air.


(56)

c. Hubs cadangan air: memiliki kantung-kantung penyimpanan air berupa danau, waduk, situ, rawa atau lainnya dan wilayah yang melindunginya.

d. Hubs taman kota: memiliki karakteristik alami yang ditata secara baik dengan perpaduan unsur-unsur alami dan buatan yang dapat melayani penduduk kota. e. Hubs olahraga alam terbuka: wilayah yang didominasi unsur alami dan berfungsi

sebagai sarana olah raga di alam terbuka.

f. Hubs pengembangan pertanian: wilayah yang berkaitan dengan kegiatan pertanian secara luas yang didominasi oleh lahan terbuka.

g. Hubs restorasi lahan: merupakan lahan-lahan terbuka yang rusak atau terdegradasi yang dapat dikembangkan untuk memberikan layanan lingkungan bagi masyarakat kota.

h. Hubs kawasan budaya dan rekreasi: kawasan untuk kegiatan budaya yang didominasi unsur-unsur alam dan berfungsi juga sebagai tempat rekreasi alam terbuka.

Sedangkan syarat sebagai Links, merupakan koridor alam yang menghubungkan sistem ekologi secara terintegrasi dan dapat membuat network infrastruktur hijau berfungsi, yang dibatasi oleh ukuran, fungsi dan kepemilikan, dengan klasifikasi sebagai berikut (Williamson, K. 2003):

a. Koridor konservasi (Conservation Corridor), dengan jumlah yang lebih kecil dan menyebar secara linear pada kawasan lindung/konservasi seperti: sungai, koridor irigasi yang memberikan keuntungan biologis untuk hidupan liar dan rekreasi.


(57)

b. Jalur hijau (Green Belts), koridor yang dilindungi dari lahan yang dikelola untuk konservasi sumber daya alam atau penggunaan untuk rekreasi, lahan alami atau lahan untuk suatu kegiatan yang dilindungi yang memberikan layanan sebagai framework untuk pembangunan dan sekaligus juga perlindungan ekosistem alam atau lahan pertanian, atau batas desa dan kota.

c. Hubungan-hubungan lanskap areal alami yang dilindungi dan menghubungkan taman-taman yang ada, kawasan lindung atau areal alami lainnya, dan menyediakan lahan yang cukup bagi tumbuhan dan hewan secara alami untuk tumbuh dan berkembang sebagai koridor yang menghubungkan ekosistem dan lanskap.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah secara prinsip rencana infrastruktur yang dibuat harus mempertimbangkan bagaimana untuk meningkatkan kualitas lingkungan, kualitas hidup dan kualitas lokasi dengan memusatkan perhatian pada ruang terbuka hijau, links dan network ruang terbuka tersebut. Selain itu juga pertimbangan bagaimana mengantisipasi tekanan pembangunan dan implikasi skenario pembangunan pada ruang terbuka eksisting, akses ruang terbuka dan infrastruktur hijau yang lebih luas.

3.3.4. Prioritas Program untuk Penerapan Rencana Infrastruktur Hijau

Prioritas program yang akan dilakukan memerlukan pemikiran yang terfokus dari beberapa pilihan kegiatan yang ada dengan menggunakan teknik analisis hirarki proses (AHP) menggunakan software Expert Choice. Sehingga dari pilihan yang


(58)

banyak dapat ditentukan program atau kegiatan prioritas yang harus dilakukan agar rencana infrastruktur dapat diterapkan.

Responden yang dipilih terdiri atas beberapa latar belakang pekerjaan dan pendidikan serta yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan di wilayah tersebut. Dipilih 10 orang responden dari kalangan: pejabat pemerintah 2 (dua) orang, tokoh masyarakat 2 (dua) orang, akademisi/pakar 2 (dua) orang, pengelola kawasan terbuka 2 (dua) orang dan pengembang 2 (dua) orang.

Pada penelitian ini dilakukan analisis dengan teknik AHP dengan membuat pohon alternatif dan menentukan tiga kriteria dan tiga alternatif program yang diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan pejabat terkait yang mengelola masalah lingkungan hidup di Kota Medan, seperti pada Gambar 3.1 berikut:

Gambar 3.1. Struktur Analisis Hirarki Proses

Prinsip dari analisis ini adalah membandingkan dua pilihan alternatif secara berpasangan. Hasil pemilihan alternatif tersebut kemudian dihitung rata-rata nilai

Penerapan Rencana Infrastruktur Hijau

Menyediakan Anggaran

Menegakkan Peraturan Anggaran

Meningkatkan Kesadaran Masyarakat

Melakukan Revegetasi

Melakukan


(59)

perbandingannya untuk masing-masing alternatif. Nilai yang paling besar adalah prioritas alternatif yang dipilih dan dihitung juga konsistensi jawaban responden. Skala perbandingan disajikan pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Skala Perbandingan Secara Berpasangan

Intensitas Definisi Penjelasan

1 Kedua elemen sama

pentingnya

Dua elemen memberikan kontribusi yang sama kepada tujuan

3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dari elemen yang lain

Pengalaman dan penilaian sedikit mendukung satu elemen yang lainnya

5 Elemen yang satu lebih

penting dari elemen yang lain

Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibanding elemen lain

7 Satu elemen mutlak lebih penting dari elemen lainnya

Satu elemen dengan kuat didukung dan dominan terlihat dalam praktek

9 Satu elemen sangat mutlak lebih penting daripada elemen lainnya

Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan

2,4,6,8 Nilai-nilai di antara dua penilaian pertimbangan yang berdekatan

Nilai ini diberikan bila dua kompromi di antara dua pilihan

Kebalikan Jika untuk aktivitas I mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikan bila dibandingkan dengan i Sumber: Saaty, 1993


(60)

BAB IV

DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN

4.1. Kondisi Geografis Kota Medan

Sebagai salah satu daerah otonom dengan status kota, maka kedudukan, fungsi dan peranan Kota Medan cukup penting dan strategis baik secara regional maupun nasional. Bahkan sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara, Kota Medan sering digunakan sebagai barometer dan tolok ukur dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa maka secara geografis, Kota Medan memiliki kedudukan strategis sebab berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian Utara sehingga relatif dekat dengan kota-kota/negara yang lebih maju seperti Pulau Penang, Kuala Lumpur Malaysia dan Singapura.

Berdasarkan pertimbangan dinamika pembangunan kota, luas wilayah administrasi Kota Medan telah melalui beberapa kali perubahan. Pada tahun 1951, Walikota Medan mengeluarkan Maklumat Nomor 21 Tanggal 29 September 1951 yang menetapkan luas Kota Medan menjadi 5.130 Ha yang meliputi 4 kecamatan dengan 59 kelurahan.Maklumat Walikota Medan dikeluarkan menyusul keluarnya Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 66/III/PSU tanggal 21 September 1951 agar daerah Kota Medan diperluas menjadi 3 (tiga) kali lipat.


(61)

Melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1973, Kota Medan kemudian mengalami pemekaran wilayah menjadi 26.510 Ha yang terdiri dari 11 kecamatan dengan 116 kelurahan. Kemudian, berdasarkan luas administrasi yang sama maka melalui Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri Nomor 140/2271/PUOD tanggal 5 Mei 1986 ditetapkan pemekaran kelurahan menjadi 144 kelurahan.

Selanjutnya, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara Nomor 140.22/2772.K/1996 tanggal 30 September 1996 tentang pendefinitipan 7 kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1992 tentang Pembentukan Beberapa Kecamatan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan dimekarkan kembali menjadi 21 kecamatan dengan 151 kelurahan dan 2.001 lingkungan. Kecamatan Medan Labuhan memiliki luas walayah terbesar yaitu 3.667 Ha (13,83% dari total luas wilayah Kota Medan) dan Kecamatan Medan Belawan merupakan daerah yang memiliki luas terbesar kedua yaitu seluas 2.625 Ha (9,90% dari luas wilayah kota Medan), sedangkan Kecamatan Medan Sunggal memiliki luas wilayah terkecil yaitu seluas 298 Ha (1% dari total luas wilayah kota Medan). Luas Kota Medan menurut Kecamatan dapat dilihat pada Tabel 4.1 dan Peta administrasi Kota Medan dapat dilihat seperti pada Gambar 4.1.


(62)

Tabel 4.1. Luas Wilayah Kota Medan Menurut Kecamatan

No Kecamatan Luas Persentase

1. Medan Belawan 2.625 9,90

2. Medan Marelan 2.382 8,99

3. Medan Labuhan 3.667 13,83

4. Medan Tuntungan 2.068 7,80

5. Medan Amplas 1.119 4,22

6. Medan Baru 584 2,20

7. Medan Deli 2.084 7,86

8. Medan Denai 905 3,41

9. Medan Sunggal 1.544 5,82

10. Medan Johor 1.458 5,50

11. Medan Area 552 2,08

12. Medan Kota 527 1,99

13. Medan Maimun 298 1,12

14. Medan Polonia 901 3,40

15. Medan Selayang 1.281 4,83

16. Medan Helvetia 1.316 4,96

17. Medan Petisah 682 2,57

18. Medan Barat 533 2,01

19. Medan Timur 776 2,93

20. Medan Perjuangan 409 1,54

21. Medan Tembung 799 3,01

26.510 100,00


(63)

(64)

Sumber: RTRW Kota Medan Tahun 2010 – 2030


(65)

Secara astronomis Kota Medan terletak pada posisi 3°30’ – 3°43’ Lintang Utara dan 98°35’ – 98°44’ Bujur Timur dengan luas wilayah 265,10 km2

Di samping itu, Kota Medan berada pada ketinggian 2,5 – 37,5 meter di atas permukaan laut dan secara administratif mempunyai batas wilayah sebagai berikut:

. Sebagian besar wilayah Kota Medan merupakan dataran rendah dengan topografi yang cenderung miring ke Utara dan menjadi tempat pertemuan 2 sungai penting, yaitu sungai Babura dan sungai Deli.

Sebelah Utara : Kabupaten Deli Serdang dan Selat Malaka Sebelah Selatan : Kabupaten Deli Serdang

Sebelah Barat : Kabupaten Deli Serdang Sebelah Timur : Kabupaten Deli Serdang

4.2. Gambaran Umum Demografis Kota Medan

Masyarakat Kota Medan merupakan masyarakat yang memiliki kemajemukan meliputi unsur agama, suku, etnis budaya dan adat istiadat. Kehidupan yang penuh kemajemukan tersebut dapat berjalan cukup baik dan harmonis yang dilandasi rasa kebersamaan dan saling toleransi serta memiliki rasa kekeluargaan yang cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa karakter masyarakat Kota Medan memiliki sifat keterbukaan dan siap menerima perubahan konstruktif dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat.


(66)

Berdasarkan data BPS Kota Medan (Tabel 4.2) diketahui ada peningkatan jumlah penduduk Kota Medan dari 2.036.185 jiwa pada tahun 2005 menjadi 2.067.288 jiwa pada tahun 2006. Pada tahun 2007 penduduk Kota Medan berjumlah 2.083.156 jiwa meningkat menjadi 2.102.105 jiwa pada tahun 2008 dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,91%. Sedangkan pada tahun 2009, jumlah penduduk Kota Medan meningkat menjadi 2.121.053 jiwa atau tumbuh sebesar 0,90% dari tahun sebelumnya. Dilihat dari laju pertumbuhannya, penduduk Kota Medan mengalami pertumbuhan yang fluktuatif. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor alami, seperti tingkat kelahiran, kematian dan arus urbanisasi. Jumlah dan laju pertumbuhan peduduk Kota Medan tahun 2007 – 2009 dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Medan Tahun 2007-2009

Indikator Tahun

2005 2006 2007 2008 2009

Jumlah Penduduk

(Orang)

2.036.185 2 067 288 2.083.156 2.102.105 2.121.053

Laju Pertumbuhan Penduduk (%)

1,49 1,52 0,77 0,91 0,90

Sumber: BPS Kota Medan, 2010

Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk Kota Medan dari tahun ke tahun maka rasio kepadatan penduduk Kota Medan juga mengalami peningkatan dikarenakan luas wilayah Kota Medan yang tidak mengalami perubahan (tetap). Rasio kepadatan penduduk Kota Medan mengalami peningkatan dari 7.681 jiwa/Km2 pada tahun 2005 menjadi 7.798 jiwa/Km2 pada tahun 2006. Pada tahun 2007


(67)

kepadatan penduduk Kota Medan 7.858 jiwa/Km2 pada tahun 2007 menjadi 7.929 jiwa/Km2 pada tahun 2008 dan meningkat kembali menjadi 8.001 jiwa/Km2

Tabel 4.3. Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Kota Medan Tahun 2007-2009

pada tahun 2009. Dilihat dari rasio kepadatan penduduk tersebut maka kepadatan penduduk Kota Medan relatif termasuk tinggi sehingga untuk masa mendatang menjadi salah satu tantangan demografi yang harus diantisipasi. Oleh karena itu, kecenderungan semakin menyempitnya luas lahan berpeluang terjadinya ketidakseimbangan antara daya dukung dan daya tampung lingkungan yang ada. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Indikator Tahun

2005 2006 2007 2008 2009

Luas Wilayah (km2

265,1 )

265,1 265,1 265,1 265,1

Kepadatan Penduduk

7.681 7.798 7.858 7.929 8.001


(68)

Sumber: RTRW Kota Medan Tahun 2010 – 2030


(69)

4.3. Pola Penggunaan Lahan

Lahan di Kota Medan pada umumnya dimanfaatkan untuk pemukiman. Penggunaan lahan untuk kawasan terbangun seperti perumahan dan permukiman, perdangan dan jasa, perkantoran dan fasilitas umum lainnya hampir tersebar di seluruh wilayah Kota Medan.

Peta Guna Lahan Kota Medan memperlihatkan bahwa Guna Lahan Kota Medan terdiri dari 10 (sepuluh) jenis, yaitu perumahan dan kegiatan terkait, lahan industri, lahan jasa, lahan perusahaan, sawah, kebun campuran, hutan rawa, tegalan, dan lahan kosong diperuntukan. Peta eksisting Kota Medan dapat dilihat pada Gambar 4.3. berikut:


(70)

Sumber: RTRW Kota Medan Tahun 2010 – 2030


(71)

4.4. Kawasan Ruang Terbuka Hijau

Penggunaan lahan untuk kawasan ruang terbuka hijau tersebar diwilayah Kota Medan berupa hutan bakau, sempadan sungai (Sungai Deli, Sungai Babura dan Sungai Belawan), kawasan Bandara Polonia, Kebun Binatang, Kampus USU, dan Kuala Bekala, kawasan Medan Tungungan dan kawasan Medan Johor. Kawasan terbuka hijau tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya.

Pekembangan kota Medan yang sangat cepat dan dinamis menyebabkan beberapa bagian kota memiliki daya tarik tersendiri. Koridor jalan Sisingamangaraja, koridor jalan Brijend Katamso – jalan Pemuda – jalan Kesawan dan jalan Balai Kota sebagai kawasan preservasi dan Konservasi untuk pariwisata sejarah kota. Namun dengan adanya intrusi dan inovasi pengaruh-pengaruh baru seperti adanya Mall, Restaurant, Cafe, Hiburan Malam, dibeberapa ruas jalan di sepanjang koridor tersebut menimbulkan daya tarik baru untuk kegiatan rekreasi dan wisata.

Kota Medan memiliki beberapa lokasi yang potensial untuk menjadi objek tujuan wisata kota yang masih belum dimanfaatkan secara optimal seperti Sungai Deli – Sungai Babura yang membelah Kota Medan serta Sungai Belawan yang berpotensi dikembangkan menjadi kawasan wisata air. Hutan bakau di Kecamatan Medan Belawan, Kebun Binatang, areal Kampus USU, Kuala Bekala dan Stadion Teladan selain ditetapkan sebagai hutan kota juga sebagai tempat rekreasi dan olah raga. Rencana pola ruang Kota Medan dapat dilihat pada Gambar 4.4 berikut:


(72)

Sumber: RTRW Kota Medan Tahun 2010 – 2030


(73)

4.5. Keadaan Perekonomian Kota Medan

Pertumbuhan ekonomi pada dasarnya merupakan gambaran dari aktifitas perekonomian masyarakat di suatu daerah, disamping juga dapat digunakan sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan dari pelaksanaan pembangunan itu sendiri. Berdasarkan indikator PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000, pertumbuhan ekonomi Kota Medan selama periode 2007 – 2009 menunjukkan perlambatan yang berarti. Pada tahun 2007, pertumbuhan ekonomi Kota Medan mencapai 7,78% namun seiring dengan kecenderungan global/regional yang mempengaruhinya pada tahun 2008 terjadi penurunan menjadi 6,75% dan 6,15% pada tahun 2009. Namun demikian, selama periode tersebut, rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Kota Medan sebesar 6,89% per tahun dan relatif masih lebih tinggi dibandingkan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,72%.

Sumber: BPS Kota Medan

29,35 31,21 33,26

7,78 6,75

6,15

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

27,00 28,00 29,00 30,00 31,00 32,00 33,00 34,00

2007 2008 2009 *)

PDRB ADHK 2000 (Rp. triliun) Pertumbuhan Ekonomi (%)


(74)

Gambar 4.5. Pertumbuhan Ekonomi Kota Medan Tahun 2007 – 2009 (%)

Selanjutnya apabila dianalisis secara sektoral, perlambatan ekonomi Kota Medan umumnya terjadi pada kelompok sektor tersier yaitu sektor perdagangan, hotel dan restoran yang turun dari 5,94% pada tahun 2007 menjadi 5,04% pada tahun 2009, diikuti sektor transportasi dan telekomunikasi yang turun dari 10,61% menjadi 7,83% pada tahun 2009 serta penurunan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dari 12,82% tahun 2007 menjadi 8,15% pada tahun 2009. Walaupun terjadi perlambatan ekonomi pada sektor tersier tersebut, akan tetapi untuk penyerapan tenaga kerja pada tahun 2009 terjadi peningkatan dari 70,61% pada tahun 2008 menjadi 73,72% di tahun 2009 atau mengalami peningkatan sebesar 3,11%.

Sedangkan untuk kelompok sektor sekunder, yang mengalami perlambatan adalah sektor industri pengolahan yang turun dari 6,08% pada tahun 2007 menjadi 1,71% pada tahun 2009. Penurunan ini umumnya terjadi dihampir semua daerah yang mengandalkan sektor industri pengolahan dengan produk-produk yang berorientasi ekspor ke negara-negara maju. Seiring dengan menurunnya sektor tersebut, kemampuan untuk menciptakan lapangan kerja juga menurun dari 24,35% pada tahun 2008 menjadi 22,25% dari total kesempatan kerja yang tercipta pada tahun 2009. Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Kota Medan Tahun 2007 – 2009 dapat dilihat pada Tabel 4.4 berikut:


(1)

Lampiran 6. Peta Lokasi Penelitian


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)