Learned helplessness Teori atribusi, gaya penjelasan, dan optimisme

suatu tingkah laku. Dengan demikian, perbedaan dalam kecenderungan Locus of control seseorang dapat mengakibatkan perbedaan dalam bertingkah laku, berpikir, maupun merasakan sesuatu.

2. Learned helplessness

Definisi Learned Heplesness menurut Woolfolk Sobiroh, 2010 adalah harapan yang berdasarkan atas pengalaman yang dialami seseorang yang berakhir pada kegagalan. Teori ini dipelipori oleh Martin Selligman dari Universitiy of Pennsyilvania, ia berusaha menjelaskan mengapa banyak orang menyerah atau gagal ketika dihadapkan pada tantangan hidup. Selligman Bintari, 2000 menjelaskan bahwa ada tiga ciri yang menandakan seseorang dalam keadaan Learned Helplessness. Pertama, harus pernah mengalami situasi yang hasilnya tidak berkaitan dengan tingkah laku seseorang. Kedua, orang tersebut membangun kepercayaan atau harapan bahwa responnya tidak memiliki dampak, atau tidak berguna dalam mempengaruhi hasil. Ketiga, berbagai variasi penurunan kognitif dan tingkah laku dihasilkan dari kepercayaan tersebut; kinerja akan memburuk dan rasa melemahkan dan kurangnya control yang akan dialami. Learned Helplessness menjelaskan mengapa banyak orang yang putus asa dan berhenti jika berhadapan dengan tantangan-tantangan hidup. Secara sederhana Learned Helplessness terjadi dengan menginternalisasi kepercayaan bahwa apa yang dilakukan seseorang berarti. Learned helplessness menjelaskan tentang hilangnya control yang dipersepsikan terhadap kejadian yang menyulitkan. Teori ini menggambarkan kekuatan kepercayaan bahwa sesuatu yang dilakukan seseorang tidak membuat perbedaan Stoltz, 2000. Learned helplessness bertolak belakang dengan pemberdayaan empowerment dan keduanya saling mengecualikan, serta tidak dapat ada secara bersamaan. Learned helplessness dimiliki oleh orang dengan AQ rendah dan menjadi penghalang yang pasti dari pemberdayaan dan pendakian seseorang. Keberadaannya melemahkan kinerja, produktifitas, motivasi, energi, belajar, peningkatkan, pengambilan resiko, kreativitas, kesehatan, vitalitas, ketangguhan, dan ketekunan. Stoltz, 2000

3. Teori atribusi, gaya penjelasan, dan optimisme

Berkaitan erat dengan teori learned helplessness adalah gagasan bahwa sukses seseorang banyak ditentukan oleh cara seseorang menjelaskan atau berespon terhadap peristiwa dalam kehidupan. Menurut Selligman dan peneliti lain, orang-orang yang berespon terhadap kemalangan sebagai stabil, internal, dan dapat digeneralisasikan terhadap bagian lain dari kehidupan mereka, memiliki kecenderungan untuk menderita dalam seluruh aspek kehidupannya. Sedangkan mereka yang menjelaskan kemalangan sebagai suatu yang eksternal, temporer, dan terbatas pada kejadian itu saja cenderung untuk dapat menikmati keuntungan-keuntungan berkisar dari kinerja hingga kesehatan mereka, Stoltz, 2000. Weiner Bintari, 2000 menyatakan bahwa atribusi memiliki dimensi-dimensi yang melandasi suatu atribusi kausal terhadap hasil prestasi dari keberhasilan dan kegagalan. Dimensi tersebut meliputi: a. Dimensi Stabilitas, dimensi yang menunjukkan faktor penyebab sebagai sesuatu yang dapat berubah temporer atau cenderung bersifat tetap sepanjang waktu. Dimensi ini berhubungan erat dengan harapan akan keberhasilan maupun kegagalan. Dalam hal ini jika seseorang menganggap keberhasilan yang diperolehnya bersifat stabil maka pada perilaku yang berikutnya ia juga akan beranggapan bahwa hasil yang akan muncul adalah keberhasilan juga. Bila kegagalan diatribusikan dengan penyebab yang internal dan stabil akan menimbulkan reaksi afeksi yaitu perasaan tidak berdaya. b. Dimensi Kausalitas, dimensi yang menekankan pada pengatribusian kinerja individu pada penyebab yang berasal dari dalam dirinya internal atau berada di luar dirinya eksternal. Dimensi ini berhubungan erat dengan emosi dan harga dirinya seperti rasa bangga atau rasa malu. Jika seseorang menganggap bahwa keberhasilan yang diperolehnya berasal dari dalam dirinya, karena usahanya dan kecerdasannya akan memiliki harga diri yang lebih positif dibandingkan dengan seseorang yang menganggap bahwa keberhasilannya karena orang lain atau keberuntungan. Dimensi ini secara afeksi berhubungan dengan self-esteem. c. Dimensi Pengendali, yaitu dimensi yang menggambarkan derajat pengendalian terhadap hasil atau penyebab. Dalam hal ini, apakah individu memiliki kontrol terhadap hasil ataukah justru orang lain. Dimensi ini berkaitan dengan evaluasi terhadap orang lain. Peneliti perkembangan emosi terkemuka dari Universitas Illinois, Carol Dweck dalam Stoltz, 2000 menunjukkan bahwa anak yang tidak berdaya mengatribusikan dan berfokus pada kegagalan sebagai sifat yang stabil. Kegagalan tersebut dilihat sebagai kurangnya kemampuan sehingga anak tersebut belajar lebih sedikit. Sementara anak yang menganggap penyebab sebagai suatu yang temporal tidak stabil serta berorientasi pada penguasaan akan berkonsentrasi untuk menutupi kegagalan. Anak perempuan berespon secara berbeda dengan anak laki-laki terhadap kritik dari guru dan teman. Banyaknya kritik yang permanent stabil dan mengena pada anak perempuan membuat mereka belajar untuk mengatribusikan kegagalan pada sifat yang permanent. Sementara anak laki-laki sering mendapatkan kritik yang temporer, sehingga belajar untuk mengatribusikan kegagalan pada sumber temporer. Selligman dalam Stoltz, 2000 mendeskripsikan perbedaan atribusi stabil- tidak stabil pada tabel 2.1 dengan pesimisme-optimisme. Tabel 2.1 Hubungan pesimisme-optimisme dan respon terhadap kesulitan Respon terhadap kesulitan Orang pesimis Permanent Meluas Pribadi Orang optimis Sementara Terbatas Eksternal Orang yang pesimis memiliki kecenderungan untuk menganggap kesulitan sebagai suatu yang permanent, menimpa seluruh kehidupannya dan diakibatkan oleh dirinya sendiri personal. Sedangkan orang yang optimis memiliki kecenderungan untuk berespon pada kesulitan sebagai sesuatu yang akan berubah temporal, terbatas pada hal tertentu saja atau sebagian dari kehidupan saja dan penyebabnya cenderung eksternal. Dari seluruh teori kognitif di atas, Stoltz 2000 menyimpulkan suatu teori baru yang ia sebut dengan teori Hibrida tentang kontrol yaitu: a. Sukses secara signifikan dipengaruhi rasa control atau penguasaan terhadap kehidupan b. Sukses sangat dipengaruhi dan diprediksikan dengan bagaimana seseorang berespon dan menjelaskan kesulitan c. Individu berespon pada kesulitan dalam pola tertentu d. Pola-pola bila tidak dikoreksi akan tetap konsisten sepanjang hidup e. Bila kita dapat mengukur dan menguatkan bagaimana berespon terhadap kesulitan, kita dapat menikmati produktivitas yang lebih besar, kinerja, vitalitas, ketabahan, kesehatan, belajar, peningkatan, motivasi, dan sukses.

2.2.3 Peran a dversity quotient