Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Hubungan antara locus of control internal dan self efficacy dengan

commit to user Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan locus of control internal dan self efficacy terhadap kepuasan kerja karyawan PT. Daya Manunggal. PT. Daya Manunggal merupakan perusahaan yang bergerak di bidang tekstil yang mempekerjakan tenaga manusia di bidang produksi yang cukup banyak. Melihat fenomena diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ”Hubungan antara locus of control internal dan self efficacy dengan kepuasan kerja karyawan PT Daya Manunggal”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapatlah ditarik sebuah rumusan masalah sebagai berikut : 1. Apakah ada hubungan antara internal locus of control dan self efficacy dengan kepuasan kerja karyawan Departemen Spinning PT Daya Manunggal? 2. Apakah ada hubungan antara internal locus of control dengan kepuasan kerja karyawan Departemen Spinning PT Daya Manunggal? 3. Apakah ada hubungan antara self efficacy dengan kepuasan kerja karyawan Departemen Spinning PT Daya Manunggal?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang dikemukakan sebelumnya, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui 1. Hubungan antara internal locus of control dan self efficacy dengan kepuasan kerja karyawan PT Daya Manunggal commit to user 2. Hubungan antara internal locus of control dengan kepuasan kerja karyawan PT Daya Manunggal. 3. Hubungan antara self efficacy dengan kepuasan kerja karyawan PT Daya Manunggal.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut. 1. Manfaat Teoritis a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi baru dan sumbangan ilmu pengetahuan sebagai kajian teoritis khususnya dalam bidang Ilmu Psikologi pada umumnya serta Psikologi Industri dan Organisasi khususnya yang berkaitan dengan kepuasan kerja para karyawan b. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan dan perbandingan bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian sejenis khususnya bidang Psikologi Industri dan Organisasi dengan variabel yang lebih banyak. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Perusahaan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perusahaan yang bersangkutan dengan penelitian ini, sehingga perusahaan dapat melakukan upaya-upaya yang dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawan b. Bagi Karyawan commit to user Adanya kepuasan kerja dari diri karyawan diharapkan mampu digunakan sebagai motivasi untuk meningkatkan produktivitas kerja. c. Bagi Penulis Sebagai wujud aplikasi dari teori yang di dapat selama kuliah dan bermanfaat untuk menambah pengalaman untuk meniti karir. commit to user BAB II LANDASAN TEORI A. Kepuasan kerja 1. Pengertian Kepuasan Kerja Kepuasan kerja adalah sikap umum seseorang dalam menghadapi pekerjaannya, seseorang yang tinggi kepuasan kerjanya memiliki sifat positif terhadap pekerjaannya, sedangkan seseorang yang tidak memperoleh kepuasan di dalam pekerjaannya memiliki sifat yang negatif terhadap pekerjaannya Garniwa dan Sofyandi, 2007. Menurut Mc. Nisse-Smith et al , kepuasan kerja adalah perasaan bekerja terhadap pekerjaannya Yuwono dan Khajar, 2005. Kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan, dan prestasi kerja. Kepuasan kerja ini dinikmati dalam pekerjaan, luar pekerjaan, dan kombinasi dalam dan luar pekerjaan. Kepuasan dalam pekerjaan merupakan kepuasan yang dinikmati dengan memperoleh pujian dari hasil jerih payahnya, penempatan, perlakuan, peralatan dan suasana lingkungan disekitar yang baik. Kepuasan luar pekerjaan berhubungan dengan besarnya balas jasa yang akan diterima dari hasil jerih payah karyawan. Kepuasan kombinasi dalam dan luar pekerjaan merupakan kepuasan kerja yang dicerminkan oleh sikap emosional yang seimbang antara balas jasa dengan pelaksanaan kerjanya. Karyawan yang lebih menikmati kepuasan yang 11 commit to user mengkombinasikan dalam dan luar pekerjaan akan merasa puas jika hasil kerja dan balas jasanya dirasa adil dan layak Hasibuan, 1994. Menurut Locke dalam Kawedar dan Lubis, 2009 kepuasan kerja mencerminkan kegembiran atau sikap emosi positif yang berasal dari pengalaman kerja seseorang. Kegembiraan yang dirasakan akan memberikan dampak sikap positif apabila karyawan merasa puas atas pekerjaannya maka karyawan tersebut akan merasa senang, dan terbebas dari rasa tertekan sehingga menimbulkan rasa aman dan nyaman untuk tetap bekerja pada lingkungannya, tidak akan menimbulkan keinginan untuk mencari alternatif pekerjaan yang lain. Sikap positif tersebut berasal dari persepsi individu terhadap pekerjaanya. Jika para individu dalam organisasi percaya bahwa yang dilakukan penting dan mulia maka hal itu akan mempengaruhi sikap dan penilaian individu tersebut kepada pekerjaannya. Sikap seseorang terhadap pekerjaannya juga sangat dipengaruhi oleh pendapat orang lain terhadap pekerjaannya. Apabila orang lain mempunyai penilaian atau pendapat yang baik terhadap pekerjaannya, maka sikap individu akan cenderung positif Ariyani, 2008. Menurut Strauss dan Sayles dalam Handoko, 2000, kepuasan kerja penting untuk aktualisasi diri. Karyawan yang tidak mempeoleh kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai kematangan psiklogis, dan pada gilirannya akan menjadi frustasi. Karyawan seperti ini akan sering melamun, mempunyai semangat kerja yang rendah, cepat lelah dan bosan, emosinya tidak stabil, commit to user sering absen dan melakukan kesibukan yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan yang harus dilakukan. Sedangkan karyawan yang mendapatkan kepuasan kerja biasanya mempunyai catatan kehadiran dan perputaran yang lebih baik dan berprestasi kerja lebih baik daripada karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja. Dari berbagai pendapat mengenai kepuasan kerja, maka penulis berpendapat bahwa kepuasan kerja merupakan perasaan orang terhadap pekerjaannya. Perasaan orang terhadap pekerjaannya merupakan refleksi dari sikap terhadap pekerjaannya.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja

Gilmer dalam Prawitasari dkk, 2007 mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan, yang meliputi: a Perusahaan dan manajemen Perusahaan dan manajemen yang baik adalah yang mampu memberikan situasi dan kondisi kerja yang stabil. b Aspek-aspek sosial dalam pekerjaan Merupakan salah satu sikap yang sulit digambarkan tapi dipandang sebagai faktor yang menunjang puas atau tidak puas dalam bekerja. c Komunikasi Komunikasi yang lancar antara karyawan dengan pihak manajemen banyak dipakai alasan untuk menyukai jabatannya. Dalam hal ini adanya kesediaan pihak atasan untuk mau mendengar ini, memahami, dan commit to user mengakui pendapat atau prestasi karyawannya sangat berperan dalam menimbulkan rasa puas terhadap kerja. Menurut Blum dalam As’ad 2002, faktor-faktor yang memberi kepuasan kerja yaitu: a Faktor individual Meliputi kesehatan, watak dan harapan. b Faktor sosial Meliputi hubungan kekeluargaan, pandangan masyarakat, kesempatan berekreasi, kegiatan perserikan pekerja, kebebasan berpolitik dan hubungan kemasyarakatan c Faktor utama dalam pekerjaan Meliputi upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju. Selain itu juga penghargaan terhadap kecakapan, hubungan sosial dalam pekerjaan, ketepatan dalam menyelesaikan konflik antar manusia, perasaan diperlakukan adil baik yang menyangkut pribadi maupun tugas. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis berpendapat bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan yaitu faktor individual dan faktor utama dalam pekerjaan.

3. Aspek-aspek kepuasan kerja

Menurut Luthan dalam Yuwono dan Khajar, 2005 menyatakan terdapat lima dimensi dari pekerjaan yang menggambarkan karakteristik terpenting dari suatu pekerjaan yang menentukan kepuasan kerja karyawan: a. Pekerjaan itu sendiri commit to user Merupakan sumber kepuasan kerja dan sebagian dari unsur yang memuaskan kerja yang paling penting yang diungkapkan oleh banyak penelitian adalah pekerjaan yang memberikan status. Pegawai cenderung lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan ketrampilan dan kemampuannya serta menawarkan beragam tugas, kebebasan dan umpan balik mengenai seberapa baik mereka bekerja. b. Gajiinsentif Upah yang diterima orang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari- hari, dan dengan melihat tingkat upah yang diterimanya orang dapat mengetahui sejauh mana manjemen menghargai kontribusi pekerjaan seseorang dalam organisasi tempat kerjanya. Pegawai banyak yang menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang adil dan sesuai dengan pengharapannya. Apabila sistem upah diberlakukan secara adil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat ketrampilan individu dan standar pengupahan maka kemungkinan besar akan diperoleh kepuasan kerja. c. Promosi Kesempatan berpromosi jabatan memiliki efek terhadap kepuasan kerja. Hal demikian dikarenakan promosi menggunakan beraneka cara dan memiliki penghargaan yang beragam. Kebijakan promosi yang adil dan transparan terhadap semua pegawai dapat memberi dampak pada mereka commit to user yang memperoleh kesempatan dipromosikan seperti perasaan senang, bahagia dan memperoleh kepuasan atas kerjanya. d. Supervisi Kemampuan supervisor dalam memberikan bantuan teknis dan dukungan perilaku, pada pegawai dapat menumbuhkan kepuasan kerja bagi mereka. e. Kolega kerja Dukungan rekan kerja atau kelompok kerja dapat menimbulkan kepuasan kerja bagi pegawai, karena merasa diterima dan dibantu dalam memperlancar penyelesaikan tugasnya sifat kelompok kerja akan memiliki efek terhadap kepuasan kerja. Bersama dengan rekan kerja ramah dan mendukung dapat merupakan sumber kepuasan bagi pegawai secara individu. Kelompok kerja yang bagus dapat membuat kerja lebih menyenangkan, sehingga kelompok kerja dapat menjadikan support, kesenangan, nasehat dan bantuan bagi seorang pegawai. Riggio 2003 mengatakan bahwa: Two of the most widely used standardized surveys of job satisfaction are the Minnesota Satisfaction Questionnaire MSQ and the Job Descriptive Index JDI. The Minnesota Satisfaction Questionnaire Weiss, Dawis, England Lofquist at Riggio, 2003 is a multiple item rating scale that asks workers to rate their levels of satisfactiondissatisfaction with twenty job facets, including supervisor’s competence, working conditions, compensation, task varietu, level of job responsibility, and chances for advancements. The Job Descriptive Index JDI is briefer than the MSQ, and measure satisfaction with five job facets: the job itself, supervision, pay, promotions, and coworkers Dari kutipan diatas dapat dijelaskan bahwa terdapat dua skala yang sudah standar yang digunakan untuk mengukur kepuasan kerja yaitu MSQ dan JDI. MSQ merupakan skala yang digunakan untuk mengukur commit to user kepuasanketidakpuasan kerja dengan menggunakan 20 aspek termasuk kompetensi supervisor, kondisi kerja, kompensasi, tugas, pertanggung jawaban kerja, dan ksempatan untuk maju. JDI lebih singkat dibanding MSQ, dalam mengukur kepuasan kerja, JDI menggunakan 5 aspek yaitu pekerjaan itu sendiri, supervisi, gaji, promosi dan hubungan dengan para pekerja. Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan, maka penulis berpendapat bahwa aspek-aspek kepuasan kerja meliputi pekerjaan itu sendiri, gajiinsentif, kesempatan untuk promosi, supervisi, kolega kerja,pertanggungjawaban pekerja, kondisi kerja.

B. Locus of Control Internal

1. Pengertian Locus of Control Internal

Locus of control merupakan suatu aspek kepribadian yang dipunyai setiap individu Magdalena,2000. Locus of control adalah persepsi seseorang terhadap keberhasilan atau kegagalan dalam melakukan berbagai kegiatan di dalam hidupnya yang dihubungkan dengan faktor eksternal individu yang di dalamnya mencakup nasib, keberuntungan, kekuasaan atasan dan lingkungan kerja serta dihubungkan pula dengan faktor internal individu yang di dalamnya mencakup kemampuan kerja dan tindakan kerja yanng berhubungan dengan keberhasilan dan kegagalan kerja individu yang bersangkutan Johan, 2002. Menurut Spector dalam Ancok dan Kusumowardhani, 2006, locus of control merupakan salah satu karakteristik kepribadian yang telah dibuktikan memiliki peran yang penting dalam menjelaskan perilaku individu dalam commit to user organisasi. Dengan kata lain, locus of control adalah variabel sentral dalam struktur kepribadian yang implisit dalam proses belajar, mempengaruhi tingkah laku aktual, mewarnai sikap dan kehidupan perasaan, pusat hirarki pada pola pikir serta mendasari tingkah laku penyesuaian diri maupun antisipasinya. Pada dasarnya, locus of control menggambarkan di mana letak keyakinan dan seberapa kuat kontrol pada individu, apakah kontrolnya menjadi dasar pembentukan serta tingkah lakunya itu bersumber dari dalam dirinya atau dari luar dirinya Purboningsih, 2004. Menurut Rotter dalam Kuncoro, 2004 locus of control yaitu suatu konsep yang merujuk pada keyakinan seseorang mengenai penentu perilakunya sehingga adanya anggapan bahwa akibat-akibat yang diterima memiliki hubungan dengan usaha-usaha yang telah dilakukan. Dalam konsepnya tersebut Rotter menjelaskan bahwa individu akan mengembangkan suatu harapan terhadap kemampuan mengendalikan kejadian-kejadian dalam hidupnya. Menurut Rotter dalam ShajahanShajahan, 2004 orang yang memiliki persepsi kontrol internal yang tinggi percaya bahwa mereka secara pribadi mempengaruhi apa yang terjadi. Menurut Solomon dan Oberlander dalam Magdalena, 2000 locus of conrol bukan merupakan suatu konsep yang tipologik, akan tetapi konsep ini merupakan suatu kontinum yaitu locus of control internal di satu sisi dan locus of control eksternal di sisi lain. Locus of control individu terletak sepanjang commit to user kontinum tersebut, hal ini berarti semakin dominan locus of control internal seseorang akan semakin rendah locus of control eksternal dan sebaliknya. Locus of control internal dimiliki oleh individu-individu yang percaya bahwa kesuksesan dan kegagalan dalam hidupnya dipengaruhi oleh tindakan dan kemampuan mereka personal factors Purboningsih, 2004. Sedangkan Kondalkar 2007 berpendapat bahwa orang yang memiliki locus of control internal percaya bahwa mereka dapat memanipulasi kejadian-kejadian untuk keuntungan mereka dan oleh karena itu mereka mampu untuk menentukan nasib mereka sendiri. Menurut Kuncoro 2000 orang yang mempunyai orientasi kontrol internal percaya bahwa hal yang terjadi pada dirinya adalah pengaruh dirinya sendiri. Individu dengan orientasi internal memiliki ciri-ciri: menggunakan usaha yang lebih besar untuk mengontrol lingkungan, menunjukkan cara belajar yang lebih efektif, mencari informasi yang relevan, mengandalkan ketrampilan dan kemampuan diri serta lebih percaya diri, menghadapi masalah dengan mengatasi masalah. Locus of control berperan dalam motivasi, locus of control yang berbeda bisa mencerminkan motivasi yang berbeda dan kinerja yang berbeda. Locus of control internal akan cenderung lebih sukses dalam karier daripada locus of control eksternal, mereka juga cenderung memiliki level kerja yang tinggi, promosi yang lebih cepat, dan mendapatkan uang yang lebih. Sebagai tambahan, karyawan dengan kecenderungan locus of control internal memiliki kepuasan yang lebih tinggi dalam pekerjaan mereka dan terlihat mampu commit to user mengatasi stres dibanding dengan karyawan dengan kecenderungan locus of control eksternal Kartika dan Wijayanti, 2007. Berdasarkan uraian-uraian di atas maka penulis berpendapat bahwa orang yang memiliki kecenderungan locus of control internal beranggapan bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi pada individu disebabkan faktor personal.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi locus of control internal

Menurut beberapa ahli faktor-faktor yang mempengaruhi locus of control internal antara lain: a Orang tua Menurut BaronByrne 1991, sikap orang tua yang fleksibel dan mendampingi anaknya untuk mandiri mendorong perkembangan locus of control anak kearah internal. Jika orang tua bersifat menghukum, memusuhi dan mendominasi akan mendorong kearah locus of control eksternal. b Pemberian respon Menurut Monks 2001 pemberian respon yang tepat terhadap perilaku anak akan menimbulkan locus of control internal. Pendapat lain disampaikan oleh Phares dalam Yustian, 2009dengan mengelompokkan faktor yang mempengaruhi perkembangan locus of control internal menjadi dua, yaitu: a Family Antencendents, Keluarga merupakan tempat pertama bagi anak untuk bersosialisasi. Kedekatan dan pola asuh orang tua terhadap anak akan mempengaruhi commit to user pembentukan kepribadian anak. Sikap orang tua yang memberi dukungan, kebebasan dan lebih demokratis terhadap anak cenderung ke arah locus of control internal. b Social Antencendents Dalam kehidupan masyarakat, setiuap individu memiliki status sosial ekonomi yang berbeda-beda. Individu yang berasal dari status ekonomi menengah ketas akan cenderung memiliki locus of control internal. Hal ini disebabkan individu dengan status sosial mmenengah keatas lebih percaya diri dalam melakukan kontrol atas hidupnya Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis berpendapat bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi locus of control internal yaitu orang tua, pemberian respon, family antencendents dan social antencendents.

3. Aspek-aspek locus of control

Dalam mengungkap kecenderungan pusat kendali seseorang itu termasuk dalam internal atau external maka Rotter menciptakan skala yang dinamakan skala Internal-External Skala I-E. Levenson memperbaiki skala I-E kemudian skala I-E di susun kembali dan diberi nama skala Internal, Powerful Others and Chance Skala IPC-Locus of Control. Levenson dalam Azwar, 2003 membagi pusat pengendali locus of control dalam skala IPC ke dalam tiga aspek yaitu : a. Aspek internal I Merupakan keyakinan bahwa peristiwa yang terjadi dalam hidup seseorang ditentukan dirinya sendiri commit to user b. Aspek powerful others P Merupakan keyakinan seseorang bahwa peristiwa yang terjadi dalam hidupnya ditentukan oleh orang lain. c. Aspek chance C Merupakan keyakinan seseorang bahwa peristiwa yang terjadi dalam hidupnya ditentukan oleh keberuntungan, nasib dan kesempatan Berdasarkan uraian diatas, maka penulis berpendapat bahwa Levenson memodifikasi skala I-E dan memberi nama skala IPC yaitu skala Internal, eksternal powerful others, eksternal chance. Dalam skala IPC, Levenson membagi pusat pengendali locus of control ke dalam tiga aspek yaitu aspek internal, aspek powerful others, aspek chance.`

C. Self Efficacy

1. Pengertian Self Efficacy

Para pakar menyebutkan konsep self efficacy berbeda dengan konsep tipe kepribadian maupun konsep diri lainnya, self efficacy menfokuskan hanya pada kemampuan untuk mengerjakan suatu tugas tertentu. Untuk mengetahui seseorang yakin atau tidak untuk dapat mengerjakan suatu tugas tertentu. Self efficacy merupakan suatu proses kognitif karena terjadi pertimbangan dan penyatuan berbagai sumber informasi seperti informasi mengenai karakteristik tugas yang dikerjakan, situasi tentang kondisi yang dihadapi, bagaimana kinerjanya dan hasil yang dicapai Nurdjajajadi, dkk, 2009. Menurut Bandura 1997 menyatakan bahwa self efficacy merupakan kepercayaan atau keyakinan seseorang tentang kemampuan mereka untuk mengatur dan melaksanakan tindakan untuk mencapai tujuan yang commit to user diinginkan. Dengan kata lain, orang dengan keyakinan yang kuat lebih percaya diri dalam melakukan sesuatu. Self efficacy juga mempengaruhi prestasi dan motivasi seseorang. Self efficacy juga mempengaruhi bagaimana tujuan seseorang dapat berhasil dicapai melalui usaha dan ketekunan sehingga seseorang dapat menghadapi suatu hambatan. Performa fisik, tugas akademis, performa dalam pekerjaan dan kemampuan untuk mengatasi kecemasan dan depresi ditingkatkan melalui perasaan yang kuat akan self efficacy Baron, 2004. Self efficacy bersifat subjektif karena menekankan pada keyakinan individu yang merupakan persepsinya terhadap kemampuan yang dimiliki di mana penilaian self efficacy tidak bisa digeneralisasikan pada setiap situasi. Self efficacy pada kehidupan sehari-hari akan tampak pada tindakan yang akan dipilih Sulistyowati, 2008. Self efficacy cenderung konsisten sepanjang waktu, tetapi bukan berarti tidak berubah. Umpan balik yang positif terhadap kemampuan seseorang mampu meningkatkan self efficacy Bandura dalam Baron, 2004. Menurut Baron dan Byrne 2000 mengemukakan bahwa self efficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, dan menghasilkan sesuatu. Menurut Appelbaum 1996 self efficacy memiliki peran yang sentral dalam pengaturan diri seseorang dan memiliki pengaruh yang kuat terhadap keberhasilan seseorang. Self efficacy merupakan prediktor yang kuat untuk motivasi dan kinerja seseorang dalam suatu organisasi Menurut Santrock 2001 mendefinisikan self efficacy sebagai keyakinan individu terhadap commit to user kemmapan dirinya untuk menguasai suatu situasi dan menghasilkan sesuatu positif. Berdasarkan uraian-uraian di atas maka dapat dijelaskan bahwa self efficacy merupakan suatu keyakinan atau kepercayaan individu terhadap kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas dan menampilkan tindakan tertentu yang berkaitan dengan tugasnya dengan baik dan efektif.

2. Sumber-sumber dalam self efficacy

Menurut Bandura 1997 terdapat empat sumber yang mempengaruhi pertumbuhan self efficacy seseorang, yaitu a Performance accomplishment pengalaman pencapaian prestasi Merupakan pengalaman seseorang yang berhubungan dengan kegagalan atau keberhasilan masa lalu. Apabila seseorang mengalami keberhasilan maka seseorang tersebut dapat meningkatkan self efficacy. b Vicarious experience mengamati pengalaman orang lain sebagai model Individu yang kurang menguasai suatu bidang umumnya mengobservasi orang lain di sekitarnya. Mereka mempelajari cara pengerjaan suatu hal dengan meniru orang disekeliling mereka yang mengerjakan hal yang sama. Jika individu melihat orang di sekitar mereka mencapai keberhasilan, self efficacy yang dimiliki individu akan meningkat. Sebaliknya, jika individu melihat orang di sekekeliling mereka menemui kegagalan, self efficacy individu menurun. c Verbal Persuasion dorongan verbal commit to user Individu diarahkan dengan saran, nasehat, bimbingan sehingga dapat meningkatkan keyakinan bahwa kemampuan-kemampuan yang dimiliki dapat membantu untuk mencapai apa yang diinginkan. d Emotional Arousal pemunculan emosi Seseorang dapat meningkatkan self efficacy dengan tidak sering mengalami keadaan yang tertekan. Emosional arousal seperi perasaan takut, stress dapat menyebabkan menurunnya kinerja dan mengurangi keberhasilan seseorang. Sedangkan Parker dalam Dewanto, 2003 menggambarkan pengembangan self efficacy kedalam kebijakan-kebijakan organisasional sebagai berikut: a Komunikasi yang baik Jika individu-individu merasa bahwa mereka diberi informasi, didengarkan, dan didorong untuk berbicara, maka mereka lebih mungkin untuk membangun kepercayaan di dalam pencapaian tugas. Komunikasi yang baik mengacu pada kategori verbal persuasion b Keanggotaan pada kelompok-kelompok perbaikan improvement groups Improvement groups mengacu pada vicarious experience. c Job enlargement Peranan job enlargement terhadap pengembangan self efficacy mirip dengan improvement groups. Job enlargement meliputi perluasan tugas- tugas dari hari ke hari. Jika tugas yang dilaksanakan tersebut berhasil akan meningkatkan self efficacy dan sebaliknya. commit to user d Job enrichment Job enrichmement merupakan pembuatan keputusan dan pemberian otonomi yang lebih luas. Pemberian otonomi memungkinkan individu- individu merasa diakui dalam suatu lingkungan kerja e Pelatihan-pelatihan yang relevan Pelatihan yang relevan dianggap dapat menfasilitasi self efficacy individu dengan meningkatkan keseluruhan kepercayaan individu terhadap kemampuan-kemampuan mereka. Berdasarkan uraian tersebut maka penulis berpendapat bahwa sumber yang mempengaruhi pengembangan self efficacy meliputi performance accomplishment, vicarious experience, verbal persuasion, emotional arousal, komunikasi yang baik, improvement groups, job enlargement, job enrichment, pelatihan-pelatihan yang relevan.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi self efficacy

Faktor-faktor yang mempengaruhi self efficacy Yufita dan Budiarto, 2006 antara lain: a Sifat tugas yang dihadapi Sifat tugas dalam hal ini adalah tingkat kesulitana atu kompleksitas tugas yang dihadapi. Semakin kompleks dan sulit tugas yang dihadapi individu, ia akan semakin menilai rendah kemampuannya. Sebaliknya jika ia dihadapkan pada tugas yang sederhana dan mudah maka individu akan menilai tinggi kemampuannya. commit to user b Insentif eksternal atau reward Semakin besar insentif atau reward yang dapat diperoleh seseorang dalam penyelesaian tugas, maka semakin tinggi derajat self efficacy-nya c Status atau peran individu Seseorang yang memiliki status yang lebih tinggi dalam lingkungannya atau kelompoknya akan memiliki derajat kontrol yang lebih besar pula, sehingga memiliki tingkat self efficacy yang lebih tinggi. d Informasi tentang kemampuan diri Self efficacy individu akan meningkat jika ia mendapatkan informasi yang positif tentang kemmapuan yang ia miliki. Sebaliknya, self efficacy cenderung menurun jika individu memiliki informasi yang negatif tentang dirinya. Sedangkan menurut Bandura 1997 menyatakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi self efficacy pada diri individu antara lain : a Budaya Budaya mempengaruhi self efficacy melalui nilai values, kepercayaan beliefs, dan proses pengaturan diri self regulator process yang berfungsi sebagai sumber penilaian self efficacy dan juga sebagai konsekuensi dari keyakinan akan self efficacy. b Gender Perbedaan gender juga berpengaruh terhadap self efficacy. Hal ini dapat dilihat dari penelitian Bandura 1997 yang menyatakan bahwa wanita lebih efikasinya yang tinggi dalam mengelola peranya. Wanita yang commit to user memiliki peran selain ibu rumah tangga, juga sebagai wanita karier akan memiliki self efficacy yang tinggi dibandingkan pria yang bekerja. c Sifat dari tugas yang dihadapi Derajat kompleksitas dari kesulitan tugas yang dihadapi oleh individu akan mempengaruhi penilaian individu tersebut terhadap kemampuan dirinya sendiri. Semakin kompleks suatu tugas yang dihadapi oleh individu maka akan semakin rendah individu tersebut menilai kemampuannya. Sebaliknya, jika individu dihadapkan pada tugas yang mudah dan sederhana maka akan semakin tinggi individu tersebut menilai kemampuannya. d Insentif eksternal Faktor lain yang dapat mempengaruhi self efficacy individu adalah insentif yang diperolehnyaa. Bandura menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat meningkatkan self fficacy adalah competent contingens incentive, yaitu insentif yang diberikan oleh orang lain yang merefleksikan keberhasilan seseorang. e Status atau peran individu dalam lingkungan Individu yang memiliki status yang lebih tinggi akan memperoleh derajat kontrol yang lebih besar sehingga self efficacy yang dimilikinya juga tinggi. Sedangkan individu yang memiliki status yang lebih rendah akan memiliki kontrol yang lebih kecil sehingga self efficacy yang dimilikinya juga rendah. commit to user f Informasi tentang kemampuan diri Individu yang memiliki self efficacy tinggi, jika ia memperoleh informasi positif mengenai dirinya, sementara individu akan memiliki self efficacy yang rendah, jika ia memperoleh informasi negatif mengenai dirinya. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi self efficacy adalah sifat tugas yang dihadapi, insentif eksternal atau reward, status atau peran individu, informasi tentang kemampuan diri.

4. Aspek-aspek self efficacy

Dalam self efficacy terdapat beberapa aspek yang berkaitan dengan harapan individu. Rizvi 1998 mengklasifikasikan aspek tersebut menjadi tiga, yaitu: a Pengharapan hasil outcome expectancy,merupakan hasil pikiran atau keyakinan individu bahwa perilaku tertentu akan mengarah pada hasil tertentu. b Pengharapan efikasi efficacy expectancy, yaitu keyakinan seseorang bahwa dirinya akan mampu melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil. Aspek ini menunjukkan bahwa harapan individu berkaitan dengan kesanggupan melakukan suatu perilaku yang dikehendaki. c Nilai hasil outcome value, yaitu nilai kebermaknaan atas hasil yang diperoleh individu. commit to user Menurut Bandura 1997, self efficacy mempunyai tiga dimensi, yaitu: b Magnitude tingkat kesulitan tugas Yang berkaitan dengan derajad kesulitan tugas, sejauh mana individu merasa mampu dalam melakukan berbagai tugas dengan derajad tugas mulai yang sederhana, agak sulit, hingga yang sulit. c Generality luas bidang perilaku Sejauh mana individu yakin akan kemampuannya dalam berbagai situasi tugas, mulai dari dalam melakukakan suatu aktivitas atau situasi tertentu hingga dalam serangkaian tugas atau situasi yang bervariasi. Dimensi luas bidang periku ini dibagi dalam dua sub dimensi yaitu pengharapan terbatas pada bidang perilaku, yaitu seberapa besar keyakinan atau kemantapan karyawan dalam menjalankan bidang tugasnya selama ini dan pengharapan yang menyebar, yaitu seberapa besar keyakinan atau kemantapan karyawan terhadap keberhasilan dalam menjalankan bidang tugas lain yang belum pernah dikerjakan selama ini. d Strength kemantapan keyakinan Dimensi kemantapan keyakinan terbagi dalam dua sub dimensi yaitu bertahan dalam usahanya dan keuletan dalam berusaha. Bertahan dalam usahanya adalah seberapa besar kemampuan karyawan untuk bertahan dalam menghadapi tugas dan tantangan pekerjaan sedangkan keuletan dalam berusaha merupakan seberapa jauh upaya karyawan dalam menghadapi tugas dan tantangan pekerjaan commit to user Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa aspek- aspek yang mempengaruhi self efficacy adalah aspek magnitude tingkat kesulitan tugas, aspek generality luas bidang perilaku, aspek strength kemantapan keyakinan.

D. Hubungan antara locus of control internal dan self efficacy dengan

kepuasan kerja 1. Hubungan antara locus of control internal dan self efficacy dengan kepuasan kerja M enurut Rotter dalam Shajahan Shajahan, 2004 locus of control terdiri atas locus of control internal dan locus of control eksternal. Orang yang memiliki locus of control internal berkeyakinan bahwa apa yang terjadi pada dirinya karena pengaruh dirinya sendiri, sedangkan orang yang memilik locus of control eksternal memiliki keyakinan bahwa faktor yang ada di luar kontrolnya akan mempengaruhi perilakunya. Menurut Crous dkk 2006, individu dengan locus of control internal yang tinggi lebih mampu dalam mencapai tingkat kinerja yang tinggi dalam waktu yang singkat dan lebih mampu mengaktualisasikan diri sendiri. Melalui konsep ini dapat diketahui tentang keterkaitan keyakinan diri dengan kepuasan kerja. Hasil penelitian Judge dan Bono dalam Dewanto, 2003 yang mengacu pada self consistency theory menyatakan bahwa self efficacy mempengaruhi kepuasan kerja dan kinerja karyawan. Self efficacy mempengaruhi kepuasan kerja melalui kesuksesan dalam pekerjaan. Hal ini disebabkan karena individu dengan self efficacy yang tinggi akan lebih menerima kesulitan dan bertahan terhadap kegagalan. Mereka umumnya mengartikan kegagalan tersebut pada kurangnya commit to user usaha yang dilakukan dan terus berusaha sehingga lebih mungkin untuk mencapai hasil yang bernilai dan kemudian menghasilkan kepuasan dari pekerjaan. Sedangkan dalam hubungannya dengan kinerja, self efficacy akan mempengaruhi pola pikir, reaksi emosional seseorang dalam menyelesaikan pekerjaannya. Individu dengan self efficacy yang tinggi merupakan individu yang yakin akan kemampuannya dalam menyelesaikan pekerjaannya secara tepat dan tuntas, individu ini juga bertanggung jawab atas apa yang telah dikerjakannya. Sedangkan menurut Appelbaum 1996 individu dengan self efficacy yang tinggi dalam hubungannya dengan kinerja cenderung memiliki karakteristik, cepat belajar ketrampilan baru, ketekunan dan usaha yang tinggi dalam menghadapi kemunduran, hambatan dan kegagalan. Sehingga, individu dengan self efficacy yang tinggi akan mencapai suatu kinerja yang lebih baik karena individu ini memiliki motivasi yang stabil, kuat, tujuan yang jelas, emosi yang stabil dan kemampuannya untuk memberikan kinerja atas aktivitas atau perilaku dengan sukses. Kinerja yang tinggi dengan self efficacy yang tinggi menunjukkan kepuasan kerja yang tinggi. Jadi semakin karyawan memiliki kecenderungan internal locus of control dan semakin tinggi self efficacy maka akan mempengaruhi kepuasan karyawan dalam bekerja. Kepuasan kerja bermanfaat untuk meningkatkan kinerja, meningkatkan produktivitas dan merupakan salah satu indikator penenentuan tingkat kesejahteraan hidup karyawan. 2. Hubungan antara locus of control internal dengan kepuasan kerja Rotter dalam Baron Byrne, 1991 berpendapat bahwa masing-masing individu memiliki kepercayaan tentang apa atau siapa yang mengontrol commit to user keberhasilan dan kegagalan dalam kehidupan. Individu dengan orientasi internal, merupakan pekerja keras dan bertanggung jawab terhadap perilakunya. Sedangkan individu dengan orientasi eksternal merupakan individu yang mempercayai bahwa kejadian yang terjadi disebabkan faktor eksternal. Melalui locus of control yang dimiliki, perilaku pekerja dapat dijelaskan ketika seorang karyawan merasakan hasil pekerjaan yang mereka lakukan merupakan hasil kontrol internal atau eksternal. Seorang karyawan merasakan kontrol internal sebagai kepribadian karena merasakan hasil pekerjaan yang dilakukannya berada dibawah pengaruh kontrol diri pribadinya sendiri. Kontrol internal ini akan tampak melalui kemampuan kerja dan tindakan kerja yang berhubungan dengan keberhasilan dan kegagalan karyawan pada saat melakukan pekerjaannya. Dengan demikian seseorang karyawan akan merasa puas dalam bekerja karena kontrol internalnya memberikan keberhasilan dalam bekerja. Sedangkan ada pula karyawan yang merasa bahwa terdapat kontrol eksternal di luar dirinya yang mendukung hasil pekerjaan yang dilakukannya. Kontrol eksternal ini terlihat melalui nasib dan keberuntungan karyawan yang bersangkutan serta kekuasaan atasan dan lingkungan kerja tempat karyawan tersebut bekerja. Perasaan karyawan tentang locus of control, baik internal maupun eksternal mempunyai pengaruh yang berbeda pada penampilan kerja dan kepuasan kerja karyawan Johan, 2002. 3 Hubungan antara self efficacy dengan kepuasan kerja Self efficacy merupakan kepercayaan terhadap kemampuan seseorang untuk menjalankan tugas. Orang yang percaya diri dengan kemampuannya cenderung untuk berhasil, sedangkan orang yang selalu merasa gagal cenderung commit to user untuk gagal. Self efficacy berhubungan dengan kepuasan kerja dimana jika seseorang memiliki self efficacy yang tinggi maka cenderung untuk berhasil dalam tugasnya sehingga meningkatkan kepuasan atas apa yang dikerjakannya. Self efficacy mempunyai arti penting karena memiliki pengaruh yang kuat terhadap aspek motivasi, tingkah laku, dan afeksi seseorang dalam menjalankan suatu tugas. Individu yang memiliki self efficacy yang tinggi dalam situasi tertentu akan menampilkan tingkah laku, motivasi, afeksi yang berbeda dengan individu yang memiliki self efficacy rendah. Maksudnya individu yang memiliki self efficacy yang tinggi memiliki motivasi yang tinggi pula terhadap suatu tugas, sehingga kan berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan tugas Riyanti, 2006. Bandura 1997 mengungkapkan bahwa individu yang memiliki self efficacy tinggi akan mencapai suatu kinerja yang lebih baik karena individu ini memiliki motivasi yang kuat, tujuan yang jelas, emosi yang stabil dan kemampuannya untuk memberikan kinerja atas aktivitas atau perilaku dengan sukses. Kinerja yang baik dari seorang karyawan dengan self efficacy tinggi menunjukkan tingkat kepusan kerja yang dialami oleh karyawan tersebut juga tinggi. Hasil penelitian Bandura dalam Paulus Joko Sigiro dan Suyono, 2005 ketika menerima umpan balik yang negatif, individu yang memiliki self efficacy yang tinggi akan merespon dengan meningkatkan usaha dan motivasi sedangkan individu dengan self efficacy yang rendah akan cenderung rendah diri dan menyebabkan menurunnya kinerja individu tersebut. commit to user Maka dari pendapat di muka dapat disimpulkan bahwa individu dengan self efficacy tinggi akan mengalami kepuasan kerja yang tingi, sedangkan individu dengan self efficacy yang rendah akan mengalami tingkat kepuasan kerja yang rendah pula. E. Kerangka Pikir Kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut. Berdasarkan kerangka pikir di atas maka dapat dilihat bahwa 1. Karyawan dengan kecenderungan locus of control internal maka akan memilki kepuasan kerja yang tinggi. 2. Karyawan dengan self efficacy yang tinggi maka akan memiliki kepuasan kerja yang tinggi. 3. Karyawan dengan kecenderungan locus of control internal dan memiliki self efficacy yang tinggi maka akan memiliki kepuasan kerja yang tinggi internal locus of control Self efficacy Kepuasan kerja commit to user

F. Hipotesis

Dokumen yang terkait

Pengaruh self efficacy dan iklim organisasi terhadap kepuasan kerja karyawan di PT Wijaya Karya Beton, Tbk.

3 18 146

Pengaruh Karakteristik Personal Auditor,Pengalaman Audit,Dan Independensi Auditor Terhadap Kualitas Audit

1 7 106

HUBUNGAN ANTARA LOCUS OF CONTROL INTERNAL DENGAN KOMITMEN ORGANISASI Hubungan Antara Locus Of Control Internal Dengan Komitmen Organisasi.

0 2 14

HUBUNGAN ANTARA LOCUS OF CONTROL INTERNAL Hubungan Antara Locus Of Control Internal Dengan Komitmen Organisasi.

0 3 18

HUBUNGAN ANTARA LOCUS OF CONTROL INTERNAL DENGAN MINAT BERWIRAUSAHA Hubungan Antara Locus Of Control Internal dengan Minat Berwirausaha.

5 18 16

HUBUNGAN ANTARA LOCUS OF CONTROL INTERNAL DENGAN MINAT BERWIRAUSAHA Hubungan Antara Locus Of Control Internal dengan Minat Berwirausaha.

0 3 15

PENGARUH KEPUASAN KERJA, SELF EFFICACY , Pengaruh Kepuasan Kerja, Self Efficacy, Locus Of Control Terhadap Kinerja Karyawan (Study Empiris Pada PT. Batam Textile Industry Ungaran).

2 4 15

PENGARUH KEPUASAN KERJA,SELF EFFICACY , Pengaruh Kepuasan Kerja, Self Efficacy, Locus Of Control Terhadap Kinerja Karyawan (Study Empiris Pada PT. Batam Textile Industry Ungaran).

0 1 12

HUBUNGAN ANTARA ORGANIZATION-BASED SELF-ESTEEM DAN KEPUASAN KERJA DENGAN KOMITMEN ORGANISASI PADA KARYAWAN DEPARTEMEN SPINNING DI PT. MAHAMERU CENTRATAMA SPINNING MILLS.

0 2 44

HUBUNGAN ANTARA LOCUS OF CONTROL INTERNAL DENGAN KEPUASAN KERJA PADA KARYAWAN PT. TELKOM SEMARANG YANG AKAN MENGHADAPI PENSIUN - Unika Repository

0 0 14