EKSPRESI AMARAH DAN HIPERTENSI

II.4. EKSPRESI AMARAH DAN HIPERTENSI

Amarah diperkirakan dapat meningkatkan tekanan darah melalui efeknya pada sistem saraf simpatis Meinginger dkk, 2004; Muller dkk, 2001. Episode ulangan dari amarah dapat menyebabkan keadaan kronis dari peningkatan tekanan darah atau hipertensi Muller dkk, 2001. Beberapa peneliti telah menemukan adanya hubungan antara skor amarah dengan tekanan darah Hauber dkk, 1998; Eng dkk, 2003. Terdapat bukti yang kontroversial pada korelasi antara ekspresi amarah dengan tekanan darah saat ini. Beberapa peneliti mendapatkan bahwa amarah yang dikeluarkan dapat meningkatkan tekanan darah dan mengaktivasi sistem kardiovaskular, namun peneliti lainnya menemukan bahwa menekan rasa amarah justru dapat menginduksi peningkatan tekanan darah. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh variasi dalam konsep atau pengukuran yang menimbulkan hasil yang inkonsekuen. Amarah telah dikatakan dapat meningkatkan tekanan darah melalui pengaruh simpatis langsung dan episode yang berulang dari rasa marah dapat menyebabkan keadaan kronis dari peningkatan tekanan darah. Lebih lanjut, penelitian pada remaja didapatkan bahwa sifat amarah merupakan salah satu dari faktor psikologis yang berkaitan dengan peningkatan tekanan darah. Dimana ketika seorang yang sehat tidur biasanya terjadi penurunan tekanan darah sebesar 10 dalam keadaan tidur, didapatkan bahwa amarah mencegah penurunan tekanan darah fisiologis tersebut Shehata, 2010. Secara sederhana, stres psikologikal atau emosional, seperti amarah, dapat menyebabkan impuls dilepaskan dari korteks serebri kemudian dikirim Universitas Sumatera Utara melalui sistem limbik ke nukleus di hipotalamus dimana corticotropin- releasing factor CRF dan arginine vasopressin disintesa. Hormon CRF berjalan menuju kelenjar pituitari anterior yang kemudian memberi respon berupa pelepasan adrenocorticotropic hormone ACTH yang kemudian menstimulasi korteks adrenal untuk memproduksi glukokortikosteroid. Glukokortikosteroid akan membebaskan katekolamin. Arginine vasopressin juga mengaktivasi sekresi ACTH dab dilepaskan oleh kelenjar pituitari posterior. Bersama dengan norepinefrin dan epinefrin yang dihasilkan oleh sistem saraf simpatis, bahan-bahan kimiawi tersebut merupakan hormon stres utama yang secara sistemik akan mengaktifkan sistem kardiovaskular. Stimulasi sistem saraf simpatis juga akan mengaktivasi aparatus juxtaglomerular di ginjal, sehingga merangsang respon dari sistem renin- angiotensin dimana timbul reaksi enzimatik yang selanjutnya terjadi vasokonstriksi sistemik dan peningkatan tekanan darah Black Garbutt, 2002. Namun demikian, beberapa penelitian tidak mendukung adanya hubungan antara amarah dengan peningkatan tekanan darah. Hal ini mungkin disebabkan perbedaan secara individu seperti dalam hal reaksi fisiologikal, riwayat keluarga, ras dan jenis kelamin, tipe amarah tertentu, atau bagaimana seseorang mengatasi rasa amarah. Contohnya, bangsa Afrika Amerika bila dibandingkan dengan Kaukasia menunjukkan reaktivitas tekanan darah yang lebih lama terhadap amarah. Lebih lanjut pada subjek dengan riwayat orang tua dengan hipertensi, tekanan darah sistolik berkaitan dengan sifat mudah marah yang rendah, sedangkan pada orang dengan Universitas Sumatera Utara riwayat orang tua tanpa hipertensi didapatkan tekanan darah sistolik berhubungan dengan sifat mudah marah iritabilitas yang tinggi Paulus dkk, 2004. Terdapat perkembangan yang signifikan pada penelitian klinis untuk menilai hubungan kardiovaskular dan neuroendokrin dengan regulasi emosi yang berkaitan dengan amarah. Penelitian tersebut menunjukkan bagaimana tipe ekspresi amarah tertentu mempengaruhi sistem saraf otonom dan fungsi neuroendokrin, khususnya yang berkaitan dengan respon stres pada individu yang berbeda al’ Absi Bongard, 2006. Paparan berulang dan kronis terhadap amarah yang dicetuskan oleh keadaan stres dan ekspresi amarah secara terbuka sering berhubungan dengan stimulasi berulang terhadap HPA Hypothalamic-Pituitary- Adrenocortical axis dan sistem sympatho-adrenomedullary. Sebagai tambahan, fungsinya dalam meregulasi respon adaptif ketika individu menghadapi keadaan emosional yang hebat, sistem ini akan berinteraksi secara bersama-sama al’ Absi Bongard, 2006. II.4.I. The Hypothalamic-Pituitary-Adrenocortical Axis Sistem ini melibatkan tiga struktur, yaitu hipotalamus, pituitari, dan korteks adrenal Gambar 1. Aktivitas dari aksis ini diaktifkan oleh pelepasan CRF dari badan sel neuron pada nukleus paraventrikular hipotalamus. Pelepasan CRF menginisiasi kaskade aksis HPA. Hormon CRF berjalan menuju bagian anterior dari kelenjar pituitari, disana ia bekerja pada sel corticotrope dan menstimulasi sintesis proopiomelanocortin POMC, dan selanjutnya menyebabkan pelepasan ACTH dan β-endorphin menuju Universitas Sumatera Utara sirkulasi sistemik. Selain CRF, vasopressin juga disintesa dan disekresikan di nukleus paraventrikular. Vasopressin juga berpartisipasi dalam menstimulasi pelepasan ACTH. Walaupun efek vasopressin lemah dalam mestimulasi sekresi ACTH, ketika dikombinasikan dengan CRF, vasopressin akan sangat meningkatkan pelepasan ACTH. Penelitian menunjukkan bahwa aktivitas aksis HPA sensitif terhadap pengaruh negative feedback dari glukokortikoid. Hormon ACTH berjalan melalui sirkulasi perifer untuk mencapai korteks adrenal sehingga menyebabkan sintesa dan pelepasan kortikosteroid, yang mana sebagian besar adalah kortisol pada manusia. Ketika dilepaskan ke sirkulasi, kortisol memberikan efek sentral dan perifer, seperti metabolik, imunitas dan kardiovaskular. Salah satu fungsi utamanya pada perifer adalah membuat cadangan energi untuk digunakan tubuh, dengan meningkatkan katabolisme protein dan glukoneogenesis, dan dengan menurunkan ambilan glukosa oleh sel sehingga menyebabkan peningkatan kadar asam amino dan glukosa pada plasma al’ Absi Bongard, 2006. Universitas Sumatera Utara Gambar 1. Diagram hypothalamic-pituitary-adrenocortical axis. Dikutip dari : al’ Absi M and Bongard S. Neuroendocrine and Behavioral Mechanisms Mediating the Relationship between Anger Expression and Cardiovascular Risk: Assessment Considerations and Improvements. Journal of Behavioral Medicine. 2006. 29;6:573-91 Penelitian menunjukkan pengaruh kortisol yang signifikan secara luas pada fungsi sistem saraf pusat. Kortisol mempengaruhi kerja reseptor beta adrenergik dan oleh karena itu mengatur efek katekolamin yang akan berinteraksi dengan reseptor tersebut. Kortisol berperan penting dalam meregulasi sekresi hormonnya sendiri melalui efeknya pada pituitari, hipokampus, korteks frontal bagian medial dan amigdala sentral. Melalui ini, kortisol mempengaruhi pelepasan CRF, dan juga vasopressin. Kortisol juga Universitas Sumatera Utara menurunkan sekresi ACTH dan POMC dari kelenjar pituitari al’ Absi Bongard, 2006. Peningkatan kortisol dalam respon terhadap stres psikologis penting dalam memulihkan aktivasi imun yang diinduksi oleh stres. Hal ini konsisten dengan hipotesis yang menyatakan bahwa aktivitas glukokortikosteroid akibat stres akan membantu membatasi aktivasi sitokin dan fungsi imunitas lainnya yang reaktif terhadap stres. Mekanisme ini akan mencegah timbulnya efek negatif yang dapat dihasilkan oleh respon imun yang tidak terkendali. Walaupun respon kortisol terhadap stres akut memiliki efek pertahanan yang baik, peningkatan kortisol yang persisten akan menyebabkan beberapa efek terhadap metabolik dan sistem kardiovaskular. Oleh karena itu sangat mungkin bahwa keadaan kortisol tinggi yang disebabkan oleh paparan yang berulang kali akan menyebabkan peningkatan kadar hormon ini pada keadaan stres emosional akut menjadi faktor resiko terhadap berbagai masalah jantung dan pembuluh darah. Namun penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk menjawab hipotesis ini dan menilai akibat yang ditimbulkan oleh peningkatan intermiten aktivitas HPA dibandingkan dengan peningkatan yang persisten dari aktivasi sistem ini al’ Absi Bongard, 2006.

II.4.2. The Sympatho-Adrenomedullary System