32
BAB II PROFIL, KOMPOSISI DAN EKSISTENSI ANTAR SUKU
II.1. Profil Kesukuan di Desa Kwala Gunung
Dalam setiap pemilihan umum di Indonesia isu kesukuan tiba-tiba menguat dan sangat kental dalam diri sebagian calon pemilih. Rasa yang muncul
dari pandangan pertama atau dari kesamaan tempat asal dan dimana dibesarkan. Baik disadari penuh atau hanya setengah-setengah. Kesukuan adalah salah satu
bagian kecil dari primordialisme disamping isu kepercayaan, adat istiadat, tradisi dan sebagainya. Saat mereka dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan dan
bentuk interaksi suku yang terasa dominan atau memang sedarah.
27
Isu kesukuan dalam pemilu atau pemilihan kepala desa bukan hal baru lagi. Walaupun terkesan strategi politik klasik, nyatanya mengangkat isu
kesukuan masih menjadi topik yang laku dijual dalam perhelatan pemilihan kepala desa di beberapa daerah. Isu kesukuan, putra daerah, isu agama, bergaris
keturunan raja, ahli waris, selalu menjadi tema kampanye untuk meraup suara dari calon pemilih. Isu primordial memang tidak melanggar hukum selagi tidak
mengandung fitnah terhadap lawan politik dan mengadudombakan rakyat dan secara positif primordialisme itu sendiri merupakan suatu kekayaan budaya
bangsa yang harus dijaga eksistensinya dalam ruang lingkup Bhinneka Tunggal
27
Hefner, RW . Politik Multikulturalisme: Menggugar Realitas Kebangsaan. 2011. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hal.13.
Universitas Sumatera Utara
33 Ika, dengan syarat tidak menggunakan isu tersebut sebagai alat untuk kepentingan
segelintir orang yang punya ambisi kekuasaan.
28
Hal ini rupanya berbanding terbalik pada kenyataan praksis. Kebanyakan aktor politik justru menggunakan isu ini sebagai senjata ampuh untuk
memenangkan pemilihan kepala desa. Isu kesukuan tentunya menjadi sangat subur ketika dilemparkan dalam pemilih tradisional yang masih memilih
berdasarkan emosional dan loyalitas. Realitas ini merupakan bentuk kejanggalan dalam demokrasi dari, oleh dan untuk rakyat. Jika demokrasi itu oleh rakyat
maka seharusnya penentuan tipikal pemimpin, berdasarkan pertimbangan pribadi rakyat bukannya dimainkan oleh segelintir elit. Rakyat bawah selalu dijadikan
obyek isu para elit pragmatis. Rakyat berada pada posisi pasif yang siap menerima segala gempuran isu, sementara elit politik berpangku tangan melihat reaksinya.
Isu kesukuan memang bukan hal baru dari proses demokrasi di tingkat lokal ketika mengalihkan perhatian masyarakat pemilih dari penilaian
sesungguhnya atas seorang calon, baik kecerdasan, kebijakan, jiwa kepemimpinan serta ide-ide brilian yang seharusnya lebih ditonjolkan untuk kemajuan daerahnya.
Dari sudut integritas bangsa, kampanye dengan mengangkat isu primordial berpotensi bahaya laten terhadap kesatuan dan persatuan bangsa. Dengan
menonjolkan aspek agama dan suku tertentu berarti menganaktirikan agama dan suku lainnya.
29
28
Faturochman, Konflik: Ketidak-adilan dan Identitas. 2003, Yogyakarta : PPSK UGM, Hal.1
29
Ibid,, Faturochman.,Hal.20
Universitas Sumatera Utara
34 Kesukuan merupakan bagian dari fakta sejarah atas berdirinya negara ini.
Indonesia lahir dari rahim kebhinnekaan, di mana kesukuan merupakan salah satu bagian terpenting dari komponen kemajemukan sebuah bangunan bangsa. Sejalan
dengan proses demokratisasi di Indonesia sering timbul gejala-gejala negatif seperti ekses-ekses yang mementingkan kelompok dan suku sendiri sukuisme,
adanya kecenderungan untuk menggunakan nilai-nilai kelompok. Kesukuan berkaitan dengan lahirnya demokrasi di dunia.
Maraknya proses demokrasi yang sejalan dengan politik desentralisasi dimana pemerintah pusat memberikan hak kepada pemerintah daerah untuk
memperoleh kebebasan dan pengakuan politik dalam pemilihan kepala daerah sendiri. Kesukuan yang menjadi ikatan yang sangat emosional dan mendalam
telah melahirkan perjuangan kelompok-kelompok etnis tertentu dari dominasi etnis mayoritas. Kesukuan berkaitan pula dengan kebudayaan masing-masing
yang memiliki ciri khas dari kelompok etnis tersebut, dalam kelompok tersebut terjadi keterikatan antara orang-orang dalam kelompok tersebut atau dikenal
sebagai primordialisme. Sehingga tidak jarang keterikatan etnis ini dimanipulasi dan dijadikan alat atau kendaraan oleh kelompok elit dalam memperebutkan
sumber kekuasaan, terutama di desa yang penduduknya heterogen.
30
Pemilihan kepala desa merupakan salah satu bentuk pelaksanaan demokrasi yang bertujuan untuk menciptakan sebuah tatanan pemerintahan desa
yang bersih, akuntabel dan demokratis di ruang lingkup desa. Pemilihan kepala
30
Barker, C, Cultural Studies. Teori dan Praktek, 2006, Yogyakarta: Kreasi Wacana, Hal.23.
Universitas Sumatera Utara
35 desa yang karena konsekuensi dari otonomi daerah yang mana sejak jaman orde
lama pemilihan ini sudah bersifat langsung, yaitu pemilihan kepala desa dengan melibatkan seluruh rakyat di desa yang memiliki hak pilih, karenanya Pemilihan
Kepala Desa kini menjadi arena pertarungan elit di desa yang ingin berkuasa. Dalam masyarakat yang multietnik di desa, dinamika politik senantiasa
memiliki situasi yang lebih tinggi dibandingkan pada desa yang relatif homogen. Hal tersebut dapat kita lihat pada kontestasi politik di tingkat lokal pada beberapa
pemilihan kepala desa di seluruh Indonesia. Aspek etnis tidak boleh dilupakan perannya dalam pemilihan kepala desa di Indonesia. Mobilisasi pemilih dapat
dilakukan dengan mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan etnisitas, baik etnis, agama dan sebutan penduduk asli atau pendatang.
31
Latar belakang etnis kandidat sedikit banyak mempengaruhi pilihan pemilih. Ini terutama terjadi di wilayah-wilayah yang mempunyai perimbangan
etnis dimana ada dua atau lebih suku dominan di wilayah tersebut. Meski gambaran posisi etnis agak berbeda antara suatu daerah dengan daerah lainnya.
Beragamnya etnis yang mendiami Desa Kwala Gunung telah menyebabkan suburnya politik identitas etnis. Mobilisasi dukungan digunakan
dengan memanfaatkan komunikasi politik dengan pesan utama, putra daerah dan etnisitas lainnya. Ditambah lagi dengan disparitas agama yang dianut. Wacana
tersebut juga menguat dalam penentuan kepala desa. Mereka berlomba-lomba melobi dukungan, kesukuan menjadi hal yang sangat menentukan namun nilai-
31
Hardiman, F. Budi. Demokrasi Deliberatif, 2009, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, Hal.70.
Universitas Sumatera Utara
36 nilai kesukuan yang transenden begitu merasuk dalam politik lokal manakala
berbagai aturan formal tetap bersifat sekuler. Desa Kwala Gunung merupakan salah satu desa di Kecamatan Lima
Puluh, Kabupaten Batu Bara. Desa Kwala Gunung terdiri dari 5 Dusun. Jumlah penduduk di Desa Kwala Gunung berjumlah 2.179 jiwa dengan jumlah
perempuan 1.018 jiwa dan laki-laki berjumlah 1.158 jiwa dengan 470 KK. Keragaman budaya atau cultural diversity adalah keniscayaan yang ada di Desa
Kwala Gunung. Keragaman budaya Desa Kwala Gunung adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Dalam konteks pemahaman masyarakat
majemuk, selain kebudayaan kelompok suku, masyarakat Desa Kwala Gunung juga terdiri dari berbagai etnis bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan
dari berbagai kebudayaan kelompok etnis yang ada didaerah tersebut. Dengan jumlah penduduk 2.179 orang dimana mereka tinggal tersebar di 5 dusun.
32
Salah satu yang perlu dilihat dalam hal ini adalah aspek demografi di Desa Kwala Gunung. Persentase kesukuan di Desa Kwala Gunung yaitu dari 2.179
penduduk di Desa Kwala Gunung 67 penduduknya bersuku Jawa, 26 suku Melayu, 5 suku Batak dan 2 suku yang lainnya. Sejarah Desa Kwala Gunung
menunjukkan bahwa, dalam setiap pelaksanaan pemilihan kepala desa baik pasca reformasi selalu dimenangkan oleh calon bersuku Melayu meskipun di Desa
Kwala Gunung penduduk dominannya adalah suku Jawa. Kesukuan menjadi aspek yang penting dalam hubungan politik di Desa
32
Data dari Kantor Kepala Desa Kwala Gunung
Universitas Sumatera Utara
37 Kwala Gunung. Pada dasarnya term ini muncul karena menyangkut gagasan
tentang pembedaan, dikotomi antara kami dan mereka dan pembedaan atas klaim terhadap dasar, asal-usul dan karakteristik budaya. Kesukuan di Kwala Gunung
adalah hasil dari proses hubungan, bukan karena proses isolasi. Jika tidak ada pembedaan antara orang dalam dan orang luar, maka tidak ada yang namanya
Kesukuan. Kesukuan adalah kelompok tersebut telah menjalin hubungan, kontak dengan kelompok etnis yang lain dan masing-masing menerima gagasan dan ide-
ide perbedaan di antara mereka, baik secara kultural maupun politik. Kesukuan di Desa Kwala Gunung pada sendirinya merupakan konsep baru
dalam kajian ilmu politik. Konsepsi tentang politik kesukuan mulai mengemuka karena elit dominan kalah melawan minoritas. Kemunculan politik kesukuan
diawali oleh tumbuhnya kesadaran yang mengidentikkan mereka ke dalam suatu golongan atau kelompok etnis tertentu. Kesadaran ini kemudian memunculkan
solidaritas kekelompokan dan kebangsaan. Politik kesukuan mengacu kepada politik “kelompok kesukuan” dan minoritas kecil sementara penafsiran kelompok
etnis bisa mencakup bangsa etnis ethnic nation di Desa Kwala Gunung. Pada konteks ini, biasanya kelompok kesukuan di Desa Kwala Gunung tidak memiliki
wilayah tertentu dalam menentukan pilihan. Tujuan mereka pun berbeda dengan konsep kesukuan pada umumnya.
Identifikasi identitas kesukuan seperti yang lazim dilakukan pada masyarakat yang multietnik senantiasa diarahkan pada situasi dan konteks dimana
seseorang berada. Dalam konteks politik pada daerah multietnik terutama pada
Universitas Sumatera Utara
38 saat pemilihan kepala desa, identifikasi identitas kesukuan menjadi kemestian
dalam perilaku dan komunikasi politik baik dalam aktifitas dan peran politik maupun dalam kehidupan sosial secara umum, terutama dalam rangka menarik
simpati calon pemilih, meningkatkan popularitas dan tujuan politik lainnya.
33
Proses sosial menandai sekelompok masyarakat di Desa Kwala Gunung bisa dipakai untuk “menunjuk” labeling, dan berlangsung dalam sebuah generasi
yang dipengaruhi oleh kekuasaan. Proses pendeskripsian ini dalam perpektif sejarah berfungsi seolah-olah seperti deskripsi terhadap sekelompok orang dan
bagi kelompok itu deskripsi sebagai aturan bertindak di Desa Kwala Gunung. Dalam hal ini di Desa Kwala Gunung suku Jawa lalu dianggap punya perangai
halus, pintar membawa dan mengendalikan diri, sementara suku Melayu dianggap lebih hidup bersahaja dari pada bersusahpayah meningkatkan kesejahteraan.
Selain itu, orang Melayu memiliki harga diri yang tinggi, dan gemar memberikan makna tersirat dari setiap ucapannya dan suku Batak yang terlihat sangat tegas
dan agak kasar. Dalam sejarah etnisitas di Desa Kwala Gunung terdapat hubungan antara
kekuasaan yang dominan. Selama hubungan kekuasaan masih berupa persaingan, kesukuan terbatas pada rules of conduct sehingga disebut cultural identity. Begitu
hubungan mulai jadi perebutan hegemoni, etnisitas menjadi political ethnicity yang bisa memicu konflik, selain itu hegemoni kekuasaan berhasil menjadikan
kekuasaan di Desa Kwala Gunung berdaulat yang mampu bertahan. Kondisi
33
Hardiman, F. Budi.., Op.,Cit.,Hal.89.
Universitas Sumatera Utara
39 etnisitas di Desa Kwala Gunung lebih kepada bentuk mekanisme saja karena
pilihan yang rasional dalam pemilihan.
Secara substansi pemahaman etnisitas di Desa Kwala Gunung melihat kesukuan sebagai sesuatu yang “primordial” dan menempatkannya sebagai
sebuah kesukuan yang cenderung tetap, perspektif constructivist melihat kesukuan sebagai sesuatu yang bisa berubah dan tidak menetap. Bagi penganut perspektif
ini, kesukuan etnik bersifat situasional dan bisa setiap saat bergeser atau berubah jika situasi atau konteks perubahan sosial. Etnisitas dalam kajian politik di
Indonesia terutama di Desa Kwala Gunung merupakan aspek yang dianggap penting dan mendapatkan tempat yang cukup besar meskipun mengalami pasang
surut seirama dengan naik turunnya perhatian ilmuan politik terhadap isu kesukuan itu sendiri, sedangkan munculnya politik kesukuan di Desa Kwala
Gunung diawali tumbuhnya kesadaran orang yang mengidentikkan diri mereka ke dalam salah satu kelompok kesukuan tertentu, yang kesadaran itu memunculkan
solidaritas kelompok. Dari teori post-strukturalis
34
kemudian post-modernitas
35
yang mengkritik modernitas khususnya terhadap wacana kesukuan dalam konteks politik ethnic politic.
Suku-suku yang ada di Desa Kwala Gunung berada dalam kawasan yang sama dan berkembang amat pesat dari daerah pertanian terutama tanaman padi
yang merupakan persawahan. Dari dulu kawasan Desa Kwala Gunung merupakan
34
Post-strukturalis adalah faktor sosial budaya berpengaruh dalam mendefenisikan tubuh dengan kakakter ilmiah, universal dan tergantung tempat yang berkaitan dengan budaya.
35
Post-Modernitas merujuk pada suatu epos, jangka waktu, zaman, masa sosial dan politik yang biasanya terlihat mengiringi era modern dalam suatu pemahaman sejarah.
Universitas Sumatera Utara
40 kawasan pertanian dengan hasil andalan seperti padi pemasok stok beras
nasional dan biji-bijian seperti jagung, kelapa yang dipergunakan sebagai bahan multiguna untuk kebutuhan keseharian diperas untuk santan, dibuat minyak
kelapa,cuka atau gula, coklat daerah pengekspor coklat terbesar di Indonesia, serta hasil lainnya. Kini desa ini berkembang menjadi kawasan multi usaha karena
pola pertanianperkebunan dan perikanan yang menjadi fondasi utama pendapatan masyarakat Desa Kwala Gunung.
II.2. Komposisi Antar Suku