48
pemerintahan dalam hukum publik adalah jaksa. Peran jaksa adalah sebagai pejabat hukum publik selaku penuntut umum guna mengemban
misi due process of law. mendakwa, membuktikan, menuntut dan mengeksekusi putusan hakim
Jaksa penuntut umum sebagai pejabat negara sekaligus badan hukum publik dan aparat penegak hukum Pasal 1 ayat 1 UU No. 15
Tahun 1961 jo UU No. 5 Tahun 1991 jo UU No. 16 Tahun 2004, tentang Kejaksanaan RI yang mengemban tugas penuntutan dan
eksekusi. Landasan tugas dan wewenang bagi Jaksa Penuntut Umum tersebut mulai dari amanat konstitusi berupa UUD N egara Republik
Indonesia Tahun 1945, UU Kekuasaan Kehakiman, dan UU Kejaksaan RI.
1.7.4.6 Teori Hak Asasi Manusia HAM Klasik
Menurut Paul Sieghart bahwa dalam kerangka teori HAM klasik hak-hak kolektif bukanlah merupakan HAK, lebih lanjut dinyatakannya
teori klasik tentang HAM menyebutkan bahwa hanya hak -hak yang dimiliki oleh manusia individu yang dapat disebut sebagai Hak Asas i
Manusia HAM. Sedangkan hak-hak yang dimiliki oleh sebuah entitas atau
jenis-jenis tertentu
seperti negara-negara,
gereja-gereja, perusahan-perusahaan, badan-badan perdagangan dan sebagainya
bukanlah hak asasi manusia dalam pengertian yang sebenarnya.
50
50
Suharto, Rakhmat Bowo, 2001, Perlindungan Hak Dunia Ketiga Atas Sumber Daya Alam, Mata Wacana, Yogyakarta, hlm. 21
49
Sehubungan dengan esensi inti teori HAM klasik yang memberikan forsi hak-hak yang diakui sebagai HAM adalah hak-hak
seorang individu sebagai manusia, maka akan terkait esensi teori HAM klasik dengan perkembangan lahirnya HAM Generasi I Pertama yang
lahir pada abad 17 dan 18 didalamnya mengakomodir hak-hak individu di bidang hak-hak sipil dan politik sebagai HAM. Hak sipil atau
individu tiap orang diakui sebagai HAM yang paling mendasar salah satunya adalah dijaminnya serta dilindunginya hak kebebasan.
Kebebasan termasuk dalam hak individu dihadapan hukum ketika seseorang dihadapkan pada proses peradilan.
Dalam proses peradilan ketika seseorang dihadapkan pada tahapan pembuktian wajib hak-hak seseorang dalam status sebagai
terdakwa untuk dihormati hak-hak asasi individunya, seperti hak untuk dianggap belum bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang
memiliki kekuatan hukum tetap inkracht van geweijsde. Maka asas praduga tak bersalah presumption of innosence tetap dijunjung tinggi
dan ditegakkan dalam proses peradilan pidana demi terwujudnya proses hukum yang berkeadilan due process of law. Maka terkait
dengan penerapan sistem pembuktian terbalik dalam peradilan pidana mesti selektif dan hati-hati melaksanakannya untuk menghindari
penyerobotan serta pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia HAM selaku individu dihadapan proses hukum.
50
Adanya 6 enam jenis teori hukum sebagai pisau analisis terhadap permasalahan yang disajikan akan memperjelas kegunaan
teori masing-masing. Adapun teori-teori tersebut : 1. Teori keadilan, 2. Teori Kebijakan Hukum Pidana, 3. Teori Harmonisasi Hukum, 4. Teori
Hukum Pembuktian, 5. Teori Kewenangan dan 6. Teori Hak Asasi Manusia HAM Klasik. Sebaran masing-masing teori tersebut diatas
akan diterapkan dalam mengkaji dan menganalisis 2 dua buah permasalahan seperti : 1. Apa ada sinkronisasi pengaturan dalam
pembuktian menurut KUHAP dengan pembuktian dalam Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ? 2. Apakah pengaturan
sistem pembuktian terbalik dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berlaku sekarang ius constitutum ius
operatum tidak bertentangan dengan hak asasi terdakwa ? Terhadap permasalahan pertama diatas akan dikaji dan
dianalisis berdasar teori 1, 2 dan 3 teori keadilan, teori kebijakan hukum pidana, dan teori hamonisasi hukum. Teori keadilan dalam
hubungan ini dimaksudkan dalam penerapannya terdakwa mesti diperlakukan
secara adil
dalam proses
pembuktian, meski
kedudukannya sebagai terdakwa secara esensi jangan dilanggar hak - hak yang prinsip dimiliki terdakwa bahwa belum ada putusan hakim
yang inkracht sudah seolah-olah dianggap bersalah melakukan tindak pidana korupsi, hal ini sangat bertentangan dengan prinsip asas
praduga tak bersalah. Terdakwa mesti dianggap belum bersalah dan
51
dihormati hak-haknya sebagai terdakwa untuk tegaknya asas praduga tak bersalah tersebut keadilan proforsional dan substansive. Terkait
teori kebijakan hukum pidana yang digunakan disini adalah bahwa mengingat sifat dan kualifikasi tindak pidana korupsi sebagai kejahatan
sangat luar biasa extra ordinary crime yang sulit pembuktiannya maka perlu terobosan diciptakan sistem pembuktian terbalik dalam
pembuktian korupsi bagi terdakwanya, hal tersebut sebagai bentuk kebijakan penal
– formulatif bagi pihak legislatif. Dan dipakainya teori harmonisasi hukum untuk mengharmonisasikan norma konflik antara
Pasal 66 KUHAP dengan Pasal 33 ayat 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bagi pembagian beban
pembuktian antara Jaksa dengan terdakwa korupsi di persidangan. Dalam mengkaji dan menganalisis masalah kedua penulis
memakai dasar acuan teori No. 2. Teori Keadilan, 4. Teori Pembuktian, 5. Teori Kewenangan dan 6. Teori HAM Klasik diatas, bahwa dalam
pembuktian perkara pidana yakni negative wettelijke beweijs theorie, untuk diperoleh fakta, fakta yang sebenar-benarnya dari terdakwa
korupsi dipakai dasar bagi hakim menentukan terbukti atau tidaknya kesalahan yang dituduhkan jaksa. Begitu halnya pemakaian teori
kewenangan, jaksa secara kewenangan atributif menurut UU No. 16 Tahun
2004 tentang
Kejaksaan tetap
memiliki kewenangan
membuktikan dakwaannya dalam proses pembuktian, juga hakim secara kewenangan atributif menurut UU No. 48 Tahun 2009 tetnang
52
Kekuasaan Kehakiman diberi wewenang untuk memeriksa dan memutus terdakwa berdasarkan alat-alat bukti sah menurut UU disertai
keyakinannya guna memutus salah tidaknya terdakwa atas dakwaan dan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum setelah menilai proses
pembuktian di persidangan, sehingga terkait dengan teori kebija kan hukum pidana, penggunaan sistem pembuktian terbalik dalam
pembuktian terdakwa korupsi tidak bertentangan atau tidak melanggar hak asasi terdakwa, mengingat bahaya korupsi sangat menyengsarakan
masyarakat luas dan dikualifikasi sebagai kejahatan sangat luar biasa , walaupun sedikit terjadi penerobosan terhadap esensi Teori Hak Asasi
Manusia HAM Klasik.
53
Kerangka Berpikir
JUDUL PENELITIAN TESIS URGENSI SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM
PERADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERKAIT HAK ASASI TERDAKWA
Latar Belakang Masalah Rumusan Masalah
Landasan Teoritis Korupsi terjadi sangat
mengkhawatirkan secara kualitas dan
kuantitas terus meningkat
Korupsi sangat merugikan keuangan
dan kondisi kenegaraan Korupsi sulit
diberantas karena dilakukan secara
sistemik Korupsi sebagai
kejahatan luar biasa, maka perlu
pemberantasan secara luar biasa
Dalam UUKUHAP dan UU PTPK terjadi
konflik norma PS 66 KUHAP dengan Pasal
37 UU PTPK Solusi dalam PTPK
terkait norma konflik –
kembali pada asas hukum
– asas preperensi
1. Apa ada
sinkronisasi pengaturan antara
pembuktian dalam KUHAP dengan
UU PTPK ? 2.
Apakah penerapan sistem pembuktian
terbalik dalam TPK tidak bertentangan
dengan hak asasi terdakwa ?
1. Asas – asas hukum :
- Due process of law
- Preferensi hukum
- Persumption of
innocence -
Non-self incrimination \ -
Unnus Testis Nullus Testis
2. Konsep – konsep hukum :
- Pembuktian
- Tindak pidana
- Korupsi
- Pembuktian terbalik
- Konsep HAM
3. Doktrin – doktrin hukum :
- Bahaya korupsi
- Tipe korupsi
4. Teori-teori hukum :
a. Keadilan
b. Kebijakan Hukum
Pidana c.
Harmonisasi Hukum d.
Pembuktian e.
Kewenangan f.
Hak Asasi Manusia Klasfik
Metode penelitian 1.
Jenis penelitian : Yuridis normatif
2. Jenis pendekatan
- Perundang-
undangan -
Konseptual -
Kasus -
Komparatif 3.
Sumber bahan hukum : 4.
Teknik pengumpulan bahan hukum dengan
studi dokumen mengumpulkan,
menginventarisir mencatat bahan
hukum
5. Teknik analisis bahan
hukum : teknik deskripsi, interprestasi,
evaluasi, argumentasi SIMPULAN DAN SARAN
1. Simpulan
a. Dalam pengatuan antara sistem pembuktian
menurut KUHAP dengan sistem pembuktian menurut Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Indonesia saat tidak adanya sinkronisasi dan harmonisasi pengaturan tentang
sistem pembuktiannya menyangkut pihak yang dibebani tanggung jawab pembuktian.
b. Pengaturan sistem pembuktian terbalik dalam
peradilan tindak pidana korupsi saat ini pada prinsipnya adalah bertentangan dengan hak
– hak asasi terdakwa dan cenderung melanggar asas
praduga tak bersalah 2.
Saran a.
Agar legislatif merevisi Pasal 66 KUHAP dengan menambah klausula bahwa dalam pembuktian kasus
korupsi diterapkan pembuktian terbalik b.
Agar pembuktian terbalik jangan dianggap melanggar asas praduga tak bersalah, mengingat
TPK sifatnya extra ordinary crime
54
1.8. Metode Penelitian 1.8.1 Jenis Penelitian